Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Datang Dan Kembali

“Huaaah…” rasa ngantukku kalah dengan semangatnya hari ini.
Namaku Reina. Hari ini adalah hari pertamaku masuk ke dunia SMA. Rasanya benar-benar nggak sabar. Ingin sekali merasakan SMA tuh seperti apa sih. Dan hari ini, aku siap untuk menjalani hari-hari baruku.
Aku mematut diri di depan cermin di kamarku, berharap tidak akan ada kesalahan yang membuatku terhukum hari ini. Untung saja sekolah baruku tidak mensyaratkan hal aneh untuk kupakai saat MOS. Hanya kemeja putih, rok hitam pendek, kaos kaki sebetis dan sepatu kets.
“Kkrrriiinggg…” bel sekolahku berbunyi. Para anak baru berpakaian putih-hitam pun bergegas menuju lapangan untuk upacara. Dalam waktu sekejap, lapangan sudah dipenuhi lautan anak baru berpakaian putih-hitam.
Saat aku menuruni tangga bergegas turun ke lapangan, aku menabrak seniorku. Kami bertatap sejenak lalu aku langsung menunduk malu.
“Maaf kak, saya salah. Saya buru-buru, jadi nggak ngeliat jalan.” kataku sambil menunduk.
“Haha iya gak papa kok. Saya juga salah gak menghindari kamu. Langsung ke lapangan, gih.” katanya.
Aku tertegun melihat wajahnya. Saat tersadar aku langsung menjawab, “Iya, kak.” kataku sambil menuju ke lapangan.
Selama upacara aku tidak konsen mendengarkan amanat pembina karena terbayang seniorku tadi. Aku berharap sekali bisa bertemu dia lagi. Dan tak terasa juga akhirnya upacara selesai. Semua anak-anak MOS segera memasuki ruang kelas yang sudah dibagi oleh anggota OSIS sekolahku dan 1 ruangan kelas itu akan menjadi 1 kelompok selama MOS. Aku mendapat kelas X-E dan langsung mendapat teman baru. Namanya Nisa. Dan aku berharap kita bisa menjadi teman baik.
Setiap kelas mendapat 1 mentor untuk membimbing kami selama mengikuti MOS 3 hari. Aku dan Nisa mengintip ke 2 ruangan sebelah kanan kiri kami. “Semuanya udah dimasukin mentor, kenapa ruangan gue belum ya?” pikirku.
“Nis, mentor kelas kita kok belum ada ya?” tanyaku kepada Nisa.
“Kayaknya telat deh, Rei. Aduh bisa ketinggalan informasi deh kita.”
Tidak lama kemudian, terlihat sesosok laki-laki berjalan ke arah kelasku. “Itu kan… Demi apa… Jangan bilang dia mentor gue..” gumamku melihat lelaki yang berjalan ke arah kelasku.
“Drrkk..” suara pintu terbuka. Dan aku hanya bisa tersenyum memandang wajahnya.
“Kenapa, Rei?” Nisa bertanya heran sambil mengernyitkan dahi.
“Hmmm. Gak papa, Nis hehe gak papa.” kataku sambil memalingkan muka, malu karena terlihat senyum-senyum sendiri.
“Oke, guys. Gue Rian, gue senior kalian yang ditugasin buat jadi mentor di kelompok ini. Gue 11 IPS A dan kalian bisa manggil gue ‘Kak Rian’. Terserah kalian mau manggil apa, tapi tetep sopan ya. Oh iya, maaf ya telat, soalnya ada barang yang ketinggalan di rumah jadi terpaksa pulang dulu.” jelasnya panjang lebar.
“Iya, Kaaaa Riaaan.” kata anak-anak perempuan kelasku serempak.
“Genit.” gerutuku. Dan setelah beberapa saat menangkap semua apa yang dia bicarakan, aku baru mendapat kesimpulan kalau ternyata dia adalah mentor kelompokku.
Rian. Dia adalah mentor kelompokku. Tampan, aktif, easy-going, asik, gak sombong, ya… baik. Dia salah satu anggota basket di sekolahku. Posturnya tinggi atletis. Benar-benar idaman kaum hawa di sini, deh. Pertama kali aku bertemu dengannya saat hendak menuju lapangan untuk upacara. Aku tidak sengaja menabraknya dan… Yah, seperti itulah.
Saat Rian sedang membagikan form di deretan mejaku, mataku bertemu pandang dengannya sejenak. Lalu dia menyapa, “Eh, kamu yang nabrak saya tadi pagi kan? Haha.”
Malu. Aku hanya bisa nunduk dengan muka merah padam sambil berkata, “Iii… iya, kak. Maaf kak saya bener-bener gak sengaja.”
“Hahaha kamu lucu. Gak papa kok, selow aja lagi.”
Lucu? Gak tau harus berekspresi gimana… Malu karena dia bicara dengan suara yang mungkin agak sedikit keras, dan malu karena dia memujiku. Oke, mungkin bukan malu. Senang? Hmmm…
Dia tersenyum melihat ekspresiku. Ya, tersenyum. Entah ini cuma perasaanku saja, atau memang benar pandangan dia berbeda kepadaku. “Dag…dig…dug…” aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. Apa ya?
Tidak terasa 3 hari MOS sudah kulewati dengan lancar. Seiring waktu, Rian bisa berbaur dengan kelasku. Terlebih, kami berdua bisa akrab. Entah gimana caranya. Tapi dia mulai mengirimkan SMS untukku. Yang tadinya hanya sekedar jarkoman mentor ke menti, sampai ngobrol tentang banyak hal. Dia sudah mulai sering menanyakan aku sedang apa, mengingatkan untuk shalat, mengingatkan untuk makan, dan mengingatkan hal-hal kecil lainnya. Dia memang laki-laki yang baik dan perhatian. Apa aku suka padanya? Sejak kapan?
“Kkkrrkkk…” tiba-tiba Bunda membuka pintu kamarku dan membuyarkan lamunanku. “Reina..” panggilnya.
“Iya, Bun?”
“Lagi apa, hayoo? Kayaknya kaget gitu Bunda masuk.”
“Hehe, gak papa Bun, ada apa?”
“Enggak, lagi iseng aja. Makanya Bunda ke sini. Sekalian mau denger cerita kamu, ah.”
“Cerita apa, Buuun?”
“Cerita kesan awal kamu masuk SMA dong, Sayang..”
“Hmmm, gak ada yang spesial, Bun. Biasa-biasa aja. Em… tapi Bun, Reina lagi deket sama senior Reina. Gak tau sih Bun, ini deket sebagai apa, tapi dia perhatian banget sama Reina.”
“Anak Bunda sudah besar ya ternyata.” ledek Bunda kepadaku. Malu, sih. Tapi mau gimana lagi. Lalu Bunda melanjutkan, “Mungkin itu tanda rasa sayang senior Reina ke Reina. Reina kapan kenal senior Reina itu?”
“Dia mentor Reina waktu MOS itu, Bun.”
Dan cerita pun berlanjut hingga larut. Memang tenang rasanya kalau sudah cerita sama Bunda. Rasanya setiap masalah pasti akan selesai karena saran Bunda.
Kami semakin dekat, dekat sekali. Rasa sayang pun muncul dengan sendirinya seiring waktu yang sudah kita lewati bersama. Dia mengantarku pulang setiap hari, dan kadang dia main di rumahku. Tapi status kami masih belum jelas. Aku juga tidak tahu gimana perasaan dia yang sebenarnya kepadaku. Sampai suatu ketika dia bilang sayang kepadaku, lalu aku bertanya, “Sayang sebagai apa, Yan? Sebagai adik kecil yang ngangenin ya? Hahaha.” tanyaku yang tentu saja dengan nada bercanda.
“Iya, Rei. Kamu udah aku anggep kayak adik kecilku sendiri yang harus aku jagain terus.” katanya sambil mengacak-acak rambutku.
‘Adik’ ya, ‘adik’. Udah jelas sekarang semuanya. Dia hanya menganggapku sebagai adik kecilnya yang harus dia lindungi. Nggak lebih.
Mulai saat itu, kami menjauh. Entah dia yang mulai menjauh duluan, atau aku yang mulai menjauh duluan. Pokoknya kami menjadi jauh. Awalnya aku masih menghubunginya, sesekali menanyakan kabar sekedar basa-basi dan mencoba mencairkan juga membalikkan suasana seperti dulu. Tapi gak bisa. Kita sudah benar-benar jauh. Dan aku katakan padanya kalau aku sedih dengan keadaan seperti ini. Tapi nggak ada respon dari dia.
Sampai akhirnya aku dekat dengan seorang teman laki-laki. Namanya Rendy. Dia teman sekelasku. Dia juga anggota basket di sekolahku, sama seperti Rian. Dia baik, perhatian, dan lama-lama dia juga menunjukkan rasanya padaku. Walaupun dia tidak terus terang. Tapi rasanya aneh kalau gak ada rasa apa-apa. Dia terus menunjukkan perhatiannya padaku. Ya, realistis sih perempuan ga akan bisa nolak kalau dikasih perhatian terus-menerus, kan?
“Rei, gue anter pulang ya? Sekalian ada yang mau gue omongin sama lo.” hari ini tiba-tiba saja Rendy ingin mengantarku pulang dan ingin mengatakan sesuatu kepadaku.
“Oh iya, Ren. Mau ngomong apa emang?” tanyaku penasaran.
“Nanti aja, Rei. Gue tunggu di parkiran, ya?”
“Oke.” jawabku singkat, mengiyakan. Aku jadi penasaran sendiri apa yang mau dia katakan.
“Gue sayang sama lo, Rei.” katanya tiba-tiba sambil menggenggam tanganku.
“Apa?” jawabku kaget. Sangat kaget. Karena tidak menyangka dia akan mengatakan hal ini secepat ini.
“Iya, gue sayang sama lo, Rei. Gue gak tau gimana cara mengungkapkan yang baik. Gue cuma mau lo tau gimana sayangnya gue ke elo. Gue berharap lo bisa kasih gue kesempatan buat buktiin seberapa sayangnya gue ke elo.” jelasnya.
“Ren.. Kenapa bisa?”
“Gue gak tau mulai kapan gue ngerasain ini, Rei. Tapi yang jelas, sejak pertama kali kita deket, gue ngerasa gue harus ngejagain lo. Reina Azzahra, mau kan jadi pacar gue?”
Speechless. Aku benar-benar gatau apa yang harus aku lakuin. Di sisi lain, aku masih ada perasan sama Rian walau hanya sedikit. Tapi di sisi yang lainnya, aku juga merasa aman dan nyaman di dekat Rendy. Aku berpikir dan memantapkan hatiku. Dan akhirnya…
“Ya, Ren. Gue mau.”
“Apa, Rei?” tanyanya tidak percaya.
“Gue mau jadi pacar lo. Kurang jelas, nih?”
Dan Rendy langsung memelukku sejenak tanda kegembiraan, lalu langsung melepaskannya. “Sorry Rei, gue seneng banget. Gue gak tau harus ekspresiin lewat apa. Janji, gue akan berusaha buat gak nyakitin lo.”
“Janjinya gue pegang, ya?” kataku menggodanya.
“Gue sayang lo, Rei.” katanya sebelum bergegas pulang. Dan aku hanya bisa mengangkat jempolku menandakan aku menerima pernyataannya.
Tak terasa sudah 1 tahun aku menjalani hubungan dengan Rendy. Dia laki-laki yang luar biasa. Dia bisa mengerti setiap keadaan yang aku alami. Dia laki-laki yang memiliki pengertian yang juara terhadapku. Dia juga laki-laki yang tau dan bisa menerima sifatku yang paling jelek. Dia pernah bilang, “Kalo aku gak sayang sama kekurangan kamu, aku bakal banyak ngatur kamu, Rei. Aku suka diri kamu apa adanya.” Dan itu yang selalu aku ingat. Dia adalah teman laki-laki paling dewasa yang pernah aku temui.
Tapi pada suatu hari, Rian datang kembali ke kehidupanku. Kami tidak sengaja bertemu di kantin saat aku menunggu untuk dijemput, karena kebetulan tidak pulang bersama Rendy. Dia menyapa dan menanyakan kabarku, lalu duduk di sebelahku. Entah apa maksudnya. Aku hanya berpikir, “Ah.. mungkin cuma mau basa-basi.” pikirku sekenanya. Aku meresponnya. Merespon obrolan basa basi itu dengan rasa sedikit senang, karena dalam hatiku yang paling kecil, aku merindukannya. Merindukan obrolan-obrolan kecil seperti ini. Merindukan sosok ‘kakak’ dalam dirinya terhadapku. Dan seketika aku kembali mengingat masa-masa dulu. Masa-masa dimana kami dekat sekali.
“Hai, Rei. Belum pulang?” sapanya.
“Belum, Yan. Belum dijemput.” balasku sambil tersenyum.
“Gak pulang bareng Rendy?”
Dan kami terus membicarakan hal basa-basi sampai akhirnya dia berkata, “Aku kangen kamu, Rei.”
Dug… dug.. tiba-tiba jantungku terasa berdetak lebih cepat. Dan respon yang bisa kuutarakan hanyalah, “Haha, becanda ya. Tapi emang sih kita udah lama ga ketemu. Aku juga kangen sama kamu.”
“Coba kamu dengerin lagu ini..” katanya sambil memberikan headsetnya padaku.
“Lagu apa, Yan?”
“If You’re Not The One.”
“Loh? Kamu nyuruh aku dengerin ini? Kenapa?”
“Iya Rei. Aku Cuma mau jelasin sesuatu lewat lagu ini.” seketika dia menggenggam tanganku. “Rei, aku tau aku sama sekali gak berhak buat begini ke kamu sekarang karena kamu udah milik orang lain. Aku juga gak punya maksud apa-apa selain ingin kamu tau yang sebenarnya soal aku, soal kita.”
“Soal kita?” tanyaku tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti lalu aku langsung melepas genggamannya.
“Soal kita dulu. Ada sesuatu yang belum kamu tau. Aku tau pasti banyak pertanyaan di otak kamu soal kedekatan kita dulu, dan soal kenapa kita menjadi jauh kan?”
Lalu ekspresiku langsung berubah. “Iya, Yan.” jawabku singkat dengan rasa penasaran.
“Aku tau aku terlambat buat bilang ini sekarang. Tapi mungkin ini udah gak berarti lagi buat kamu makanya aku coba jelasin semuanya sekarang. Dulu, waktu kita deket, aku beneran suka sama kamu, Rei. Kita deket dan lama-lama aku jadi sayang sama kamu. Tapi aku gak yakin kamu ngerasain hal yang sama ke aku. Aku sadar kamu nunjukin perhatian lebih ke aku, tapi dulu aku pikir kamu cuma nganggep aku sebagai ‘kakak’ kamu.”
“Aku nyoba buat menghindar dari kamu, tapi gak bisa, Rei. Aku terlalu sayang sama kamu. Saat kamu nanya aku sayang kamu sebagai apa, aku gak ngerti harus jawab apa. Dan saat kamu bilang ‘sebagai adik ya’, aku cuma bisa mengiyakan. Karena kalau aku bilang enggak, berarti aku membohongi kamu dan diriku sendiri. Sedangkan aku belum ada keberanian untuk ngomong sejujurnya ke kamu, Rei.” jelasnya panjang lebar.
Aku hanya bisa menatapnya dan menunduk sesekali. Aku kaget dia langsung bicara seperti itu. Jauh dari yang kuduga. Lalu tiba-tiba dadaku terasa sesak. Entah apa yang aku rasakan.
“Dan untuk yang terakhir kali aku nyoba buat menghindari kamu setelah percakapan itu, karena aku ngerasa cupu banget gak bisa nyatain yang sebenernya. Tapi kamu terus nyoba buat hubungin aku, masih tetap ngingetin aku hal-hal kecil. Sampai kamu bilang kamu sedih dengan keadaan kita saat itu, disitu aku bisa ngerasain perasaan kamu, Rei. Gak tau darimana asalnya, pokoknya aku bisa ngerasain kamu sayang sama aku.”
Aku masih terdiam kaget mendengar pernyataannya. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Aku sengaja tetap menjauh dari kamu karena aku lagi ngerencanain kapan aku ngomong terus terang sama kamu soal perasaanku, supaya waktu ngomong perasaanku ke kamu jadi semacam surprise. Saat aku udah memantapkan kapan aku akan ngomong sama kamu, temenku ngasih kabar kalau kamu udah jadian sama Rendy. Kaget Rei. Sama sekali gak ada di bayangan aku kalau kamu bakal jadian sama dia. Dan yah, ternyata hari itu emang ada surprise, bukan dari aku ke kamu, tapi sebaliknya.” lanjutnya.
Aku menangis. Ya, aku menangis di depan dia. Air mata yang tak dapat ku bendung, jatuh membasahi pipiku. Aku menangis mendengar semua pernyataannya. “Kenapa harus menangis? Apa aku menyesali itu? Apa yang aku sesalkan? Tidak peka terhadap perasaannya, atau aku menyesal telah jadian dengan orang lain? Apa maksud dia menjelaskan ini semua?” beribu-ribu pertanyaan menghampiri otakku. Dan tidak ada satupun dapat menenangkan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.
“Rei,” diraihnya pipiku oleh kedua tangannya dan menghapus air mataku. “Kamu kenapa?”
Aku menepis tangannya lalu berdiri dari posisi dudukku, “Kenapa baru bilang, Yan? Kamu anggep apa perasaanku? Kamu pikir perasaanku udah ilang gitu aja ke kamu? Enggak, Yan, enggak! Dari dulu aku mikir kamu yang udah jahat sama aku. Kamu yang gak peka, kamu gak respon apa-apa. Dan kamu ngebiarin aku mikir kayak gitu? Aku punya hati, Yan, aku punya perasaan!”
Rian pun terbangun dari duduknya dan menjatuhkanku ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkanku dari tangisanku. Aku mencoba melepaskan tapi tidak bisa. Tenaganya jauh lebih besar dariku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dalam peluknya. Lalu dia berkata, “Maafin aku, Rei. Semuanya salahku dari awal. Harusnya aku gak usah sok-sok menjauh dari kamu. Dan harusnya aku gak lakuin ini sekarang dan buat kamu nangis. Sakit liat kamu begini, Rei.”
“Sakit, Yan. Sakit menghadapi kenyataan kamu dulu. Sakit menghadapi kenyataan kamu sekarang. Sakit menghadapi kamu. Maafin aku, Yan.” jawabku dalam pelukannya.
Rian melepaskanku dalam peluknya lalu mengajakku pulang bersamanya. Tapi aku menolak. Aku butuh waktu untuk menerima semuanya. Aku langsung pergi meninggalkan Rian. Entah sudah dijemput atau belum, yang penting aku jauh dari dia.
Sesampainya aku di rumah, aku benar-benar bingung. Rasanya sakit sekali dihadapkan dengan kenyataan seperti ini. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku milik orang lain sekarang. Tapi disisi lain aku tidak bisa menyangkal kalau aku masih sayang padanya. Hal ini terus mengganggu pikiranku. Aku nggak tahu harus bersikap gimana ke Rian dan Rendy. Rasanya benar-benar butuh waktu sendiri.
Aku memikirkan Rendy. Gimana kalau dia tahu soal ini? Aku sudah benar-benar jahat padanya. Aku tidak membalas perasaannya sebesar rasa sayangnya padaku. Aku marah. Tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Rendy nggak seharusnya dapat balasan seperti ini dariku.
“Rei?” chat Rendy membuyarkan lamunanku.
“Kenapa, Ren.” jawabku datar, tanpa ekspresi.
“Kamu kenapa? Chatnya beda.” tanyanya heran karena nada chatku tidak seperti biasanya.
“Gak papa.” jawabku singkat.
“Serius, Rei. Kamu berubah. Aku khawatir sama kamu.”
“Aku mau sendiri, Ren.”
“Kenapa?”
“Gak papa.”
“Cerita, Rei, kamu kenapa. Biar aku bisa ngerti.”
“Dibilang aku butuh waktu sendiri. Aku pasti cerita tapi gak sekarang.”
“Ya udah, kamu maunya apa?”
Saat membaca isi chat itu, aku tidak memikirkan hal lain. Perasaanku campur aduk. Rasa bersalah, sedih, kecewa, bimbang, penyesalan, marah tapi tidak tahu harus marah pada siapa.
“Aku mau putus.” jawabku setelah beberapa saat. Singkat dan cukup jelas. Lalu setalah beberapa saat, tiba-tiba dia sudah berada di depan rumahku. Menemuiku dan menanyakan semua hal yang belum dia mengerti. Dan aku bilang padanya, “Aku bakal cerita kalau aku udah tenang. Kamu sabar aja. Tapi buat sekarang aku bener-bener mau pisah dari kamu.”
“Aku buat salah apa, Rei? Aku sayang banget sama kamu.”
“Aku cuma butuh waktu buat sendiri, Ren. Makasih atas semuanya. Makasih udah mau ngerti keadaanku.” dan aku langsung membalikan badan, tapi dihalangi olehnya.
“Izinin aku meluk kamu buat yang terakhir kalinya, Rei.”
Aku mengiyakan. Dia memelukku untuk terakhir kalinya. Lumayan lama, aku segera melepaskannya dan masuk ke dalam kamarku. Aku menangis sejadinya. Kesal, menyesali, kenapa kejadian seperti ini harus terjadi di hidupku. Aku benar-benar merasa sendiri sekarang.
Hari ini hari senin. Waktunya sekolah dan itu menandakan aku harus bertemu dengan Rian dan Rendy. Ya Tuhan.. Aku benar-benar tidak ingin bertemu mereka. Semoga saja aku diberi kekuatan kalau aku sampai bertemu mereka.
Saat aku berjalan di lorong sekolahku, aku berpapasan dengan Rian. Kami bertemu pandang sejenak, lalu aku langsung memalingkan wajah. Sakit sekali melihatnya. Dan aku tidak ingin dia melihatku menangis lagi karenanya.
Lalu saat aku ingin menaiki tangga menuju kelasku. Aku berpapasan dengan Rendy. Dan seketika rasa bersalah muncul di benakku. Aku langsung lari menghindarinya.
Aku masuk ruang kelas dengan tidak bersemangat. Aku masih tidak percaya mengenai kehidupanku. Nisa yang melihat keadaanku langsung menghampiriku dan menanyakan kabarku.
“Rei? Ya ampun, lo kenapa?” tanya nya kaget.
“Gak papa, Nis.” jawabku untuk menahan air mataku. Karena kalau aku berbicara banyak, air mataku pasti akan tumpah.
“Jangan boong, Rei. Gue kenal lo bukan dari kemarin.”
Aku tidak bisa menahan. Tadinya aku berusaha untuk menyimpan masalahku sendirian. Tapi tidak bisa. Ya, karena aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari Nisa. Sampai akhirnya aku menangis sejadinya. Aku menceritakan semua yang aku alami beberapa hari lalu dengan Rian dan juga Rendy.
Nisa memelukku dan mencoba menenangkanku. “Lo gak salah, Rei. Wajar kalo lo minta waktu. Gue tau ini gak mudah kan buat lo, meskipun gue belom pernah ngerasain ini. Tapi percaya sama gue, Rei, everything will be okay soon. Sekarang lo boleh nangis. Puas-puasin aja, Rei. Tapi janji abis ini jangan nangis lagi ya.” katanya, masih dengan terus memelukku.
Mereka kembali. Rian dan Rendy. Mereka kembali mencoba untuk masuk ke dalam hidupku lagi. Rian yang berusaha untuk memperbaiki masa lalu kami, dan Rendy yang berusaha untuk memperbaiki hubungan kami. Dan aku sadar kalau aku masih menyayangi keduanya.
Rian sangat perhatian padaku. Membuatku seolah-olah wanita paling beruntung. Tetapi selama kedekatan kami kali ini, aku tidak merasakan hal senyaman dulu. Sebelum dia menjauh dariku. Yang aku rasakan hanyalah, ada batas di antara kita. Entah apa.
Rendy juga melakukan hal yang sama. Nggak ada yang berubah sejak kita berpisah. Dia juga sangat perhatian padaku. Dan aku masih tetap merasa beruntung pernah mengenal dan masuk dalam hidupnya.
Masa sulit saat Rian menyatakan semua perasaannya dan saat aku pisah dengan Rendy sudah hampir kulewati seiring berjalannya waktu. Tapi kini datang masalah lain disaat 2 orang yang aku sayangi, menyayangiku juga dan keduanya mengharap lebih. Kebimbanganku muncul. Dimana aku kembali tidak tahu harus berbuat apa. Tapi lambat laun, aku menyadari perbedaan perasaanku kepada keduanya.
Aku cerita kepada Nisa soal tentang apa yang sedang aku pikirkan jika aku lebih dekat dengan Rian atau Rendy. “Jadi gue harus gimana, Nis?” tanyaku.
“Lo harus milih, Rei. Lo gak bisa mau milikin keduanya. Hidup itu kan pilihan. Kalo lo mau lebih deket sama Rian, lupain Rendy. Jauhin dia. Tapi kalo lo ngerasa lebih nyaman sama Rendy, jauhin Rian. Jangan bikin dia berharap sama kedekatan kalian sekarang. Lo tau mana yang terbaik buat lo, tapi lo takut buat melangkah. Yakin, Rei.”
Tiba-tiba air mataku sudah menggenang di pelipis mataku. “Gue gak bisa, Nis. Mereka baik banget sama gue. Gue ga bisa tegas sama mereka. Rian mau UN, Nis. Gue takut banget gue ganggu konsentrasinya dia. Tapi gue gak bisa ngejauhin Rendy gitu aja. Dia baik banget sama gue, Nis. Dia nunjukin rasa sayangnya ke gue yang mungkin ga bisa gue dapetin dari orang lain.”
Setelah pembicaraan itu, aku banyak berpikir mengenai ini. Nisa juga bilang lebih baik sakit sekarang daripada sakit belakangan. Dan akhirnya aku memutuskan untuk bilang pada Rian yang sebenarnya. Karena ternyata aku masih sangat menyayangi Rendy.
Aku bertemu dengannya di suatu tempat. “Ada yang mau aku omongin, Yan.” kataku memulai percakapan.
“Apa, Rei?”
“Yan, aku gak bisa gini terus. Aku gak mau dibilang mainin kamu ataupun Rendy. Aku gak mau ngasih kamu harapan apa-apa karena aku gak tau apa yang akan terjadi nanti. Aku gak bisa bohongin perasaan aku, Yan. Aku kehilangan Rendy. Bukan maksud aku bilang kalo aku putus gara-gara kamu, aku cuma mau utarain apa yang aku rasain. Aku sayang sama kamu sebagai kakak ku, Yan. Hatiku kebagi, tapi akhirnya kita harus memilih, kan?”
Terlihat ekspresi kaget dari wajahnya. Aku tahu pasti sakit mendengar kalimat seperti itu dari orang yang kita sayangi. Makanya, sebisa mungkin aku menjaga kalimat-kalimatku. Dan dia berkata, “Kamu masih sayang sama dia? Iya, Rei, gak apa-apa. Aku gak bisa maksa kamu. Maafin aku kalo aku udah ganggu kamu. Aku cuma mau kamu tau kalo cuma kamu orang yang bakal aku sayang.”
“Yan, sadar ga sih kamu tuh masih terlalu muda banget buat berkomitmen kayak gitu? Mending kamu tarik komitmennya. Lupain aku. Kamu gak akan tau apa yang akan terjadi kedepan. Aku ga mau kamu nungguin aku yang gak bisa janjiin apa-apa, Yan..”
“Aku akan lakukan apapun, Rei. Tapi kalo pikiran dan hati aku belum bisa terlepas dari kamu, ya aku ga tau. Logika dan hati ga bisa sejalan, Rei. Logika aku dari dulu udah nyuruh buat ninggalin kamu, tapi hati aku bilang gak bisa.”
“Sama-sama belajar ya, Yan. Aku yakin kamu bisa. Toh, aku gak bener-bener ninggalin kamu. Kamu tetep kakakku yang paling aku sayang, Yan. Ya udah, cuma itu yang mau aku bilang. Sukses UN dan semuanya ya, Yan.” kataku mengakhiri obrolan kami dan ingin segera meninggalkannya.
Saat aku ingin meninggalkannya, tiba-tiba dia menarik tanganku dan berkata, “Izinin aku bilang ini sekali lagi, Rei… Aku sayang sama kamu.”
Aku hanya bisa membalas kalimatnya dengan senyuman, lalu segera pergi meninggalkannya. Aku lega karena akhirnya aku bisa mengeluarkan isi hatiku tentangnya. Aku juga lega karena mungkin sedikit demi sedikit dia bisa menerima semuanya.
Sekarang aku sudah kembali bersama Rendy meskipun aku masih menyayangi Rian sebagai kakakku yang paling hebat. Aku mengutip sebuah kalimat dari jejaring sosialku yang bertuliskan, “Rasa sayang ada dalam persahabatan. Rasa sayang ada dalam percintaan. Tapi ada satu yang membedakannya yaitu rasa ingin memiliki.”
Aku menyayangi 2 orang sekaligus dalam waktu yang sama. Dan pada akhirnya aku menyadari bahwa ada perasaan yang berbeda terhadap keduanya. Rasa sayangku terhadap Rian hanya sebatas adik ke kakaknya. Lalu Rendy, dia memang juara dalam segala hal. Nggak berubah dari penilaian awalku tentang dia. Konsisten. Dan itu yang membuatku sangat menyayanginya.
Dan aku baru menyadari sekarang. Inilah fase yang disebut sebagai masa-masanya remaja labil. Perubahan dari remaja SMP labil menjadi remaja SMA yang sudah bisa menentukan mana yang baik dan yang buruk. Dan semua akan menjadi indah pada waktunya.
Cerpen Karangan: Ifmanandha Siti Fauziah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar