Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Penantian Terakhir

Wita itulah panggilanku di sekolah baruku, hari pertama sekolah sama seperti sekolah-sekolah lainnya tak lain dan tak bukan pasti perkenalan lalu pemilihan ketua kelas, tapi beda denganku tak seperti yang aku bayangkan sebelum sampai sekolah. Hari pertama sekolah justru menjadi hari terburuk yang pernah aku rasakan karena aku tak secantik cewek-cewek yang bersekolah di situ bnyak sekali murid-murid lain yang menertawakanku. Huuu entah apa yang mereka tertawakan ku anggap saja angin lalu.
Hari-hari selanjutnya pun sama tak ada hari tanpa ejekan yang menyakitkan sampai-sampai ejekan itu memperkenalkanku dengan dimas adalah cowok ganteng yang letak kelasnya tak jauh dari kelasku. Semakin hari ejekan itu menjadi kebal di telingaku bahkan ketika dimas memanggilku dengan panggilan “witut” seperti ada yang bernyanyi di telingaku mungkin cinta telah mengubah maknanya di hatiku.
Terlampau sering dia mengejekku semakin sering juga aku ingin selalu di dekatnya. Lama-lama kita jadi sering ngobrol, bercanda, bahkan jalan-jalan bersama. Aku tak tahu entah apa isi benaknya saat itu yang jelas aku menyayanginya tanpa dia sadari. Dia seolah-olah memberiku harapan bahwa aku harus mempertahankan cintaku.
Lama berjalan hubungan pertemanan ini ternyata ia telah mempunyai incaran hati, yang tak pernah aku ketahui darinya dan pacarnya pun tak mengijinkan bila aku bertemu lagi dengan dimas. Aku hanya terdiam seperti ada yang mencincang-cincang hatiku. Suasana ini membuatku tak merasakan hidup lagi, dunia terasa sepi, mungkin dunia tak berwarna lagi…(kelebayan dot com) tapi memang itulah yang kurasakan. Selama 3 hari aku seperti manusia yang tak bernyawa menurug diri di kamar tak ada niatku untuk bergembira lagi. Dia pun telah bahagia dengan pujaan hatinya itu sampai-sampai dia tidak ingat aku lagi.
Esok harinya aku melihat satu pesan di handphoneku yang bertuliskan:
“EH JELEK, JANGAN HUBUNGI AKU LAGI. KAMU TAU MAKSUDKU KAN. ANGGAP SAJA KITA TAK PERNAH KENAL”
Membaca pesan itu membuatku ingin pingsan tapi aku tidak boleh kalah dengan perasaan galau ini. Aku memberanikan diri untuk sekolah kembali dan mencoba menatap kenyataan bahwa pangeranku telah di miliki orang lain. Setiap kali aku melihatnya sedang menikmati hari-harinya dengan pacar yang paling dia cintainya itu… jiwaku melonjak, merintih bahkan menjerit berkata “aku tak suka dengan kenyataan ini” dan mencoba tersenyum ketika dia melihatku. Begitulah yang aku rasakan tiapaku menapaki lantai sekolahku. Terkadang aku bertanya pada diriku sendiri “pantaskah hati ini memilikimu?”.
Berbulan-bulan telah berlalu mengubur semua kenangan indah itu, membawaku menjadi pribadi yang amat pendiam setelah lulus dari sekolah. Tak ada lagii keindahan tuk menapaki hari demi hari. Yang aku harapkan dalam hidup ini hanya dimas kembali ke hidupku, ya hidupku yang sedang sunyi tanpa cahaya kasihnya. Selalu saja pikiran itu datang lagi “masihkah ia ingat kepadaku? Walau seperti angin berlalu” (jiplak lagu dikit). Hemm ya sudahlah aku tak pantas memikirkannya lagi.
Sore ini aku pulang cepat dari tempat kerjaku, sejenak aku pun mampir ke taman yang dulu selalu ku kunjungi bersama dimas DULU. Mengahabiskan waktu di taman sambil menyelesaikan puisi-puisi yang sering aku tulis untuknya namun tak pernah tersampaikan kepadanya satu pun. Saking asiknya aku menulis sampai-sampai aku lupa membaca sms. Perlahan aku membuka ponselku dengan harapan dialah sms aku tapi nyatanya pun bukan dia melainkan sms dari seseorang yang sekarang aku tak tau keberadaannya.
“kak, aku rena adiknya ka dimas. Ka dimas kecelakaan sekarang dia koma dan di rumah sakit MT. Haryono. maaf baru memberitau kakak”
Dengan langkah seribu aku langsung tancap gas motorku dengan kecepatan yang sangat kencang dan tak lagi memikirkan keselamatanku yang jelas aku tak ingin kehilangannya walaupun dimas tak pernah menghiraukanku.
Sesampainya di rumah sakit aku menelpon rena menanyakan dimana kamar dimas di rawat lalu dengan hati yang tak karuan aku telusurin lorong-lorong rumah sakit untuk menemukan dimas. akhirnya aku bertemu dengan rena tepat di depan kamar dimas kulihat rena menangis dan memeluk aku dengan erat seperti meluapkan isi hatinya. aku seperti tak berdaya melihat keadaan dimas yang terbaring lemas dengan berbagai alat kedokteran. Sebenarnya aku tak rela melihat keadaan dimas yang hanya bergantung dengan alat-alat itu tapi tanpa alat-alat itu tidak mungkin dimas dapat bertahan.
Hari-hari kini aku jalanin dengan sepi, tanpa senyum dimas yang slalu menyemangatiku, entah sampai kapan alat-alat itu menempel dengan raga dimas. dengan perasaan sayang yang tak pernah pudar sejak sma dulu aku merawat dimas penuh sepenuh jiwaku seolah dimas akan sembuh esok hari.
Terus dan terus kujalani kenyataan ini sampai akhirnya dokter memutuskan untuk menghentikan penanganan medis jika belum di dapatnya pendonor ginjal untuk menggantikan ginjal dimas yang sudah hancur terhantam stang motor, mengetahui penjelasan dokter yang hanya sesaat membuat aku tak berpikir panjang untuk mendonorkan salah satu ginjalku untuk dimas yah walaupun aku tak tau yang akan terjadi pada tubuhku nanti. Yang aku bayangkan hanyalah dimas akan kembali sehat dan dapat melanjutkan hidupnya.
Tanpa seorangpun yang tau bahwa wita mendonorkan salah satu ginjalnya pada dimas. Selesai operasi esok harinya dimas sadar dari komanya yang panjang. sengaja dokter merahasiakan keberadaanku saat operasi dari keluarganya dimas karena permintaanku agar tak ada yang mengetahui bahwa aku yang mendonorkan ginjal untuk dimas. Dua hari kemudian aku dapat sms dari adiknya dimas yang menyampaikan bahwa dimas sudah sadar dan minggu depan sudah boleh pulang, dengan bahagia aku menjenguk dimas walau jahitan operasiku belum begitu kering.
Sesampainya di depan kamar dimas aku bertemu rena kulihat wajah rena begitu bahagia karena kakaknya sudah sembuh. lalu dengan perasaan yang dagdigdug kubuka pintu kamar dimas dan aku menyapa dimas tapi apa yang aku dapatkan dimas begitu dingin dan cuek kepadaku dia pun tak menjawab sapaanku justru dia mengusirku dengan senyum menahan air mata yang mulai menetes aku pun keluar dari kamar dimas rena menegurku, aku hanya tersenyum walau air mata sudah menetes deras tak bisa kutahan, namun rena tak mengejarku dia hanya membiarkan ku pergi. sejak itu aku hidupku menjadi sunyi karena tak ada lagi yang akan aku harapkan dari seorang dimas, yang aku tahu dimas membenciku seumur hidupnya.
TIGA BULAN KEMUDIAN…
Aku duduk termenung tersandar pada bangku yang menahan rintih tubuhku yang tak sekuat dulu. di taman yang begitu banyak kenangan indah bersamanya, terus membayangkan “seandainya saja kau ada disini dimas, hidupku tak kan sesunyi ini adalah penantian terakhirku aku sadar tak mungkin aku memilikimu.. aku capek, harus menunggumu yang tak kan memberi kepastian cintamu kepadaku. aku berhenti…”
“Jangan berhenti” suara laki-laki itu memberhentikan kata-kataku dan dia memeluk pundakku dari belakang.
“jangan berhenti menyayangiku dan mencintaiku wit, karna Cuma kamu bahagiaku, kamu cinta sejatiku, Cuma kamu yang mau mengorbankan hidupmu untuk aku. Aku akan terus melengkapi semua suka duka mu wita, aku mohon jangan berhenti…
Lalu aku membalikkan badan dan kaget dengan kehadiran dimas “eh dimas kok kamu ada disini? Terus omongannya aneh lagi”
Dimas kini di depanku sambil berlutut megenggam tanganku “maafin aku yang sia-siain kamu, gak perduli dengaan kamu, aku ingin kamu mendampingi hidup aku selamanya, Aku sayang sama kamu wita”.
Tiba-tiba air mata wita menetes dan menjawab kata-kata dimas.
“Jangan cintai aku dengan rasa kasihan, aku hanya ingin melihatmu bahagia walaupun tanpa aku. Tanpa kita. ku tahu bahagiamu bukan aku dan jangan pernah kau bohongi perasaanmu sendiri dimas yakinlah bahwa cinta sejatimu itu bukan aku wita si gadis jelek”.
Dimas mengusap air mata di pipiku memelukku dengan erat.
“maukah kau menikah denganku?” dengan perasaan terharu aku tersenyum memeluk erat dimas.
Tamat.
Cerpen Karangan: Imelda Tanjung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar