Di sebuah hutan rimba, hiduplah sekelompok binatang rusa. Rusa-rusa itu terdiri dari induk-induk rusa, pejantan, serta anak-anak rusa. Mereka hidup berdampingan dengan rukun, kala ada bahaya menghadang mereka bahu-membahu untuk melindungi kelompoknya. Biasanya bahaya yang datang itu berasal dari binatang buas misalnya harimau yang kelaparan, atau buaya yang selalu mengintai ketika mereka sedang mengambil air minum. Namun selama ini bahaya itu dapat dihindari berkat kewaspadaan kelompok rusa-rusa itu.
Ruru, adalah salah seekor anak rusa jantan yang lahir dari induk dan pejantan rusa yang lincah. Oleh karena itu Ruru mewarisi kemampuan berlarinya yang cepat, dia memiliki 4 kaki yang panjang dan sigap untuk berlari. Anak-anak rusa yang lain tidak mampu menandingi kemampuan berlari Ruru. Ruru lah yang selalu menjadi pemenang ketika anak-anak rusa berlomba menuju danau untuk mencari minum, atau menuju perdu-perdu yang memiliki dedaunan yang segar untuk disantap. Namun bagi anak-anak rusa menang ataupun kalah dalam perlombaan semacam itu hanyalah sebuah kesenangan saja, tidak ada persaingan di antara mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, Ruru kini tumbuh semakin besar, kaki-kakinya semakin jenjang, dan di kepalanya tumbuh pula tanduk yang indah. Anak-anak rusa yang lain semakin mengagumi kelincahan tubuhnya dan keelokan tanduknya. Rupanya kekaguman anak rusa yang lain itu membuat Ruru berubah menjadi sombong, Ruru menjadi semakin sering memamerkan kelincahan tubuh dan keindahan tanduknya itu pada anak-anak rusa yang lain.
”Hai gendut”, kata Ruru pada Popo anak rusa yang lain ketika Popo melintas. “Ayo kita adu lari, eh tapi tidak usah deh, aku sudah tahu kalau aku yang pasti akan menang. Lebih baik kamu tidur saja kan capek membawa perut yang gendut ke mana-mana ha.....ha...ha...” ejek Ruru dengan keras sambil berlalu ke tempat lain. Popo yang mendengarnya hanya diam saja, meski sakit hati tapi dia tidak membalas ejekan itu. Kemudian Ruru bertemu dengan segerombolan anak-anak rusa lain yang lebih muda darinya. ”Hai rusa kecil, ayo siapa yang bisa melompati dahan kering itu nanti akan aku jadikan saudaraku!”, tantang Ruru sambil menunjuk ke arah sebuah dahan pohon. “Tentu kami belum bisa, kaki-kaki kami belum mampu menjangkau dahan pohon setinggi itu”, jawab salah satu anak rusa. “Hai, waktu aku seusia kalian, aku sudah mampu melakukannya, dasar anak-anak rusa lemah”, gerutu Ruru pada anak-anak rusa itu sambil berlalu.
Setelah kejadian itu dan beberapa kejadian yang lain, akhirnya anak-anak rusa yang lain tidak pernah lagi mengajak Ruru bermain bersama seperti sebelumnya. Selain karena tidak ingin sakit hati karena ejekan-ejekan yang selalu dilontarkan Ruru, mereka juga sudah bosan mendengar cerita-cerita Ruru tentang kakinya yang lincah dan tanduknya yang indah itu. Induk Ruru mengetahui hal itu dan mencoba menasehati Ruru. ”Ruru, sudah seharusnyalah kita bersyukur dengan segala apa yang kita miliki, terutama kelebihan-kelebihan kita, namun bukan berarti kita kemudian menjadi sombong”, nasehat induk rusa. “Kenapa ibu berkata seperti itu kepada Ruru? Apa ada anak rusa lain yang mengatakan sesuatu kepada ibu? Siapa bu?”, tanya Ruru mendesak induknya. “Tidak ada Ruru, ibu hanya ingin Ruru tidak menjadi sombong sehingga dibenci teman-teman Ruru”, jawab sang induk. “Ruru tidak pernah sombong, Ruru hanya mengatakan apa adanya tentang diri Ruru Bu”, sergah Ruru. “Iya, asalkan tidak berlebihan, ingat Ruru kita di hutan ini membutuhkan rusa-rusa yang lain. Kita bisa selamat dari berbagai ancaman binatang buas karena kita saling bekerjasama, jadi kita harus selalu berperilaku baik terhadap rusa-rusa yang lain tanpa menyakiti hati mereka”, nasehatnya lagi. “Ah, Ruru mau pergi ke danau dulu Bu”, sahut Ruru sambil ngeloyor pergi tanpa memperhatikan induknya yang sedang menasehatinya.
”Ah pasti ini ulah si rusa gendut itu, atau rusa-rusa cengeng itu. Kalau bukan karena mereka, pasti aku tidak dimarahi ibuku, awas nanti kalian” gerutu Ruru. Ruru kemudian menuju bibir danau untuk mengambil air minum. Ketika tubuhnya mendekati bibir dananu dilihatnya bayangan tubuhnya yang jatuh di air, seolah-olah bercermin, Ruru memandangi bagian-bagian tubuhnya, kakinya hingga tanduknya yang semakin tumbuh indah. “Rupanya aku memang benar-benar seekor rusa yang gagah, pantas saja rusa-rusa yang lain tidak menyukai aku karena mereka merasa iri dengan kesempurnaan tubuhku ini”, kata Ruru memuji dirinya sendiri. Tanpa disadari buaya yang semenjak tadi mengintai di sisi danau kini mulai bergerak mendekati Ruru. Buaya itu ingin menggigit kaki Ruru dan menyeretnya ke dalam air. Ruru yang masih terpana dengan pantulan bayangannya di air tidak menyadari hal itu. Tiba-tiba, hap...buaya berhasil menggigit salah satu kaki depan Ruru. Ruru yang terkejut akhirnya terjatuh, dia berusaha untuk bangkit namun tidak berhasil. Ketika buaya hendak menyeret tubuhnya ke tengah danau, Ruru segera menggigit batang pohon yang tumbuh di dekat danau itu, dan bertahan agar tubuhnya tidak terseret ke tengah danau yang airnya semakin dalam.
Beberapa saat kemudian muncullah Popo, dengan serta merta dia berusaha membantu Ruru agar kakinya terlepas dari gigitan buaya dengan cara menarik batang pohon yang digigit Ruru menjauhi danau dengan harapan Ruru terseret keluar dari tepi danau, namun rupanya cara itu tidak berhasil. Sementara itu Ruru terus meronta-ronta dengan harapan agar kakinya bisa terlepas dari gigitan buaya, namun semakin meronta gigitan itu terasa semakin menguat, hingga tubuhnya mulai lemas dan rontaannya semakin lemah.
Melihat keadaan Ruru, kemudian Popo berlari ke ujung lain danau itu dan menceburkan dirinya ke danau. Ruru heran melihat perilaku temannya itu. Namun cara itu ternyata berhasil, buaya yang menggigit kaki Ruru rupanya lebih tertarik dengan Popo yang tubuhnya lebih gendut, segera saja buaya itu melepaskan gigitannya dan serta merta berenang cepat ke arah di mana Popo menceburkan tubuhnya. Namun begitu mengetahui bahwa buaya telah melepas gigitannya di kaki Ruru, maka dengan sigap pula Popo melompat keluar dari danau. Sambil berteriak keras “Ayo Ruru menjauh dari danau ini” seru Popo pada Ruru. Ruru yang masih sedikit ketakutan dengan peristiwa yang baru saja terjadi kemudian segera berlari namun dengan kaki yang terpincang-pincang karena salah satu kakinya terluka akibat gigitan buaya tadi.
Dengan terengah-engah akhirnya keduanya sampai di tempat induk Ruru, kemudian keduanya menceritakan semua yang terjadi. Induk Ruru merasa cemas sekaligus senang karena melihat anaknya telah berhasil selamat dari petaka meskipun terluka, tak lupa induk Ruru mengucapkan banyak terimakasih pada Popo yang telah baik hati menyelamatkan nyawa anaknya. Namun Ruru hanya terdiam. “Ayo Ruru, kamu juga harus mengucapkan terimakasih pada Popo”, pinta sang induk. Setelah beberapa saat, barulah Ruru berucap, “Ruru malu, sebab selama ini Ruru sering mengejek Popo karena gendut”, kata Ruru sambil menunduk. “Ah tidak apa-apa, tubuhku memang gendut, aku tidak pernah cemberut meskipun kamu sering mengejekku karena aku memang seperti ini, gendut he...he..he.... “, akhirnya mereka tertawa bersama. “Maafkan aku ya Po karena sering mengejekmu, dan terimakasih telah menyelamatkan aku, aku ingin berteman denganmu”, kata Ruru. Sang induk merasa bersyukur dengan peristiwa itu. Akhirnya semenjak saat itu Ruru mengerti maksud dari nasehat induknya, dan semenjak saat itu Ruru menjadi lebih ramah dan tidak sombong terhadap anak-anak rusa yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar