Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Sketsa Buram

Musim yang berlalu membuat wajahku sedikit dewasa. Segala permasalahan hidup silih berganti menghampiri. Dinding kamarku yang delapan tahun lalu penuh dengan poster-poster idola, kini hanya ada sebuah lukisan perahu yang kubeli di Bali satu tahun lalu saat berlibur. Dan, sebuah sketsa yang mungkin telah buram di sudut kamarku, yang berniat untuk kusimpan sebagai sebuah kenangan yang segera kujemput saat aku siap nanti.
Usiaku telah menanjak dua puluh lima saat aku tersadar, betapa berwarnanya hariku yang kulalui tanpa romansa kisah kasih seperti pasangan pada umumnya. Aku tak pernah merasa sendiri, walau kadang hatiku perih melihat teman-teman mengenakan gaun pengantin dengan bahagianya. Aku mengerti, cinta tak akan pernah memaksa, ia hanya akan menyarankan kita untuk memilih. Dan aku memilih untuk tidak menemuinya saat ini, sampai ketika seseorang tiba-tiba datang padaku mengambil semua kisahku bersamanya.
Adalah dia, yang meluluhkan penat, melenyapkan gelisah saat badai tak bisa kuhentikan. Adalah dia, yang memberikan lagu pada sisi gelapku yang mungkin aku sendiri tak memahami bait yang mana yang sedang kumainkan. Aku hanya mampu diam, sementara ia terus mendedangkan balada untukku. Adalah dia, yang menambah jingga pada ruang kelabu diriku. Walau aku tersenyum, tak akan mengubah sebuah sketsa yang tersimpan di pikiranku. Maafkan aku.
Sejak musim penghujan lalu, aku mengenalnya karena temanku yang tak tahan dengan kesendirianku. Lalu, kumulailah sebuah perkenalan yang tak cukup mengesankan untuknya. Dia, seorang pria berbadan tinggi dengan wajah tirus, dengan tulang pipi terlihat menonjol. Tak kupungkiri bahwa, ketertarikanku muncul ketika aku menatap matanya. Ungkapan cinta berawal dari mata lalu turun ke hati, sungguh bukan begitu artinya untuk menerangkan kondisi saat itu. Aku hanya berminat dengan mata yang selalu tersenyum dan berbicara dengan tulus, mata yang mengatakan bahwa aku tak akan pernah berbohong, bahkan mata yang tak ingin kulihat saat ia menangis.
Cintanya telah lama ia berikan padaku sejak pertemuan ketigapuluh satu kami, namun tak sebaliknya denganku. Dalam perjalananku pulang, ia mengantarku. Aku katakan padanya sebuah kenangan pahit yang mungkin akan melukainya saat itu, bahkan jika ia mengingatnya. Aku mengatakan, dalam hidup aku hanya mengenal satu lelaki sebelum dia, dan apakah dia tahu, aku masih mengharapkan lelaki itu seperti orang gila, jadi aku menyuruhnya untuk berhenti memberikan cinta untukku. Lalu, dengan tangis yang meleleh di pipiku, ia berkata “Apakah lelaki itu tahu kamu mengharapkan dia? Apakah dia tahu, berapa kali kamu bercerita tantang dirinya? Apakah dia tahu, kamu cinta mati dengannya? Pada akhirnya aku hanya memiliki satu kebingungan, you don’t like me, what should I do?”. Mata yang tak ingin kulihat, air mata menetes di pipinya.
Sebelum ia pergi, aku hanya mengatakan, maafkan aku yang menyeretmu ke dalam penantian cinta yang kupendam bertahun-tahun ini. Walau kini sketsa yang memburam itu tidak kupasang lagi, aku masih mengharapkan dia yang memberikan cinta, bukan kamu. Maafkan aku.
Aku meninggalkannya tanpa berbalik.
Tiga tahun sudah aku tak menemukan sayu matanya menyapa pagiku. Aku merasa sepi saat mengingat perkataan terakhirnya. Tapi aku tenang, jalanku sudah benar dan aku harus mengatakan sejujurnya dari pada memberikan luka di hatinya, walau kini tak ada lagi tempatku mencurahkan sesak, ceria dan lelah. Tiga tahun kurasa cukup untuk menghapus tawa bersama dirinya dan aku memberanikan diri untuk menyapa lelaki yang telah lama tersketsa dalam ruang hatiku. Meski telah buram.
Aku menemui lelaki itu, tentu saja dengan setengah rasa percaya diri. Kulekatkan sketsa dirinya di dadaku dan kusapa dia. Hatiku bagai tawa seribu bidadari yang memecah merdu di seluruh ruang waktu saat aku menatap wajahnya. Aku bahagia melihatnya lagi. Sudah berapa lama. Hampir sepuluh tahun aku memiliki keberanian muncul di depannya dan akan mengungkapkan apa yang selama ini aku pendam. Tentu saja, tidak langsung kuutarakan maksudku. Beberapa kali bertemu dengannya, barulah pertanyaan sepuluh tahunku terjawab. Aku masih ingat dengan perkataannya, “Walau hanya aku yang kamu ingat, kamu nanti, seseorang yang kamu harapkan memberikan cinta, seseorang yang kamu harapkan menemanimu dengan tawa, aku sangat menginginkan kamu di sampingku, tapi itu sepuluh tahun lalu, saat kita masih berseragam abu-abu, kamu ingat. Sekarang kita sudah dewasa, banyak waktu yang sudah kita lalui, sampai tersadar aku pun juga pernah memendam cinta padamu, maaf atas ketidakberanianku mengungkapkan padamu dulu. Aku juga menyesal saat ini berbicara seperti ini ketika rasa cintaku padamu sudah tidak ada.”
Dengan air mata yang masih tertahan di pelupuk, aku bertanya pada lelaki itu “Apa kau telah beristri?”
Lelaki itu menjawab “Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama, rasa cintaku padamu dulu, aku anggap sebagai sebuah kenangan masa remaja yang indah walau aku menyesal setelahnya. Aku belum beristri, tapi aku memiliki kekasih. Aku bertemu dengannya saat aku mencoba untuk melupakan sesal mengapa aku tak berani menatap wajahmu dulu. Maafkan aku. Tak ada yang ingin kukatakan lagi, aku akan menikahi dia dua minggu lagi, tak mengapa jika kamu tak berkenan hadir, aku mengerti. Sekali lagi maafkanlah lelaki tak tahu diri ini.”
Sketsa yang memburam tiba-tiba saja melayang terbawa angin.
Setelah lelaki itu berlalu, tangisku pecah. Di sepanjang jalan aku berteriak seperti orang gila, aku mengumpatnya berkali-kali. Sampai pada ujung jalan rumahku, dengan mata sembab, aku melihat seseorang berdiri di depanku. Selama tiga tahun, wajahnya tak sedikitpun berubah, ia si pemilik mata sayu itu. Dia meraih pergelangan tanganku dan dengan lirih aku berkata “dia menolakku, aku harus bagaimana?” Dia menarikku ke dalam pelukannya, dan berkata “gadis ini tak suka padaku juga, tapi bolehkah aku mengganti sketsa buram miliknya menjadi lukisan dengan penuh warna, I think I can do it” Tangisku semakin keras sesaat aku tersadar, aku membutuhkan lelaki ini karena aku mulai terasa memiliki arti sekarang.
~ SELESAI ~
Cerpen Karangan: Nowid Putri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar