Sabtu, 16 November 2013

Cerpen - There’s a Rainbow Always After The Rain

00:23 Handphone ku bergetar… ternyata dia,
Dalam keadaan sedikit tidak sadar, rasa itu muncul kembali membuatku terpaksa menerima panggilan telepon itu, terdengar suara sedikit serak yang sangat akrab ditelingaku dari ujung sana, “ngapain…?” ucapnya, pertanyaan bodoh itu lagi yang dilontarkan, namun tetap mengundang senyumku.
Panggilan telepon itu hanya berlangsung selama 21 menit, cukup singkat memang… bahkan terasa kurang, tapi tetap bersyukur karena dia masih bersedia untuk menghubungiku,
Ditengah malam yang sunyi, suara sedikit serak itu telang hilang, yang tampak hanyalah kegelapan yang kian sepi, namun mata ini masih saja terjaga, seakan-akan ingin kembali memandangnya, telinga ini masih mencari-cari suaranya seakan belum puas mendengarkannya, dan mulut itu masih bergeming ingin terus berbicara dengannya, entah apa yang membuatku begitu menggilainya.
Cerpen There's a Rainbow Always After The Rain
Sapaannya tidak seramah orang lain, ucapannya tidak semanis orang lain, dan sikapnya tidak sebaik orang lain. Siapa lelaki ini…? Apa bagusnya…? Apa yang dia punya…? dia tidak lebih tampan dari yang lainnya, Dia tidak lebih kaya dari yang lainnya, bahkan dia tidak lebih baik dari yang lainnya… semua masih saja berkecamuk dalam otakku, masih menjadi misteri yang sampai saat ini belum diketahui apa jawabannya, tapi rasa ini… rasa yang telah ada sejak 6 tahun yang lalu, tidak sedikitpun berkurang kepadanya, kepada dia yang tidak lebih istimewa dari yang lain.
Panggilan 21 menit itu masih menyisakan tangis, sampai kapan harus terus seperti ini “diam seperti bayangan” atau “hilang menjadi gelembung tertiup angin lalu pecah terkena sinar matahari”.
Hanya kepadanya ku titipkan rasa ini, ku percayakan sepenuhnya untuk dinikmati dan ku relakan untuk terus disakiti. tapi biarkan rasa ini juga menjadi milikku, biarkan cinta ini menjadi bebanku, meski menjadi penghambat jalanku, bahkan aku pun tahu mencintaimu adalah tak pasti.
Ketahuilah, disini… di dalam kegelapan kamar ini, ada seorang wanita yang setia menantimu, tidak pernah berhenti menangisimu namun selalu berusaha tegar dihadapanmu, seseorang yang selalu bersedia menerima kamu apa adanya, bagaimanapun buruknya kamu, bagaimanapun kisah hidupmu, dan bagaimanapun kamu menyakitinya.
Aku duduk tersudut meratapi kisah cinta yang begitu pahit, kisah cinta yang hanya tinggal kenangan, kenangan yang sangat indah, kenangan antara kau dan aku.
Adanya tulisan ini… jangan kamu anggap bahwa dia sedang mengiba kepadamu, atau meminta belas kasihan kepadamu,
tapi… tulisan ini ada karena dia ingin kamu tau bagaimana kamu menginspirasi hidupnya, bagaimana kamu berperan bagi hidupnya, dan bagaimana kamu menjadi motivasi terbesar dalam hidupnya.
meskipun dia tau, bagi kamu wanita ini hanya sebagian kecil dari kisah masa lalumu yang hanya akan membuang waktumu saja jika terus dikenang.. namun walaupun demikian, biarlah wanita ini tetap setia untuk menantimu karena dia tau
“Akan Ada Pelangi Setelah Turun Hujan”.
Cerpen Karangan: Ainin Shofiyaa

Cerpen - Burung Kertas

Pagi mendung dengan milyaran rintik hujan yang turun dari langit. Sherly.. begitu ia di kenal, seorang gadis yang masih duduk dibangku kelas 12 SMA ini dikenal sebagai gadis periang dan sangat disukai teman-temannya karena keramahannya. hari ini seperti biasa Sherly memulai langkahnya dengan sebuah senyuman riang yang dibawa nya dari rumah hingga sekolah. selalu seperti ini senyum yang merekah dari bibir nya mampu membuat semua mata menjadi tertuju padanya, tidak lain dengan Dimas.. lelaki yang selama ini menemai hari-hari Sherly, ya. Dimas adalah kekasih Sherly. sudah hampir bertahun-tahun mereka menjalani kisah cinta nya di SMA. berawal dari sebuah MOS mereka berkenalan hingga akhirnya memutuskan untuk berpacaran.
Hari berganti hari, detak jam pun mulai berpindah tempat.. setiap hari selalu ada kisah manis diantara mereka berdua. tak pernah sedikitpun waktu yang dilewati mereka begitu saja, pasti selalu ada yang bermakna.. mulai dari Dimas yang selalu mengucapakan “Selamat pagi, Cinta” kepada Sherly, sampai Sherly yang rutin setiap pagi nya mengantarkan sebuah nasi goreng dengan bentuk “love” sebagai sarapan Dimas. tak pernah satu hal pun mereka lewati dengan kesedihan. hidup mereka seakan sempurna dan berwarna.
Singkat cerita.. kelulusan sudah didepan mata, Sherly dan Dimas lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.. Sherly melanjutkan kuliahnya di kedokteran. namun lain hal nya dengan Dimas, Dimas yang notabene hanya seorang anak tukang becak harus rela melalui hari-hari nya tanpa meneruskan sekolah dijenjang yang lebih tinggi lagi. semua itu tidak merubah perasaan antara mereka. tetap ada cinta di sela-sela keseibukan mereka masing-masing.. sudah lama hubungan mereka berjalan. satu sama lain pun saling mengenali masing-masing sifat dan sikap nya. hampir tidak ada pengecualian untuk mereka berdua..
Hingga akhirnya..
Pada suatu hari… tepat satu bulan sebelum ulangtahun Sherly, Dimas menyiapkan sebuah hadiah untuk ulang tahun kekasihnya itu.. Dimas membuat banyak burung-burung yang terbuat dari kertas origami. hampir ratusan burung yang sudah dibuat Dimas untuk hadiah ulangtahun Sherly. dan kebetulan pada saat yang bersamaan, Dimas juga merencakanan sebuah kejutan untuk melamar Sherly. tanpa Sherly ketahui.. ternyata semua ini sudah dirangkai indah oleh Dimas.
24 November 2012, tepat ulangtahun Sherly hari ini, Dimas sudah menyiapkan kue ulang tahun beserta lilinya dan sebuah kotak yang berisikan ratusan burung-burung kertas yang disetiap burung terdapat keinginan Dimas untuk dapat hidup bersama Sherly hingga akhir hayatnya. tak lupa sebuah cincin yang sudah disiapkan Dimas untuk meramal Sherly dihari ulangtahunnya. Dimas sangat antusias pada hari itu. sangat bersemanat untuk menyambut ulang tahun kekasih hati nya ini.. hingga akhirnya sebuah kejadian yang tidak pernah dibayangkan oleh Dimas pun terjadi..
Dimas
Happy Birthday, Sayaaaanggg!
(sambil memberikan kue dan lilin pada Sherly)
Sherly
(terdiam dan hanya senyum)
Waaahh.. Dim… ya ampun.. makasih bangettttt!
(memeluk Dimas dan meniup kue ulangtahun)
keadaan saat ini sangat berkesan bagi Sherly dan Dimas. dan hingga akhirnya Dimas mengeluarkan kotak berisi burung-burung kertas dan sebuah kotak yang berisikan cincin..
Dimas
Ini buat kamu..
(memberikan kotak)
isi nya nggak seberapa kok, cuma kertas-kertas yang aku rangkai jadi burung, tapi disetiap burung itu ada harapan-harapan untuk hubungan kita lho.. smoga kamu suka ya sayang..
Sherly
(membuka kotak)
Dim… kamu selalu penuh kejutan. makasih bangett! aku suka banget sama burung-burung ini, Lucu..
Dimas
ada hadiah satu lagi buat kamu nihh..
(berlutut dan membuka kotak cincin)
Sherly bingung.. ada kejadian aneh disini. ternyata Dimas melamar Sherly hari itu juga. namun.. namun.. Sherly tidak dapat menerima lamaran Dimas waktu itu.
Sherly
Ini maksud nya apa?…
Dimas
ini tanda keseriusan aku sama kamu, Sher.. aku mau kamu jadi pendamping aku sampai kapanpun.
Sherly
Dim.. kamu nggak ngerti.. aku.. aku gak bisa, Dim. aku gak bisa terima ini.
Dimas
Kenapaaa?.. bukannya kita udah ngerencanain ini dari lama?
Sherly
kamu nggak tau masalahnya dan kamu nggak ngerti.. aku gak bisa! orangtua aku nggak setuju kalau aku sama kamu.
Dimas
lhoo? kenapa?
Sherly
karena kamu gak punya pekerjaan.
Hening… omongan Sherly bagai sebuah meteor yang jatuh menimpa wajah Dimas. Dimas marah besar dan mengucapkan kata-kata diluar kesadarannya..
Dimas
cuma karena itu? dasar cewek matre! keluarga matre! harusnya aku emang nggak bilang kayak gini. anggap kita gak pernah kenal! suatu saat aku akan jadi orang terpandang. lihat nanti!
Dimas pergi meninggalkan Sherly. dan Sherly hanya bisa terdiam dan menangis.
Hampir enam bulan Sherly tidak memberikan kabar untuk Dimas. Dimas seakan-akan sudah tidak mengenali dan mengetahui kabar tentang Sherly. keadaan Dimas kini berubah. ia sudah sukses.. siapa yang tak kenal Dimas? seluruh pelosok desa pun tahu siapa “Dimas”..
Sore harinya, saat Dimas mengendarai sebuah mobil, tiba-tiba ia bertemu dengan Ibu Sherly. niat buruk Dimas mulai keluar, ia ingin menabrak Ibu Sherly untuk balas dendam.. namun hati kecil nya menahan.. dan akhirnya Dimas pun malah mengikuti kemana Ibu Sherly pergi. dan ternyata Ibu Sherly mendatangi sebuah makam.. disebuah makam itu Dimas merasakan hal aneh..
Dimas
Ibu.. maaf.. Dimas lancang ngikutin Ibu sampe sini.. itu makam siapa, Bu?
Ibu Sherly
ya ampun Dimas. kamu kemana aja? ini… ini.. ini makam Sherly..
Dimas
(Teriam dan termenung)
Bohong…
Ibu Sherly
Dimas.. Ibu gak bohong. semenjak kamu pergi ninggalin Sherly hari itu penyakit Sherly semakin parah, kanker tulang belakangnya yang selama ini disembunyikan dari orang-orang dan terutama kamu semakin memburuk. sudah hampir dua bulan ini Sherly meninggal dunia. ini Sherly sempet titip surat ke kamu
(memberikan surat pada Dimas)
Dimas kaget mendengar itu, ia tetap tidak percaya bila makam itu adalah makam Sherly. hingga akhirnya ia membaca surat dari Sherly..
Dear Dimas..
Dimas.. mungkin saat kamu baca surat ini nanti aku udah nggak bisa ada dideket kamu lagi. maafin aku, Dimas.. bukan karena orang tua aku gak setuju dengan hubungan kita,tapi karena aku sakit, Dim.. aku nggak mau kalau nanti akhirnya hanya jadi beban untuk kamu. jangan pernah lupai aku ya.. aku selalu ada dan aku selalu hidup dihati kamu.
dari aku yang mencintaimu, Sherly.
Cerpen Karangan: Syahrima

Cerpen - Segi Empat

Mereka adalah 5 sahabat. 5 sahabat yang tak terpisahkan dari SMP sampai sekarang sudah lulus kuliah. Mereka terdiri dari Revand, Fadil, Johan, Mutiara dan Shasa. Kemana-mana, mereka selalu bersama-sama. Jalan bareng sudah menjadi ritual wajib mereka di malam Minggu.
Suatu malam Minggu, mereka tak ada niat untuk jalan-jalan. Mereka lebih memilih untuk pergi ke rumah Fadil yang besar. Nonton DVD, main playstation dan ngobrol-ngobrol sampai larut malam. Mereka semua tertawa ceria. Tapi, ada satu orang yang diperhatikan Mutiara. Dia lah Fadil. Kenapa? Entah. Mutiara sendiri bingung kenapa. Dia hanya senang saja melihat Fadil. Senang melihat dia gembira seperti itu. Dan alasan Mutiara bergabung dengan kelompok ini adalah, ingin berdekatan dengan Fadil.
“Guys, bosen nih.” kata Johan. “Iya, dari tadi kita ngobrol terus.” kata Revand. “Gimana kalo kita bikin games. Kita ceritain pengalaman kita paling sedih. Yang menang, dapat sebagian jatah makan kita malam ini.” kata Fadil. “Setuju!” teriak Shasa. “Gimana? Semua setuju?” tanya Fadil. Yang lain mengangguk. Aku akan setuju apapun yang kamu katakan, Dil, batin Mutiara berkata. Dan cerita mereka pun dimulai.
Semua sudah cerita. Sekarang tiba giliran Shasa. “Cerita aku ini, cerita cinta. Aku jatuh cinta, sama seorang pria yang udah deket banget sama gua, bertahun-tahun. Bertahun sudah aku memendam rasa ke dia, sejak pertama kita berdua bertemu. Tapi, sepertinya pria ini tidak pernah tahu. Aku sudah berusaha untuk menghilangkan perasaan ini, namun tidak bisa. Semakin aku berusaha, semakin kuat. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk menyerah, dan menunggu dia peka.” ujar Shasa. Semua larut dalam cerita sedih Shasa. “Baik, diputuskan cerita paling sedih malam ini adalah cerita dari…” kata Fadhil. “Shasa!” teriak mereka bersamaan. Dan Shasa mendapatkan 5 bungkus snack sebagai hadiah mereka.
Sepulangnya dari rumah Fadhil, Johan dan Revand sedang beristirahat di kamar kos mereka. Johan menatap Revand dan berkata “Mau sampai kapan, Vand? Kamu memendam rasa itu ke dia?” tanya Johan. “Enggak tahu lah, Jo. Saya… terlalu pengecut.” ujar Revand. “Kamu enggak boleh begitu! Aku kenal kamu dan dia sudah lama, sudah bertahun-tahun! Aku yakin, dia akan menerima kamu. Percaya deh!” ujar Johan. Revand hanya terdiam, membayangkan itu benar-benar terjadi.
Sahabat-sahabatnya sudah pulang. Tinggal Fadhil sendirian di kamarnya. Setiap kunjungan teman-temannya itu selalu menyenangkan. Apalagi, kalau ada dia. Tertawa bersama. Dan, Fadhil beranjak ke meja nya. Memandangi foto mereka berlima. Selamat malam, kamu yang di sana, batin Fadhil. Batin Fadhil mengucap, pada salah satu wanita yang ada di foto itu.
Hari Minggu pagi. Mutiara dan Shasa memutuskan untuk pergi berbelanja. Hanya mereka berdua, karena cowok-cowok tidak suka belanja. Para wanita kalau sudah belanja, seperti biasa, suka seru sendiri sampai lupa waktu.
Mereka istirahat makan siang di sebuah restoran. Tas-tas belanja mereka yang penuh mereka taruh di kursi sebelah. Sembari menunggu pesanan mereka datang, mereka ngobrol-ngobrol. Atau lebh tepatnya, curhat.
“Mut, kamu ingat kan cerita ku semalam di rumah Fadhil?” tanya Shasa. “Ingat. Memangnya, siapa sih? Kayaknya perasaan kamu ke dia dalam sekali ya?” tanya Mutiara. “Iya, Mut. Dia…” Dan Shasa menyebutkan satu nama. Mutiara terkejut. “Jadi, selama ini kamu suka sama dia? Kenapa kamu nggak bilang ke orangnya saja?” tanya Mutiara. “Enggak mungkin, Mut. Kita kan sudah deket banget, bertahun-tahun. Lagi pula, aku kan cewek. Masa iya ngomong duluan?” kata Shasa. Mutiara berkata “Sampai kapan, Sha? Kamu gak capek?” tanya Mutiara. “Dibilang capek sih, iya. Tapi, aku bisa apa?” kata Shasa. Pesanan mereka datang, dan mereka makan dalam diam.
Malam Minggu berikutnya, Johan datang ke rumah Fadhil. “Loh, yang lain kemana, Jo?” tanya Fadhil. “Revand lembur, Mutiara ke rumah saudara, Shasa ada urusan mendadak sama bosnya. Aku bete sendirian di kost-an, jadi ke sini deh. Enggak ganggu, kan?” tanya Johan. “Enggak, kok. Ayo masuk! Langsung ke kamar aku aja! Aku mau mandi dulu.” kata Fadhil. Dan Johan pun naik ke kamar Fadhil.
Johan menunggu sambil duduk-duduk di kasur, baca majalah otomotif. Lalu, dia iseng melihat-lihat meja Fadhil. Namun, perhatiannya terpaku di satu hal. Foto mereka berlima. Namun, Fadhil melingkari foto itu pada salah satu wanita di antara mereka. Johan mengerti apa arti ini semua. 2 sahabatnya, jatuh cinta pada 2 sahabatnya yang lain.
Tak lama, Fadhil masuk kamar. Dia mendapati Johan duduk di kursinya, memperhatikan foto yang sudah selama ini dia sembunyikan jika teman-temannya main ke sini. “Jo…” panggil Fadhil. Johan menoleh, buru-buru mengembalikan foto itu. “Ada apa?” tanya Johan. Fadhil berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya. “Aku suka sama dia, Jo. Sudah lama.” kata Fadhi;. “Terus, kenapa kamu enggak bilang ke dia?” tanya Johan. “Aku rasa dia enggak suka sama aku.” kata Fadhil. Johan terdiam sebentar, lalu berkata “Aku yakin dia juga suka sama kamu. Coba aja kamu usaha dulu.” dan Fadhil pun hanya mengangguk. Diam-diam, Johan mempunyai rencana untuk menyatukan cinta keempat sahabatnya ini.
Mereka bersiap dengan tas mereka. Segala barang bawaan mereka sudah siap di bagasi mobil Fadhil kecuali makanan. Mereka sadar, anakonda dalam perut mereka cepat lapar, hahaha. Hari itu, mereka akan berlibur ke villa punya keluarga Mutiara di Puncak. Ini ide Johan, yang ingin melewatkan libur panjang akhir tahun bersama sahabat-sahabatnya. “Semua sudah siap?” tanya Fadhil dari kursi pengemudi. “Siap, boss!” sahut mereka bersamaan. Fadhil duduk di belakang setir, Mutiara di sampingnya. Di belakang Fadhil duduk Johan, dekat pintu. Di tengah duduk Shasa, dan di samping kiri Shasa dudul Revand. Dan mereka pun berangkat.
Perjalanan itu sungguh menyenangkan. Seperti biasa, lelucon memenuhi perjalanan mereka. Stok makanan habis di tengah jalan, dan mereka berhenti sebentar di mini market untuk membeli makanan yang lain. Seluruh perjalanan itu benar-benar mereka nikmati. “Kamu sungguh keren duduk di belakang setir, Dhil” batin Muthiara. “Senang rasanya, bisa satu mobil denganmu. Menghabiskan waktu libur bersamamu.” batin Fadhil. “Kamu tampak keren pakai jaket cokelat itu.” batin Shasa. “Kacamata hitam itu membuatmu tampak sempurna.” batin Revand.
Mereka sampai di villa Mutiara. Villa yang sangat bagus, dilatarbelakangi pemandangan indah. “Oke, semua kamar ada di lantai 2. Sa, kamar kita yang ini. Buat kalian cowok-cowok, kamar kalian di sebelah situ.” kata Mutiara. Kamar mereka berseberangan. Dipisahkan oleh jalan menuju balkon, yang juga merupakan penghubung antara kamar mereka.
Malam Tahun Baru. Ramai-ramai mereka bakar-bakaran. Jagung, Ayam, BBQ.
Sembari menunggu jam 12, Johan membuat sebuah permainan yang dimainkan secara berpasangan. Revand dengan Mutiara dan Fadhil dengan Shasa. Permainannya mudah, mereka hanya disuruh untuk memasang peralatan kemah, lengkap dengan api unggunnya. Johan yang akan jadi juri. Yang mampu memasang peralatan kemah dengan cepat dan rapi, dia yang jadi pemenang. Buat yang kalah, harus menuruti apa yang pemenang katakan. Dan alhasil, Revand dan Mutiara harus merapikan kembali peralatan itu karena mereka kalah. Lalu, tepat saat jam 12 malam, mereka meniup terompet dan menyalakan kembang api. Malam itu mereka lewati dengan gembira.
Jam 2 malam. Shasa tak bisa tidur. Dia memutuskan untuk ke balkon. Di balkon, dia mendapati seseorang berdiri di sana. Dia Fadhil. “Hei, enggak tidur?” tanya Fadhil. “Aku enggak bisa tidur.” kata Shasa. “Sama.” kata Fadhil. Fadhil terlihat gugup. Shasa bertanya “Ada apa?”. Fadhil terlihat semakin gugup, dan akhirnya Fadhil berkata. “Sha, aku suka sama kamu.”. Shasa terkejut. Kenapa…? Dan Shasa menjawab “Terima kasih, Dhil. Tapi… bukan kamu, Dhil.” kata Shasa. Fadhil kaget. “Yang ada di sini” dia menunjuk hatinya “adalah Revand.” ujar Shasa. Fadhil tidak menyangka, tapi entah kenapa dia merasa lega. Lega karena apa yang ingin ia sampaikan akhirnya terucap.
“Tapi, Mutiara lah yang…” lanjutan kalimat Shasa membuat Fadhil terkesiap. “Mutiara…” batin Fadhil. Dan, dia merasa bersalah pada dirinya sendiri.
Tapi, ternyata bukan hanya mereka berdua saja yang terbangun. Revand terbangun, dan dia mendengar namanya di sebut oleh Shasa. “Jadi selama ini Shasa…” batin Revand. Padahal selama ini, Mutiara lah yang ada di hatinya. Dan dia sudah menyia-nyiakan orang yang mencintai dia dengan tulus. Revand bangun, menatap langit-langit kamar seolah meminta jawaban atas kejadian membingungkan ini.
Sementara di kamar seberang, Mutiara terpejam, tapi dia mendengar. Dia mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Fadhil. Dan, dia tak kuat menahan tangisnya.
Lalu, Revand dan Mutiara keluar dari kamar mereka, menuju ke balkon tempat Shasa dan Fadhil berdiri. Revand berdiri di sebelah Shasa, dan membiarkan Shasa bersandar pada bahunya. Sementara Fadhil mendekati Mutiara, dan menghapus air mata di pipinya.
Dan, 2 pasangan baru lahir, di malam Tahun Baru ini.
Cerpen Karangan: Bagas Hayujatmiko

Cerpen - But I Love You

Aku menyibak tirai kamarku lalu kubuka jendela kamarku. Aku memandang ke luar, tepatnya ke arah kamar Adin yang ada di seberang kamarku. Kami bertetangga sejak kecil. Dan.. aku menyukainya sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar.
Walau bertetangga kami tidak pernah mengobrol. Bisa dibilang aku sama sekali tidak akrab dengannya. Walaupun aku satu sekolah dengannya, tapi tetap saja.. rasanya aku tidak mampu untuk menyapanya, berhadapan dengannya.
Tirai kamar Adin masih tertutup, sepertinya dia masih terlelap. Memang sih, ini masih pagi sekali. Tapi aku sudah biasa bangun jam segini.
Ternyata dugaanku salah. Tirai kamar Adin tiba-tiba terbuka dan muncullah sosok cowok yang kukagumi selama ini. Dia memakai kaus oblong berwarna coklat, rambutnya masih berantakan dan dari ekspresi wajahnya aku tahu kalau dia masih ngantuk.
Dia menatap ke arahku sekilas. Jantungku berdebar-debar, dengan cepat kutup tirai kamarku. Bodohnya aku muncul di hadapannya dengan penampilan yang masih berantakan karena baru bangun tidur. Haah…
“Ayu..!” sapa Citra, temanku sambil menjajarkan langkahnya dengan langkahku. Saat itu kami sudah ada di sekolah.
“Hai Citra..,” jawabku sambil tersenyum padanya.
“Hai..,” balasnya, “ehm.. sebenarnya aku ingin bertanya padamu.”
“Bertanya apa?”
“Apa benar kamu tetangganya Adin?”
“Eh?” aku menghentikan langkahku, refleks. Citra seperti bingung dengan tindakanku. Ya, aku juga bingung kenapa dia menanyakan hal itu.
“Iya, memang benar. Memangnya kenapa?” jawabku sambil tersenyum hangat, walaupun sebenarnya aku sedikit curiga pada Citra. Maklum Adin sangat populer di sekolahku. Banyak cewek yang berharap jadi pacarnya, termasuk aku.
“Ahh, nggak apa kok. Aku hanya memastikan saja. Pasti kau sangat akrab dengannya ya?”
Aku tersenyum kecut. Akrab apanya? Bicara berdua saja belum pernah. Oh yang benar saja, apa kata teman-teman jika mereka tahu aku tetangga Adin tapi belum pernah mengobrol dengannya.
“Tidak terlalu,” akhirnya hanya itu kata-kata yang kukeluarkan pada Citra.
“Ohh..,” gumam Citra. Sekali lagi, aku tersenyum palsu padanya.
Ayu, kau memang menyedihkan.
“Ayuu…!!” Seru mama membangunkan aku. Aku menguap dan menggeliat di atas kasurku yang nyaman. Kutengok jam dinding doraemon yang terpasang di atas dinding. Jam 16.06 WIB.
Kurasa memang waktunya bangun.
“Ayuu..!!” Seruan mama terdengar lagi, kali ini lebih keras.
“Iyaa, sebentar maa,” balasku sambil turun dari kasur lalu membuka pintu kamarku dan menghampiri mamaku.
“Ada apa?” tanyaku saat menemukan mama yang sedang memasak di dapur.
“Itu..,” mama menunjuk sebuah tas plastik yang lumayan besar. Aku menghampiri tas plastik itu dan melihat apa yang dimaksud mama. Beberapa toples yang berisi kue kering ditumpuk dengan rapi dan diberi pita warna-warni. Aku menyerngit heran.
“Ma, untuk apa ini semua?” tanyaku.
“Ini untuk Bu Yanti..,” jawab mama. Aku mengangguk-angguk. Lalu apa hubungannya denganku?
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku persis dengan pikiranku.
“Antarkan ini ke rumahnya.”
HAAH? Maksudnya diantar ke rumah Bu Yanti, dengan kata lain ke rumah Adin?
Oh my…
“Tapi aku kan tidak kenal dengan Bu Yanti,” aku mencoba menolak.
“Makanya kenalan. Salah sendiri kau kuper, banyak yang tidak mengenalmu. Sekali-kali cobalah berbaur dan menjalin hubungan dengan orang lain. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia lainnya. Kau harus ingat itu Ayu..”
Great. Mama malah menceramahiku.
Aku hanya bisa mengangguk lesu dan menjawab. “Oke, akan kuantarkan..”
End Ayu POV
Ting Tong. Ayu memencet bel rumah Keluarga Bu Yanti. Ia menggigit bibir bawahnya dengan khawatir, berharap semoga saja Adin sedang tidak di rumah.
“Sebentar…” jawab sebuah suara dari dalam. Suara yeoja, pasti itu suara mama Adin. ‘Tapi kenapa suaranya seperti suara yeoja muda ya?’ pikir Hye Jin.
Jeglek. Tidak lama kemudian pintu terbuka. Ayu menurunkan senyumnya dan hanya bisa memasang tampang kaget.
“Citra? Kenapa kau di sini?” tanya Ayu kaget melihat Citra berada di depannya, di rumah Adin.
“Lho, memangnya tidak boleh?” jawab Citra sambil tertawa ramah, ia heran mengapa gadis di depannya ini begitu kaget.
“Masuklah..”
Ayu mengangguk dan masuk ke dalam rumah Keluarga Bu Yanti dengan ragu-ragu.
Ia melihat sekitar. Rumah Bu Yanti tidak terlalu besar, tapi sangat rapi dan mewah.
Ini pertama kalinya Ayu masuk ke dalam rumah ini.
“Duduk di sini..,” Citra mempersilahkan, seolah dia adalah empunya rumah.
“Kau pasti ingin bertemu Adin ya? Aku panggilkan dulu..,” Citra melangkah pergi.
“Bukan! Aku bukan ingin bertemu Adin..,” cegah Ayu buru-buru. Citra menoleh dan menatap temannya dengan bingung.
“Lalu kau ingin ketemu siapa?” tanyanya.
“Aku ingin bertemu Bu Yanti, mamanya Adin. Apa dia ada?”
“Dia sedang arisan. Sebaiknya bertemu Adin saja..”
“Eh?” Ayu ingin mencegah tapi Citra keburu menghilang dari pandangan. Ia menaiki tangga. Ayu dapat mendengar suara Citra yang bmemanggil-manggil nama Adin.
‘Tamatlah aku…’ pikir gadis itu.
Tidak lama kemudian Adin terlihat dari balik tembok. Cowok itu berbelok ke ruang tamu dan melihat Ayu sedang duduk sambil tertunduk.
‘Itu dia..,’ pikir Ayu sambil melirik Adin dengan ekor matanya, ‘Bagaimana ini?’
“Ada perlu apa?” tanya Adin semakin mendekati Ayu.
Namun Ayu tidak juga menjawab atau melihat Adin. Ia masih menundukkan kepalanya.
“Hei, kamu nggak kenapa-napa?” tanya Adin yang mulai khawatir.
Ayu mendongakkan kepalanya perlahan, ia mencoba tersenyum melihat Adin yang berdiri di samping Citra.
“Ng-nggak papa kok…,” jawabnya.
“Aku hanya ingin mengantarkan ini..,” ia menyerahkan tas plastik yang berisi kue-kue kering buatan mamanya pada Adin.
“Ini dari mamaku..,” katanya lagi.
“Ah, makasih ya..,” ucap Adin sambil tersenyum hangat, membuat Ayu seakan terbang dan tidak menginjak tanah lagi.
“S-sama-sama..”
“Yu, kamu kenapa? Kok berkeringat banget?” tanya Citra khawatir.
“Gak papa kok. Ng.. ngomong-ngomong apa kalian pacaran?” tanya Ayu. Gadis itu hendak menampar bibirnya sendiri karena pertanyaan lancang yang tiba-tiba keluar dari mulutnya. ‘Duh Ayu, kamu bodoh sekali..’ makinya dalam hati.
Citra tersenyum malu. Tiba-tiba Adin melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Citra.
“Kenapa kamu bisa tahu? Kelihatan ya?” kata Adin, sukses membuat semua tulang-tulang Ayu seakan patah.
“Ng.. i-iya..,” jawab Ayu dengan gugup, “kalian serasi kok.. Semoga langgeng ya..,” katanya sambil tersenyum dan mengambil sweaternya di atas sofa.
“Aku pamit dulu. Daah..”
“Daah. Makasih ya, Yu..,” ucap Citra dan Adin hampir bersamaan.
Ayu tersenyum dan berbalik. Meninggalkan mereka berdua.
Ayu menutup pintu rumah Adin dengan pelan, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh dengan deras, membasahi pipinya yang putih. Ia tidak menyangka rasanya akan sesakit ini.
Mengetahui bahwa sekarang Adin milik cewek lain. Dan cewek itu adalah teman sekelasnya sendiri. Sakit.
Ayu mencoba untuk kuat. Ia bertekad tidak akan menangis seperti gadis cengeng. Ia harus tabah dan menerima dengan lapang dada. Lagipula Adin bukanlah satu-satunya cowok di bumi ini.
Pagi itu Ayu bersekolah, seperti biasa. Ia baru saja selesai dari kelas bimbel ketika melihat Citra dan Adin berangkulan mesra di pojokan kelas yang tidak jauh dari toilet.
Ayu memejamkan matanya, berusaha kuat melihat adegan yang sangat menyiksa hatinya itu.
Ia berbalik dan berjalan hendak meninggalkan mereka.
“Ayuu..!” tiba-tiba Citra berseru memanggil Ayu.
Ayu menoleh dan tersenyum melihat mereka.
Citra menggerakkan tangan kanannya, seolah meminta Ayu untuk mendekat.
Gadis itu pun menghampiri mereka.
“Yu, apa kamu nggak ada kegiatan malam ini?” tanya Citra dengan senyum riang, seperti biasa.
“Nggak. Memanya kenapa Cit?”
“Ah, kami ingin mengajakmu jalan-jalan..”
“Hah, aku?” tanya Ayu kaget sambil menunjuk dirinya sendiri, memastikan Citra tidak salah orang.
“Ya iyalah, memangnya siapa lagi,” jawab Citra sedikit memanyunkan bibir. Ia berdiri dan merangkul Ayu. “Karena kau orang pertama yang berhasil tahu kalau kami pacaran, maka kami ingin mengajakmu jalan-jalan bersama. Lagipula kita teman sekelas. Kau tidak keberatan kan?”
Ayu tersenyum, tapi sebenarnya di dalam hati ia menangis. Ia bingung harus apa.
Menanggapi ajakan Citra bukankah semakin menyakiti hatinya? Tapi kalau menolaknya.. Citra pasti sedih.
“Ng.. bagaimana ya?” Ayu menimbang-nimbang.
“Ahh, ayolaah… temani kami. Ya? Ya?” rayu Citra. Ia mengeluarkan jurus imut dan puppy eyes nya. Membuat Ayu semakin tidak tega.
“Baiklah, baiklah..,” jawab Ayu pada akhirnya.
“Horee!” seru Citra sambil langsung memeluk temannya itu, “kami akan menjemputmu jam 4 sore nanti yaa.”
Ayu memandang pantulan dirinya di cermin. Ia sudah mengenakan salah satu baju keberuntungannya dan merias dirinya agar tidak kelihatan kalau habis menangis.
“Mungkin ini yang terbaik…,” gumamnya pada diri sendiri. “Seharusnya aku bisa menerima kalau Adin tidak akan bersamaku. Aku kan tidak pantas untuknya..”
“Ayuu..!” terdengar suara mama memanggil anaknya, “teman-temanmu datang.”
“Itu pasti mereka,” gumam Ayu. “Sebentar maa..,” jawabnya sambil meraih tas kecilnya dan bergegas turun.
Adin dan Citra sudah menunggu Ayu di ruang tamu.
“Aah, aku senang kau ikut..!” seru Citra yang periang sambil memeluk Ayu. Ayu membalas pelukan Citra.
“Aku nggak mungkin melewatkannya, hehe..,” jawab Ayu sambil pura-pura riang.
“Kalau gitu kita berangkat sekarang?” tawar Adin.
Citra mengangguk, “ayo!”
Ayu berdecak kagum melihat sebuah taman hiburan besar yang baru dibangun. Kini ia, Citra dan Adin ada di dalamnya dan siap menyerbu wahana-wahana permainan yang sepertinya sangat seru itu.
“Bagus banget..,” gumam Citra, mimik wajahnya menunjukkan bahwa gadis itu benar-benar terpesona. Adin hanya tertawa geli dan memberantaki rambut pacarnya itu.
“Heh, Adin! aku susah-susah menatanya tau..,” protes Citra tidak terima. Ia segera mengambil sisir dari tasnya dan merapikan rambutnya.
“Ayo, kita naiki semua wahana yang ada di sini. Mumpung masih jam setengah 5,” ajak Adin sambil berlari-lari menuju wahana kapal naga.
Cowok itu menggilai game, tidak heran kalau dia juga menggilai permainan-permainan yang ada di taman hiburan ini.
“Aku nggak mau di pinggir, kalau di pinggir pasti menakutkan. Aku mau di pojok kanan..,” rengek Citra ketika mereka bertiga menentukan tempat duduk.
“Iya.. aku yang di pinggir. Ayu di tengah..” Adin mengalah. Citra tersenyum senang dan segera mengambil tempat duduk yang paling pojok.
Ayu duduk di tengah-tengah Adin dan Citra.
Sebenarnya Ayu tidak suka permainan ini. Jujur saja, permainan ini benar-benar membuatnya takut. Tapi ia tidak bisa menolak ajakan Citra dan Adin yang keliahatannya begitu bersemangat. ‘Citra kelihatan sangat senang, aku nggak bisa menolaknya..’ pikir Ayu.
Ayu menutup matanya dengan rapat bahkan ketika wahana belum dijalankan. Belum mulai saja sudah deg-degan begini..
Greek, tiba-tiba terdengar suara dari bawah, menandakan kalau kapal naga itu sudah mulai bergerak.
Ayu ingin sekali memeluk lututnya, tapi tidak mungkin karena badannya sudah dipasangi sabuk pengaman. Pasti akan susah sekali kalau ingin mengangkat kakinya ke atas.
Kapal naga itu berayun ke depan sampai-sampai Ayu bisa melihat langit yang begitu biru tua. Beberapa bintang sudah muncul. Ayu sempat mengagumi maha karya Tuhan yang begitu indah itu. Tapi tidak lama karena kapal naga itu berayun mundur, membuat Ayu tersentak dan takut.
‘Nggak boleh, nggak boleh takut!’ Ayu membentak dirinya sendiri, tapi percuma, tidak mempan. Ia masih ketakutan, bahkan ia merasa akan jatuh.
“KYAAA~” terdengar teriakan dari orang-orang yang menaiki wahana kapal naga, termasuk Ayu.
Ayu semakin panik. Ia melirik ke arah Citra, gadis itu berteriak, tapi kesenangan tergambar jelas di wajahnya. Lalu Ayu melirik Adin, cowok itu biasa-biasa saja. Hanya sedikit tertawa geli jika kapal naga berayun dengan cepat.
Tanpa sadar Ayu memeluk lengan Adin erat. Ia memejamkan mata dan hanya bisa berdoa dalam hati agar permainan ini cepat berakhir.
Ayu melepaskan tangan Adin dengan cepat begitu menyadari dirinya tengah memeluk lengan cowok itu.
“S-sori, Din..,” ucap Ayu gugup.
“Minta maaf buat apa?” tanya Adin tidak mengerti. Ah, rupanya cowok ini nggak menyadari kalau lengannya dipeluk. Ayu segera menggeleng cepat.
Ayu melirik Citra, takut kalau cewek itu salah sangka dengannya. Tapi Citra sepertinya tidak sadar dan masih asyik menikmati permainan kapal naga.
Adin, Citra, dan Ayu sekarang sedang makan malam di food court. Keadaan berubah menjadi dingin. Mungkin karena mereka lelah bermain banyak permainan.
“Hei, aku ke toilet dulu ya..,” ujar Citra. Adin dan Ayu hanya tersenyum sambil mengangguk. Citra berdiri dan melangkah pergi menuju toilet.
Suasana benar-benar canggung sekarang. Ayu hanya mengaduk-aduk minumannya dan Adin sibuk mengetuk-ngetuk garpunya di atas meja.
“A-Adin…,” panggil Ayu, “sebenarnya tadi.. waktu di kapal naga, aku tidak sengaja memeluk lenganmu. Sori, so-soalnya aku.. memang takut dengan permainan itu. Maaf ya..”
Adin tersenyum hangat, “Gak papa, sebenernya aku udah tahu. Aku mengerti kok. Kalau kamu memang takut kenapa nggak menolaknya tadi?”
“Kulihat Citra sangat senang, jadi nggak ada salahnya aku mencoba..”
Adin tersenyum lagi, “Makasih ya, Yu. Kamu baik banget..”
Ayu terpana melihat senyum Adin. Cowok itu tersenyum, dan senyumnya itu untuknya. Rasanya sangat bahagia.
Tapi kenapa ia harus dekat dengannya saat ia sudah jadi milik orang lain?
Kenapa?
“Hmm, Citra lama banget ke toiletnya..,” kata Adin sambil melihat jam tangannya.
Ayu mengangguk setuju. Tiba-tiba handphone Adin berdering. Adin mengambil handphonenya dan sedikit heran begitu melihat nama Citra ada di layarnya.
“Halo, kamu di mana?” tanya Adin.
“Adin, Ayu, bisa kalian temui aku di taman sekarang?”
“Memangnya ada apa?”
“Ku mohon..”
Tut.. tut.. sambungan terputus. Adin menyerngitkan dahi, merasa bingung dengan sikap Citra yang aneh.
“Ayu..,” panggil Adin, “kita harus ke taman sekarang.”
Ayu dan Adin melihat Citra di taman sedang berbicara dengan seseorang. Adin kembali mengerenyitkan dahi. Siapa orang itu?
Citra menoleh ke arah Adin dan Ayu, dan tersenyum manis. Adin dan Ayu melangkah menghampiri Citra. Begitu mereka dekat dengan gadis itu, mereka bisa melihat mata Citra yang sembab.
“Cit, kamu habis nangis?” tanya Adin bingung sambil mendekati pacarnya itu.
Citra menggeleng, masih tersenyum, “nggak apa-apa, Din. Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan dengan kalian.”
Citra berjalan menghampiri Adin.
“Aku.. aku nggak bisa meneruskan hubungan kita.”
“A-apa? Kenapa Cit?” Adin kaget dengan kata-kata yang keluar dari bibir Citra.
“Aku sudah dijodohkan..,” jawab Citra sambil memalingkan wajah. Ia tak akan sanggup menatap mata Adin.
“Dijodohkan? Tapi..”
“Aku benar-benar tidak bisa. Kumohon jangan marah, jangan benci padaku. Aku mencintaimu. Tapi kita nggak bisa bersama..”
Ayu terbelalak kaget. Citra dijodohkan?
Rasanya hati Ayu ikut sakit. Walaupun ia menyukai Adin, tapi ia tidak pernah berharap seperti ini jadinya.
“Tu-tunggu Cit!” seru Ayu sambil berlari menghampiri Citra.
“Kamu nggak bisa seperti ini, kalau kamu cinta sama Adin, kamu harus perjuangkan cintamu itu. Jangan menyerah. Aku yakin pasti ada jalan, percayalah…”
Tapi Citra hanya tersenyum menatap Ayu, “makasih Yu, kamu juga harus memperjuangkan cintamu..”
“Eh?”
“Kamu suka sama Adin kan? Kamu harus perjuangkan itu..,” kata Citra sambil menarik Ayu agar mendekat pada Adin.
“Maaf sudah membuatmu sakit. Aku tidak bermaksud begitu. Kamu cewek yang sangat baik Ayu, kamu pantas untuk mendapatkan Adin.”
“Maaf..,” ucap Citra lagi, “aku harus pergi. Terimakasih untuk segalanya…”
Kosong. Hanya kekosongan yang dirasakan Adin saat Citra meninggalkannya.
Ia tidak bisa menemukan jati dirinya lagi. Hatinya seakan hampa. Ia tidak peduli apapun lagi. Yang ia inginkan hanya satu. Citra kembali padanya.
Hanya itu.
Adin membanting pintu kamarnya. Sudah sebulan sejak Citra pergi dari sisinya. Citra sudah dijodohkan dengan orang lain. Itu membuatnya sakit.
Hatinya berteriak, ada sesuatu yang ingin dikeluarkannya, tapi ia tak tahu bagaimana caranya.
Ia terus berlari tanpa arah, mungkin menyiksa tubuhnya akan mengurangi sedikit sakit dalam hatinya.
Tiba-tiba semua terasa gelap. Hanya terdengar sayup-sayup suara seorang perempuan yang memanggil namanya. Tapi kemudian suara itu lenyap. Dan hanya kegelapan yang Adin rasakan.
Ayu’s POV
“Adin! Adin! Adiin!!” seruku panik saat melihat Adin memotong urat nadinya sendiri.
“ADIIN!!” seruku lagi. Aku tidak bisa diam. Mungkin suaraku tidak terdengar olehnya. Aku membuka jendelaku dan berteriak memanggil namanya semakin keras. Tiba-tiba dia terjatuh. Aku dapat melihat cairan merah yang menetes-netes dari pergelangan tangannya.
Aku berlari keluar rumah, menuju rumah Bu Yanti dan menggedor-gedor pintu rumah Adin.
Bu Yanti keluar dengan tampang kesal karena perbuatanku yang berisik. Tapi aku tidak peduli, yang penting sekarang adalah menyelamatkan Adin.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Tante, cepat lihat Adin sekarang, cepat!!” tidak sadar aku membentak orang yang lebih tua. Aku sangat panik.
“Memangnya kenap?”
“DIA BUNUH DIRI!!!”
End of Ayu’s POV
Adin membuka matanya. Ruangan ini terasa asing baginya. Ia tahu sekarang ia ada di rumah sakit. Tapi bagaimana bisa? Kenapa dia masih hidup?
Ia menoleh ke samping dan melihat Ayu duduk di samping ranjangnya. Gadis itu sedang tertidur. Adin melihat bekas luka yang ada di pergelangan tangannya yang tertutup oleh kapas dan plester coklat.
Gadis ini..
Gadis yang selalu memperhatikannya dari jendela kamarnya. Sejak 14 tahun yang lalu, Adin selalu merasa Ayu menyukainya. Tapi ia tak berani menyimpulkan. Ayu selalu melihatnya saat pagi dan malam. Mereka bertetangga bahkan satu sekolah, tapi mereka tak pernah berkomunikasi.
“Ayu..,” ucap Adin pelan, “apa kamu menyumbangkan darahmu untukku?”
Ia tahu Ayu tak akan menjawabnya. Gadis itu masih terlelap.
“Makasih…,” ucap Adin lagi.
“Makasih karena sudah mencintaiku. Makasih atas perhatianmu selama ini. Aku tak akan bisa tidur kalau tak melihat wajahmu yang selalu memperhatikanku.
Adin bangun dan mengelus rambut Ayu, membuat Ayu terbangun.
Ia menatap Adin yang tersenyum lembut.
“Maaf membangunkanmu..,” ucap Adin.
“Kamu.. udah sadar..,” ucap Ayu yang gugup.
“Iya lah.”
“A-Adin..,” panggil Ayu, “aku tahu kamu mencintai Citra. Tapi kamu nggak boleh kehilangan semangat hidup. Kamu?”
CHU~
Ayu terdiam. Adin mencium pipinya tiba-tiba. Sesuatu yang tak pernah Ayu bayangkan untuk menjadi nyata. Apa ini mimpi?
“Sudah nggak usah bawel.., aku punya syarat kalau begitu.”
“Apa?”
“Jadilah pacarku, Ayu. Jangan pernah tinggalkan aku…”
“Kamu.. yakin? Bukannya kamu cinta sama Citra?”
“Nggak, aku mencintai Ayu, bukan Citra.”
Ayu terdiam, namun kemudian cewek itu menangis bahagia. Ia memeluk Adin dan berbisik, “terimakasih, aku juga mencintaimu.., Adin”.
TAMAT
Cerpen Karangan: Arisa Yuu

Cerpen - Si Buta Mencari Matahari

(1) DI PERMUKIMAN YANG TERPENCIL
Berawal dari sebuah gubug tua yang sudah reot, Kala itu hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dan dua orang anak laki-laki. Kepala keluarga itu bernama pak Sumber (begitu orang menyebutnya) dan istrinya bernama simpun (begitu orang menyebutnya), serta kedua anak laki-laki mereka yang tua bernama Tabung sedangkan adiknya bernama Kumpul.
Kehidupan keluarga tersebut serba kekurangan mereka hanya mengharapkan hasil-hasil buah hutan yang liar dan berburu untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, itupun sehari makan dan terkadang tidak makan, bahkan baju pakaian yang mereka kenakan boleh di katakan kering di badan itu semua akibat tidak ada untuk berganti, melihat kehidupan yang demikian itu, kedua anaknya tidak dapat menuntut banyak yang ia bisa lakukan hanyalah bermain dan membantu orang tuanya mencari buah-buahan dan berburu di hutan, tidak mengenal apa itu alat tulis apalagi namanya sekolah.
Seiring dengan bejalannya waktu hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan hingga tahun berganti, kedua anak pak Sumber semestinya sudah saatnya mengenal bangku sekolah, akan tetapi apa daya orang tua mereka tak dapat menyekolahkan anak-anaknya itu semua karena banyaknya masalah-masalah yang mereka hadapi, di samping masalah-masalah yang mereka hadapi kendala lain tidak ada biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya juga disebabkan mereka tinggal di hutan yang jauh dari lokasi sekolah.
(2) DI SUATU PAGI HARI
Pada waktu pagi hari, sang surya memancarkan sinarnya yang begitu cerah, Pak Sumber tidak seperti biasanya apabila bangun dari tidur ia bergegas pergi ke hutan mencari nafkah, namun pagi itu ia termenung di beranda depan gubugnya duduk di atas bangku yang terbuat dari susunan kayu-kayu kecil, ia berpikir dan bertanya-tanya dalam hati sendiri, bagaimana nasib anak-anaknya nanti kalau tetap tinggal di hutan, bagaimana anak-anak kalau aku dan istriku sudah meninggal, bagaimana mereka dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Segudang pertanyaan dalam hati pak Sumber pagi itu.
Disaat pikiran Pak Sumber mengawang belum mendapat jawaban, tiba-tiba dikejutkan oleh suara istrinya yang sedari tadi sudah berada di sampingnya. “Pak.. apa yang dipikirkan tidak seperti biasanya bapak termenung?” tanya istrinya. “Oh.. ibu mengejutkan bapak saja, pak Sumber sambil menoleh ke istrinya” tak ada apa-apa kok bu, jawab Pak Sumber, “Tapi bapak tidak seperti biasanya duduk merenung,” tanya istrinya kembali, “Saya lagi memikirkan nasib anak-anak kita nantinya”, jawab pak Sumber. Bu Sumber hanya terdiam tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, hanya tetesan air mata yang keluar dari kelopak mata istri pak Sumber. “Bu… Bapak punya pikiran bagaimana kalau kita pindah rumah mendekati kota supaya anak-anak bisa sekolah seperti layaknya anak-anak lain” Kata pak Sumber “Terus kita mau kerja apa pak..? bila pindah mendekati kota” jawab bu Sumber. Sambil menarik nafas panjang pak Sumber tidak langsung menjawab apa yang di utarakan istrinya. Sesaat suasana di beranda rumah hening sepasang suami istri itu hanya saling memandang, Tak berapa lama terdengar suara dari mulut pak Sumber, ia sambil menoleh pada istrinya, “Bu… Demi anak-anak, kita kerja apa saja nanti yang penting tidak mengambil punya orang” Jawab pak Sumber. Baiklah kalau menurut bapak baik, saya sebagai istri menurut saja, demi masa depan anak-anak kita.
Tak terasa percakapan mereka lumayan lama, mataharipun sudah mulai merangkak semakin tinggi. Pak Sumber bergegas ke samping pondok mengambil peralatan seperti biasanya langsung pergi ke hutan mencari nafkah sambil berburu.
(3) PERGI KE KOTA
Pada suatu hari pak Sumber pergi ke kota bersama anaknya yang pertama, dengan bejalan kaki mereka pagi-pagi sekali sudah berangkat, di perjalanan bapak dan anak tersebut sambil bercakap-cakap.
“Masih lama lagikah kita sampai ke kota pak..?” tanya Tabung, “Iya nak, kira-kira dua jam berjalan lagi kita sampai”, jawab pak Sumber. “Wah sangat jauh ya, pak” tanya Tabung lagi. “Bener, karena kita tempuh dengan jalan kaki”,jawab pak Sumber. “Pak… Seandainya kita pergi naik sepeda tentu agak cepat sampainya ya pak?” “Tentu cepat sampainya nak” jawab Pak Sumber. “Tapi sayang kita tidak punya sepeda” kata Tabung “Sabar ya nak, suatu saat nanti kita pasti dapat membeli sepeda.” Jawab pak Sumber (sambil menghibur hati anaknya).
Tiba-tiba terdengar suara deru-menderu dan hiruk pikuknya lalu lintas, tersentaklah hati dan perasaan Tabung, ah suara apa itu tanyaku dalam hati, dan tidak lama kusaksikan dan aku lihat hiruk pikuknya kendaraan bermotor dan hilir mudik orang-orang. Wah ramai sekali, banyak banget mobil, motor dan becak ada juga.
Nak.. ayo kita masuk pasar, ajak pak Sumber dengan anaknya, Kita mau beli apa pak?, tanya Tabung, Kita membeli keperluan seadanya sesuai uang yang ada.
Melihat hari sudah mulai siang dan keperluan yang dibeli sudah cukup pak Sumber dan anaknya segera keluar dari dalam pasar dan langsung pulang. Di tengah perjalanan pulang pak Sumber dan anaknya berpapasan dengan anak-anak yang pulang sekolah. Dengan seketika Tabung bertanya, “Pak itu anak-anak banyak sekali dan bajunya sama warnanya bagus lagi” “Oh itu anak-anak yang pulang sekolah” jawab pak Sumber. “Wah Tabung ingin seperti mereka bisa gak pak?” tanya anaknya lagi “Ya.. suatu saat nanti kamu dan adikmu pasti bisa seperti mereka” jawab pak Sumber. “Benar pak..?” tanyanya lagi, “Ya.. pasti kalian bisa”
Tak terasa perjalanan mereka sampai rumah, Bu.. bu.. kami datang, suara tabung memanggil ibunya dengan bergegas bu Sumber membuka pintu.
(4) DI SUATU MALAM HARI
Seperti biasanya keluarga pak Sumber sebelum tidur mereka berkumpul di ruang depan gubugnya, meneruskan pembicaraan kemarin pagi pak Sumber memulai berbicara kepada istri dan ke dua anaknya, Anak-anak kita berencana pindah rumah…! Bagaimana menurut pendapat kalian…? Kedua anak pak Sumber terdiam sejenak saling memandang tanpa ada suara yang keluar dari mulut mereka, namun tiba-tiba Bu Sumber berucap dengan pelan dengan matanya tertuju pada kedua anaknya. “Bagaimana anak-anakku kalian setuju kita pindah rumah..?” Eh.. eh memangnya kita mau pindah ke mana bu?, Tanya Tabung kepada ibunya..? Iya mau pindah ke mana kita sang adik juga ikut bertanya…? Kita mau pindah di desa yang dekat dengan sekolah, jawab bu Sumber dan diangguki kepala pak Sumber tanda mengiyakan. Hore.. hore kita bisa sekolah kak, kata Kumpul sembari menatap wajah kakaknya yang tersenyum tanda rasa senang atas rencana kepindahan mereka. Anak-anakku, itulah maksud bapak dan ibu kalian rencana pindah ini supaya kalian bisa bersekolah untuk menuntut ilmu demi masa depan kalian nantinya.
Tak terasa waktu semakin beranjak malam dan kedua anak pak Sumber juaga terlihat mulai sayu pertanda mengantuk. “Anak-anak hari sudah malam, sekarang kalian tidurlah karena besok pagi berkemas-kemas persiapan kita pindah”. Iya pak.. Sambil beranjak dari tempat duduk Tabung dan Kumpul menuju ke tempat tidur.
Tinggallah Pak Sumber dan Istrinya yang masih duduk melanjutkan rencana kepindahan mereka demi masa depan ke dua anaknya. Bagaimana bu ada yang perlu kita bicarakan lagi?, tanya pak Sumber kepada istrinya. Kiranya kita sudah matang atas rencana kita pak, jadi kita istirahat dulu, Bapak kan capek seharian kerja!, Ya.. ya.. ya mari kita istirahat.
(5) AWAL YANG CERAH BAGAI SINAR MATAHARI
Di pagi yang cerah matahari menyinari desa Argo Mukti yaitu desa di pinggiran kota kecamatan, di mana terdapat bangunan Sekolah Dasar yang kondisinya kurang begitu baik namun itulah satu-satunya sekolah yang menjadi tumpuhan untuk menuntut ilmu anak-anak di desa tersebut. SDN Argo Mukti nama sekolah tersebut.
Teng… teng… teng… bunyi lonceng tanda masuk kelas, murid-murid dengan tertib memasuki kelasnya masing-masing, tak ketinggalan juga Tabung dan Kumpul juga ikut masuk kelas yang di dampingi oleh orang tuanya, maklum mereka berdua murid baru yang belum terbiasa dengan suasana seramai ia lihat selama mereka masih tinggal di daerah terpencil yang jauh dari keramaian sekolah.
Layaknya sekolah lain SDN Argo Mukti melakukan proses pembelajaran dengan tertib dan menyenangkan, murid-murid juga dengan antusias mengikuti pembelajaran di kelas masing-masing.
Tepat pukul 11.30 WIB Teng… teng… teng… lonceng berbunyi tanda pulang sekolah, dalam perjalanan pulang Tabung dan Adiknya saling bercerita dan bercanda, terlihat raut wajah mereka merasa senang karena bisa sekolah seperti anak-anak yang lainnya.
“Dik.. bagaimana perasaanmu senang gak bisa sekolah?” Tanya Tabung kepada adiknya. Dengan semangat adiknya menjawab, “ya tentu senang sekali kak” jawab adiknya. “Terus bagaimana perasaan kakak senang juga kan?”, tanya adiknya. ”Ya.. kakak juga sangat senang sekali, akhirnya kita bisa bersekolah”, jawab Tabung.
Cerpen 2013 : Warnadi
Cerpen Karangan: Warnadi,S.pd.M.Pd

Cerpen - Sesalku Tak Lagi Berarti

Matahari nampak sudah enggan menampakkan sinarnya, langit mulai gelap kehilangan cahaya, suara petir pun mulai menderu, mendung hitam tampaknya sudah tak sabar lagi mengguyur bumi, menyirami bunga-bunga yang telah layu, beginilah suasana sore ini, seakan mengerti suasana hatiku saat ini yang hanya bisa duduk termenung di depan laptop memandangi foto-foto kenangan masa laluku, pikiranku mulai menerawang menelusuri masa lalu, masa lalu yang begitu manis, namun terasa begitu singkat, karena semua itu telah hilang ditelan waktu…
Sejak 3 tahun lalu ku memendam rasa sayangku padanya, tanpa berani mengungkapnya, hanya karena aku tak tega melihat sahabatku menderita, ya… hanya atas nama Persahabatan. Hanya demi sahabat, ku pendam rasa yang begitu menyiksa ini, karena dulu persahabatan adalah segala-galanya bagiku. Saat itu jomblo menjadi status yang menyenangkan bagiku, ku bebas menyayangi siapapun tanpa harus mengungkapkannya, ku juga bebas berbagi suka dan duka, canda, tawa, tangis dan segalanya. Namun semua itu berubah saat aku diberi kesempatan untuk mengungkapkannya, ya… saat aku mulai berani jujur mengungkapkan semua perasaan yang selama ini mengganjal di hatiku, saat kata ‘jadian’ mulai terucap dan sejak status ‘pacaran’ mulai kita jalani. awalnya memang indah… namun hati ini semakin merasa gundah, aku kehilangan dia yang dulu selalu perhatian padaku, selalu memberi semangat kepadaku, aku kehilangan kebebasan untuk meluapkan kegundahan ini, karena hanya ada satu kata ‘cemburu… cemburu dan cemburu…’.
Saat pertama jadian, jarak bukanlah penghalang keharmonisan kita, saling percaya menjadi komitmen hubungan kita, namun lambat laun semuanya berubah, jarak membuat komitmen kita berubah, satu demi satu kecurigaan mulai terungkap, rasa saling tidak percaya, apalagi saat komunikasi kita tersendat karena kita harus tersibukkan dengan urusan masing-masing, keadaan ini diperkeruh dengan adanya dilema cinta yang bergelayut di hatiku, ada dua orang yang ku sayangi disaat yang bersamaan, meski dalam status yang berbeda, maksud hati ingin mempersatukan mereka, karena memang status mereka di hatiku berbeda, antara kakak adik, dan antara sepasang kekasih, namun aku gagal, aku telah menyia-nyiakan kesempatan itu, kesempatan yang sejak dulu ku nantikan, kini hubunganku sudah berada diujung tanduk, sehingga kata ‘putus’ menjadi akhir dari hubungan kita yang masih berjalan lima minggu itu.
Aku selalu berharap kesempatan kedua itu ada untuk ku, ku terus berharap agar cinta itu kembali lagi untuk ku. Tapi apa yang telah ku lakukan? saat kesempatan itu datang lagi, aku malah menyia-nyiakan kepercayaan yang ia berikan, aku melakukan kesalahan yang sama, aku kembali menyakitinya, aku telah membuatnya merasa diduakan dengan kakakku, dan untuk kedua kalinya, kini dia telah mengakhiri semuanya.
Sejak kejadian itu, ‘MUSUH’ itulah status yang ia sandangkan kepadaku, ia tak mau lagi mengenalku, atau sekedar merespon permintaan maafku, sejak itu pula aku tersadar akan keegoisanku, aku sadar aku salah dan yang aku rasakan saat ini adalah rasa sayang ku semakin besar untuknya, aku menyesal telah membuat dia pergi dariku, segala upaya telah ku lakukan hanya untuk mendapatkan kata maaf itu. aku bagaikan pengemis, yang tak pernah berhenti meminta maaf padanya. tapi semuanya sia-sia, semua sudah terlambat dan tak mungkin bisa terulang, penyesalanku sudah tak berarti, karena apa? karena aku sudah benar-benar kehilangan dia, rasa sayangnya sudah habis untukku, hati itu sudah tertutup rapat untukku, kesempatan untuk merajut kembali kisah kita rasanya sudah sirna.
Itulah yang membuatku hanya bisa terpuruk dalam kesedihanku, hidup dengan rasa bersalah yang terus menghantuiku, kenangan kebersamaan yang selalu berlarian di benakku menjelang tidurku, hari-hari ku lalui dengan genangan air mata, air mata kesedihan, air mata penyesalan, air mata penantian, dan air mata harapan yang selalu mengiringi setiap bait-bait do’aku saat ku bersimpuh, berharap hati itu kembali terbuka untukku.
Sembah sujudku pada-MU ya Allah… malam ini dadaku berdegup kencang, bergetar hatiku, saat ku mendengar suara dari sebrang sana, ya, malam ini ku diberi kesempatan yang selalu aku nantikan, kesempatan untuk bisa kembali mendengar suaranya, mata ini sudah tak bisa lagi menyembunyikan air mata kebahagiaan. Namun inilah kenyataan yang harus ku terima, cintaku tak dapat terselamatkan, ternyata hati itu sudah tak dapat lagi terbuka untuk ku, harapan itu sirna saat ia berkata kita hanya dapat menjadi sebatas teman, dan tak mungkin lagi ada kata ‘balikan’ di antara kita, baginya aku tak lebih dari seorang ‘pengkhianat’, walau kata ‘sayang’ juga sempat ia ucapkan untukku. Tangisku semakin menjadi saat ku dengar ia telah melingkarkan cincin tunangan untuk orang lain, meski hingga detik ini ku masih belum bisa percaya itu. Jujur saat ini hatiku hancur berkeping-keping.
Memang kenyataan ini begitu berat untukku, dengan segala penyesalanku, akhirnya ku tersadar, aku pantas mendapatkan semua ini, luka yang ku torehkan untuknya begitu dalam, bahkan sudah sepatutnya ku bersyukur, karena dia masih sudi untuk mengenalku lagi, dia masih menerimaku sebagai teman, dia memotivasi aku untuk belajar, tanpa harus terpuruk dalam kesedihan ini. “Yang lalu biarlah berlalu, sudah saatnya kita membuka lembaran baru yang lebih baik” itulah kata terakhir sebelum ia menutup telponnya. Ku harap ini bukan untuk terakhir kali ku bisa mendengar suaranya.
Saat ini yang bisa ku lakukan adalah mensyukuri anugerah terindah ini, menikmati kebersamaan kita sebagai teman, teman yang akan selalu memberi semangat untukku. Mungkin hanya dengan cara ini ku bisa menyayanginya, menyayanginya setulus hati, jujur sejak ia pergi aku belum bisa membuka hati untuk siapapun, karena hanya dia yang bisa membuat hatiku bergetar, dan enggan rasanya ku ber cinta lagi karena aku sudah cukup sakit dengan semua kisah cinta yang selama ini ku alami.
Tak ingin lagi rasanya ku ber cinta
Setelah ku rasa perih
Perpisahan ini membuatku tak berdaya
dan tak dapat lagi rasanya ku tersenyum
Setelah kau pergi meninggalkanku
Cerpen Karangan: Khoiriyatul Mukarromah

Cerpen - Penyebab Galau Selain Cinta

Ujian kemarin itu, menjadi ujian yang berarti bagiku, bagaimana tidak, aku yang tidak pernah keluar dari 3 besar kini mendapat nilai ujian Bahasa Inggris yang sangat yummy. 50 50 50 50
Bagaimana harus aku menyembunyikannya dari sepengetahuan keluargaku? sementara isak tangis terus berderai di pipiku. Belum lagi, aku harus berjalan menyusuri puluhan rumah ketika pulang sekolah. Ya Allah… memang apa salahku ketika aku ujian kemarin? Nyontek, enggak. haduuhh… aku nggak tau harus gimana lagi.
Air mataku menetes tanpa ada bendungan, mataku semakin merah… merah… merah… isak tangis tak berhenti, sampai-sampai teman jalanku menepuk bahuku, dengan menghela napas aku menoleh kearahnya “gila juga ni anak, galau itu karena cowok, putus, atau yang lain deh, pokoknya bukan karena nilai. menurut gue sih kayak gitu, nah lu? huh… emang ya, spesies orang kayak gini udah punah, tapi kenapa gue masih nemuin?” celotehnya sambil mentertawakanku, aku hanya tersenyum. tapi air mata masih belum terhenti.
Sampai di Rumah
Kamu kenapa?” tanya kakakku dan ibuku yang sudah lama tertawa-tawa di depan TV, setelah itu, kuceritakan semuanya. Malah mereka tertawa-tawa melihatku semakin terpuruk mengingat cerita hari ini. “sudah, nggak papa… namanya juga sekolah, yang penting SUKSES” hibur ibuku “Gimana mau sukses kalo naik kelas aja enggak?” lawanku makin kecewa, lalu kutinggalkan mereka berdua ke kamar. Ketika di kamar aku merenungi sesuatu yaitu “Rasanya, baru sekarang aku nangis karena masalah selain bertengkar sama kakak atau adikku di rumah, ternyata rasanya nangis + curhat itu SENSASIONAL” …
Hari Remidi
“Fitri Melani dan Dian Wahyu Safitri, masuk” teriak Pak Saiful dari dalam ruangan memanggilku dan kawan sekelasku. “Kenapa bisa sih fit? kamu kenapa? nilai 50 itu mustahil hukumnya bagi kamu, tapi ada apa sama kamu yang sekarang?” tanya Pak Saiful panjang lebar kepadaku, aku hanya menggeleng dan air mata kembali menghapus semua bedak di pipiku “Baiklah, duduk!” perintah Pak Saiful. “Fitri, kalo kamu dapat nilai diatas 80, bapak akan belikan kamu ice cream, coklat, permen coklat, dan sekaligus keripik singkong untuk kamu siang ini di kopsis” hibur Pak Saiful guru kesayanganku. Bu Wiwik tiba-tiba muncul di jendela ruangan untuk melihat keadaan siswa didiknya bertarung menghadapi masa-masa remidi pertama. Dian, dia hanya terus berdo’a karena selama ini dia tidak pernah menyukai bahasa inggris.
“Rasanya, aku ngerjain ujian ini juga sama aja kayak yang kemaren, cuma, lebih sepenuh hati aja” pikirku dalam hati.
Kukumpulkan lembar jawabanku di atas meja pak saiful dan kutambahi dengan senyum kecut ala ABG Galau dari lubuk otakku. Fiiuuhh… kuhela nafasku lalu duduk di bangku asalku, kulanjutkan dzikirku sejak pagi tadi. Kulihat Pak Saiful dengan teliti menelaah hasil ujianku, tidak lama kemudian Dian temanku mengikuti langkahku untuk mengumpulkan hasil kerjanya selama 30 menit ini.
“Lama sekali Pak Saiful ini, mana lembar kerja Dian diteliti duluan. rasanya mau protes aja” pikirku dalam hati. baru saja ingin kutinggal tiduran Pak Saiful yang matanya tidak berpaling dari lembar kerjaku. Lalu tiba-tiba Pak Saiful berteriak “sembilan puluh empat… sembilan puluh empat… sembilan puluh empat… selamat” ucap Pak Saiful sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku menangis senang sekarang, rasanya ingin cepat pulang dan pamer-pamer di depan kakakku :D Tapi kulihat Dian lebih terpuruk dariku kemarin, dia melihat lembarannya yang penuh dengan coretan merah “Gimana Yan?” tanyaku lembut Dian mengangguk-angguk lalu berkata “64″ lalu dia pergi meninggalkanku begitu saja…
Sesuai janji, pak Saiful mengajakku ke kantin untuk mentraktirku. “Wuuhhhuuuwww…” ucapku dalam hati senang.
Rasanya ini hikmah dari semua sikapku yang selalu terlalu menyepelekan bahasa inggris ketika ujian. Dan sekarang aku sadar Tertawa dan menangis itu sepasang. Kemarin aku pulang dengan derai air mata, sekarang aku pulang dengan gigi yang hampir kering karena kubuka terus mulutku ini untuk tersenyum-senyum sepanjang jalan 
Cerpen Karangan: Fitri Melani

Cerpen - Rahasia Diary

Aku masih ada di tempat tidur saat tiba-tiba suara handphone-ku berbunyi nyaring. Ada apa ini?, pikirku. Segera kuambil Handphone yang kuletakkan di meja belajar. Halo: Maaf dengan siapa ini?, tanyaku. Saya Ayana apa benar ini nomor Rizal jawabnya?. Maaf, sepertinya kamu salah sambung, ini bukan nomor Rizal tapi ini nomor saya nama saya Rezky. Lho salah ya? maaf nih kalau begitu, maaf udah ganggu ya, oke ga apa-apa jawabku. Tut… tut.. tut.. kudengar suara telepon ditutup. Aku pun kembali lagi ke tempat tidur sambil memikirkan orang yang salah menelepon tadi. Ayana? Pikirku, perasaan aku baru denger nama itu. Ya sudahlah ngapain juga dipikirin. Aku pun melanjutkan tidur yang tadi sempat terganggu.
Esok harinya hari Senin seperti biasa aku pergi ke Sekolah. aku saat ini sudah SMA kelas XI, Sekolahku adalah sekolah yang lumayan menjadi favorit di kota tempat tinggalku. Aku selalu berangkat ke sekolah memakai Motor Ninja kebanggaanku yang diberikan Ayah sewaktu ulang tahunku yang lalu. Ayahku sebenarnya menyuruhku naik Mobil pribadi keluarga kami jika pergi sekolah. Tapi aku tidak mau karena aku memang suka naik Motor dan merasa malu jika pergi sekolah diantar jemput. Kesannya jadi seperti anak manja.
Pagi ini aku berangkat lebih pagi, sengaja aku lakukan agar aku bisa santai mengendarai motorku. Jarak rumahku dari Sekolah sekitar ±5 km. Tiba-tiba baru beberapa menit aku mengendarai motor, aku melihat seorang anak perempuan berseragam SMA sama sepertiku terlihat kebingungan di pinggir jalan. Aku pun segera menepi dan bertanya pada gadis itu. “Kamu anak SMAN 1 ya?” tanyaku, perasaan aku belum pernah lihat kamu ya, Iya aku siswi baru tapi maaf nih bisa tanya tidak?, Aku belum tahu alamat sekolah, tadi sebenarnya aku sudah janjian sama Rizal saudaraku buat berangkat bareng ke sekolah tapi dia gak kelihatan sampai jam segini.
Oh kalu begitu barengan sama aku saja yuk, aku juga kebetulan sekolah disitu, lagian ini juga sudah siang, bisa-bisa kamu telat datang kalau harus naik angkutan umum. Dia tidak menjawab. Tapi gak apa-apa nih aku ikut? Ya enggak lah jawabku. Lagian kita kan cuma bareng ke sekolah. Oh iya maaf banget ya udah ngerepotin kamu kaya gini. Iya gak apa-apa jawabku.
Seperti biasa setiap hari Senin di sekolahku diadakan Upacara Bendera, Setelah upacara berakhir aku pun segera menyelinap ke kelas di saat siswa lain masih mendengarkan pengumuman di lapangan. Males pikirku, panas-panas gini malah disuruh kumpul di lapangan. Selang beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi dan semua siswa pun masuk ke kelas.
Tidak lama kemudian Guru mata pelajaran pertama masuk, saat ini pelajaran pertama adalah Pelajaran PLH. Terlihat guru tersebut masuk bersama seorang siswi, tapi aku tidak terlalu memperhatikan karena aku masih sibuk dengan headsetku.
Anak anak, kelas kita kedatangan siswi baru pindahan dari Jakarta. Silahkan ucapkan perkenalan dulu. Baik terimakasih Pak, nama saya Ayana Shahab, Saya pindahan dari SMA Negeri 3 Jakarta. Saya biasa dipanggil Ayana atau bisa juga Achan, Salam kenal semua.
Aku kaget, dia kan yang tadi barengan sama aku waktu pergi ke sekolah, ternyata namanya Ayana. Aku perhatikan murid baru ini, Wajahnya cantik pikirku, kulitnya putih senyumnya juga manis, tingginya sekitar 155 cm dangan rambut berponi dan dikuncir ke belakang. Aku pun menyimpulkan bahwa dia pasti keturunan Indo.
Pak guru pun mempersilakan duduk, kebetulan pada saat itu bangku kosong hanya ada di sampingku dan satu lagi di belakangku, berhubung pak guru juga menyuruh lebih dulu mengisi bangku yang di depan, jadilah aku sebangku dengan Ayana.
Saat akan duduk dia tersenyum dan menyapaku, Pagi!, Boleh saya duduk disini? Aku terkejut, silakan jawabku. Akupun berbasa basi dengan dia. kamu yang tadi pagi bareng berangkat sekolah kan? Iya jawabnya, nama saya Ayana ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan, saya Rezky jawabku sambil menyambut uluran tanganya. Mohon bimbinganya ya!! Iya jawabku agak gugup. Pelajaran pun dimulai seperti biasa, aku pun tidak memperhatikan Ayana lagi, sibuk kembali dengan Novel dan Headsetku.
Jam 10.00 bel istirahat berbunyi, semua siswa segera keluar kelas, tapi aku tidak bergeming sedikit pun, masih berkutat dengan headset dan Novel yang sedang aku baca. Kulirik sebentar ke sampingku, ayana terlihat masih sedang menulis sesuatu, kamu gak pergi ke kantin? tanyaku, mana tahu aku kantinnya dimana jawabnya sambil tersenyum manis sekali. Lha bukannya lagi ngerjain tugas? Tanyaku lagi. Bukan, ini bukan tugas. Aku Cuma sedang menulis sesuatu di buku diari-ku jawabnya. Ooo… Aku pun menarik tangannya, ya sudah ayo ikut aku ke kantin daripada bosen disini.
Waktu itu di kantin tidak terlalu penuh, aku dan Ayana duduk di sebuah bangku yang menghadap ke taman, akupun memesan semangkuk Bakso seperti yang biasa aku lakukan, kamu mau makan juga Aya? Tanyaku. Boleh jawabnya, akupun memesan satu lagi bakso untuk Ayana. Akupun segera makan dengan lahap. Setelah itu kami berdua masuk ke kelas karena bel baru saja berbunyi.
Saat bel pulang berbunyi aku pun segera membereskan semua peralatan yang terserak di meja dan pergi ke parkiran. Aku pulang duluan ya Aya! Pamitku pada Ayana, oke sampai ketemu besok ya jawabnya. Siip. Aku pun segera melangkah keluar dari kelas meninggalkan Ayana yang masih membereskan semua buku-bukunya.
Segera kuhidupkan Motor dan kupanasi sebentar, setelah itu segera ku pacu motorku untuk pulang. Tapi tiba-tiba aku melihat Ayana di dekat gerbang depan sedang berdiri sendirian, kesempatan nih pikirku, aku segera menghampiri dan mengajaknya pulang, Aya kok belum pulang?. Iya lagi nunggu bis ini juga jawabnya. Bareng aja sama aku yuk ucapku nanti aku antar deh, emang rumahmu dimana? itu dijalan MH Thamrin, nah aku juga sama ke arah sana, yuk sekalian aja. Iya deh maaf ya ngerepotin lagi ujarnya sambil tersenyum. Ya enggak lah jawabku senang.
Ternyata rumah Ayana adalah rumah besar dan bagus yang sering aku lewati saat akan berangkat ke sekolah. Segera kuhentikan motorku di depan pagar rumahnya yang tinggi bercat putih itu, makasih ya sudah anterin aku, ucap Ayana, iya sama sama jawabku. Mampir dulu yuk ke rumahku minum dulu kek biar seger, makasih Aya tapi maaf lain kali saja ya aku main ke rumah kamu, aku cape banget nih mau tidur, oh iya ya udah sekali lagi makasih ya, dan hati hati di jalan! Makasih ucapku.
Setibanya di kamar aku segera berbaring dan memikirkan pertemuan tadi pagi dengan Ayana, setelah dilihat-lihat dia cantik banget ya pikirku, untung tadi pagi aku ajak bareng berangkat sekolah jadi bisa kenal deh sama dia. Bego gue, pikirku kenapa tadi ga minta nomor hp-nya, aku malah ngomong sendiri.
Esoknya pagi-pagi sekali, aku sangat bersemangat berangkat ke sekolah, orang-orang rumah sampai heran sendiri, soalnya boro-boro pergi ke sekolah pagi-pagi, dibangunin saja susahnya minta ampun. Biasanya aku pasti berangkat sekolah lima menit menjelang bel masuk, tapi semenjak ada Ayana rasa malas pergi ke sekolah jadi hilang. Aku berusaha memacu motorku. Semoga Ayana belum berangkat sekolah pikirku, biar bisa ngajak bareng Ayana lagi. Bertepatan saat aku sampai di dekat rumahnya, Ayana kulihat sedang membuka gerbang. Cepat-cepat aku hampiri dia, Hei Ayana, Sapaku. Hei Rezky Loh kok kamu ada disini? Iya jawabku, tadi sekalian pas aku lagi naik motor lihat kamu keluar dari gerbang ya aku samperin aja. Sekalian bareng yuk ucapku! Yah ngerepotin lagi dong ucapnya sambil tersenyum. Jangan bilang gitu lah, kan kita temen.
Sepanjang jalan aku senyum-senyum sendiri, siapa sih yang gak seneng berangkat bareng sama cewek secantik Ayana.
Sampai di sekolah bel masuk ternyata belum berbunyi hal ini aku manfaatkan untuk bisa lebih mengenal Ayana.
Aya, aku memulai pembicaraan. Kenapa kok kamu pindah dari sekolahmu yang lama ke sini? Oh itu karena orang tuaku mendapat tugas pekerjaanya ya di kota ini, dan berhubung karena orang tuaku juga dari dulu sudah punya rumah disini makannya aku dimasukkan ke sekolah ini, sekolah SMA terdekat dari rumahku. terus hobi kamu apa aja Aya? Hobi aku Nyamyi, dance, pokoknya yang berhubungan dengan Musik, terus aku suka bersepeda, dan juga Tidur Hehehe… kalau kamu? Nah lho kok tidur? Biarin jawab Aya. Kalau aku juga hampir sama hobinya aku suka nyanyi, main gitar, dengerin musik, bersepeda, baca Novel dan futsal.
Teeeettt… bel masuk berbunyi kami pun mengakhiri pembicaraan kami dan fokus pada pelajaran. Singkat cerita, pelajaran hari ini sudah berakhir. Kami pun bergegas membereskan semua peralatan dan bersiap pulang. Aya nanti sore ada acara tidak? Aku bertanya pada Ayana. Enggak memangnya ada apa? Sahut aya. Gimana kalau nanti sore kita bersepeda yuk, kita cari udara segar sambil aku ajak kamu keliling daerah sini, oh boleh boleh, sekalian juga aku mau jalan-jalan soalnya bosen juga diam di rumah seharian. Oke nanti aku jemput ke rumah kamu jam 4 sore ya Aya, iya nanti aku tunggu deh! Oke yok kita pulang. Sipp.
Setibanya di depan rumah Aya, terimakasih ya Rezky udah nganterin aku pulang, sampai ketemu nanti sore ya, hati hati di jalan. Iya makasih Aya… diapun segera melangkah menuju rumahnya. Tiba-tiba aku ingat sesuatu, Aya! Panggilku, iya ada apa Rezky? Hampir aku lupa boleh aku minta nomor Hp kamu? Oh ya tentu boleh lah. Ini nomorku 08xx xxxx xxxx udah ya. Daaah! Aku pun senang bukan kepalang bisa mendapat nomor hp Ayana, aku amati nomor telepon Ayana, rasannya aku pernah lihat nomor ini, tiba-tiba aku teringat seorang cewek bernama Ayana yang dulu pernah salah telepon ke nomorku yang dia sangka Rizal. Ternyata memang benar, nomor salah sambung dulu benar benar nomor Ayana yang saat ini ada padaku. Ini pasti sebuah pertanda, pikirku senang.
Pukul 16.00 sore aku sudah menunggu Ayana di depan rumahnya setelah sebelumnya aku SMS dia, tidak lama, Ayana pun keluar. Hei kita mau kemana nih Rezky? Ke taman saja yuk biasanya jam segini banyak juga yang bersepeda disana, oke let’s go!!!
Sepanjang jalan kami ngobrol dan bertukar pengalaman tentang keadaan sekolah, pelajaran, keluarga, hobi dan lain lain sampai akhirnya aku bertanya padanya. Aya kamu inget gak waktu itu kamu pernah salah telpon ke aku? Salah telpon? Kapan ya? Waktu itu hari minggu kamu mau nelpon orang yang namanya Rizal tapi ternyata malah nomor aku yang dipanggilnya. Yang bener? Sebentar aku ingat ingat dulu, oh iya aku inget waktu itu aku mau telepon saudara aku Rizal buat nanyain alamat sekolah. Ternyata Rezky yang ditelepon itu kamu ya! Hehe iya kayaknya itu udah pertanda deh Aya ucapku tanpa sadar keceplosan. Pertanda apa? tanyanya sambil tersenyum. Aku jadi salah tingkah, Oh eh enggak kok hehe becanda.
Hari-hari kami lalui bersama, aku semakin akrab dengan Ayana, kami kini sudah tidak canggung lagi ngobrol, belajar bersama, mengerjakan tugas, jajan di kantin, pulang dan berangkat bersama. Sampai suatu hari di kelas aku ingin pinjam buku catatan Sejarah Ayana, karena aku kemarin lupa mencatat. Saat itu Ayana sedang pergi ke perpustakaan. Aku pun membuka tasnya dan secara tidak sengaja aku melihat sebuah buku catatan kecil yang terbuka. Aku membaca isi buku catatan kecil itu.
Dear diary 12 April 2012
Hari ini adalah ke sekian yang aku lewati bersama seseorang yang sangat berarti yang ku sebut sahabat, meskipun dalam hatiku aku selalu menganggap dia lebih dari sekedar sahabat. Sifatnya yang cuek tapi terkadang lucu dan menghibur, dia yang duduk sebangku denganku, dia yang selalu pergi dan pulang sekolah bersamaku, dan dia yang pertama kali kukenal saat mengajakku ke sekolah ketika aku kebingungan mencari alamat sekolah baruku. Entah sejak kapan perasaan suka ini ada mungkin sejak aku pertama mengenal dia, aku ingin dia tahu perasaanku yang sebenarnya tapi apakah dia juga mempunyai perasaan yang sama terhadapku?
Aku tertegun membaca buku diari Ayana, apa mungkin yang dimaksud Ayana dalam diari-nya itu aku? Akupun segera membereskan buku Ayana kembali dan tidak jadi meminjam buku catatan Sejarahnya. Aku terus kepikiran tentang isi diari – Ayana, sampai akhirnya Ayana menegurku. Rezky kok kamu melamun melulu dari tadi? Kamu sakit?, atau kamu ada masalah?. Eh enggak kok Ayana jawabku, aku Cuma ngantuk saja tambahku sambil tersenyum kepada Ayana. Oh kirain ada apa. Supaya gak ngantuk kita ke perpus saja yuk kita cari bahan bahan buat tugas kelompok Bahasa Indonesia. Ucapnya sambil menarik tanganku.
Aku benar-benar kepikiran soal diary – Ayana tadi, aku sih senang senang saja kalau Ayana menaruh perasaan suka padaku, karena dari awal ketemu dia juga aku sudah suka sama dia dan kagum dengan kecantikan dan kelembutannya. Tapi bagaimana kalau yang dimaksud Ayana dalam diary-nya itu ternyata bukan aku?. Aku jadi serba salah, kuperhatikan Ayana yang sedang mencari buku.
Saat di perjalanan pulang pikiranku pun tidak karuan, aku rasa aku harus bilang yang sejujurnya pada Ayana. Dengan hanya bermodalkan keyakinan, aku bertanya pada Ayana. Aya, boleh aku bertanya sesuatu? Boleh jawabnya, mau tanya apa?. Tadi waktu kamu sedang ke perpustakaan aku mau meminjam buku sejarah milik kamu, tapi aku menemukan sebuah diary kecil yang terbuka, terus aku baca isinya. Wajah Ayana tiba-tiba memerah dan dia pun tertunduk. Apa yang kamu maksud dalam buku diary itu adalah aku Aya?. Dia tidak segera menjawab. Benar Rezky, semua yang ada dalam diary-ku adalah kamu. Apa benar kamu menyukaiku Aya? Benar… Aku pun akhirnya lega. Aya aku juga ingin jujur sama kamu, aku sebenarnya suka sama kamu dari saat aku mengenal kamu, kamu cantik, lembut, dan baik hati serta bisa menghiburku di saat aku sedang ada masalah, aku sangat berharap hubungan kita bukan hanya sekedar sahabat tapi bisa lebih dari itu… mau kah kamu jadi kekasihku ayana? Ucapku dengan penuh harap. Kulihat Ayana tidak segera menjawab dia malah diam membisu. Aku pun segera berkata, kamu tidak perlu menjawab sekarang Ayana, dengan hanya kamu tahu saja perasaanku padamu itu sudah lebih cukup bagiku. Ya sudah Aya aku duluan ya, sampai jumpa Aya.
Malam harinya saat aku sedang termenung di jendela melihat kerlap-kerlip bintang di langit, aku mendapat sebuah pesan dari Ayana. Hai Rezky, kamu masih idup gak? Hehe sori bercanda. Mengenai pernyataan kamu tadi aku sudah pikirkan baik-baik, tapi maaf untuk saat ini aku rasa aku masih belum bisa nerima kamu jadi pacar aku, mungkin nanti ya kalau kita sudah sama-sama lulus SMA baru aku bisa terima kamu. Itu juga kalau kamu bisa nunggu hehe. Aku terlalu sayang sama kamu jadi aku gak ingin jika nanti kita putus, bakal ada permusuhan di antara kita. Lebih baik kita jalani aja seperti sekarang ya sebagai dua orang sahabat yang saling menyayangi, Oke!!
Aku membaca pesan Ayana itu, dan akupun bisa mengerti apa yang dimaksud oleh Ayana. Mungkin memang itu yang terbaik buat kami berdua saat ini. Love You Achan aku akan selalu menunggumu.
Cerpen Karangan: NathanRezky