Jumat, 15 November 2013

Cerpen - I Love You But Goodbye

Malam itu udara terasa dingin, hembusan angin mulai terasa menusuk tulangku. Aku hanya bisa menatap bintang-bintang yang indah di langit sana, dengan perasaan hampa. Ternyata hatiku tak seindah bintang-bintang itu, melainkan lebih gelap seperti larutnya malam ini. semakin lama aku termenung di depan rumah, semakin aku merasakan penyesalan yang teramat sangat.
Tiga hari yang lalu Nando meninggalkanku. Walaupun aku masih duduk di bangku SMA, tapi aku tidak buta akan arti cinta. Hari-hari yang kujalani terasa berat tanpa kehadirannya. Nando yang baik, yang selalu hadir sebagai penghibur di saat aku sedih, yang selalu datang sebagai motivator di saat aku down, kini dia telah tiada.
Nando adalah teman sekelasku, dan sebagai kekasihku. Aku suka dengan kepribadiannya yang selalu siap dalam menghadapi apapun, tanpa pernah mengeluh. Senyumnya yang ramah, membuatku semangat menjalani kehidupan.
Suatu hari dia bertanya: “kamu setuju tidak dengan pendapat frank tallis?
“frank tallis? Yang mana?” tanyaku heran
“bahwa tidur itu damai, tetapi kematian lebih baik…” jawabnya singkat
Lalu aku menimpal perkataanya, “maksud kamu apa?”
Dia hanya tersenyum dan berkata singkat, “berarti kematian itu lebih damai”
Entahlah aku jadi merinding mendengar perkataannya.
Tak lama setelah kejadian itu, dia memutuskan hubungan di antara kita. tanpa memberikan alasan yang jelas. lalu dia menghilang dari kehidupanku. Tak ada kabar sedikit pun darinya. Bahkan teman-temannya juga tidak mengetahui keberadaannya. Aku kesal dengan sikapnya yang sepihak itu, dan aku berjanji akan melupakannya.
Delapan bulan telah berlalu, disaat aku telah melupakannya. nando mengirimku pesan, yang isinya “Aku tunggu kamu di taman sore ini”. aku tidak menghiraukannya, karena aku begitu kesal dan teramat marah dengan perilakunya delapan tahun yang lalu.
Keesokan harinya, bel rumahku berbunyi. Seorang wanita yang tidak asing lagi bagiku sedang berdiri diluar sana, dengan raut wajah yang terlihat gelisah. Dia adalah vera, adik nando. Tanpa mengatakan sepatah katapun, dia langsung mengajaku ke suatu tempat. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, 1000 pertannyaan memenuhi otaku, yang tak dapat aku pecahkan dalam waktu sekejap. Sebelum aku dapat menebak jawabannya, aku melihat vera seperti ingin mengatakan sesuatu, sebelum dia dapat mengatakannya tangisnya pun pecah seketika itu juga.
Aku mengenali tempat ini, ya ini rumah nando. Sebelum aku dapat melanjutkan langkah demi langkah, dadaku tersentak, jantungku seakan berhenti berdetak. Disana terlihat bendera kuning yang bertengger di atas gerbang, tepat di depan rumah nando. “siapa yang meninggal? Siapa?” tanyaku pada vera
Dia tidak menjawab, melainkan mengajakku masuk ke rumahnya. Hatiku hancur saat melihat seseorang yang berbaring terbungkus kain kafan, dan itu adalah nando. Aku merasakan seperti dihantam benda yang teramat besar, air mataku pun sudah tak dapat kubendung, dan aku menangis histeris.
Setelah pemakaman selesai, vera menceritakan semua kejadian yang menimpa nando. aku tak percaya bahwa dibalik kegagahan dan keceriannya, dia mengidap penyakit kanker darah. Dan ternyata selama delapan tahun terakhir, dia pergi keluar negeri untuk operasi. Namun dia lebih memilih berobat jalan. Hingga keluarganya harus pindah untuk sementara. Dia merahasiakan penyakitnya dari teman-temannya, termasuk aku. Dia tidak ingin menjadi beban bagi yang lain. Sehingga dia memilih untuk memutuskan hubungan di antara kita, dan tak memberikan kabar sedikit pun.
“lalu mengapa nando memintaku untuk datang ke taman sore itu?”
“Dia hanya ingin mengucapkan selamat tinggal”
“selamat tinggal? Bukankah nando meninggal 5 jam setelah dia mengirimku pesan?”
“kamu tidak tahu yang sebenarnya, dia memintamu datang ke taman itu sebelum operasi dilakukan. Karena penyakitnya semakin parah sehingga dokter mengatakan bahwa berobat jalan sudah tidak ada gunanya lagi, satu-satunya jalan untuk sembuh yaitu dengan operasi, walaupun sedikit kemungkinannya untuk dapat bertahan hidup. Di taman itulah dia ingin mengatakan semuanya padamu, sekaligus mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya”
Air mataku pun mulai membasahi wajahku. Aku menyesal, kenapa disaat-saat terakhir pertemuanku dengannya, aku bahkan mengacuhkannya. Tuhan!! Andaikan aku dapat memutar waktu, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu…
Cerpen Karangan: Alma Rahmawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar