Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Satu Bulan Dalam kenangan

Masih sangat pagi. Dinginnya juga seperti tak aku kenali. Seolah kota ini membawaku pada ruang berdinding balok-balok es, mungkin karena aku yang tak terbiasa. Hari ini adalah hari pertamaku memasuki lingkup baru dengan sekolahku yang baru. Diriku baru saja berpindah naungan atau pindahan karena aku harus kembali tinggal bersama kedua orang tuaku setelah sekian tahun hidup bersama paman dan bibiku di Jakarta. Ini adalah kota Bandung, destinasi yang harus aku hadapi. Namaku adalah Luis Sandani, orang lebih mengenalku dengan sebutan Dani. Namun di kota ini aku harus berpromosi diri agar orang tau bagaimana untuk menyebut nama yang kubanggakan ini.
Aku telah dengan penampilan terbaikku, sepatu kets, jam tangan hitam, aroma parfum pria, dan yang jelas adalah seragam sekolahku dari sekolah lamaku. Aku akan menuju salah satu sekolah di kota ini, tepatnya di SMA 20 Bandung. Ku persiapkan segala amunisiku untuk menghadapi hari pertamaku yang mungkin akan menjadi catatan penting dalam alur hidupku ini. Mungkin di sana aku akan mendapat teman baru, cacian, atau bahkan malapetaka, tapi itu hanya prediksi singkatku atas hari pertamaku menapaki sekolah baru.
Sesampainya di sekolah
“teng teng teng…”. Bel berbunyi.
Sial! aku terlambat. Aku merasa berada paling akhir untuk memasuki kelas. Aku upayakan berlari sekencang mungkin menyusuri lorong-lorong sekolah yang nampak mulai sepi. Melewati lantai berhiaskan marmer dan disaksikan beberapa papan mading yang aku lewati. Hingga pada langkahku yang kesekian terjadilah sesuatu.
“bruakkk…”. Kembali sial! Aku menabrak sesuatu yang muncul dari persimpangan jalan di samping sebuah kelas. Aku tersungkur, kepala terasa sedikit benjol. Bukan hanya aku, terdengar pula suara merintih keluh kesakitan dari depanku, nampaknya seorang cewek dengan bando putih yang menghiasi kepalanya. Nada suaranya lembut seperti mengenalkanku pada sesuatu yang baru. Aku masih belum melihat wajahnya karena masih sibuk mengelus kepalaku sendiri akibat insiden yang sedikit konyol ini.
“aduh! sakit”. Ucap cewek itu.
“awww, sakit”. Ujarku pula sama dengannya.
“maafin aku ya, jadi begini kan”. Ucapnya lirih nian melelehkan sekujur nuraniku.
“nggak kok, aku yang salah, lari buru-buru sampai nggak liat kalau ada orang di depan”.
“kamu yakin?”.
“iya, tenang aja”. Jawabku sok kuat padahal benjol di kepalaku sangatlah jelas.
Aku sempat beberapa detik hanyut dalam tatapannya. Seperti terbawa pada dimensi lain saat ku perhatikan dari caranya berbicara. Kedipan matanya juga tak mau kalah. Entah mengapa, yang jelas aku merasa berbeda meskipun baru pertama bertemu dengannya.
“kenalin, aku Dani, murid baru di sini”. Ucapku sambil menawarkan jabat tangan.
“oh? aku Lisa”. Jawabnya kembali lembut seperti kapas dengan kualitas import.
Ternyata namanya Lisa. Nama yang cantik, sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Ku akui dia memang cantik, ini bukan omong kosong.
Tiba-tiba dia pergi meninggalkan aku tanpa permisi. Rupanya ia terburu-buru untuk memasuki kelas sama sepertiku. Berhubung aku adalah murid baru dan masih tak tau persis bagaimana peta sekolah ini, maka aku memanggilnya lagi untuk memintanya mengantarku ke kelas yang akan aku masuki sebagai kelas baru. Lantas aku mencoba menghentikannya dengan sapaku padanya.
“hey Lisa! tunggu”. Aku menjemputnya dengan beberapa langkah, sedikit ragu namun pasti.
“iya kenapa?”. Jawabnya sambil menoleh sehingga helai rambutnya terurai begitu gemulai.
“tolongin aku dong, anterin aku di kelas XI IPA 1”.
“kamu belum tau?”.
“belum”.
“oke, yuk aku antar”. Jawabnya dengan baik hati bagaikan malaikat di pagi hari.
Lisa bersedia mengantar dan berjalan berdampingan denganku. Sempat aku grogi dibuatnya. Beberapa siswa juga melihat dari dalam kelas, mungkin heran karena tak biasa melihat wajah ini dan dengan tiba-tiba bisa jalan bersama cewek cantik seperti Lisa. Inilah fase-fase sulit ketika menjadi siswa baru. Selalu menjadi pusat perhatian. Akan tetapi ini juga bagaikan limpahan nikmat karunia yang mungkin jarang aku dapatkan, aku bisa dengan cepat menjalin sebuah interaksi dengan cewek sebaik dan secantik Lisa dengan secepat ini dan dengan cara yang tak pernah aku duga.
Setelah beberapa saat merasakan kesenangan tersendiri ketika berjalan bersama cewek cantik di sekolah baru, aku akhirnya sampai di depan kelas baruku. Tempatnya agak ke belakang dan dekat dengan kantin sekolah.
“udah sampai nih, aku balik ya?”. Izin Lisa padaku.
“oh jadi ini ya? ehm, oke deh, thanks ya Lis”. Jawabku tersenyum manis padanya.
“oke, sama-sama”. Ucapnya sambil tersenyum manis pula dan kali ini membuat aku dag dig dug tak karuan.
Kemudian Lisa kembali berkata kepadaku.
“makasih udah mau kenal aku, kamu spesial”. Ucap Lisa kepadaku.
“ha?”. Aku mati gaya mendengar ucapan Lisa, entah mengapa.
“berkat benturan tadi, pusing di kepalaku jadi hilang, thanks ya”. Lisa kembali tersenyum dan kemudian pergi dari hadapanku.
Aku masih saja memandangi Lisa berjalan pergi meninggalkanku di depan kelas baruku. Masih aku merasakan bagaimana senyuman yang baru saja ia lepaskan dan ucapannya tadi, melekat di langit-langit hati kecil ini. Ini awal yang bagus.
“ada yang beda di sini”. Ucapku dengan memegang dada dan sedikit melamun.
Ditengah lamunan dangkal itu tiba-tiba aku tersadar dan segera beranjak untuk memasuki kelas. Ini adalah fase kedua yang sangat berat karena aku harus menahan malu di hadapan teman-teman baruku di depan kelas. Pintunya masih tertutup dan aku mengetuknya.
“tok tok tok”.
“masuk!”. Terdengar suara mempersilahkan masuk dari dalam kelas. Semakin membuat rasa grogiku bertambah.
“permisi”. Ucapku sambil tersenyum manis dan semua memperhatikannya.
Guru pengajar segera tahu dengan maksud kehadiranku. Beliau mengerti bahwa aku adalah murid baru di SMA ini dan lekas menyuruhku untuk memperkenalkan diri. Grogiku lagi-lagi bertambah. Keringat tak dapat dibendung lagi.
“eee… aku Luis Sandani pindahan dari SMA 05 Jakarta, salam kenal”. Ucapku sedikit belepotan.
“salam kenal!!!”. Mereka serentak membalas ucapanku.
Guru pengajar lantas memilihkanku bangku untuk aku tempati. Beliau menempatkanku di bangku pojok paling belakang bersama seorang cewek yang masih belum ku ketahui asal usulnya. Dari fisiknya terlihat kalau dia feminin. Lagi-lagi aku mendapat kesempatan bertemu cewek cantik meskipun belum tentu dia mau mengenalku. Nekad adalah modalku.
“permisi, salam kenal ya”. Ucapku memulai kepadanya.
“oke, semoga betah ya”. Jawabnya sedikit antusias.
“iya pasti, hmm emang nama kamu siapa?”.
“aku Erina, panggil aja Rina”.
“oh itu, oke deh haha”.
Rina adalah orang kedua di sekolah ini yang berkenalan denganku setelah Lisa yang tadi sempat membuatku dag dig dug. Dengan Rina aku cukup merasa nyaman, mungkin dari caranya menanggapiku sebagai murid baru. Beruntunglah aku bisa bertemu Rina teman sebangku yang baru.
Lantas aku teringat kejadian tadi pagi saat bertabrakan dengan Lisa. Aku ingin mengenal Lisa lebih jauh dan bertanya kepada Rina. Tidak ada salahnya bertanya, pikirku mungkin dia bisa tau.
“Rin, kenal Lisa nggak?”.
“Lisa siapa?”.
“aku juga kurang tau, tadi pagi aku kenalan sama dia”.
“emang orangnya gimana?”.
“dia cantik, putih, baik. Kira-kira tau nggak?”.
“Lisa Amila? kelas XI IPS 3?”.
“mana aku tau? mungkin iya?”.
“jangan bilang kamu suka dia?”. Tanya Lisa dengan nada yang tak asyik.
“suka Lisa? kita baru kenalan doang kok, tapi ya nggak tau lagi kedepannya gimana, Lisa asyik anaknya, aku nyaman aja kalau sama dia”. Cetusku.
“mendingan jauhin dia, sebelum terlambat!”. Dia membentakku.
“maksud kamu apa?”. Tanyaku dengan sejuta penasaran.
Rina dengan cepatnya mengeluarkan statement yang membingungkanku. Dia menyuruhku untuk menjauhi Lisa dengan nada seperti membentak. Ada apa sebenarnya? apa salah Lisa? Aku mencoba bertanya-tanya terus kepada Rina tapi ia mengacuhkanku, tak lagi ia jawab. Tentu itu membuatku geram. Dengan terpaksa aku harus kembali memperhatikan papan tulis putih di depan sambil menyimpan rasa jengkelku terhadap Rina. Dia teman baruku, tetapi mengapa baru awal telah membuatku seperti ini. Aku harus menghapus label “baik” yang baru saja aku nobatkan padanya.
“dasar pelit!”. Gumamku dari dalam hati.
Keesokan harinya.
Aku mencoba kembali mengulang apa yang terjadi kemarin. Berlari lagi menyusuri lorong-lorong kelas tepat di waktu seperti yang kemarin terjadi. Sengaja aku masuk kelas paling akhir dan berharap banyak hari kemarin benar-benar terulang lagi. Aku sangat ingin bertemu Lisa.
Sungguh beruntung, Tuhan mengabulkan do’aku. Aku berhasil bertemu Lisa tepat di persimpangan jalan di samping sebuah kelas, seperti hari kemarin. Hari ini Lisa terlihat lebih cantik dengan rambut yang di cepol. Aku semakin tak karuan ketika harus lewat di hadapannya dan berusaha bersikap tenang. Darahku seperti menggumpal, debaran jantung tak menentu, dan fikiranku amburadul. Semua karena Lisa, entah mengapa.
“hey Lisa”. Aku menyapanya dengan akrab.
“hmm? kamu?”.
“iya ini aku Dani, yang kemarin…”.
Tiba-tiba Lisa berlari meninggalkanku ketika aku belum selesai berbicara. Lisa berlari sambil menutupi hidungnya dan dengan ekspresi wajah seperti menahan sakit. Aku tak tau ada apa dengannya. Sempat aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, sejelek itukah aku hari ini sehingga Lisa berlari dari hadapanku? Tapi mengapa hari kemarin ia tak berlari jikalau memang aku jelek? Semakin tak karuan di benakku.
Aku terheran ketika kulihat tetesan darah berada di lantai selepas Lisa pergi dari hadapanku. Ada apa sebenarnya? Sempat ku perhatikan darah itu sampai beberapa saat. Telah ku coba menyusul Lisa berlari tapi tak mungkin karena aku telah terlambat memasuki kelas. Aku tak mau memaksakan untuk hari ini karena masih ada hari esok. Ku putuskan untuk segera masuk kelas. Setidaknya hari ini aku sudah bertemu dengan Lisa, itu sedikit membuatku lega meskipun darah tadi membuatku curiga.
“kamu kenapa sih Lisa?”. Ujarku lumayan sendu.
Jam istirahat
“teng teng teng…”. Bel tanda istirahat berbunyi.
Aku segera meluncurkan niatku. Tangan lembut Rina dengan sengaja ku tahan agar ia tak meninggalkan kelas terlebih dahulu karena ada yang akan ku tanyakan padanya. Ini menyangkut pernyataannya kemarin tentang Lisa.
“Rin tunggu!”. Sahutku padanya sambil meraih tangan kananya.
“eh, ngapain nih Dan?”.
“sebenernya ada apa sih sama Lisa? please ceritain ke aku, tadi waktu dia ketemu aku, dia lari sambil nutup hidung, kayak orang lagi sakit gitu, ada darah juga”.
“eee…”. Rina masih diam tanpa jawaban.
“kok diem? Lisa kenapa?”.
“jauhin Lisa, sebelum kecewa!”. Jawab Rina dan ia melepaskan tanganku untuk pergi keluar kelas. Aku semakin terjatuh pada lubang kerancuan dengan semua yang dilontarkan Rina. Dari sini aku mencoba untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi pada Lisa dan tak lagi ku bertanya pada Rina karena dirasa akan percuma.
Pulang sekolah
Aku telah berada di balik tembok pos satpam di temani motorku yang telah aku siapkan pula. Menunggu Lisa melitas dan akan membuntutinya layaknya seorang detektif. Hal yang mengejutkan pun datang, Lisa melintas jalan bersama Rina yang terlihat seperti menjaga Lisa. Aku heran dengan itu karena selama ini yang ku ketahui bahwa Rina menyuruhku menjauhi Lisa, tapi mengapa justru ia sendiri dekat dengan Lisa. Ini adalah sebuah misteri yang harus aku pecahkan.
Sungguh sial. Ketika aku akan membuntuti mereka, ternyata ban motorku bocor. “argghhh!”. Sial sekali aku. Mereka mulai menjauh. Rupanya aku gagal dalam upayaku menyelidiki mereka. Akhirnya ku relakan hari ini tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kubawa motor butut ini ke sebuah tempat penambalan ban di pinggir jalan raya dekat sekolah.
Hari berikutnya
Lagi-lagi aku berlaku seperti kemarin, mengulang apa yang aku lakukan dan berharap agar bertemu Lisa kembali. Lorong-lorong telah ku lewati dan tiba di persimpangan kelas. Tapi Lisa tak kunjung lewat. Kemana dia? Aku begitu terobsesi dengannya, karena ucapannya yang menganggap bahwa aku spesial. Memang tak ada kisah romantis antara aku dan Lisa, tapi entah mengapa aku selalu ingin bertemu dengannya semenjak pertama kita bertemu. Semoga Lisa juga merasakan apa yang kini aku rasakan.
Sampai pulang sekolah pun aku masih tak bertemu dengan Lisa. Telah kucari ke kelasnya bahkan ke seluruh penjuru sekolah, tapi dirinya masih tak ku temui. Aku tanyakan alamat rumahnya pada sahabat-sahabatnya yang lain tapi mereka tak ada yang mengerti ataupun berpura-pura tak mengerti. Ini seolah membuatku merasa patah aral.
“kamu dimana Lisa?”. Ujarku dengan rasa sedih.
Satu Bulan berjalan.
Telah satu bulan aku berada di sekolah baruku. Tapi ada yang kurang dalam satu bulan ini. Hanya dua kali aku bertemu Lisa dalam sebulan ini. Selebihnya tak ku ketahui kabarnya. Bahkan Lisa tercatat telah berminggu-minggu tak masuk sekolah. Membuatku memunculkan pemikiran yang tidak-tidak kepadanya.
Aku frustasi dan dengan segenap kerisauan aku mendatangi Rina yang dari awal telah ku curigai. Ketika pulang sekolah ku tarik ia ke sebuah tempat di pinggir kelasku berada, lumayan sepi. Aku terpaksa harus melanggar ucapanku sendiri. Ku tanyai Rina tentang Lisa dengan sejuta paksaan.
“apa-apa’an nih Dan?”.
“aku minta kamu ceritain yang terjadi sama Lisa sekarang!”.
“apa yang musti diceritain?”.
“aku pernah liat kamu jalan bareng Lisa, bukannya kamu minta aku jauhin dia? maksud kamu apa? APA?”. Ucapku sedikit membentak.
“oke fine, baik! kamu yakin mau tau?”.
“iya, aku mau tau, kemana Lisa? kemana ha?”. Ucapku emosional.
“oke, ikut aku!”.
Rina kemudian mengajakku beranjak dari tempat itu. Ia membawaku ke sebuah tempat yang lumayan jauh dari sekolah menggunakan motornya. Aku mulai curiga ketika aku melihat rerimbunan pohon beringin dan kamboja. Aku kaget, itu adalah tempat pemakaman. Aku mulai tak enak hati. Rina dan aku turun dari motor dan ia membawaku ke salah satu makam. Rina menunjukkan sebuah batu nisan bertuliskan nama Lisa. Aku tak kuasa menahan air mataku. Serasa menjadi manusia paling bodoh ketika mengetahui itu semua. Aku baru mengerti bahwa Lisa telah tiada karena sebuah penyakit.
“Lisa udah nggak ada Dan”. Rina menangis.
“Ya ampun Lisa, ya Tuhan”. Aku tak kuasa dengan tangisan Rina.
“ini adalah alasan aku minta kamu buat jauhin Lisa, aku nggak mau kamu kecewa ketika jatuh cinta sama Lisa dan ia pergi dengan cara seperti ini, dia pengidap kanker otak”.
“ya Tuhan, kenapa terjadi…”.
“ada salam dari Lisa untukmu beberapa hari sebelum ia pergi untuk selamanya, dia bilang luar biasa bisa kenal kamu dengan cara yang aneh, itu yang bikin kamu spesial”.
“Lisaaaaaa…”. Air mataku menetes.
Kini ku mengerti sebuah misteri yang menggelayutiku. Cinta yang tak pernah ku duga kini telah pergi meninggalkanku. Hanya singkat pertemuanku dengannya, tapi begitu membekas disini, di hatiku. Ini adalah satu bulan yang hampir membuatku lelah, namun semua terobati ketika misteri olehnya telah ku mengerti meskipun cintanya tak bisa ku dapati. Selamat jalan Lisa.
- TAMAT -
Cerpen Karangan: Avando Nesto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar