Sabtu, 16 November 2013

Cerpen - Setelah Kepergianmu

Matahari masih bersinar dengan cerah hari ini…, awan putih pun masih menghiasi langit biru.., hari ini masih sama seperti hari kemarin. Tak ada yang berbeda tapi kenapa aku merasakan ada yang berbeda..? Aku berteduh di bawah pohon yang rindang di pinggir jalan yang sisinya berjejer pepohonan yang rimbun. Ada sebongkah batu di bawah sebuah pohon membuatku memutuskan duduk di sana. Kendaraan bermotor lalu lalang di jalan mengeluarkan suara bising tapi aku merasa hati dan pikiranku lebih bising. Banyak suara dan kata-kata yang selalu melintas dan terngiang di telinga dan pikiranku. Aku mendesah pelan mencoba menenangkan segala kebisingan ini meski aku tahu itu tidak akan berhasil.
Angin berhembus lembut menyapu tubuhku, kesejukannya mengelus kulitku. Perlahan angin mempermainkan rambutku dengan lembut, mengusik wajahku. Tapi semua itu tidak mengubrisku aku sibuk dengan segala yang ada di pikiranku. Aku tertunduk dan menatap trotoar jalan, kemana pun aku berlari dia selalu mengikuti dan sekuat apa pun aku menekannya dia terus muncul sehingga aku bertekuk lutut. Tapi semua sudah terlambat.. meski aku mengakuinya dan ingin membebaskannya semua tidak ada artinya lagi. Lalu.. aku harus berbuat apa? Aku menatap ke depanku kendaraan masih banyak lalu lalang.. Kebisingan di pikiranku membuatku tidak memperhatikan sekelilingku. Selama ini aku tidak akan membiarkan diriku bengong di pinggir jalan seperti ini. Seperti orang yang linglung yah.. linglung tapi mungkin itulah keadaanku sekarang. Aku bangkit berdiri dan memutuskan berjalan pulang dari pada bengong di pinggir jalan benar-benar seperti orang linglung…
Aku berjalan di koridor kampus, beberapa mahasiswa melirikku. Aku berjalan cuek, aku tahu apa yang ada di pikiran mereka. Aku masuk ke dalam ruangan kuliah dan duduk di bangku depan. Ruang kuliah masih sepi, mereka pasti berpikir kepergian ewang karena aku. Mungkinkah karena aku wang..? Satu persatu mahasiswa masuk ke ruang kuliah, ruangan ini mulai bising dengan suara teman-teman tapi hatiku tetap saja sepi. Tak ada yang menyapaku seperti biasanya “Karin.. aku duduk di sebelahmu ya..” itu selalu yang kamu ucapkan. Kenapa aku terganggu dengan kebiasaanmu yang sudah tidak ada lagi. Saat itu aku selalu cuek dengan sapaanmu.. candaanmu… kenapa aku sekarang terganggu tanpa semua itu. Seharusnya aku lega tanpa gangguan-gangguan kecilmu, tapi ternyata tidak.
Saat dosen masuk ke kelas perkuliahan di mulai dan aku mencoba konsentrasi.. meski sulit. Selesai kuliah aku langsung cepat-cepat keluar ruangan, berjalan ke arah lapangan olah raga. Kenapa aku kemari? Aku berhenti melangkah.. berdiri di depan lapangan yang luas. Lapangan terlihat lenggang tanpa aktifitas mahasiswa yang biasanya suka main basket di sini. Mataku menatap lapangan, terlintas bayangan-bayangan ewang bermain di sana. Dia tertawa, berlari.., melompat.., dia seperti ada di depanku. Ku ulurkan tanganku ke depan mencoba meraihnya.. bayangan itu menghilang. Aku tersadar.. aku terduduk di sisi lapangan, air mataku menetes. Wang maaf… ucapku dalam hati. Cuaca terik siang ini tidak membuatku berlari berteduh seperti biasanya justru aku betah duduk di sisi lapangan kampus sambil mengingat ewang…
Aku berdiri bersandar di dinding di depanku mariani duduk di kursi, kami sedang berada di ruang kesekretariatan jurnalistik kampus.
“Mungkin itu hanya perasaan bersalah kar..” ucap mariani.
“Mungkin tapi untuk apa? Seharusnya aku ngak merasa bersalah, memangnya aku ada buat salah apa sama dia..” ucapku pelan sambil melihat keluar dari jendela ruang kesekretariatan. Masih banyak mahasiswa lalu lalang di luar sana meski hari sudah sore.
“Karena selama dia disini kamu selalu cuekin dia..” tebak mariani.
“Bukan hanya dia yang ku cuekin, banyak cowok lain yang ku cuekin dan aku biasa saja” ucapku sambil menoleh pada mariani.
“Jadi menurutmu apa?” ucap mariani berbalik bertanya padaku.
“Aku ngak tahu, aku… aku… merasa kosong..” ucapku, aku menunduk kakiku ku gerak-gerakan merasa gelisah.
“Boleh aku menebak sekali lagi?” tanya mariani pelan, aku mengangguk.
“Kamu kehilangannya?” ucap mariani, kehilangan? Benarkah? Kenapa aku harus kehilangannya?
“Kamu sudah jatuh cinta padanya..” ucapan mariani membuyarkan pertanyaan di kepalaku, kakiku berhenti bergerak. Aku menaikkan wajahku dan menoleh pada mariani. Mariani tersenyum.
“Jatuh cinta?” ucapku, mariani mengangguk.
“Dengan ewang?” ucapku lambat.
“Emang ada apa dengan ewang sehingga kamu sepertinya keberatan di katakan jatuh cinta padanya” ucap mariani, aku menggeleng. Teringat ewang… cowok ramah yang memiliki senyum yang manis dan selalu tersenyum meski ku selalu mencuekinya bahkan terkadang ketus padanya. Ewang memang tidak sekeren valdo si cowok populer di kampus atau seperti digo si tajir yang selalu bergaya atau seperti handi yang pintar. Ewang spesial karena hatinya yang tulus itu.
“Kar, sudah saatnya kamu buka hatimu…” ucap mariani, Aku diam aja.
“Ewang jelas-jelas menunjukkan perasaan cintanya padamu, dia ngak pernah menyerah meski kamu selalu mencuekinnya…” ucap mariani
“Kalau pun itu benar, semua sudah terlambat ewang sudah pergi..” ucapku
“Ya.., tapi kalian cuma terpisah jarak kita ngak tahu seperti apa ke depannya.” ucap mariani.
“Mereka katakan ewang pergi karena aku..” ucapku. Mengalihkan arah pembicaraan.
“Siapa?” tanya mariani.
“Teman-teman di kampus..” ucapku.
“Mereka tidak tahu apa-apa, kamu juga tahu impian ewang bukan? Ini adalah impiannya dan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri adalah kesempatannya. Dia pergi bukan untuk menghindarimu tapi untuk meraih impiannya..” ucap mariani.
“Ya.., sekarang aku yang harus merelakannya… ini semua salahku. Jadi aku yang terima resikonya.” Ucapku.
“Ewang pasti akan kembali lagi” ucap mariani
“Ya.. tapi dia kembali belum tentu untukku, masaku pasti akan berlalu. Kesempatanku telah berlalu.” Ucapku.
“Kita tidak tahu seperti apa ke depannya..” ucap mariani, aku senyum.
“Ya.. dan aku pun ngak tahu bagaimana mengatasi masa sekarang ini, rasanya aku ingin menghilangkan ingatanku tentang dia..” ucapku.
“Jangan, simpanlah.. bukankah rasa cinta itu adalah anugerah, hal yang berharga.” ucap mariani.
“Tapi aku ngak mampu untuk terus memikirkannya, seperti lagu Geisha mar.” ucapku.
“Lumpuhkan ingatanku?” ucap mariani aku mengangguk.
“Pantes akhir-akhir ini kamu suka dengar lagu itu, ternyata lagi galau..” ucap mariani jenaka, aku senyum.
“Nah masih bisa senyum, berarti belum parah banget penyakitnya.” ucap mariani.
“Emang aku sakit..” ucapku.
“Ya..” ucap mariani sambil berdiri dan merangkul bahuku.
“Ya.. sakit cinta..” ucapnya sambil tertawa aku senyum.
“Thanks God, ternyata sahabatku ini tidak mati rasa.” ucap mariani, aku tertawa.
“Ya enggaklah mar..” ucapku, kami tertawa. Di suatu sore di ruang kesekretariatan jurnalistik akhirnya ku bebaskan rasa itu…
Obrolanku dengan mariani sore itu, membuatku lebih rileks. Mungkin pengakuan ini datangnya terlambat tapi ini pembelajaran untukku. Sehingga bila suatu saat ada kesempatan untuk mencintai, ku ngak akan melewatkan kesempatan itu. Kesempatan tidak akan selalu datang. Ku ngak ingin menyesal seperti saat ini. Ewang… bila ada kesempatan sekali lagi untuk bersamamu aku ngak akan menyia-nyiakannya. Mungkin kamu tidak secemerlang bintang di langit tapi kamu berharga di hatiku. Meski kamu tidak tahu perasaanku saat ini.. Aku ngak tahu apakah akan ada kesempatan lagi untuk kita bisa bersama. Tapi aku berdoa supaya kamu bahagia dengan siapa pun kamu nantinya karena kamu pria yang baik.
Bye my lovely brother…
Cerpen Karangan: Imelda Oktavera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar