Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Tuhan Membawamu Kembali

Dentingan halus suara piano mengalun indah. Menggelayut semu di telinga, hati dan otak Mary. Seorang lelaki yang memakai seragam putih abu-abu, membiarkan jemarinya menari di atas piano putih itu. Mengalunkan sebuah nada-nada yang indah, bahkan sangat indah.
Mario mendongakkan kepalanya dan menatap gadis yang sedari tadi berdiri di sebelahnya, menatapnya penuh arti.
Suara Mario memecah keheningan. “Gak perlu bakat untuk menjadi hebat dalam sesuatu, hanya butuh kemauan dan kerja keras. Keajaiban akan membuatmu hebat”
Mary terbungkam. Suasana hatinya kali ini sungguh bergejolak dengan jutaan amarah dan ketidak percayaan “Tapi gue beneran ga bisa Yo.”
“Ga ada yang ga bisa Ri, lo masih bisa belajar. Kesempatan itu masih ada Ri. Gue mau jemari lo yang mainin piano putih ini bukan gue.”
“Tapi Yo…”
“Demi gue Ri, demi gue.”
Mary mendekat ke arah Mario, menatapnya sungguh dalam tak butuh waktu 2 detik. Mary sudah memeluk erat Mario. Cairan hangat di pelupuk matanya sudah tumpah, tanpa di perintah. Semakin erat Mary memeluk Mario semakin kencang pula tangisannya. “Demi tuhan gue cinta sama lo Yo!! Jangan tinggalin gue please, gue butuh lo! Gue sayang, gue cinta, gue ga mau kehilangan lo Yo!”
Mario mendorong halus tubuh mungil Mary. Mengusap air matanya, dan membelai rambut hitam sebahu miliknya. “Gue juga cinta sama lo Ri, lebih dari sekedar cinta. Tapi, gue gak bisa Ri! Sorry”
Tubuh Mary masih terguncang. Tak perlu orang genius untuk tau, bahwa dirinya sedang menangis. Lebih dari sekedar menangis, tapi menjerit dalam kesedihan, meronta dalam kepiluan, dan meminta dalam kesunyian.
Mario mengepalkan tangannya, meninju cermin yang ada di hadapannya. Seketika pucuk tangannya mengeluarkan cairan berwarna merah, yang ia biarkan mengalir begitu saja. Nafasnya naik-turun tak karuan, emosinya memuncak setelah kejadian di ruang musik tadi pagi.
Butuh waktu yang cukup lama untuk men-stabil-kan emosinya, membiarkan paru-parunya mencari oksigen yang sepertinya sangat susah untuk di dapatkan.
Masih dengan amarahnya Mario membersihkan luka di pucuk tangnnya dan membalutnya dengan perban asal.
Otaknya berputar, namun hatinya, telah jauh menerawang mengapa ini terjadi? Pertanyaan itulah yang menyesakki benaknya kini. Kadang ia merasa tuhan tak adil. Mengapa disaat ia telah menemukan seorang gadis yang sangat ia cintai, dan juga mencintainya. Tapi, tuhan malah mengambil sesuatu yang paling berharga di hidupnya
Mengingat kejadian itu sungguh menyakitnya, hatinya teriris. 2 minggu yang lalu itu kejadian yang sangat mengerikan sepanjang umurnya. Kecelakaan yang merenggut nyawa sang kaka sungguh membuat hidupnya tak berarti. Ditambah lagi, saat dokter menyatakan kedua kaki Mario mengalami cedera serius yang mengharuskan memotong tungkai kakinya hingga lutut. Tapi malaikat mungkin sudah siap menjemputnya. Meng-amputasi kedua kakinya ternyata masih tidak cukup untuk menyelamatkan nyawanya. Waktunya sebentar lagi.
Tuhan tak memberinya pilihan. Hanya itu-lah jalan, yang harus ia tempuh. Harus.
Mary sudah terbaring di atas brangkar menuju ruang operasi. Sebelum operasi cangkok jantung dilakukan. Mary sudah tak sadarkan diri sejak satu jam yang lalu, di samping brangkarnya, ada kedua orang tuanya dan Ray, sang kakak.
Mario masuk ke dalam ruang operasi menggunakan kursi rodanya. Menempatkan posisi tepat di samping Mary. Kedua orang tua Mary telah keluar dari ruangan sesaat setelah Mario datang.
Tersisa 3 orang di dalam ruangan bernuansa putih tersebut. Ray, Mario dan Mary. Hening. Tak satu pun bersuara. Efek obat bius yang disuntikkan kepada Mary masih berfungsi baik. Buktinya, hingga kini Mary masih tetap berada di posisi yang sama, tak berubah sedikitpun.
Perlahan, Mario menyentuh tangan Mary. Kepalanya menengok ke arah samping memberi isyarat agar Ray keluar dari ruangan. Tanpa bicara, Ray sudah berjalan ke arah pintu dan hilang dari balik pintu.
Mario mencium lembut punggung tangan Mary. Pelupuk matanya tak bisa lagi menahan air mata yang sudah terkumpul sejak tadi. Tangannya lagi-lagi membelai halus rambut Mary.
“Maaf, aku jatuh cinta… sama kamu”
Mario tertunduk, tapi tangannya masih menggenggam erat tangan Mary. Satu kata terakhir yang terucap dari mulut Mario. “Maaf…”
Pagi itu matahari masih enggan keluar dari tempat persembunyiannya. Burung-burung berkicauan, menyanyikan senandung yang menyemangatkan pagi hari ini.
Mary terduduk di bangku taman yang memang menjadi tempat favouritenya sejak dulu. Mary tidak sendiri, ia ditemani oleh Ray lengkap dengan angin pagi yang menusuk tulangnya. Terlalu dingin pikirnya.
“Wanita yang tegar adalah wanita yang selalu mengahadapi masalah dengan senyuman. Dan gue yakin lo itu termasuk ke dalam kategori wanita yang tegar. Keep smile my sista.” Ray membelai halus rambut Mary dan memberikannya sepucuk surat berwarna putih dan sekuntum mawar putih. Ray berjalan menjauh dari Mary dan meninggalkannya sendiri.
Nafasnya tercekat, jantungnya berdebar dengan cepat. Entah mengapa, perasaannya begitu campur aduk melihat tulisan tangan yang tertera di bagian atas surat. Mary sangat sangat mengenali pemilik dari tulisan tangan itu.
“To : Mary
Mengenalmu adalah hal yang sangat indah.
Memilikimu adalah karunia terbesar yang pernah kumiliki.
Dan menengenangmu, membuatku tau bahwa kau adalah anugerah terindah yang pernah ku miliki?
Mary, aku mencintaimu. Sangat amat mencintaimu.
Melebihi bintang yang mencintai rembulan.
Biarkan aku menjadi bagian dari dirimu, hidup bersamamu selamanya.
Aku memang sudah tak terlihat, aku menjadi semu.
Tapi yang perlu kamu tau, aku ada dan selalu ada dalam dirimu, setiap waktu.
Akulah hidupmu, aku bukanlah lagi seorang lelaki yang akan selalu menjagamu.
Tapi akulah yang selalu ada setiap detik untukmu. Hanya untukmu.
Aku ada di dalam jantungmu, jantungku adalah jantungmu.
Dan kini, kita akan terus bersama. Selamanya!!
Tersenyumlah, dengan begitu aku bisa merasakan kebahagiaan darimu?
Aku hadir di setiap detak jantungmu.
Aku ada di setiap denyut nadimu.
Jangan biarkan, kisah kita menjadi usang di sudut ingatan.
Kau mampu membuat hidupku yang singkat ini menjadi lebih berwarna.
Terima kasih Mary? aku mencintaimu!
Kita memang berbeda, kau putih dan aku hitam.
Tapi, layaknya nuts piano.
Kita akan tetap bersatu memainkan nada-nada yang indah.
Jika takdir memisahkan kita di dunia ini.
Maka, yakinlah bahwa takdir akan membawa kita bersama di surga nanti?
I LOVE YOU? SO MUCH?
MARIO”
Degup jantungnya berpacu hebat. Tak ada satu kata pun yang terlintas dalam benaknya. Semuanya begitu kabut. Sulit untuk di cerna.
Dedaunan kering yang jatuh tertiup angin, mendukung suasana hatinya saat ini. Ke-galauan, ke-hampaan, dan ke-piluan, menyatu di benaknya kini. perih. Menyayat hati, pelupuk matanya tak sanggup lagi menahan cairan bening yang terkumpul sejak tadi.
Air matanya mulai terjatuh tanpa bisa di tahan, bahkan hanya untuk sedetik. Beribu pertanyaan kini hadir dalam benaknya.
Sore itu, awan mulai bergeser menutupi matahari sehingga terlihat eksotika warna kejinggaanya. 8 Desember 2012, harusnya ia berdiri disini didampingi Mario. Bersenda gurau penuh canda di atas rerumputan taman yang hijau. Memeluk Mario.
Tapi Mary sendiri. Berjalan selangkah demi selangkah. Tersenyum manis memandang awan. “Kamu pasti dapet tempat selembut awan yo” Mary terpejam cukup lama, menahan airmatanya agar tidak tumpah. “Tuhan, jagain Mario ya biar Mario bisa jagain aku dari sana juga”
Malam ini bintang begitu agung memancarkan kempakannya, taburannya begitu indah menghias awan hitam. Namun pandangan mata Mary tertuju hanya pada satu bintang yang berkilau paling bersinar. Sirius. Bibirnya melengkungkan senyuman. Mary yakin bintang yang paling bersinar itulah yang akan selalu menjaga dan memperhatikannya setiap hari. Walaupun malam berubah menjadi siang.
“Mario? Lo liat gue kan? Gue kangen yo sama lo. Lo temenin gue ya yo. Gue sayang banget sama lo. Tunggu gue ya yo, love you”
THE END
Cerpen Karangan: Sifandrea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar