Sore ini cuaca nampak muram. Semilir angin berhembus halus membelai pepohonan. Semua hening, ketenangan menyelimuti dari balik jeritan isak tangis yang teriring.
Aku terbangun di antara keramaian, di antara orang tuaku, sanak saudara dan teman-teman baikku. Aku mencoba berseru namun tak ada yang mampu menjawab bahkan mendengar. Semua seperti membisu di balik tanda tanya di kepalaku. Dimanakah keberadaan diriku sekarang?
Terkaget melihat tubuhku terbaring kaku dan pucat di hadapan ibuku. Tangan halusnya membelai lembut keningku. Isak tangis mengiringinya, meski ia mencoba untuk menahan, namun sesekali air matanya jatuh mengalir membasahi pipinya.
“INALILLAHI WA INAILAIHI RO’JIUN” bisik lembut ayah di telinga tubuhku.
Lagi-lagi aku terkaget. Kali ini bagai tersambar petir. Apa benar aku telah meninggal. Kini tubuhku di hadapan mereka adalah jasadku, dan aku yang menyaksiakan semua ini adalah rohku. Roh terakhirku. lalu, kapankah aku merasakan shakaratul maut, apa mungkin karena terlalu menyakitkannya sehingga aku lupa dengan kejadian itu. astagfirullah, kejadian ini begitu cepat, bahkan aku belum sempat mengucap taubat. Terlebih banyak dosa yang telah aku lakukan terhadap ibundaku.
“maafkan aku ibu, maafkan aku atas segala dosaku” aku berbisik di telinga ibu. Entah, apa mungkin ibu dapat mendengarnya. Aku memeluk tubuh ibu, namun kini hangatnya tidak dapat kurasa.
Semua telah siap, bangku-bangku berjejer rapih di depan rumahku, bendera kuning berkibar layu di tiang rumahku. Mereka semua disana, saudara-saudaraku, sahabat dan teman-temanku. Mata mereka merah saga, terlihat menahan sedih.
Kali ini ayah menggendongku, dengan menahan sedihnya ia mencoba untuk tetap tenang menghadapi yang terjadi. Ia membawa jasadku di tempat pemandian mayat. Ayah menguyur seluruh tubuhku dengan air, rasanya begitu dingin menyetuh kulit tubuhku. Setelah dirasa semua sudah cukup bersih, ayah menyubat kedua lubang hidungku dengan kapas, begitu juga dengan kedua lubang telingaku. Semua sudah benar-benar rapat tertutup kapas.
Saatnya jasadku di lilit dengan kain kafan, kain yang menjadi pakaian terakhirku. Teringat saat itu, saat dimana aku memaksa ibu untuk membelikan pakaian yang mahal dan mampu membuatku bergaya. Namun nyatanya semua itu kini sudah tidak berguna sama sekali. Untuk apa membeli pakaian terlalu mahal, jikalau nanti mati hanya kain kafan yang menjadi pakaian terakhirmu.
Setelah jasadku dikafani, kini saatnya untuk di shalatkan. Hal yang paling mebuatku menangis. Menyesal aku sering meninggalkan kewajiabanku itu. terkadang aku sering tidak memperdulikan panggilan shalat. Saat adzan berkumandang aku lebih sibuk dengan kegiatan duniaku. Berapa kali aku mengerjakan perintah Allah itu, tentu lebih banyak lagi aku meninggalkannya.
“Laillahaillallah… la illahaillallah,..”
Lafadz Allah mengiringi jasadku menuju tempat terakhirku. Aku masih menyaksikan itu, menyaksikan masa-masa terkahirku berada di dunia. Masa dimana jasadku mulai dikembalikan ke sang pencipta, Allah Subahanahu Wata A’la.
Aku mulai dikebumikan, dalam tanah berukuran 2 x 1 meter. Jasadku dimasukan ke dalam liang lahat itu. kemudian ditutup dengan papan dan kemudian dikubur dengan tanah. Kini aku mulai merasa sendiri, dalam keadaan yang sangat mencekam, bahkan kini mulai terasa begitu dingin, gelap dan sunyi. Tiada lagi apapun yang menemaniku, bahkan gadget yang menjadi teman mainku, barang-barang elektronik yang menjadi penghiburku. Sudah tidak ada lagi. Hanya diriku sendiri bersama semua amal ibadahku. Ustad telah selesai mengakhiri doanya. Terdengar suara jejak kaki mulai menjauh meninggalkanku.
Siap menghadapi sesuatu yang mesti aku terima. Berhadapan dengan malaikat munkar dan nakir yang akan bertanya amal ibadaku. Aku berteriak kuat.
Aku terbangun dari tidurku dalam tengah malam yang sunyi. Terpaksa terbangun karena mimpi yang menakutkan diriku. Keringat mulai bercucuran di seluruh tubuhku. Mimpiitu benar-benar terasa begitu nyata. Astagfirullah, aku mengucap istigfar berkali-kali. Menyaksikan pemandangan mimpi. Mimpi kematian yang begitu cepat. Bukankah kematian itu memang begitu dekat dengan diriku, bahkan lebih dekat dari nafasku sendiri. Bisa saja Allah memanggil diriku kapan saja, tanpa diduga dan waktu yang direncanakan. Aku tentunya tidak dapat mengelak dan memungkiri takdir itu, hanya saja mungkin aku belum siap dengan dosa yang telah banyak aku lakukan. Tapi semua itu rahasia Allah, yang sama sekali manusia tidak mengetahuinya. Huallah huallam..
Aku membangunkan diri, mimpi tadi membuatku teringat akan kematian yang akan datang. Aku menggambil wudhu, segera melakukan shalat tahajud. Aku ingin berlama-lama merenungi itu, bercinta dengan sang Khalik. Allah Subahanahu Wata A’la.
“ya Allah, jika kau ingin mengambil hambamu ini. Semoga hamba mati dalam keadaan bertaubat padamu, dan dalam keadaan mati yang khusnul khotimah. Amin ya Rabbal alamin.” Ucapku di penghujung sujudku.
Sesungguhnya tidak ada yang tahu akan datangannya kematian. Setiap orang akan menghadapinya dan tidak diketahui kapan itu akan datang. Jangan sampai nantinya kita termasuk orang-orang yang dipanggil Allah dalam keadaan Kafir. Nauzubillahi mindzalik.. semoga dalam keadaan yang khusnul khotimah dan berada pada jalan Allah. Amin,.. aminn,.. aminn ya Rabbal alamin.
Cerpen Karangan: Kiki Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar