Selasa, 08 Januari 2013

putri labu

Pada zaman dahulu di sebuah kampung, hiduplah seorang kakek dan seorang nenek yang tidak dikaruniai seorang anak pun.
Suatu hari, ketika Nenek mencuci pakaian di sungai, dari arah hulu mengalir sebuah labu yang sangat besar.
"Wow! Betapa besarnya labu itu!"
Kemudian Nenek memungutnya, dan membawanya pulang ke rumah untuk diperlihatkan kepada Kakek.

"Wah, tampaknya labu ini enak sekali, Nek! Ayo, segera kita santap."
Nenek meletakkan buah labu di atas papan pemotong, dan membelahnya menjadi dua. Tetapi, dari dalam buah labu tersebut keluar seorang bayi mungil yang sangat cantik dan lucu.
"Wah, ajaib! Anak ini pasti diperuntukkan bagi kita dari Sang Dewata, ya."
"Benar. Kita harus membesarkannya dengan penuh kasih sayang."



Kakek dan Nenek sangat gembira menerima kehadiran bayi tersebut. Mereka menamainya Putri Labu, dan membesarkannya dengan sangat hati-hati serta punuh kasih sayang.

Putri Labu tumuh menjadi gadis yang sangat cantik. Mendengar kabar tentang kecantikan Putri Labu, seorang pemuda dari keluarga terkaya di desa itu menemui Kakek dan Nenek,
"Izinkanlah dia menjadi istriku."
Dengan perasaan gembira, Kakek dan Nenek berkata,
"Itu merupakan suatu kehormatan."
Keesokan harinya Kakek dan Nenek berangkat ke kota untuk membeli kimono bagi putrinya.


Sebelum pergi, Nenek berkata kepada Putri Labu,
"Putri Labu, kamu tinggal saja di rumah, ya. Kalau si pembangkang datang ke sini, jangan bukakan pintu rumah untuk dia."
"Si pembangkang itu siapa, Nek?"
Kemudian Kakek berkata,
"Si pembangkang itu adalah anak jin yang nakal, kerjanya hanya menentang semua apa yang dikatakan manusia."
"Saat kita makan makanan yang enak, dia bilang tidak enak. Saat melihat sesuatu yang bersih, dia bilang kotor."
"Pokoknya, apa pun yang dikatakannya selalu bertentangan dengan manusia."
"Wah, menarik, ya."

"Tidak! Si pembangkang itu sangat suka memperdaya manusia."
Nenek pun memberi peringatan,
"Hari ini jangan pergi keluar rumah! Menenun saja di rumah. Siapa pun yang datang, jangan izinkan masuk ke dalam rumah."
"Baik, Nek. Selamat jalan."
Begitu Kakek dan Nenek berangkat meninggalkan rumah, Putri Labu menenun dengan sungguh-sungguh. Dengan suara yang nyaring dan merdu, Putri Labu bernyanyi sambil menenun kain.

Tidak berapa lama kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu.
Tok tok tok...
"Oh, siapa gerangan yang datang itu?"
Putri Labu mengintip dari celah pintu. Tampak seorang anak jin yang memiliki tanduk di atas kepalanya sedang berdiri di depan pintu.
"Wah, ini anak jin yang tadi dikatakan Kakek..."
Si pembangkang bermaksud memperdayai Putri Labu. Ia sengaja datang saat Kakek dan Nenek tidak ada di rumah. Putri Labu menutup pintu rumahnya rapat-rapat.
"Putri Labu, bukankah kau seharusnya membukakan pintu untukku?"
"Tidak! Aku sudah diberitahu oleh Kakek dan Nenek, tidak boleh ada yang masuk ke dalam rumah ini."


"Kalau begitu, kita main di luar rumah saja. Aku akan mengambilkan buah kesemek yang manis-manis untukmu."
Si pembangkang membujuk Putri Labu dengan suara yang ramah dan menyenangkan, sehinggka Putri Labu pun ingin keluar.
"Bukakan sedikit saja!"
Akhirnya Putri Labu membukakan pintu rumahnya sedikit. Dalam sekejap mata, si pembangkang membuka pintu dengan paksa, dan menyelinap ke dalam rumah.
"Halo, Putri Labu. Kenapa wajahmu jelek begitu?"
"Oh, kamu jahat!"
Putri Labu menangis mendengar ejekan-ejekan yang dilontarkan si pembangkang. Seperti biasa, si pembangkang berkata hal yang sebaliknya.

Kemudian si pembangkang menarik tangan Putri Labu dan menuntunnya keluar rumah.
"Ayo ktia petik buah kesemek. Kita ambil yang banyak, lalu kita berikan kepada Kakek dan Nenek, tentu mereka akan senang."
"Wah, betul juga, ya. Ayo, ayo!"
Putri Labu pergi meninggalkan rumahnya bersama si pembangkang. Pada dahan-dahan pohon kesemek itu bergantungan banyak buah kesemek yang matang. Si pembangkang segera naik ke atas pohon, lalu memetik buah kesemek dan memakannya sendiri dengan lahap.
"Ah... rasanya masam. Tidak enak, ah."
Padahal buah kesemek itu rasanya manis. Dia sengaja berkata demikian dan Putri Labu tidak menyadarinya.

"Tolong ambilkan satu buah untukku!"
Putri Labu meminta pada si pembangkang.
Si pembangkang melemparkan satu buah kesemek yang hijau, keras, dan belum matang kepasa Putri Labu.
"Nih, ambillah buah kesemek yang menis dan enak ini!"
Buah kesemek yang dilemparkan itu tepat mengenai kepala Putri Labu.
"Aduh!"
Putri Labu jatuh ke tanah dan tidak sadarkan diri.
"Hi hi hi. Kena kau! Baiklah, aku akan ke rumah tadi dan berubah wujud menjadi Putri Labu untuk memperdayai Kakek dan Nenek..."
Si pembangkang mengikat Putri Labu dengan ikat pinggang kimono gadis itu, dan menggantungnya di pohon. Kemudian dengan bergegas ia kembali ke rumah Putri Labu.


"Wah, aku harus cepat-cepat nih!"
Setibanya di rumah Putri Labu, ia mengubah wujud menjadi Putri Labu dan kembali menenun kain. Kakek dan Nenek yang berangkat ke kota telah pulang kembali ke rumah.
"Nah, Putri Labu, pakailah kimono pengantin ini. Lalu kita tunggu tandu penjemput."
"Wow, indahnay kimono ini. Aku dangat senang."
Si pembangkang mengenakan kimono yang dibelikan Kakek dan Nenek, lalu naik tandu. Akhirnya sampailah mereka di persimpangan jalan.
"Kalau pergi ke arah kiri, pasti lwat di depan phon tempat Putri Labu diikat. Kalau begitu, harus lewat jalan yang kanan", kata si pembangkang dalam hati.
Tetapi, si pembangkang selalu mengatakan hal yang berlawanan dengan yang sebenarnya. Maka dari itu ia mengatakan,
"Tolong lewat jalan yang kiri."


Mereka pergi ke jalan yang kiri. Tidak lama, terlihat Putri Labu terikat di pohon menangis tersedu-sedu.
"Lho, di sana ada Putri Labu. Apa yang sebenarnya sudah terjadi?"
Putri Labu yagn asli melihat Kakek dan si pembangkang dalam tandu. Ia pun berterika sekuat tenaga.
"Aku diikat di pohon ini oleh si pembangkang! Gadis dalam tandu itu sebenarnya si pembangkang yang menyamar menjadi diriku!"


Kemudian dengan tergesa-gesa di pembangkang turun dari tandu dan melarikan diri. Kakek sangat marah.
"Hei! Dasar pembangkang! Kamu selalu saja berkelakuan buruk!!"
"Waaaa, maafkan aku, Kek!"
Si pembangkan hendak dihukum oleh Kakek, namun ia melarikan diri sambil menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar