Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Hanya Sebuah Mimpi

Pagi ini, di ruangan ini, dan di ranjang ini. Lagi-lagi aku harus membuka mata dan menghirup udara yang tak jelas baunya. ya, ini bau rumah sakit. Sudah satu minggu ini aku terbaring di ranjang yang sama sekali tak empuk ini, sangat beda dengan ranjang yang ada di kamarku. Aku benci. aku benci dengan keadaan ini.
“Hai, kamu udah bangun?” Tanya cowok yang sebenarnya tak kuharapkan sedikit pun. aku benci dia. Sama seperti aku membenci hariku dan keadaanku sekarang ini.
Seperti biasa, dia meletakkan setangkai mawar merah di vas yang memang sudah disediakannya terlebih dahulu. Setiap pagi dia datang dengan setangkai mawar merahnya. Wajahnya yang selalu berhiasi senyuman mungkin akan melunakkan setiap hati cewek-cewek yang melihatnya. Begitu juga denganku.
“Sudah kubilang kamu gak usah kemari kan?” Kataku sedikit membentak. Dia hanya tersenyum, kemudian berjalan menghampiriku, duduk di sampingku dan berkata “suster udah kemari tadi dek?” Jujur, aku benci panggilan itu, kenapa dia harus mengucapkan kata yang jelas-jelas sangat aku benci itu. “aku benci kamu, pergi sana!!” Bentakku, sembari menolak lengannya yang berada di atas ranjang tempat sekarang aku meletakkan tubuhku. “Aku sayang kamu” katanya. Apa dia tak tahu, betapa sakitnya hatiku mendengar kata itu. “kalau sayang kenapa panggil adek?” Tanyaku, jujur setiap melihatnya aku tak tahan untuk menangis. Saat ini rasanya aku ingin menangis dan memeluknya seperti dulu lagi.
Dia adalah bagas, dia kakak kelasku sewaktu di Sma. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah baruku sambil mengenakan seragam baru, aku sudah menyukainya. Sepertinya dia peka terhadap pandangan dan tatapanku ini. Karena, seminggu aku berada di sekolah baruku. Dia menyatakan perasaannya padaku, jelas saja aku menerimanya dan kami pun jadian.
Dia cowok yang baik, tampan, keren dan sangat populer di sekolahan. Aku sangat beruntung bisa memilikinya, dia sangat perhatian, baik dan sepertinya dia bangga memilikiku. Aku sangat senang. Tapi, kesenaganku itu tak bertahan lama. Seminggu setelah haru kelulusanku di Sma, aku mendapati kenyataan bahwa dia adalah abangku, abang kandungku. Betapa tidak sakit hatinya aku, di saat aku sudah bermimpi akan membangun kehidupan di masa depan dengannya dan sudah sangat mencintainya, tiba-tiba aku mendapat kabar dari ibuku bahwa dia adalah abang kandungku.
Ayah bagas dan ibuku bercerai setahun setelah kelahiran bagas. Setahun kemudian, ibu menikah dengan ayahku. Artinya, aku dan bagas satu ibu, satu perut. Apa bisa kami melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius, dimana kami sudah berhayal tentang masa depan yang akan kami bangun berdua.
Setelah mendengar kabar itu, aku benar-benar depresi dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Pikiranku sangat pendek dan terus berpikir bahwa bunuh diri adalah jalan satu-satunya. Aku tak bisa membayangkan, sepuluh tahun lagi atau beberapa tahun lagi melihat dia bersanding dengan cewek lain, aku tak tahu betapa sakitnya dan hancurnya hatiku. Lebih baik aku mati.
Meminum racun adalah cara bunuh diri yang paling mudah, pikirku. Tapi, bayanganku tentang kematian seketika sirna saat samar-samar aku melihat kehadirannya, kemudian membawaku ke tempat yang sekarang ini sangat kubenci.
Aku mencoba untuk membenci orang yang sangat aku cintai itu, aku tak tahu seberapa lama aku bisa menghilangkan rasa yang sangat dalam ini. Tapi sepertinya tak bisa, setiap hari dia terus datang memberikan perhatian yang sama bahkan lebih, bagaimana bisa aku membencinya. “Kamu sayang sama aku sebagai apa?” tanyaku dengan kepala tertunduk tak berani menatap matanya yang memancarkan kehangatan itu. Dia tak menjawab, keadaan hening sebentar. kemudian dia keluar dari ruanganku. Saat dia keluar, aku ingin sekali menghentikannya, ingin sekali menyuruhnya agar terus disini bersamaku, menggenggam tanganku ini.
Tak berapa lama dia masuk, dengan membawa semangkuk bubur dan secangkir air putih untukku. “Kamu makan ya?” Katanya menyodorkan sesendok bubur kearahku. “A…ku… sayang kamu” bibirku seakan menolak untuk mengatakan kalau aku membencinya, karena hatiku terus mendesak untuk mengatakan bahwa aku mencintainya. Dia terdiam, aku tahu dia juga sedih. Dia juga tak menerima keadaan dimana aku adalah adik kandungnya.
Walau aku tak yakin, tapi aku akan berusaha untuk melupakannya, menghilangkan perasaan yang sangat dalam ini dan akan membiasakan diri dengan keadaan baru, bahwa sebenarnya dia adalah abang kandungku.
Cerpen Karangan: Devi Anisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar