Matahari nampak sudah enggan menampakkan sinarnya, langit mulai gelap kehilangan cahaya, suara petir pun mulai menderu, mendung hitam tampaknya sudah tak sabar lagi mengguyur bumi, menyirami bunga-bunga yang telah layu, beginilah suasana sore ini, seakan mengerti suasana hatiku saat ini yang hanya bisa duduk termenung di depan laptop memandangi foto-foto kenangan masa laluku, pikiranku mulai menerawang menelusuri masa lalu, masa lalu yang begitu manis, namun terasa begitu singkat, karena semua itu telah hilang ditelan waktu…
Sejak 3 tahun lalu ku memendam rasa sayangku padanya, tanpa berani mengungkapnya, hanya karena aku tak tega melihat sahabatku menderita, ya… hanya atas nama Persahabatan. Hanya demi sahabat, ku pendam rasa yang begitu menyiksa ini, karena dulu persahabatan adalah segala-galanya bagiku. Saat itu jomblo menjadi status yang menyenangkan bagiku, ku bebas menyayangi siapapun tanpa harus mengungkapkannya, ku juga bebas berbagi suka dan duka, canda, tawa, tangis dan segalanya. Namun semua itu berubah saat aku diberi kesempatan untuk mengungkapkannya, ya… saat aku mulai berani jujur mengungkapkan semua perasaan yang selama ini mengganjal di hatiku, saat kata ‘jadian’ mulai terucap dan sejak status ‘pacaran’ mulai kita jalani. awalnya memang indah… namun hati ini semakin merasa gundah, aku kehilangan dia yang dulu selalu perhatian padaku, selalu memberi semangat kepadaku, aku kehilangan kebebasan untuk meluapkan kegundahan ini, karena hanya ada satu kata ‘cemburu… cemburu dan cemburu…’.
Saat pertama jadian, jarak bukanlah penghalang keharmonisan kita, saling percaya menjadi komitmen hubungan kita, namun lambat laun semuanya berubah, jarak membuat komitmen kita berubah, satu demi satu kecurigaan mulai terungkap, rasa saling tidak percaya, apalagi saat komunikasi kita tersendat karena kita harus tersibukkan dengan urusan masing-masing, keadaan ini diperkeruh dengan adanya dilema cinta yang bergelayut di hatiku, ada dua orang yang ku sayangi disaat yang bersamaan, meski dalam status yang berbeda, maksud hati ingin mempersatukan mereka, karena memang status mereka di hatiku berbeda, antara kakak adik, dan antara sepasang kekasih, namun aku gagal, aku telah menyia-nyiakan kesempatan itu, kesempatan yang sejak dulu ku nantikan, kini hubunganku sudah berada diujung tanduk, sehingga kata ‘putus’ menjadi akhir dari hubungan kita yang masih berjalan lima minggu itu.
Aku selalu berharap kesempatan kedua itu ada untuk ku, ku terus berharap agar cinta itu kembali lagi untuk ku. Tapi apa yang telah ku lakukan? saat kesempatan itu datang lagi, aku malah menyia-nyiakan kepercayaan yang ia berikan, aku melakukan kesalahan yang sama, aku kembali menyakitinya, aku telah membuatnya merasa diduakan dengan kakakku, dan untuk kedua kalinya, kini dia telah mengakhiri semuanya.
Sejak kejadian itu, ‘MUSUH’ itulah status yang ia sandangkan kepadaku, ia tak mau lagi mengenalku, atau sekedar merespon permintaan maafku, sejak itu pula aku tersadar akan keegoisanku, aku sadar aku salah dan yang aku rasakan saat ini adalah rasa sayang ku semakin besar untuknya, aku menyesal telah membuat dia pergi dariku, segala upaya telah ku lakukan hanya untuk mendapatkan kata maaf itu. aku bagaikan pengemis, yang tak pernah berhenti meminta maaf padanya. tapi semuanya sia-sia, semua sudah terlambat dan tak mungkin bisa terulang, penyesalanku sudah tak berarti, karena apa? karena aku sudah benar-benar kehilangan dia, rasa sayangnya sudah habis untukku, hati itu sudah tertutup rapat untukku, kesempatan untuk merajut kembali kisah kita rasanya sudah sirna.
Itulah yang membuatku hanya bisa terpuruk dalam kesedihanku, hidup dengan rasa bersalah yang terus menghantuiku, kenangan kebersamaan yang selalu berlarian di benakku menjelang tidurku, hari-hari ku lalui dengan genangan air mata, air mata kesedihan, air mata penyesalan, air mata penantian, dan air mata harapan yang selalu mengiringi setiap bait-bait do’aku saat ku bersimpuh, berharap hati itu kembali terbuka untukku.
Sembah sujudku pada-MU ya Allah… malam ini dadaku berdegup kencang, bergetar hatiku, saat ku mendengar suara dari sebrang sana, ya, malam ini ku diberi kesempatan yang selalu aku nantikan, kesempatan untuk bisa kembali mendengar suaranya, mata ini sudah tak bisa lagi menyembunyikan air mata kebahagiaan. Namun inilah kenyataan yang harus ku terima, cintaku tak dapat terselamatkan, ternyata hati itu sudah tak dapat lagi terbuka untuk ku, harapan itu sirna saat ia berkata kita hanya dapat menjadi sebatas teman, dan tak mungkin lagi ada kata ‘balikan’ di antara kita, baginya aku tak lebih dari seorang ‘pengkhianat’, walau kata ‘sayang’ juga sempat ia ucapkan untukku. Tangisku semakin menjadi saat ku dengar ia telah melingkarkan cincin tunangan untuk orang lain, meski hingga detik ini ku masih belum bisa percaya itu. Jujur saat ini hatiku hancur berkeping-keping.
Memang kenyataan ini begitu berat untukku, dengan segala penyesalanku, akhirnya ku tersadar, aku pantas mendapatkan semua ini, luka yang ku torehkan untuknya begitu dalam, bahkan sudah sepatutnya ku bersyukur, karena dia masih sudi untuk mengenalku lagi, dia masih menerimaku sebagai teman, dia memotivasi aku untuk belajar, tanpa harus terpuruk dalam kesedihan ini. “Yang lalu biarlah berlalu, sudah saatnya kita membuka lembaran baru yang lebih baik” itulah kata terakhir sebelum ia menutup telponnya. Ku harap ini bukan untuk terakhir kali ku bisa mendengar suaranya.
Saat ini yang bisa ku lakukan adalah mensyukuri anugerah terindah ini, menikmati kebersamaan kita sebagai teman, teman yang akan selalu memberi semangat untukku. Mungkin hanya dengan cara ini ku bisa menyayanginya, menyayanginya setulus hati, jujur sejak ia pergi aku belum bisa membuka hati untuk siapapun, karena hanya dia yang bisa membuat hatiku bergetar, dan enggan rasanya ku ber cinta lagi karena aku sudah cukup sakit dengan semua kisah cinta yang selama ini ku alami.
Tak ingin lagi rasanya ku ber cinta
Setelah ku rasa perih
Perpisahan ini membuatku tak berdaya
dan tak dapat lagi rasanya ku tersenyum
Setelah kau pergi meninggalkanku
Setelah ku rasa perih
Perpisahan ini membuatku tak berdaya
dan tak dapat lagi rasanya ku tersenyum
Setelah kau pergi meninggalkanku
Cerpen Karangan: Khoiriyatul Mukarromah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar