“Jen, dia masih ada nggak?” tanyaku pada teman sebangkuku yang sedang asyik menyisir rambut.
“Masih,” jawabnya sambil menyibakkan poninya.
“Dia ngapain, Jen?” tanyaku lagi penasaran.
“Aduh, gue nggak tau, Cat. Udah lu lihat sendiri aja, daripada penasaran kayak gini,” sarannya.
Aku hanya terdiam. Aku tak berani menolehkan kepalaku ke area belakang kelas yang biasa jadi tempat tongkrongan “dia” dengan beberapa teman sekelasku.
“Ya udah ntar lo tanya aja ke Indri. Dia kan duduk di belakang pasti tau lah kalau si Bagas ngapain aja,” lanjutnya sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Eh, lo mau kemana?”
“Biasa, ke WC. Mau ikut?” tawarnya.
“Mau dong,” aku berdiri dari tempat dudukku dan langsung menyusul Jenny. Ku beranikan diri menoleh ke arah “dia” yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Seulas senyum tergambar di wajahku.
“Masih,” jawabnya sambil menyibakkan poninya.
“Dia ngapain, Jen?” tanyaku lagi penasaran.
“Aduh, gue nggak tau, Cat. Udah lu lihat sendiri aja, daripada penasaran kayak gini,” sarannya.
Aku hanya terdiam. Aku tak berani menolehkan kepalaku ke area belakang kelas yang biasa jadi tempat tongkrongan “dia” dengan beberapa teman sekelasku.
“Ya udah ntar lo tanya aja ke Indri. Dia kan duduk di belakang pasti tau lah kalau si Bagas ngapain aja,” lanjutnya sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Eh, lo mau kemana?”
“Biasa, ke WC. Mau ikut?” tawarnya.
“Mau dong,” aku berdiri dari tempat dudukku dan langsung menyusul Jenny. Ku beranikan diri menoleh ke arah “dia” yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Seulas senyum tergambar di wajahku.
“Kenapa lo, Cat, senyum-senyum aja?” tanya Putri, temanku, setibanya kami di WC. Tepatnya, di kaca WC.
“Hah? Nggak pa-pa,” jawabku gelagapan.
“Biasa, Put, masih terpesona sama Bagas,” sahut Jenny yang baru saja keluar dari WC.
“Ssst! Aduh lo kalau ngomong pelanan dikit dong,” pintaku sambil meletakkan telunjuk di bibirku dan memandang ke sekeliling.
“Hah? Lo masih suka, Cat, sama dia? Katanya udah move on?” Putri memandangku heran.
“Dia lagi move on, gaya doang, Put, padahal mah nggak bisa tuh. Hahahaha…” ledek Jenny.
Aku hanya meringis meratapi kenyataan bahwa aku belum bisa move on dari Bagas, anak kelas sebelah.
“Ck..ck..ck.. Gue kira lo udah bisa move on, habis lo udah nggak bahas dia lagi dan kayaknya lo fine-fine aja liat dia mesra-mesraan sama ceweknya,” ujar Putri panjang lebar.
“Kan kayaknya, Put, padahal? Dia setiap hari ngomongin Bagas mulu. Sampe bosen gue dengernya,” kata Jenny sambil mematut dirinya pada cermin.
“Udah ah, nggak usah bahas dia deh, jadi males kan,” aku berjalan meninggalkan mereka. Aku sudah mulai badmood kalau membahas Bagas dengan ceweknya.
“Males apa galau?” goda Jenny diiringi cekikikan Putri.
“Tahu ah,” kataku cemberut.
“Hah? Nggak pa-pa,” jawabku gelagapan.
“Biasa, Put, masih terpesona sama Bagas,” sahut Jenny yang baru saja keluar dari WC.
“Ssst! Aduh lo kalau ngomong pelanan dikit dong,” pintaku sambil meletakkan telunjuk di bibirku dan memandang ke sekeliling.
“Hah? Lo masih suka, Cat, sama dia? Katanya udah move on?” Putri memandangku heran.
“Dia lagi move on, gaya doang, Put, padahal mah nggak bisa tuh. Hahahaha…” ledek Jenny.
Aku hanya meringis meratapi kenyataan bahwa aku belum bisa move on dari Bagas, anak kelas sebelah.
“Ck..ck..ck.. Gue kira lo udah bisa move on, habis lo udah nggak bahas dia lagi dan kayaknya lo fine-fine aja liat dia mesra-mesraan sama ceweknya,” ujar Putri panjang lebar.
“Kan kayaknya, Put, padahal? Dia setiap hari ngomongin Bagas mulu. Sampe bosen gue dengernya,” kata Jenny sambil mematut dirinya pada cermin.
“Udah ah, nggak usah bahas dia deh, jadi males kan,” aku berjalan meninggalkan mereka. Aku sudah mulai badmood kalau membahas Bagas dengan ceweknya.
“Males apa galau?” goda Jenny diiringi cekikikan Putri.
“Tahu ah,” kataku cemberut.
Aku membanting diriku ke tempat tidurku. Rasa lelah bercampur emosi menjadi satu. Bagaimana tidak emosi, aku melihat dengan jelas gadis itu naik ke motornya Bagas. Aku yang melihatnya langsung berlari secepat mungkin tanpa menghiraukan teriakan Putri yang memanggilku. Satu yang terlintas di pikiranku adalah aku ingin hilang dari tempat ini. Kini, air mataku tak kuasa lagi aku bendung kala mengingat hal tadi. Sudah cukup bagiku melihat dia kini berstatus pacar orang. Aku menangis terus sampai aku terbawa dalam alam mimpi.
Bangun tidur aku merasakan kepalaku berat sekali. Aku mengambil handphoneku untuk mengecek jam berapa sekarang. 18.50. Sudah hampir malam. Aku melihat diriku masih mengenakan seragam lengkap dengan kaos kaki. Tas sekolah beserta beberapa buku yang biasa kubawa ke sekolah, berserakan di lantai. Dengan cepat aku membereskannya sebelum aku dimarahi oleh orang tuaku.
Setelah mandi dan makan, aku kembali ke kamarku. Seketika seperti sengatan halus namun dalam merasuki tubuhku. Dengan cepat, kenangan indah bercampur pahit bermain di depanku. Saat aku mengenal Bagas. Kami bercanda ria di dalam sebuah bus yang membawaku beserta teman-temanku pergi ke suatu tempat. Saat aku melihat dia dari jauh. Saat aku berhubungan dengannya melalui sebuah pesan singkat. Saat dirinya memanggilku dengan sebutan yang sangat amat kurindukan saat ini. Namun, dengan cepat pula berganti menjadi kenangan pahit saat aku mengetahui hatinya tertuju kepada siapa. Saat aku harus menerima kenyataan bahwa dirinya menyukai temanku sendiri. Saat aku lost contact sekian lamanya. Saat aku harus mendengar dirinya telah menjadi milik temanku. Untuk kesekian kalinya, air mataku turun.
Aku tidak tahan untuk tidak menyimpan cerita ini sendiri. Maka aku menceritakan hal ini kepada Jenny, sahabat baikku.
“Gue nggak bisa move on, Jen,” ucapku lirih.
“Bukan nggak bisa tapi belum, Cat,” katanya lembut. “Iya mungkin lu emang belum bisa buat lupain dia,”
“Gue nggak tahan, Jen, lihat dia sama tuh cewek,”
“Iya gue ngerti ko, Cat, tapi semua itu butuh proses. Ada kalanya kita mencintai seseorang yang emang nggak cinta sama kita. Remember, milikilah hati yang tulus untuk dapat mencintai yang tak bisa mencintai,”
“Tapi gue rasa pasti nggak susah kok buat lupain dia,” sambungnya sambil tersenyum.
“Apa? Cari yang baru? Nggak ah, nggak minat. Hati gue masih di Bagas,” kataku ogah-ogahan.
“Hahaha… Ya udah lah Cat, pokoknya kita kan masih 16 tahun. Masih labil. Jadi kita nggak tau kan perasaan kita ntarnya gimana. Jadi jalanin aja. Nggak selamanya dunia itu berpihak pada kita. Anggap ini pembelajaran buat kita menjadi dewasa,” ucap Jenny bijak.
Aku tersenyum malu. Benar juga ucapan Jenny. Aku masih muda. Masih banyak yang harus aku kerjakan selain memikirkan orang yang tidak memikirkan kita. Yang terpenting juga adalah jika kita mencintai seseorang, kebahagiaannya adalah segalanya untuk kita walau Ia bahagia bukan bersama kita.
“Gue nggak bisa move on, Jen,” ucapku lirih.
“Bukan nggak bisa tapi belum, Cat,” katanya lembut. “Iya mungkin lu emang belum bisa buat lupain dia,”
“Gue nggak tahan, Jen, lihat dia sama tuh cewek,”
“Iya gue ngerti ko, Cat, tapi semua itu butuh proses. Ada kalanya kita mencintai seseorang yang emang nggak cinta sama kita. Remember, milikilah hati yang tulus untuk dapat mencintai yang tak bisa mencintai,”
“Tapi gue rasa pasti nggak susah kok buat lupain dia,” sambungnya sambil tersenyum.
“Apa? Cari yang baru? Nggak ah, nggak minat. Hati gue masih di Bagas,” kataku ogah-ogahan.
“Hahaha… Ya udah lah Cat, pokoknya kita kan masih 16 tahun. Masih labil. Jadi kita nggak tau kan perasaan kita ntarnya gimana. Jadi jalanin aja. Nggak selamanya dunia itu berpihak pada kita. Anggap ini pembelajaran buat kita menjadi dewasa,” ucap Jenny bijak.
Aku tersenyum malu. Benar juga ucapan Jenny. Aku masih muda. Masih banyak yang harus aku kerjakan selain memikirkan orang yang tidak memikirkan kita. Yang terpenting juga adalah jika kita mencintai seseorang, kebahagiaannya adalah segalanya untuk kita walau Ia bahagia bukan bersama kita.
Cerpen Karangan: Katharina Retni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar