Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Ketika Harus Merelakan

Aku terjaga dari tidur pulasku, rasa kebelet pipis mulai merangsang tubuhku untuk bangun dan segera menuju kamar mandi. Aku berusaha memanggil ibuku yang tertidur pulas di kursi seberang tempat tidurku. Namun, hanya suara pintu berderit yang terdengar. Aku hanya terngangap tanpa suara yang keluar dari mulut mungilku ini. Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Keadaan ini benar-benar menyiksaku.
Namaku Mayang, aku menderita penyakit spinocerebellar ataxia yang membuatku harus terbaring di atas tempat tidurku. Hampir sebulan lamanya aku mengidap penyakit ini, dengan keadaan yang seperti ini mengharuskanku untuk menjalani terapi medis yang bukan untuk menyembuhkan penyakit ini, tapi hanya untuk memperlambat pertumbuhan jaringan abnormal yang tumbuh di otakku karena hingga saat ini, belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini.Penyakit ini adalah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Volume cerebellum penderita menjadi lebih kecil dari bentuk normal dan menyebabkan penderita akan kesusahan dalam mengontrol gerak tubuhnya. Sehingga, perintah yang dikirimkan ke otak tidak bisa di proses dengan baik.
Aku selalu membayangkan saat-saat dimana aku bisa keluar bermain dan menikmati alam bebas tanpa adanya larangan, pantangan dan jadwal minum obat yang padat. Aku membayangkan saat aku pergi ke kebun binatang dan piknik disana bersama keluarga dan teman-temanku. Kami berlari-lari bermain dan bersenang-senang bersama. Dan tidak lupa, aku akan memotret hewan kesukaanku, yaitu panda. Lalu kami akan naik kereta gantung yang mesinnya tiba-tiba mati. Kemudian pergi ke mall dan menonton film bersama pacarku, Rifki dan… Sssrrrttt, tiba-tiba semua bayangan itu sirna seketika saat celana biru panda yang ku kenakan terasa mulai basah karena air seniku. Aku hanya bisa menangis meratapi ketidakmampuanku hanya sekedar untuk berdiri menuju kamar mandi. Aku kesal! Aku hanya bisa meremas dan memukul kasur yang aku tiduri. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa semua ini terjadi padaku. Aku pun menangis sejadi-jadinya, sampai akhirnya ibuku terbangun dan memelukku dengan hangatnya.
“Ada apa sayang?” kata ibuku sambil membelai rambutku yang tinggal beberapa helai saja karena efek dari terapi yang aku jalani.
Aku malu dengan apa yang telah kuperbuat. Aku tak tahu harus berkata apa pada ibuku. Aku hanya melepaskan pelukan ibuku yang sedari tadi berusaha untuk menghapus air mataku dan tersenyum padanya. Kulihat mata ibuku berbinar seolah menahan perih yang amat menyanyat hatinya. Beliau pun tersenyum, mulai mengerti apa yang terjadi. Ia pun segera menggendong tubuh mungilku yang sekarang hanya 30 kg beratnya menuju ke kamar mandi. Dan aku pun tersenyum. Namun, mata ibu kembali berbinar seolah-olah senyumanku adalah jarum yang menusuk di hatinya. Aku tahu ibu sedih melihatku dalam keadaan seperti ini, namun aku akan tetap berusaha tersenyum, aku ingin ibu tahu kalau aku bisa sembuh, aku ingin memberikan semangat pada ibuku. Mungkin, ibuku lelah mengurusiku selama sebulan belakangan ini. Aku yang hanya bisa terbaring di tempat tidur, tidak bisa pergi ke sekolah, bermain basket atau hanya membeli es krim yang sering lewat di depan rumahku. Tapi aku tidak akan bersedih, senyuman itu akan selalu aku tebarkan tanpa ada keluhan di dalamnya.
Setelah ibu memandikanku, ia pun segera memakaikan baju terusan kesukaanku yang berwarna biru dengan ornament panda di bagian bawah roknya. Lalu dengan senyuman hangat yang terpancar dari wajah indahnya, ibuku pun pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapanku. Sebenarnya aku tahu, senyuman itu hanya topeng ceria yang ibu tampilkan di hadapanku.
Tepat lima belas tahun yang lalu aku dilahirkan. Ayah sempat bertanya padaku tentang hadiah yang kuinginkan untuk hari ini sebulan yang lalu. Saat itu aku masih bisa berbicara seperti biasanya, aku pun tidak minta hadiah apa-apa pada Ayah dan Ibuku.
“Mayang mau di rumah saja Yah, sama temen-temen Mayang” kataku dengan polosnya.
“Bener Mayang nggak mau yang lain?” selidik Ayah.
“Iya, Yah. Beneran” Jawabku sambil tersenyum.
“Mayang sudah 15 tahun loh. Apa tidak mau baju baru, sepatu baru, atau perhiasan” kata ayah.
“Nggak, Yah. Mayang nggak mau Ayah buang-buang uang cuma buat beli barang-barang kayak begituan.” Kali ini aku sedikit tertawa saat menjawabnya.
Dan ayahku pun menyerah dengan senyuman pahit yang terukir di wajahnya.
Siang itu, aku hanya terbaring di atas tempat tidurku dengan membayangkan acara ulang tahunku di rumah bersama teman-temanku yang aku rindukan.
“Haai, Bakpau.” tiba-tiba terdengar suara Bima yang memuyarkan lamunanku.
“Haha, panggilan loe waktu itu Bakpau. Tapi menurut gue kurang seru. Gue pengennya Ubur-ubur. Kedengerannya lebih cute gimana getoo.” kata Trisna menambahkan kata-kata Bima dengan gayanya yang lembut tapi menancap tepat di hati.
“Loe masih tetep cantik ya, May” sahut Ratu menambahi.
“Halah, cantik itu dari hati, Tu. Nggak kayak kamu, cantiknya di bedak doang. Hahaha” kata Bobby sambil melirik Ratu yang cemberut mendengar fitnahannya.
Aku terkejut dengan kedatangan teman-temanku. Ini pasti kerjaan ayah, sesuai dengan permintaanku satu bulan yang lalu. Ayah memang orang yang sangat baik dan berwibawa di mata teman-temanku. Tidak heran jika Ayah berhasil mengundang teman sekelasku yang sekarang sedang menghadapi Ujian Semester. Aku hanya tertawa melihat kelakuan aneh teman-temanku. Ada yang naik kursi goyang berempat, mencoba alat-alat terapiku, lompat-lompat di atas tempat tidurku, makan cemilan yang entah sudah berapa lama ada di kamar, keluar masuk kamar mandi bahkan membuka lemari ajaibku yang punya 8 buah pintu. Aku sangat merindukan tingkah konyol mereka.
“Eh, Mayang. Rifki minta maaf tu. Dia bilang nggak bisa nengok loe hari ini. Loe tau kan Ibunya, ngasih jadwal les kayak ngasih jadwal minum obat. Tiga kali sehari. Mungkin besok dia baru bisa kesini.”Kata Ratu membuyarkan lamunanku.
Aku pun mendekati meja kecil di sebelah tempat tidurku. Aku telah membuat sebuah surat untuk Ratu dan Rifki. Aku berusaha keras untuk menulis surat ini walaupun hasilnya terlihat seperti tulisan anak umur 5 tahun. Aku teringat saat aku melihat Ratu dan Rifki berduaaan di mall sehingga kata demi kata dalam surat ini diiringi dengan jatuhnya air mataku.
Dear double “R”. (Rifki dan Ratu),
Saat kalian membaca surat ini, gue mungkin udah berangkat ke tempat paling indah yang nggak mungkin loe-loe pada bisa susul. Gue seneng banget waktu nggak sengaja ngeliat loe berdua di mall. Waktu itu gue lagi jalan-jalan sama bokap dan nyokap gue. Gue ngeliat pacar gue dan sahabat gue ketawa dengan serunya. Gue nggak pernah ngeliat, loe ki, ketawa sampe segitu ngakaknya dan ngeliat, loe tu segitu cantiknya ketawa di depan Rifki.
Jujur, bukan hal baru buat gue pas tau kalian jadian. Gue pengen banget marah sama loe berdua, tapi gue lebih marah sama diri gue sendiri. Gue marah sama keadaan gue yang nggak memungkinkan gue buat ngegapai impian-impian gue. Untuk apa coba gue marah? Gue sayang banget sama loe berdua. Jadi, gue putuskan untuk ngedukung dua orang yang luar biasa berarti di hidup gue.
Harapan gue, kalian bisa ngelakuin hal-hal seru berdua. Terutama, hal-hal seru yang belum pernah gue lakukan sebelumnya.
Ini ada daftarnya:
Ke pantai malem-malem pas musim ujan, pemandangannya pasti keren banget
Makan eskrim + saos sambel :p
Tengokin Bokap + Nyokap gue tiap bulan
Buat sekolah gratis dengan nama “Panda School for Everyone”
Urusin kebun mawar gue di Bandung
Gue pengen banget ada sesuatu yang gue tinggalin dan bermanfaat buat orang lain. Gue juga nggak pengen jadi pendendam. Jadi gue restuin hubungan kalian, gue doain semoga awet kalo bisa sampe nikah. Gue sayang banget sama loe berdua. Surat ini gue tulis bukan untuk ditangisin lho! Gue pergi dulu yaaa.
With Love,
Mayang
Aku membungkus surat ini dengan amplop biru berpita emas yang bertuliskan “Buat Rifki dan Ratu”. Lalu aku memberikan surat itu kepada Ratu. Dengan wajah heran Ratu pun menerimanya. Aku pun tersenyum yang membuat senyuman manis di bibir mungil Ratu terlihat.
“Bacanya ntar bareng Rifki ya” kataku dengan senyuman manis yang terbentuk di bibirku ini. Entah kapan aku bisa tersenyum untuk mereka lagi.
“Iya, May. Tenang aja! Sepulang dari sini aku langsung ke rumah Rifki buat nunjukin surat ini” Terlihat wajah penasaran Ratu yang berusaha ditutupinya.
Hari sudah semakin sore, Mereka pun pamitan untuk pulang. Aku dan Ayah mengantar mereka sampai ke depan pintu rumah. Perlahan-lahan langkah mereka mulai sirna dari pandanganku. Ayah pun mengajakku masuk ke rumah. Surat itu, Rifki dan Ratu telah membuatku tenang. Sesampainya di kamarku, aku berpamitan pada Ayah dan Ibuku. Mungkin itu hal terakhir yang kulakukan, sebelum aku merasa lelah dan akhirnya tertidur pulas. Selamat tinggal Ayah, Selamat tinggal Ibu, Selamat tinggal semua. Terima kasih telah mewarnai hidupku, aku bangga bisa memiliki kalian. Sekarang aku bahagia di sini, Sampai bertemu di Surga.
Cerpen Karangan: Dwi Rahma Sari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar