Rabu, 09 Januari 2013

legenda telaga bidadari




Dahulu kala di bumi Kalimantan yang hijau, hiduplah seorang pemuda yang tampan dan sangat pandai meniup suling. Awang Sukma namanya. Selain berwajah tampan, Awang Sukma belumlah menemukan pujaan hatinya. Oleh karena itu dia meniup sulingnya setiap hari. Nyanyian yang dihasilkan dari tiupan sulingnya sangatlah indah dan mampu menyentuh hati setiap orang yang mendengarkannya.
Pada suatu hari Awang Sukma hendak memanen burung yang terperangkap pada  getah pohon limau yang sedang berbunga. Sebelumnya dia telah memasak getah pohon lalu menempelkannya pada suluh-suluh bambu yang disebut pulut. Pulut itu lalu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika ada burung yang hinggap, mereka akan terjebak di dalam pulut tersebut. Semakin burung itu berontak, maka semakin kuat getah yang menempel padanya hingga burung-burung akan jatuh ke tanah bersama dengan pulutnya. Karena kebiasaannya inilah, maka Awang Sukma dijuluki Datu Pulut dan Datu Suling.
Setelah kelelahan memanen burung-burung, Awang Sukma berisitirahat dan meniup sulingnya untuk melepas lelah. Terpana akan keindahan lagu yang dia hasilkan dan semilir angin lembut yang bagaikan buaian, Awang Sukma pun tertidur. Entah berapa lama dia tertidur, sayup-sayup dia dibangunkan oleh kepakan sayap yang diikuti oleh suara cekikikan dan canda tawa.
Sambil mengusap-usap matanya Awang Sukma berkata “Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.” Ternyata suara yang dia dengar adalah suara tujuh putri cantik yang terbang menuju telaga. Karena hatinya penasaran, Awang Sukma mengikuti ke arah manakah mereka terbang sambil sembunyi-sembunyi.

para bidadari yang cantik
“Alangkah cantiknya mereka.” Gumam Awang Sukma dalam hati. Lalu matanya tertambat pada pakaian yang tergeletak begitu saja di samping kakinya. Tanpa sepengetahuan para putri, Awang Sukma mengambil salah satu pakaian mereka dan menyembunyikannya di dalam bumbung untuk memasang lemang. Bumbung itu dia sembunyikan dengan rapi di dalam lumbung penyimpanan padi.
Sementara itu, para putri yang telah selesai mandi bergegas untuk kembali ke kahyangan. Akan tetapi alangkah kesalnya ketika salah satu dari mereka tidak menemukan pakaiannya.
“Apa yang terjadi, Putri Bungsu?” Tanya salah seorang kakaknya. Ternyata pakaian yang diambil oleh Awang Sukma adalah pakaian milik Putri Bungsu yang paling cantik diantara ketujuh putri.
Sambil menangis terisak, Putri Bungsu menceritakan apa yang dialaminya. “Ada yang mengambil pakaianku, Kakak. Kini aku tidak bisa pulang ke kahyangan.” Kakak-kakaknya sangat sedih mendengar hal itu. Namun apa boleh dikata, mereka harus meninggalkan Putri Bungsu di sana. Ketika kakak-kakaknya telah pergi,muncullah Awang Sukma dari persembuyiannya.
“Tuan Putri, mengapa anda bersedih?” Tanya Awang Sukma dengan nada tidak bersalah. Putri Bungsu pun menceritakan kejadian yang dialaminya kepada Awang Sukma.
“Jika begitu, Tuan Putri janganlah takut dan bersedih lagi. Tinggalah bersama hamba.” Bujuk Awang Sukma. Tidak ada alasan bagi Putri Bungsu untuk menolak. Akhirnya Putri Bungsu tinggal bersama Awang Sukma dan tidak lama kemudian menjadi istrinya. Mereka dipandang sebagai pasangan yang serasi. Awang Sukma yang tampan beristrikan Putri Bungsu yang cantik jelita. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Kumalasari. Kumalasari ternyata mewarisi kecantikan ibunya.
Akan tetapi sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandainya Awang Sukma menyembunyikan kebenaran, akhirnya ketahuan juga. Ketika Awang Sukma pulang dari memanen burung, dia kelelahan dan jatuh tertidur. Istrinya turut duduk di buaian Kumalasari. Saat itu datanglah seekor ayam hitam yang mengais-ngais tempat penyimpanan padi. Melihat hal ini, Putri bungsu bermaksud mengusir ayam itu dan tanpa sengaja melihat isi dari lumbung padi. Alangkah terkejutnya dia melihat apa yang ada di dalamnya.
“Ternyata suamiku sendiri yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang kembali ke kahyangan.” Ucapnya sambil mendekap erat pakaian itu. “Karena pakaianku sudah ditemukan, maka aku harus kembali ke kahyangan sekarang.”
Dipeluknya Kumalasari dan diciumnya berulang kali. Walaupun Putri Bungsu sangat mencintai anaknya, mereka harus berpisah. Tangisan Kumalasari pun akhirnya membangunkan tidur Awang Sukma.
“Adinda, hendak kemanakah dirimu? Maafkan aku yang telah membohongimu selama ini.” Ucap Awang Sukma.
“Maafkan aku, Kakanda. Aku harus kembali ke kahyangan. Kakanda, peliharalah putri kita Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kakanda ambillah tujuh biji kemiri dan masukkan ke dalam bakul. Lantas bakul itu Kakanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu dengan suling Kakanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Sang Putri pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakan oleh Awang Sukma. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya. Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar