Aku melangkah menelusuri jalan setapak yang setiap hari kulewati. Aku menatap rumput-rumput kecil yang melambai-lambai tertiup angin. Jadi teringat pada puisi yang kutulis di diary. Ngomong-ngomong masalah diary. Aku sedikit memutar tubuh dan kulepaskan salah satu penyandang ranselku. Kucari diary-ku di sana, namun aku tak menemukan apa-apa. khawatir, kulepaskan ranselku dan kuletakkan di hadapanku, kali ini aku duduk di tengah jalan setapak yang sepi itu. kucari diary-ku di setiap tempat. Namun lagi-lagi aku tak menemukan apa-apa.
Aku terdiam, sedikitpun tak menikmati degup jantungku yang terasa lebih cepat dari biasanya. Aku mencoba mengingat setiap kegiatan yang aku lakukan tadi di sekolah. hari ini aku memang sengaja membawa diary kecilku itu. karena aku tahu, hari ini tidak ada pelajaran. Aku ingat, seharian di sekolah aku hanya nangkring di perpus menulis diary dan membaca buku. Setelah itu ingatanku tentang diary semakin kabur. Kali ini aku yakin diary-ku tertinggal di perpus.
“mampus!” keluhku pelan. Aku yakin malam ini, aku tidak akan mimpi indah. Tuhan, siapa pun yang menemukan diary-ku. Aku harap orang itu bisa menjaga rahasiaku.
“mampus!” keluhku pelan. Aku yakin malam ini, aku tidak akan mimpi indah. Tuhan, siapa pun yang menemukan diary-ku. Aku harap orang itu bisa menjaga rahasiaku.
Aku berlari pontang-panting melewati jalan setapak. Tidak peduli dengan penampilanku yang mulai berantakan, tidak peduli dengan tubuhku yang penuh dengan keringat. Yang ada dalam otakku kali ini hanyalah nasib diary kecilku.
Tap-tap-tap!
Suara langkahku menggema di koridor sekolah yang lengang. Memang masih sepi, karena aku berangkat terlalu pagi. Begitu tiba di bawah tangga perpus. Sejenak aku menarik napas-napas dalam-dalam sambil menatap tangga yang haru kunaiki. Begitu tubuhku kembali berenergi. Aku langsung berlari menaiki tangga. Betapa terkejutnya aku saat kulihat perpustakaan sekolah masih tutup. Aku duduk di kuris panjang tepat di depan pintu perpus.
Suara langkahku menggema di koridor sekolah yang lengang. Memang masih sepi, karena aku berangkat terlalu pagi. Begitu tiba di bawah tangga perpus. Sejenak aku menarik napas-napas dalam-dalam sambil menatap tangga yang haru kunaiki. Begitu tubuhku kembali berenergi. Aku langsung berlari menaiki tangga. Betapa terkejutnya aku saat kulihat perpustakaan sekolah masih tutup. Aku duduk di kuris panjang tepat di depan pintu perpus.
Sekitar satu setengah jam aku menunggu di sana. Bahkan aku rela telat demi menemukan diary itu.
Saat pintu perpus terbuka. Aku langsung menerobos masuk, hanya menyapa Bu Ina dengan senyuman. Lalu melangkah ke ruang belakang. Tempat aku bersantai kemarin. Dan aku tak percaya saat tiba di sana aku tak menemukan apa-apa. aku ternganga. Lama hanya diam, akhirnya aku memaksakan diriku untuk bertanya pada Bu Ina.
“permisi, Bu.” Kataku pelan.
Bu Ina mendongak menatapku. “ada apa?”
“ibu ngeliat Diary warna biru kecil nggak?”
Kulihat Bu Ina mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian matanya melebar. “oh, diary? Kemarin dibawa Anang. Aku titip ke dia, soalnya ibu takut lupa kalo ditaruh di sini.”
Suara Bu Ina hanya terdengar samar di kepalaku. Sejak saat Bu Ina menyebut nama Anang, tubuhku langsung lemas. Kebetulan yang sangat tak kuduga. Aku menulis semua tentang Anang di sana. Dan diaryku jatuh pada orang yang tepat.
“nasib sial!” umpatku.
Saat pintu perpus terbuka. Aku langsung menerobos masuk, hanya menyapa Bu Ina dengan senyuman. Lalu melangkah ke ruang belakang. Tempat aku bersantai kemarin. Dan aku tak percaya saat tiba di sana aku tak menemukan apa-apa. aku ternganga. Lama hanya diam, akhirnya aku memaksakan diriku untuk bertanya pada Bu Ina.
“permisi, Bu.” Kataku pelan.
Bu Ina mendongak menatapku. “ada apa?”
“ibu ngeliat Diary warna biru kecil nggak?”
Kulihat Bu Ina mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian matanya melebar. “oh, diary? Kemarin dibawa Anang. Aku titip ke dia, soalnya ibu takut lupa kalo ditaruh di sini.”
Suara Bu Ina hanya terdengar samar di kepalaku. Sejak saat Bu Ina menyebut nama Anang, tubuhku langsung lemas. Kebetulan yang sangat tak kuduga. Aku menulis semua tentang Anang di sana. Dan diaryku jatuh pada orang yang tepat.
“nasib sial!” umpatku.
Aku segera pamit pada Bu Ina. Buru-buru kupasang sepatuku lalu aku kembali berlari menuju kelas. aku telah mempersiapkan alasan karena telat masuk kelas. begitu tiba di depan pintu kelas. aku tak percaya melihatnya. Bu Asa memegang sebuah buku kecil berwarna biru di tangan. Mendadak tenggoronganku terasa kering. Dan aku tercekat di sana. Tak bisa melakukan apa-apa. bernapas pun aku tak kuasa.
“biar nanti Ibu kasi ke Karin.”
Aku hanya mendengar Bu Asa berujar pelan. Aku kembali menarik napas. Aku yakin, pasti Anang yang menyerahkan buku itu pada Bu Asa. Atau anang telah membaca diarynya?
“biar nanti Ibu kasi ke Karin.”
Aku hanya mendengar Bu Asa berujar pelan. Aku kembali menarik napas. Aku yakin, pasti Anang yang menyerahkan buku itu pada Bu Asa. Atau anang telah membaca diarynya?
Tap-tap-tap!
Aku spontan mendongak begitu mendengar suara sepatu Bu Asa yang berpadu dengan lantai.
“lho? Karin? Ngapain di sini?”
Aku menunduk dalam-dalam. “maaf, Bu. Saya terlambat tadi saya sakit perut,”
Bu Asa tersenyum. “nggak pa-pa. ya udah masuk. Hari ini Ibu nggak bisa ngajar. Kamu belajar sendiri ya. Oh iya, ini buku diarymu kan?”
Tanganku gemetar saat mengambil diary kecilku itu. aku segera msauk ke kelas. tak berani melirik Anang di belakang. Saat bel istirahat pun aku tak melirik laki-laki itu. dan aku tak peduli dia telah membaca bukuku atau tidak. Dan aku tak peduli, apa pandangannya terhadapku.
Aku spontan mendongak begitu mendengar suara sepatu Bu Asa yang berpadu dengan lantai.
“lho? Karin? Ngapain di sini?”
Aku menunduk dalam-dalam. “maaf, Bu. Saya terlambat tadi saya sakit perut,”
Bu Asa tersenyum. “nggak pa-pa. ya udah masuk. Hari ini Ibu nggak bisa ngajar. Kamu belajar sendiri ya. Oh iya, ini buku diarymu kan?”
Tanganku gemetar saat mengambil diary kecilku itu. aku segera msauk ke kelas. tak berani melirik Anang di belakang. Saat bel istirahat pun aku tak melirik laki-laki itu. dan aku tak peduli dia telah membaca bukuku atau tidak. Dan aku tak peduli, apa pandangannya terhadapku.
Kumelirik Anang yang melangkah keluar. buru-buru ku kejar laki-laki itu.
“Anang!” panggilku. Aku merasa suaraku terlalu nyaring hanya untuk memanggil seorang Anang.
Anang langsung menghentikan langkahnya. Aku semakin gugup dan jantungku melompat-lompat tak karuan. Ingin mengajakku agar cepat berlari.
Kulihat Anang bingung menatapku.
Sementara aku hanya diam. menarikn napas berkali-kali untuk menenangkan diri.
“aku… aku nggak bermaksud nulis kayak gitu kok di diary. Jadi kamu nggak usah GR.”
“maksudmu apa sih?”
Aku terpaku. Seketika aku sadar. Ternyata Anang tak membaca diaryku. Aku terdiam lalu kupaksakan bibirku untuk tersenyum. walaupun aku malu setengah mati.
“e… nggak… asal ngomong kok. hehe…” setelah merutuk diriku berkali-kali aku langsung memutar tubuh dan melangkah pergi untuk kembali ke kelas.
“Karin,”
Seketika kuhentikan langkahku. Aku kembali memutar tubuhku untuk menghadap Anang yang berada sekitar dua meter di depanku. Jantungku kembali tak tenang.
“aku cuma mau bilang, setiap orang punya hak.” Setelah berkata begitu Anang tersenyum lalu melangkah pergi.
Aku terpana melihatnya. Hanya diam tak mengerti maksud dari kata-katanya. Namun entah mengapa ada kelegaan yang merasuki tubuhku seketika.
“Anang!” panggilku. Aku merasa suaraku terlalu nyaring hanya untuk memanggil seorang Anang.
Anang langsung menghentikan langkahnya. Aku semakin gugup dan jantungku melompat-lompat tak karuan. Ingin mengajakku agar cepat berlari.
Kulihat Anang bingung menatapku.
Sementara aku hanya diam. menarikn napas berkali-kali untuk menenangkan diri.
“aku… aku nggak bermaksud nulis kayak gitu kok di diary. Jadi kamu nggak usah GR.”
“maksudmu apa sih?”
Aku terpaku. Seketika aku sadar. Ternyata Anang tak membaca diaryku. Aku terdiam lalu kupaksakan bibirku untuk tersenyum. walaupun aku malu setengah mati.
“e… nggak… asal ngomong kok. hehe…” setelah merutuk diriku berkali-kali aku langsung memutar tubuh dan melangkah pergi untuk kembali ke kelas.
“Karin,”
Seketika kuhentikan langkahku. Aku kembali memutar tubuhku untuk menghadap Anang yang berada sekitar dua meter di depanku. Jantungku kembali tak tenang.
“aku cuma mau bilang, setiap orang punya hak.” Setelah berkata begitu Anang tersenyum lalu melangkah pergi.
Aku terpana melihatnya. Hanya diam tak mengerti maksud dari kata-katanya. Namun entah mengapa ada kelegaan yang merasuki tubuhku seketika.
Cerpen Karangan: Ulfa Nurul Hidayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar