Ini adalah film yang berhasil membuatku tetap nempel di sofa dan rela memundurkan jam memasakku. Akibatnya, waktu untuk bersapa dengan laptop tercinta pun mundur juga. Tapi tidak apalah. Film ini memang bagus dan layak untuk ditonton. Diangkat dari kisah nyata tentang peristiwa kecelakaan pesawat Uruguayan Air Force Flight 571 yang terjatuh di Pegunungan Andes pada tanggal 13 Oktober 1972. Pesawat ini mengangkut tim rugby Uruguay beserta teman-teman dan keluarganya yang merupakan lulusan dari Universitas Stella Maris. Total penumpang adalah 45 orang dan hanya 16 orang diantara mereka yang selamat.
Aku tidak menggunakan nama-nama pemain disini ataupun nama tokoh, karena jalan cerita yang hebat-lah yang menjadi titik perhatian utamaku. Karena bisa dikatakan, tidak ada yang mendapat posisi paling penting disini. Semua orang adalah pemeran utama dalam film yang menunjukkan usaha manusia menaklukkan alam agar bisa menyelamatkan dirinya. Juga menunjukkan bagaimana manusia sendiri sebenarnya hanya secuil debu di alam ini. Bagaimana dalam penderitaan terhebat di alam luas itu, seorang atheis fanatik sekalipun bisa berubah dan mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang yang tidak pernah berdoa berbalik dan berdoa dengan sepenuh hati dan bercucuran air mata, berharap agar mereka bisa selamat dari keganasan alam itu.
Cerita berawal ketika pesawat itu terjatuh, penumpang yang selamat kemudian berusaha menolong penumpang lain yang terluka, meski ada beberapa penumpang yang sudah tewas. Mereka yang terluka kemudian mendapat perawatan seadanya semampu mereka, sementara yang tewas dikeluarkan dari badan pesawat dan dibaringkan di salju tebal di luar.
Ada seorang penumpang selamata yang merupakan mahasiswa kedokteran, yang mengambil tugas untuk membantu pengobatan para korban yang terluka. Sementara yang lainnya membantu mengeluarkan korban-korban lain yang masih terjepit diantara kursi-kursi penumpang. Malam itu mereka bertahan di dalam pesawat karena ada badai salju hebat yang melanda pegunungan Andes. Dan badai salju itu pun menewaskan beberapa orang lagi malam itu.
Seluruh penumpang yang tertinggal kemudian membongkar barang-barang di dalam pesawat untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Mereka menemukan sebungkus biskuit, beberapa batang coklat, dan dua botol anggur. Fernando bertindak sebagai pemimpin, dan memutuskan kalau mereka akan menghemat jatah makanan itu, sampai bantuan datang menyelamatkan mereka. Sehingga mereka hanya makan sepotong kecil coklat dan setengah tutup botol anggur untuk bertahan hidup.
Pada malam hari, mereka tidur di dalam badan pesawat yang sudah hancur. Menutupi jendela-jendelanya yang terbuka dengan kain-kain dan tumpukan tas untuk menahan hembusan angin yang dingin menusuk. Sambil berharap datangnya bala bantuan atau setidaknya melihat pesawat yang akan melintasi daerah itu.
Keesokan harinya, mereka melihat sebuah pesawat kecil terbang melintasi tempat itu. Mereka segera berkerumun keluar dan melambaikan tangan. Pesawat itu berputar-putar beberapa kali, dan Fernando yakin kalau pilot pesawat itu sudah melihat mereka, dan akan kembali untuk membawa bantuan. Mereka begitu bersuka cita. Dan dengan percaya diri mereka menghabiskan stok makanan mereka yang tersisa semuanya pada malam itu. Karena yakin kalau besok akan ada helikopter yang datang menjemput dan menyelamatkan mereka.
Tapi kenyataan berkata lain. Ternyata pesawat itu tidak melihat mereka dan karena itu tidak pernah kembali untuk menyelamatkan mereka. Maka penderitaan mereka pun semakin bertambah karena jatah makanan mereka sudah habis. Akhirnya beberapa orang memutuskan untuk mencari bagian ekor pesawat. Di sana ada aki yang bisa mereka pergunakan untuk menghidupkan kembali radio pesawat dan memanggil bantuan. Masalahnya, mereka tidak yakin dimana letak pasti dari bagian ekor pesawat yang patah itu. Dan mereka sama sekali buta dengan daerah pegunungan dengan salju setinggi perut itu.
Akhirnya diputuskan, bahwa tiga orang akan berangkat untuk mencari lokasi ekor pesawat itu dan membawa aki tersebut ke badan pesawat. Tapi ternyata perjalanan itu sangat berbahaya. Pada siang hari, Pegunungan Andes memang mendapat sinar matahari, sehingga mereka tidak terlalu merasa kedinginan. Tapi di malam hari, tanpa perlindungan yang memadai, manusia akan tewas karena membeku.
Tim yang berangkat ini tidak membawa perlengkapan apapun. Mereka hanya berbekal sweater tipis dan sepatu sneaker. Ditambah lagi perut kelaparan karena sudah dua hari tidak makan. Mereka terduduk membeku kedinginan ketika malam tiba. Untungnya mereka berhasil selamat hingga muncul matahari pagi. Karena itu mereka memutuskan untuk kembali saja, meskipun tanpa hasil.
Kegagalan tim pertama kemudian berusaha diperbaiki kembali. Mereka memutuskan untuk menunggu hingga cuaca benar-benar bersahabat dan tidak ada badai salju. Mereka akan menambah jumlah pakaian agar lebih hangat. Tapi masalah yang masih belum ada penyelesaiannya adalah: bagaimana mengatasi rasa lapar. Karena tanpa makanan, mereka akan menjadi lemah dan tewas karena kedinginan.
Akhirnya, memberikan sebuah usul yang sangat mengejutkan mereka. Bahwa untuk bertahan hidup di cuaca yang ekstrim itu, mereka harus makan banyak daging. Karena daging adalah sumber kalori yang paling besar. Dan karena tidak ada hewan yang bisa diburu di sekitar itu, maka mereka harus memakan mayat-mayat korban yang terbaring di luar.
Pada awalnya, hampir semua menolak usul itu. Tapi perlahan-lahan, dengan memahami situasi yang mereka alami, akhirnya mereka menyadari kalau mereka tidak punya pilihan lain. Yang pertama kali mengiris daging dari mayat itu adalah Fernando dengan menggunakan pecahan kaca jendela pesawat. Adegan itu menunjukkan bagaimana dengan susah payah ia memasukkan potongan daging yang dicungkilnya dari bagian pinggang salah satu mayat itu ke dalam mulutnya. Berusaha mati-matian melawan rasa ingin muntah dan menelannya dengan bantuan segenggam salju yang dimasukkan dengan terburu-buru ke dalam mulutnya.
Setelah itu, barulah kawan-kawannya yang lain menirunya. Suhu yang membeku telah berfungsi sebagai lemari es raksasa. Mayat-mayat itu tidak membusuk tapi membeku seperti disimpan di dalam freezer dan tetap segar. Mereka berhasil bertahan hidup selama 70 hari di pegunungan es itu karena tetap memiliki tenaga dari memakan daging mayat.
Setelah masalah perut teratasi, mereka kemudian kembali mengirimkan regu yang baru untuk mencari ekor pesawat. Mereka memperlengkapi tim yang baru ini dengan pakaian tebal, sepatu bot dan sekantung daging manusia untuk penambah tenaga di perjalanan. Kali ini tim kedua berhasil menemukan letak ekor pesawat sekaligus menemukan aki yang mereka cari-cari. Tapi ternyata aki itu sangat berat sehingga mereka tidak mungkin membawanya turun kembali. Mereka kemudian memutuskan untuk membawa orang yang mengetahui cara memperbaiki radio ke tempat aki itu berada.
Malangnya, ternyata mereka tidak berhasil memperbaiki radio itu. Tapi mereka menemukan sejumlah kain berlapis penahan panas yang bisa dipergunakan sebagai kantung tidur. Mereka kemudian membawa kembali barang-barang yang bisa dipergunakan ke tempat mereka. Seperti baju-baju tambahan untuk penghangat. Sementara itu jumlah mereka semakin berkurang, karena setiap hari selalu ada yang tewas karena tidak tahan dengan suhu udara yang sangat dingin itu.
Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari sendiri bantuan, karena kalau tetap diam dan menunggu disana, mereka juga pasti akan tewas. Tim ketiga akhirnya berangkat lagi untuk mendaki. Kali ini dengan tujuan untuk mencari daerah pemukiman penduduk sejauh mereka bisa berjalan kaki. Dari sana mereka akan mencari bantuan untuk menjemput kawan-kawan mereka yang tersisa. Mereka kembali setelah memperlengkapi diri dengan jatah daging, kantung tidur yang bisa menahan panas dan sepatu yang lebih kuat karena dililit dengan tali.
Dari awal memang sudah bisa dipastikan kalau perjalanan ini tidak akan mudah. Mereka hanya berbekal keyakinan kalau Chile berada di arah Barat, tapi tidak tahu akan sejauh apa perjalanannya. Bahkan di tengah perjalanan pun mereka hampir tergelincir ke jurang. Ditunjukkan kalau cukup banyak hari yang terlewati ketika akhirnya mereka menemukan sebuah lembah. Puncak pegunungan es itu akhirnya terlalui juga. Dan mereka kembali dengan membawa bantuan helikopter untuk menjemput teman-temannya yang masih menunggu di pegunungan.
Akhir film yang mengharukan. Ketika semua orang yang sudah putus asa menunggu dalam diam di bangkai pesawat, mereka mendengar suara helikopter yang mendekat, kemudian buru-buru berlari ke luar untuk melihat. Dan terlihatlah ketiga orang teman mereka yang dengan berani telah melintasi dan menaklukkan puncak gunung es itu dengan peralatan seadanya, melambaikan tangan dari atas helikopter. Semua tertawa sambil menangis dan melambaikan tangan.
Kisah ini dituliskan oleh salah seorang korban yang selamat, kemudian diproduksi dalam bentuk film pada tahun 1993. Dan didedikasikan untuk mengenang ke-29 penumpang lain yang telah tewas di Pegunungan Andes itu. Beberapa pemerannya antara lain Ethan Hawke, Vincent Spano dan Josh Hamilton. Beberapa tahun kemudian, para penumpang yang selamat kembali ke lokasi jatuhnya pesawat dan mendirikan salib raksasa dari besi di puncak bukit itu, sebagai monumen untuk sahabat, adik dan sanak-keluarga mereka yang tewas. Salib itu begitu besar sehingga terlihat dari puncak gunung yang lain. Film yang luar biasa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar