Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Bintang Sirius Harapan

Tubuh mungil gadis itu, kini berbaur dengan hamparan hijaunya rumput taman. Rambutnya tertiup kesana kemari, kulit coklat sawo matangnya itu menambah manis paras sang gadis. Dengan tambahan celana pendek ketat, juga dress yang dia pakai menambah anggun penampilan gadis.
Melepas penatnya aktivitas sebagai seorang pelayan orang penyandang kekurangan fisik maupun mental. Batin juga raganya diadu dengan kelakuan kelakuan mereka yang kadang diluar kewajaran. Kadang bantuan sebagai penuntun langkah juga penerjemah bahasa menjadi sebuah profesi tambahan. Bahasa isyarat menjadi sebuah tuntutan profesi yang sudah harus tanpa boleh disangkalnya sedikit pun. Kesabaran merupakan kunci utamanya.
“apa yang kamu rasakan ndai?” tanya lelaki di sebelahnya.
“seperti yang kau tengok, fa” jawabnya tanpa mengubah arah pandangnya.
“melihat apa sampai tak berkedip?” tanya lelaki yang dipanggil Difa.
Tangan Cindai hanya menunjuk sebuah gumpalan awan yang terbang menyelimuti langit dari panasnya sorot matahari. Tatapan nanar Cindai menatap langit yang berlalu lalang, semakin membuat otak Difa bekerja sangat keras. Mulutnya malu untuk terus mencerocos, sebagai laki-laki dia malu untuk itu. Padahal, jutaan pertanyaan itu siap mengantri di benak Difa.
“gak usah begitunya kali” Cindai seperti dapat menangkap pikiran Difa. “aku suka karena warnanya putih dan tak pernah lelah untuk beredar memayungi bumi”. Tatapannya kian beralih ke muka Difa yang penuh tanya itu.
Jawaban itu tetap saja tak memperjelas kebingungan otak Difa. Otaknya masih tang ting tung dengan pernyataan Cindai tadi. Tatapannya beralih ke langit dan memejamkan matanya.
Memang Cindai mengagumi dua hal yang berlalu dalam dunia yang luas ini. Pertama tentang awan yang baru saja membuat Difa kebingungan. Awan itu warnanya putih dan dia selalu setia menyelimuti bumi ini, ujarnya. Yang satu lagi selalu hadir di kala matahari mulai lelah bekerja seharian, yaitu bintang. Aku ingin menjadi bintang yang dengan manja mengkerlingkan matanya, seperti genit.
“bingung ya” Cindai menggaruk kepalanya. “jangan pikirkanlah” kakinya mulai beranjak. Cindai mengulurkan tangannya mengajak Cindai berlari kecil berputar mengelilingi taman yang cukup luas untuk mereka berdua.
Nafasnya kini tersengal menghadapi pasien yang satu ini. Dia penyandang tuna wicara sekaligus sedikit masalah dengan jiwanya yang goyah akibat masa lalunya. Dia berlarian dari kamar menuju teras rumah perawatan itu. Kedua orang tuanya memang menitipkannya. Kadang kala seminggu sekali dia dijenguk keluarga besarnya. Tertulis nama Bagas di baju tepat di dada sebelah kanan.
“ayolah, makan dulu nanti sakit” suara Cindai itu menggema di lorong Rumah Perawatan.
Bagas hanya menggeleng menolak. Memang kesadaran dia masih bagus. Tetapi cara dia mengontrol memori masa lalu dialah yang membawanya kemari. Saat memori masa lalunya tiba tiba menyergap ingatannya, batinnya tak mampu menerima kenyataan yang menampar kehidupannya. Kepala dia penuh luka jahitan, di sekujur kulit penuh sayatan, sebagai tanda gejolak mental dia.
Tak hanya itu, memang dia juga tuna wicara. Kecelakaan yang menimpanya menyebabkan pita suaranya robek dan harus diangkat.
“aku tidak mau makan” tangan dia mulai menggambarkan kemauannya. Cindai tersenyum tipis, langkahnya berhenti tepat di tatapan Bagas.
“ke taman” ajak Cindai.
Bagas lansung tercengang melihat perubahan Cindai. Matanya melotot seperti akan keluar. Tangan keduanya berpegutan. Tarikan pelan Cindai tak mampu lagi ditahan Bagas yang masih dalam keadaan kebingungan. Perlahan lahan langkah mereka menelusuri lorong yang langsung menuju taman kecil buatan yang ada di belakang bangunan utama. Senyum tulus Cindai tak pernah lepas sepanjang tapak demi tapak mereka.
“bagaimana, masih belum mau?” tanya Cindai sesaat setelah menapak di tengah taman.
“hey Bagas jangan melamun,” Bagas langsung terjerembab ke belakang karena kagetnya ketika disadarkan Cindai.
“masih belum mau makan?” tanya Cindai sekali lagi, yang langsung diiringi gelengan kepala Bagas dan juga ekspresi mukanya dengan menutup mulutnya.
“ayolah gas,” Bagas pun tersenyum dan mulai membuka mulutnya.
Pesawat kertas tiba tiba membuyarkan lamunannya disaat jam istirahat memanggil. Tampak seperti surat. Tetapi, pikiran Cindai tetap melayang asal surat yang menghampirinya itu. Dibukanya perlahan, terlihat tulisan yang acak adul, sangat dipaksakan, tetapi datang dari hati. Argument itu muncul secara serempak di pikiran gadis yang baru menginjak bangku SMA.
Memang sistem yang diberlakukan di tempat ini pengajar sekaligus pengasuh. Jadi, hampir semua pengasuh di rumah perawatan merupakan lulusan SMA yang dengan ikhlas mengasuh teman sebaya mereka yang kurang beruntung.
Untuk Cindai
Maaf karena aku telah salah mempunyai rasa ini, aku memang tak pantas untuk gadis sesempurna kamu, sebaik kamu yang telah mau merawat orang yang membutuhkannya. Tapi apa salah aku yang mempunyai rasa semu itu. Semua ini anugerah Tuhan. Tapi, bukan untuk orang seperti aku yang tidak sempurna ndai.
Perasaan yang tiba tiba muncul, semakin hari semakin membuatku gila. Aku takut atas perasaan ini. Aku takut kamu pergi menjauh dariku. Tapi, perasaan ini berasal dari hatiku yang terdalam.
Cindai aku suka kamu
Mata sayu langsung sembam. Tapi, pertanyaan siapa dia itu langsung menggaungi benak Cindai. Hanya senyum manis yang bisa Cindai lakukan. Dilipatnya surat itu dan dia ingin menyimpannya sampai sang pengirim surat menampakkan raut mukanya.
Malam kini menyapa Surya mulai beristirahat melepas penatnya setelah seharian bekerja keras untuk menyinari triliyunan insan yang saling berbagi tawa. Tampak Cindai kini berada di pinggiran balkon rumahnya menatap penuh makna langit malam yang indah. Menunggu kekasihnya hadir mengedipkan sinarnya menjadi kegiatan rutinnya.
“hayo sedang apa?” Difa menepuk pundak Cindai.
“biasa, menikmati malam dengan kekasih” tatapannya tak lepas dari langit.
“Bintang?”
“bukan sekedar bintang” muka Cindai kini menatap Difa. “lebih tepatnya sirius” Cindai menunjuk sebuah bintang yang baru bersinar.
“apa bedanya?” tanya Difa.
“tanyakan pada hatimu” jawab Cindai sembari tersenyum.
Tatapan Cindai kini enggan melepas dari sang kekasih yang terlambat hadir mengerlingkan cahayanya untuk Cindai. Sirius bintang yang memiliki ikatan dengan hati Cindai, sedang awan merupakan penjaga Cindai. Pemikiran yang aneh untuk seorang gadis yang baru saja sukses melewati masa SMA. Tetapi, bagi pemimpi semua hal memiliki makna tersendiri ujarnya ketika ditanya.
“kenapa kamu suka dengan sirius?” Difa menatap raut muka Cindai.
Tak ada satu jawaban yang terurai dari mulut Cindai. Mukanya tetap dengan khidmat menafsir sirius malam ini yang sangat terang mengerlingkan cahayanya.
Kini tampak Cindai dan Bagas duduk di hamparan rumput taman belakang gedung utama. Mereka tak saling beradu tatapan, mata mereka menatap langit mendung. Awan putih kini tak merenda luasnya langit, yang ada hanyalah awan kelabu yang menghiasinya.
“sayangnya gak ada awan putih” tatapan Cindai kini beralih ke Bagas. Anggukan Bagas seperti mengiyakan.
“kenapa?” Bagas bertanya dengan isyaratnya.
“suka saja dengan awan putih” ujarnya kepada Bagas.
“selain itu?” isyarat Bagas.
“sirius” jawab Cindai singkat. “kalau kamu gas”
Bagas tak menjawab. Direbahkannya tubuhnya ditatapnya lagi langit yang mulai merintik hujan. Cindai kini mulai bangkit hendak melangkah pergi. Tangan Bagas seketika menarik lengan Cindai untuk tetap duduk disini. Cindai hanya tersenyum, mengetahui kemauan Bagas
Hujan mulai membasahi tiap jengkal tubuh mereka. Bagas tersenyum dan memberi isyarat hujanlah hal yang menenangkannya. Menurutnya hujan dapat melunturkan segala masalah yang menimpanya.
“ada satu lagi” ujarnya menggunakan isyarat tangan.
“apa?” Cindai kini penasaran.
“rahasia, suatu saat kau tahu” ujar Bagas dengan isyarat. Setelah itu, dia bangun dan berlari menjauh Cindai yang masih kebingungan.
“aku mohon nak Cindai” Ibu paruhbaya memohon kepada Cindai.
“tapi tante, tidak secepat ini” Cindai menunduk.
“memang Bagas bisu, memang dia gila, tapi aku mohon nak Cindai” mata Ibu Bagas mulai berkaca kaca.
“bukan itu, tapi…” omongan Cindai terhenti, “aku, aku, aku” keraguan menyergap batin Cindai tiba tiba.
“biarlah waktu yang menjawab semua keraguan ini tante” air mata itu mengalir dari pelupuk mata Cindai. Kepalanya tak berani mendongak, matanya tak berani menatap kesedihan yang tak lagi dibendung dari batin Ibu Bagas.
“nak Cindai, tolong jangan buat sakit yang kedua kalinya” ujar Ibu Bagas lirih. Memori yang coba dipendam itu mulai mereview semua kejadian itu.
FlashBack
“bagaimana aku hidup dengan orang cacat seperti dia” ucap seorang gadis dengan gamblangnya di depan Bagas juga ibunya.
“tapi nak Shinta, Bagas mencintaimu” Ibu tadi terus saja ngotot.
“mencintai orang bisu?” Shinta menatap sinis, “gak ada cowok lain apa” Shinta melangkah menjauh dari Bagas dan Ibunya.
“Shinta, kamu” batin Bagas. Emosinya mulai mencuat dari sela-sela batinnya. Kepalanya terasa pusing, badannya kaku. Bagas berlari tak tentu arah, auranya menghitam tanda kekalutan menghinggapi diri Bagas. Dipegangi kepalanya, dibenturkan ke tiang yang menyangga rumahnya.
FlashBack
“tapi, takdir memang tak pernah menyatukan kita” ujar Cindai.
“maaf” satu kata yang keluar dari mulut keputusasaan Ibu Bagas.
“aku yang seharusnya minta maaf” timpal Cindai.
Sebuah hantaran undangan kini mampir di tangan Bagas. Tertulis nama Cindai juga Difa. Matanya menatap nanar. Orang yang dicintainya mengikatkan tambang cintanya ke lelaki lain. hatinya kacau, batinnya kalut. Tapi, raga dia mampu lebih kuasa dari perasaan yang mengajaknya bergelut. Di samping undangan terselip secarik kertas putih yang basah.
Dari orang yang bodoh dan tolol.
Untuk orang yang sempurna,
Inilah sebuah jawaban mengapa aku tak memilih orang yang dengan sepenuh hati mencintaiku, Gas. Kamu memang tak sempurna secara fisik hatimu sudah mewakili sebuah kesempurnaan yang Tuhan tak akan mampu rela melepasnya hanya untuk orang dungu sepertiku. Sebuah senyuman tulus, langkah mantap mengubah dunia, walau kekurangan fisik itu melekat dan menjadi benalu. Pelajaran yang memang tak mudah didapatkan dari orang sembarang. Tapi ku dapat itu semua dari kamu dengan Cuma Cuma.
Aku memang bodoh menolak orang setulus kamu mencintaiku. Tapi, inilah jalan takdir yang diberikan Tuhan. Apa aku salah?, maki aku bila kau benci aku. Difa adalah tunanganku sejak sebelum Ibumu menanyakannya waktu itu. Aku sekarang tau surat dari pesawat kertas itu kamu, tulisannya jelek tapi akan kusimpan itu. Sebagai kenangan perjalananku denganmu.
Sekali lagi aku mohon ikhlaskan aku. Kamu tidak boleh lagi menyakiti hatimu dengan kenangan dengan Shinta atau denganku yang menjadi orang terbodoh di dunia. Maafkan aku, sekali lagi maafkan aku.
Dari Orang Terbodoh
Cindai
Malam itu tampak dari dua scane jalan kehidupan yang berbeda, dua insan sedang diam tak bergeming di bawah payungan malam yang sunyi tanpa bintang. Tatapan mereka bersama mendongak ke arah langit.
“kenapa tiada bintang” batin Cindai dan Bagas bersamaan.
“mungkin sirius marah” batin mereka sambil menutup jendela masing kamar mereka.
The End
Cerpen Karangan: Moh. Izzurrohman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar