Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Karena Tuhanlah Sang Sutradara

“Ada empat teori mengenai kisah cinta dalam kisah ini; 1. Ketika suatu hubungan tak selamanya berakhir indah; 2. Karena penantian tak selalu memberi hasil sesuai yang diharapkan; 3. Di saat kamu letih dalam menanti, disitulah cinta memberi kekuatan untuk bertahan; dan 4. Hubungan jarak jauh tak selamanya berhasil”
Pagi yang cerah datang lagi. Matahari telah tersenyum indah. Bola penuh sinar itu menyapa Nessa mesra melalui berkas-berkas cahaya hangat yang dipantulkan menembus kaca jendela kamarnya dan memantul pada lekukan pipih yang merekah. Nessa tak membalas sapaan manja itu. Nampaknya dia jauh lebih bersahabat dengan hujan yang mengguyur deras dan membasahi bumi tadi malam. Hujan rintik-rintik di matanya memang sudah mulai mengering, namun masih tersisa kesedihan dan kegalauan hati yang tersirat dari kedua kelopak mata kemerah-merahannya yang mulai membengkak sejak tadi malam.
Semalaman dia memang tertidur. Dia lelah, menangis memikirkan kelanjutan kisah hubungan percintaannya yang tidak berjalan semulus kisah dalam dunia khayal. Kisah mengenai seorang putri bersama sang pangeran tampan yang selalu berakhir bahagia. Kisah tentang dongeng fiksi yang selalu menghiasi pikiran anak-anak kecil sebelum mereka terlelap dalam tidurnya. Dia tau bahwa kisahnya berbeda. Dia sadar akan hal itu, tentu saja. Karena kisah cintanya memang bukan cerita dongeng, bukan suatu karangan imajinasi manusia dengan tujuan sebagai hiburan, bukan juga cerita bohongan tentang kehidupan para remaja. Ini kisah nyata! Kisah dimana Tuhanlah yang bertindak sebagai sang sutradara. Ini kisah di mana Nessa dan orang yang dicintai adalah pemeran utamanya, pemeran yang tak dapat melakukan apa-apa selain ber-akting mengikuti apa yang Tuhan kehendaki, apa yang Tuhan mau dan inginkan sebagai penguasa yang berhak mengatur semuannya.
Sore ini mereka telah berjanji untuk saling bertemu.
“Bentar sore di café Antlas aja.” Nessa memutuskan. “Kayaknya bakal lebih nyaman kalau kita ketemuan di sana… Iya jam 4” percakapan singkat itu lalu terputuskan.
Seharian penuh Nessa selalu di kejar oleh bayang-bayang sang pacar, Dion. Dia benar-benar menunggu kehadiran Dion, wajah yang penuh senyum datang untuk menjemputnya untuk yang pertama kali. Nessa membayangkan, pikiran yang melambung jauh setinggi-tingginya yang dapat ia lakukan. Membayangkan seperti adegan-adegan sinetron yang ada di televisi. Ini yang pertama untuknya. Dia tak pernah berpacaran sebelumnya, dia tak pernah jatuh cinta, apalagi untuk dijemput seorang cowok di depan rumahnya? Betapa ini sangat ia nanti-nantikan.
“Aku pakai bando ungu aja deh, biar matching sama rompi baju .. hm” dipandangi pantulan bayangan dirinya di depan kaca, berputar-putar melihat kemolekan tubuhnya.
Jam masih menunjukkan pukul 1 siang, sementara waktu janjian adalah jam 4 sore.
Nessa lalu berbaring di atas tempat tidurnya. Tak sampai 10 menit kemudian ia lalu tertidur dengan pakaian dress ungu-putih dan bando berhias pita ungu di kepalanya. Tiga setengah jam kemudian barulah Nessa terbangun. Ia kaget bukan main setelah melihat jam yang sudah menunjukkan hampir pukul setengah lima sore. Nessa tau bahwa Dion tak pernah terlambat dalam hal janjian. Dia lalu melompat dari kasurnya, membawa tas kecil di samping tempat tidur dan bergegas pergi. Dia lupa berpamitan pada orang tuanya, dia bahkan lupa untuk membawa hapenya.
Tepat pukul 6.30 bel rumah Nessa berbunyi.
“Nessa, kenapa kamu baru pulang? Mana Dion sayang? Kenapa mama telepon kamu tapi gak di angkat-angkat? Kenapa kamu lusuh sekali? Kamu kenapa? Ada masalah apa?” Mama terlihat cemas sekali.
“Hape Nessa ketinggalan tadi, Nessa gak tau kenapa Dion gak nepatin janji” dia hanya menjawab seperlunya.
“Jadi kamu ditinggal gitu aja? Dibiarin menunggu? Kenapa Dion seperti itu?” Seolah-olah ada seribu pertanyaan yang harus segera Nessa jawab saat itu.
“Nessa capek ma, Nessa lagi malas cerita apa-apa sekarang. Nessa pengen istirahat.” Nessa lalu menyerobot masuk kamar dan mengunci pintu. Mama selalu tau saat di mana Nessa benar-benar tak ingin di ganggu jadi mama hanya membiarkannya beristirahat dari segala kepenatan.
Sehari sebelumnya Nessa sempat bertemu dengan Hana sahabatnya di taman kota dekat rumah Hana. Mereka sempat berbicara banyak. Mereka berbicara mengenai hal yang sudah terlewatkan di masa lalu, entahlah menyadarkan atau malah mempengaruhi Nessa tentang doktrin yang berbeda.
“Aku galau Han, aku gak yakin bisa ngomong kayak gitu sama dia!” curhat Nessa kepada sahabatnya Hana.
“Tapi apakah kamu mau selalu kayak gini? Kamu mau selalu nungguin dia dan ngehabisin masa SMA mu hanya buat nunggu sesuatu yang gak pasti? Kamu yakin? Kamu yakin kamu mampu Ness?” Ucap Hana sembari menatap dalam ke arah Nessa.
“Ya.. ya enggak sih. Aku gak kuat kayak gini terus. Udah dua tahun Han, 2 tahun aku gak pernah dekat sama cowok lain, aku gak pernah ngerasain gimana pacaran secara nyata! Maksud aku, aku gak pernah dapetin perhatian, ditemenin, natap wajah dia, berbincang, cerita sama-sama, jalan bareng, semua gak pernah aku rasain secara langsung! Aku pengen ngejalanin hubungan dengan orang yang bisa selalu ada buat aku, nemenin aku.. bukan hanya bisa jadi “Pacar Via Mobile” kayak gini! Aku kadang iri lihat pasangan lain yang bisa selalu sama-sama. Mereka yang bisa nyelesaikan masalah mereka dengan ketemu dan berbincang langsung, gak kayak aku!” Tersirat jelas bahwa Nessa sedang kesal dan kecewa.
“Yah, aku tau. Ini semua tergantung kamu. Kalau kamu yakin kamu masih sanggup menunggu dia dan gak mau ngelepas dia, kamu boleh aja menunggu kok. Itu gak salah, terus setia sama dia seperti ini. Setidaknya kamu bisa memiliki orang yang kamu cinta walaupun dia gak ada secara nyata di mata kamu. Tapi…” Hana terdiam sejenak, sedikit memalingkan wajah dari Nessa dan berpikir sejenak.
“Tapi apa?” Nessa ingin tau, penasaran dengan hal yang akan diucapkan Hana selanjutnya. Dia lalu menggengam tangan Hana. “Tapi apa Hana? Bilang aku” dia memperjelas pertanyaannya sekali lagi. Genggaman tangannya semakin erat.
“Tapi aku takut Nes, aku takut kamu bakal kecewa”
“Kecewa bagaimana maksud kamu?” Kening Nessa mengkerut, dia semakin tak kuasa menahan rasa penasaran di batinnya itu.
“Aku, aku gak mau kamu kecewa kalau nanti penantianmu bakal sia-sia. Aku gak bermaksud mendoakan, mencap, memberi label,mempengaruhi pikiranmu atau.. atau apapun itu. Fine-fine aja kalau emang bener ternyata Dion adalah sosok pria yang akan menemani hidupmu nanti, kalau emang benar dia itu jodohmu di masa depan. Tapi kalau bukan bagaimana? Apakah kamu yakin bakal menghabiskan semua massa SMAmu hanya buat ngenal satu cowok aja? Hanya buat menunggu dia? Hidup ini masih panjang untuk mengenal yang lainnya” kata-kata itu membuat Nessa terdiam sejenak. Seolah-olah ada pisau belati tajam yang telah tertancap menembus ulu hatinya.
“T-tapi.. itu terlalu jauh Han, aku gak bermaksud sampai..”
“Iya aku mengerti. Coba kita pikir saja hal terburuknya. Oke mungkin itu memang pikiran yang terlalu jauh. Sekarang apa kamu benar-bener yakin kalau dia bakal setia di sana? Apa dia gak bakal deket-deket sama cewek lain? Apa dia gak bakal membuka hati untuk mengisi kekosongan dengan cewek lain? Kamu yakin?” hiliran angin sore yang dingin lalu memainkan rambut-rambut halus mereka berdua.
“Sebenarnya, tidak. Tapi aku mencoba untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa dia.. bahwa dia setia sama aku di sana. Setidaknya dia harus setia! Karena aku di sini lagi nungguin dia, karena aku di sini setia sama dia, jadi dia juga harus kayak gitu!” Nessa memang egois dalam hal seperti ini. Dia hampir saja menangis. Dadanya terasa sesak. Rasanya asma tiba-tiba telah menyerangnya. Tapi itu bukan gejala penyakit asma, melainkan penyakit lain yang disebut ASMAra yang gagal sukses, gagal bahagia.
“Kamu ingat hal yang kamu ceritakan padaku? Mungkin sudah sekitar sebulan yang lalu” Hana berusaha mengingatkan sesuatu.
“Mengenai apa?” rasanya Nessa memang selalu lupa tentang hal yang pernah ia ceritakan pada sahabatnya itu. “Banyak yang sudah aku ceritakan sama kamu kan? Sebulan yang lalu? Aku tak ingat” dia melanjutkan.
“Dion, beberapa saat setelah kalian putus untuk yang kedua kalinya, dia langsung punya pacar baru bukan? Kamu bahkan tidak tau..”
“Aku tau setelah kita balikan, setelah teman sekelasnya menceritakan hal itu” Nessa nampaknya sudah berhasil mengingatnya.
“Kamu justru mengetahuinya dari teman sekelasnya kan? Yah tak aneh juga kalau temannya hanya mengada-ada, tapi buruknya setelah kamu klarifikasikan sama Dion dia justru membenarkan tanpa mengelak dan.. tanpa benar-benar merasa bersalah sedikit pun!”
“Mengapa dia harus merasa bersalah? he-he. Aku bercanda. Itu berarti dia mudah move on kan dari aku? aku tau, perasaannya ke aku dengan perasaanku ke dia memang tak sama. Kadar sayang kami berbeda, apakah aku lebih banyak? Tapi.. dia bilang dia gak sayang sama cewek itu, dia hanya nembak Riny karena diajakin taruhan sama teman cowoknya..” Nessa sedikit ragu mengatakan hal itu. Dia menggigit bibir mungilnya pelan.
“Apa?! Jadi hanya untuk taruhan!? Kenapa kamu gak ngasih tau sama aku alasan itu? Itu berarti kan dia juga punya niat untuk mainin cewek! Dia jahat, dia seharusnya gak boleh lakuin itu. Terus sekarang setelah dia ngerasa gak nyaman sama si Riny, dia dengan mudahnya minta balikan sama kamu? Begitu? Dan kamu mau aja?” Hana sedikit kesal, dia memang tak pernah suka sama cowok yang suka mainin perasaan cewek.
“Itu karena aku gak tau Han! Aku kan udah bilang kalau aku baru tau dari temen sekelasnya, itupun setelah kita balikan. Jadi aku harus gimana?” Ucapan itu lirih, Nessa lalu mendesah dan menyandarkan pundaknya pada sandaran kursi taman yang panjang, tempat dia dan Hana duduk.
“Enggak, kali ini kamu yang harus mutusin sendiri. Entahlah menurut kamu yang mana yang terbaik aja buat kamu. Aku takut dia gak setia di sana, sementara kamu terus nungguin dia kayak orang ngemis-ngemis cinta gak pasti gini. Ih males deh punya sahabat yang kasihan gini hehe” candaan itu terlontar begitu saja.
“Iihhh Hana ini! Nessa cubit nih!” Nessa lalu mencubit pelan perut sahabatnya dan tertawa. Kali ini sesak di dadanya mulai sedikit berkurang.
“Hehehe… ya udah, aku yakin kamu bisa mutusin hal yang terbaik buat kamu. Eh ngomong-ngomong kamu belum makan siang kan? Mama aku lagi masak papeda panas loh, pake ikan kuning lagi! Wiih sedep deeehhh…” Hana mengacungkan jempol kanannya, bersemangat.
“Ih tau aja kamu! Aku laper berat nih… hehehe”
Sore yang manis, semburat warna jingga memecah langit biru yang selalu berkapas. Bola cahaya raksasa hampir saja pulang, ia sudah berada di kaki cakrawala. Dua insan manusia yang saling berjanji dalam satu ikatan, yaitu persahabatan, nampak saling berangkulan. Mereka yang penuh dengan kasih antara sesama saling bercanda menembus angin-angin sore yang menari-nari menerbangkan dedaunan kering di taman. Mereka saling memahami, saling mengerti satu sama lain. Betapa indah persahabatan yang yang telah terajut lembut.
Jalan Cempaka nampak begitu padat. Asap-asap polusi tak pernah mau kalah bersaing dengan padatnya kendaraan yang berhilir-mudik dalam dua arah. Semuanya sibuk, iya semua sibuk dengan kegiatan dan keperluan masing-masing. Sore hari selalu saja indah. Burung-burung camar yang terbang setinggi 15 kaki nampak bergerombol pulang ke arah Barat. Namun Nessa tak kunjung pulang walaupun hari sudah semakin sore.
Dia masih setia menunggu untuk yang kedua kali. Namun Dion tak kunjung datang pada janji yang kedua ini. Bahkan ini telah lewat 2 jam dari waktu janjian. Nessa benar-benar kesal. Jemrinya tak pernah henti mengutak-atik handphone balckberrynya, menunggu telpon atau setidaknya sms balasan dari Dion.
“Kenapa kamu tak kunjung datang!” Dia kesal, Nessa marah dan kecewa. Dia semakin ragu dengan penantian yang sudah dilakukannya selama ini, selama mereka memiliki hubungan jarak jauh. Nessa takut Dion akan pergi jauh hingga dia lupa dengan dirinya, lalu tergantikan oleh sosok cewek lain di sana.
Jam 17.19, tepat dua jam lebih 19 menit Nessa menunggu. Dari kejauhan sosok cowok yang Nessa nanti-nantikan sejak tadi akhirnya muncul juga. Dion muncul dengan mengendarai motor mio merah, helm hitam, dan jaket berwarna biru muda. Pakaiannya terlihat keren di tambah lagi sepatu kets dan celana setinggi lutut.
“Kenapa kamu baru datang!” Nessa langsung marah dan menunjukkan ekspresi tidak suka.
“A-aku… aku tadi jemput kamu. Dulu waktu kamu masih SMP, katanya kamu gak berani sama mama dan papa kalau misalnya ada cowok yang datang untuk jemput kamu keluar. Makanya aku hanya nungguin kamu di pinggir toko Cemerlang Mart, berharap kita ketemu dan bisa jalan bareng.. tapi kamu kok gak ada? Kamu kok gak kelihatan?” Dion berusaha menjelaskan.
“Bodoh banget sih kamu! Harusnya kamu kasih tau! Aku kan gak mungkin tau kalau kamu diem-diem kayak gini! Lagian itu kan waktu aku masih SMP, sekarang aku udah SMA woy! Udah gede! Orang tua aku pasti izinin lah.. kamu aja yang gak berani datang ke rumah aku, iya kan?! Alah jujur aja deh!”
“eng-enggak bukannya gitu.. aku beneran gak tau Nes, sumpah! Demi Tuhan. Kita gak pernah ngomongin masalah ini selama long distance kan? Jadi aku kira masih sama, aku gak mau kamu dimarahin orang tua kamu. Aku minta maaf Nessa, aku yang salah! Aku minta maaf.. please” Selalu seperti ini. Dion memang selalu mengalah jika terjadi perdebatan di antara mereka. Nessa selalu saja menang, entahlah dia seolah-olah selalu memiliki kekuatan besar yang mampu membuat Dion tak dapat berkutik atas segala hal mengenai perdebatan pendapat mereka atau apapun itu.
“Terus kenapa hape kamu gak aktif?!” Nessa menyolot dengan membuka matanya lebar-lebar.
“hape aku baterainya habis Nes, aku gak sempat cas” Dion menjelaskan dengan nada yang tenang dan lembut.
“ah pasti kamu bohong. Kamu ini yah, nyebelin banget! Di telpon gak bisa! Sms gak di jawab! Udah 2 jam aku nunggu kamu! Aku capek, pegel!” telunjuk kanan cewek Bandung itu lalu digerakkan dan menunjuk-nunjuk Dion.
“Aku gak mungkin bohong soal itu, dari pagi..”
“udah lah, aku males bahasnya. Kita langsung masuk aja ke café, aku udah haus banget” potong Nessa dan tanpa berbicara banyak langsung masuk ke arah café Antlas.
Suasana di café Antlas memang sangat sesuai sebagai tempat nongkrong anak muda. Dion dan Nessa duduk saling berhadapan di sofa merah besar dekat jendela.
“Aku minta maaf udah ngebuat kamu menunggu” Dion berusaha memulai pembicaraan. Nada suaranya menunjukkan penyesalan yang amat sangat, ditambah lagi ekspresi wajah yang mengibakan jiwa.
Namun Nessa tak perduli dan justru membuang muka. Dia tetap saja asik dengan menyeduh ice chocolate miliknya.
“Ness, aku gak mau kita berkelahi. Aku gak mau kayak gini Nes. Aku minta maaf udah buat kamu nunggu aku” Dion tetap berusaha membuat Nessa memaafkannya. Dia lalu meraih telapak tangan Nessa, berusaha memegangnya. Namun…
“Udah, gak usah pegang-pegang Dion. Kamu itu emang selalu buat aku nunggu kamu! Tapi kamu? Selalu aja datang terlambat, eh malah kemarin kamu gak datang! Kamu pikir nunggu itu enak hah!” Nessa meletakkan ice chocolatenya di atas meja, mengambil tissue dan mengelap bibir merah jambunya perlahan. Setelah itu dia mendesah dalam.
“Waktu itu aku gak datang karena mama aku minta tolong anterin berobat Ness, aku udah sms kamu kan? Kemarin. Aku udah siap bahkan setengah jam sebelum waktu janjian kita. Tapi tiba-tiba mama aku pingsan di dapur, mama aku sakit Nes, aku gak mungkin ninggalin mamaku seperti itu karena saat kejadian Cuma ada aku dan adik ku yang masih 9 tahun. Aku udah sms kamu, aku bahkan telpon kamu saat di rumah sakit. Tapi kamu gak angkat-angkat. Aku minta maaf Nes” Wajah Dion, segala penjelasannya tak kunjung membuat Nessa sudi member maaf.
Sebenarnya Nessa tak mampu menatap mata permohonan maaf Dion yang terlewat nanar. Namun dia keburu kesal karena selalu saja dia harus menunggu Dion.
“sms itu, aku gak baca. Aku kesal sama kamu kemarin makanya setelah tau kamu sms, tanpa membuka inbox baru, langsung saja aku hapus. Aku minta maaf aku gak tau kalau itu alasanmu” Nada bicara Nessa mulai memelan.
“Iya, gak apa-apa.. aku juga mau ngasih tau. Baterai aku habis dan gak sempat ngecas karena sejak pagi aku pergi, aku siapin barang-barang untuk nanti…” Dion tak melanjutkan.
“Maksudnya untuk nanti apanya?” Nessa berhasil di buat penasaran oleh Dion.
“Entar malam aku mau berangkat” kata-kata itu seolah-olah membuat tameng air mata Nessa mulai hancur sekidit demi sedikit.
“Jadi kamu? Mau pergi lagi? Ninggalin aku lagi? Biarin aku sendiri? Jadi aku nunggu lagi gitu?”
“i-iya..” Dion terdengar ragu dalam menjawab.
Waktu seolah-olah berhenti sekejap. Nessa lalu terdiam, dia nampaknya sedang pasrah dengan keadaan. Dia lalu menerawang, menerawang jauh sekali. Semua semua perkataan Hana dua hari sebeluumnya mengingatkan sesuatu.
“Kapan kamu bakal kembali lagi?” Messa bertanya dengan nada datar.
“Aku gak tau, aku gak bisa janji” Dion menjawab ragu.
Nessa sempat terdiam lagi untuk beberapa saat.
“Jika jawab tak juga ada, haruskah praduga jadi jembatannya? Jika sapa tak juga berbalas semestinya, haruskah diam jadi pilihannya? aku gak bisa. Aku gak bisa kayak gini terus. Aku gak bisa nungguin kamu setiap waktu. Kita pacaran udah hampir dua tahun, kamu nyadar kan? Itu bukan waktu yang sebentar. Tapi pertemuan kita secara langsung hanya bisa dihitung jemari tangan. Aku seneng kamu datang, walaupun hanya satu minggu kamu ada di sini setidaknya kamu udah datang, itu udah buat aku cukup bahagia. Itu udah cukup membuat aku dapat sedikit melepas kerinduan yang disebabkan oleh hubungan jarak jauh yang sedang kita jalani. Tapi… sampai kapan harus kayak gini terus? Aku capek! Selalu menunggu kamu, aku capek! Menunggu kedatangan kamu yang gak tentu itu, setiap enam bulan sekali, setahun sekali! Aku gak sanggup”
“apa kamu udah bosan Nessa?” pertanyaan itu, keduanya lalu saling beradu pandang.
“Iya, aku bosan. Aku gak kuat, aku gak mau LDRan lagi kayak gini. Aku hanya bisa jadi korban LDR aja, aku gak dapat apa-apa. Kamu gak pernah bisa janjiin sesuatu yang pasti. Setiap aku nanya kapan kamu datang, kamu selalu aja ragu menjawab, kamu hanya bisa nyuruh aku sabar. Tidak semua hal bisa selalu di jawab dengan kata sabar Dion” Musik di café Antlas semakin mendukung suasana, membuat hati kedua insan manusia kian bertambah galau.
“Apakah waktu hanya berjalan di tempat saja? Dia seolah-olah merayap dari hari demi hari. Tak bisakah ia sedikit lebih cepat!” Nessa berucap kesal. “Jadi sampai kapan? Hanya sabar saja yang dapat kau berikan Dion, sabar!”
“Aku gak bisa ngejanjikan apa-apa sayang, aku Cuma bisa berjanji setia sama kamu. Dan aku hanya bisa minta kamu untuk bersabar sampai kita bisa sama-sama lagi. Bukankah kita pernah bermimpi untuk kuliah sama-sama?” pengakuan, kenyataan, kesedihan, dan kebimbangan merengsek maju untuk mencari kebenaran perasaan.
“Aku lupa, aku lupa akan janji itu. Tapi aku capek, aku butuh orang yang bisa selalu ada di saat aku butuh. Aku mau orang yang bisa nemenin aku di saat sedih ataupun senang, yang bisa ngasih bahunya sebagai sandaran untuk tangisku. Kamu pasti tau rasanya kan? Aku sayang kamu, iya aku sayang! Aku tau kamu gak bisa janji apa-apa. Tapi kamu tau? Aku kadang mikir kalau misalnya aku terus nunggu kayak gini apakah penantianku gak bakal sia-sia?” Nessa menjelaskannya, menjelaskan apa yang dia rasa dan pendam selama ini. Semua jelas sudah.
“Iya aku mengerti. Kamu pikir aku gak mikir kayak gitu juga? Tapi aku percaya sama kamu, itu yang setidaknya buat aku bisa sedikit lebih tenang. Tapi kalau kamu gak percaya sama aku ya, maunya gimana? Tolong katakan apa yang kamu mau, mumpung aku lagi di sini, sebelum aku pergi lagi” Dia bertutur dengan sopan, tenang, namun itu menyakitkan bagi Nessa.
Nessa menarik oksigen dalam-dalam. Dia lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Allah, ini salahku. Aku tidak mengerti apa yang menjadikan aku seperti ini. Hari ini penat pikiranku, penat banget. Dari pagi aku udah kena masalah yang membuat moodku semakin buruk. Maaf mungkin kamu udah jadi korban pelampiasan dari segala hingar bingar masalah pribadiku yang menyesakkan aku hari ini”
“Jadi bagaimana sekarang? Apalah akhir adalah sebuah pilihan?” Dion meminta kepastian.
“Im tired, I feel so tired to having this long distance relationship, Im sorry” Nessa menutup matanya, berulang kali mengganti dan mencari posisi duduk yang nyaman.
“kamu mau berakhir? Kalau kamu udah gak sanggup aku juga gak bisa maksa. Sekarang semua keputusan ada di kamu”
“hahh, kenapa ribet banget rasanya. Iya mungkin akan lebih baik kalau kita berakhir sampai di sini. Ini akan lebih melegakan karena kita sama-sama lebih bebas melangkah untuk kedepannya. Setidaknya kita harus lebih dewasa nanti, walaupun langkah kaki yang kita setapakkan tak lagi sama, tak lagi seirama karena kita bukan lagi satu. Walaupun nanti kita udah putus, aku mau kita gak saling lupa. Aku mau kamu ingat aku sebagai bagian dari masa lalumu. Aku mau apa yang sudah kita alami ini bisa dijadikan pelajaran untuk kita berdua” seusai berkata-kata, Nessa lalu menatap ke luar jendela yang mulai lembab diguyur hujan.
“entahlah, aku masih tak percaya kita berakhir seperti ini. Aku bener-bener gak percaya. Baiklah jika menurutmu itu yang terbaik”
“Antarkan aku pulang Dion, ini hampir malam. Kamu harus siap-siap untuk berangkat kan?”
“tapi Ness, ini masih hujan”
“Gak papa” Nessa memainkan rambut panjangnya yang sedikit bergelombang.
Hari ini, mereka berjanji untuk saling menatap sebagai sepasang kekasih untuk terakhir kali. Hari ini, mereka saling berboncengan menerobos hujan deras sebagai sepasang kekasih untuk terakhir kali. Hari ini, kata-kata sayang yang selalu melantun dari balik komunikasi mereka nampaknya harus segera diganti, mereka bukan lagi sepasang kekasih, bukan lagi sepasang raga yang terikat menjadi satu jiwa. Mereka sudah berakhir.
“benarkah kita sudah berpisah? Kenapa langkahmu masih mengikutiku dari belakang? Sangat dekat, bahkan. Aku tak pernah lupa bau harum napasmu itu. Yah bau harum napasmu yang seperti hidup memenuhi alam pikiranku. Pantas hadirmu selalu kudekap dalam jarak satu centimeter. Benarkah kita berpisah? Rasanya ego dan kejenuhan telah memenangkan hatiku. Jadi, mengapa kisah kita seperti ini? Karena inilah yang Tuhan takdirkan? Sutradara atas segala kisah yang terjadi di bumi?” semua tulisan itu menutup lembaran akhir diary Nessa, semua mengakhiri kisah cinta yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Selamat jalan kekasih, manis yang berhujung perih. Semua berakhir sudah, meski kisah tak selamanya indah. Inilah skenarionya, Tuhan telah mengatur semua. Karena Tuhanlah sang sutradaranya.
Cerpen Karangan: Niluh Ayu Mutiara Ariyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar