“Titt… Tiitt!” ku raih segera handphoneku yang lagi nagkring di meja belajarku, ku buka segera sebuah pesan singkat di layar handphoneku.
From: Faza
Hai Neisya?, met pagi ya:D!
Hai Neisya?, met pagi ya:D!
Huft, lagi-lagi dia yang sms, bagaimana sih bentuk wajahnya?, seseorang yang ngaku punya nama Faza dan satu sekolah sama aku selalu mengisi inbox hpku entah hanya menyapa, malah kadang pernah ngobrol, asyik sih kalau sama dia bisa nyambung, tapi upss! Itu gak baik Neisya! Kamu belum tahu dia, siapa tahu kalau dia om om, terus kamu dibohongin, jangan sok fair gitu donk! Huft, ya bener juga sih, ku urungkan niatku untuk membalas pesan darinya.
Pukul 06.42 tepat ku sudah sampai di sekolahku tercinta. Yuphs! Hari ini harus semangat Neisy! Walau hampir telat walau ga sarapan tapi harus semangat semngat! 3 menit lagi belpun berbunyi.
“Assalamu’alaikum” haaa?
“Wa’alaikumsalam” mimpi buruk.
“Selamat pagi anak-anak” Tuhan cepatkanlah waktuku hari ini.
“Pagi, Bu” dalam do’aku terselip jam kosong pada jam pertama. Tuhan, tahukah Engkau, Neisya belum sarapan, Neisya ga kuat, Neisya hanya tidak mau merepotkan teman-teman jika pada akhirnya Neisya pingsan kelaparan. Tapi, do’aku tak terkabul. Sabar!
“Hari ini jam KBM tidak berada di kelas. Ibu akan memberi tugas pada kalian untuk mencari buku antologi yang berada di perpus. Kalian cari sebuah puisi karya Sutardji Calzoum Bachri! Tulis puisi tersebut pada buku tugas kalian, hafalkan. Pada pertemuan yang akan datang langsung praktik membaca puisi di depan kelas, faham?”
“Faham, Bu” lagi-lagi hafalan?, i don’t care it, baby. (Efek kemalasan akibat gak sarapan).
“Ketua kelas, kondisikan kelas agar tidak ada yang tidak mengerjakan tugas Ibu hari ini”
“Anak-anak. Ibu ada keperluan hari ini! Tolong, jangan sampai ada yang tidak ke perpus, baik terimakasih Wassalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” setelah Ibu Harti, guru Bahasa Indonesia super disiplin itu meninggalkan kelas, ku langsung berlari ke Refan ketua kelasku.
“Fan, gue ke kantin dulu ya!” pintaku (kasihan banget sih aku, kelaparan aja sampai kayak ini)
“Gak bisa Neis, udah kamu selesaikan dulu tugasnya”
“Tapi..”
“Udah, kerjakan dulu baru boleh makan sekenyangmu, tapi jangan sampai ketahuan Guru!”
“Asyeek!! Oke, Fan.. makasih yah!” sejurus kemudian ku berlari menuju rak buku referensi, gak susah-susah amat sih menemukan buku antologi karya hmh, sapa tadi.. Hash! Kok lupa sih aku, Tardji siapa yaah, yups! Akhirnya ketemu di depan mataku, owalaa karya Sutardji Calzoum Bachri. Tuhan begitu baik, mempermudahkan segala urusanku..Thanks God, sedikit tergesa-gesa ku berlari menuju bangku pembaca, ku buka buku tugasku setelah menemukan judul yang tepat, dan bolpoint!, ku ambil bolpoin putihku di samping kiriku. Semua serba cepat, demi kantin yang ada di benakku.
“Hmh, dek!” seorang cowok yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan jari telunjuknya.
“Apa!” tanpa melihat ku jawab dengan singkat. Hih, mau ngapa sih cowo’ ni, mau kenalan? Mau minta nomer hape?, ini perpus bro, bukan Mall. Dongkol banget ih.
“Bolpoint, dek!” apa? Cuma mau pinjem bolpoint, ga sopan ih, tapi gue saat ini ga mau berdebat, betah-betahin waktu gue buat stay in perpus. Nevermind, ku pinjamkan bolpoint itu, lagian ku masih punya banyak bolpoint di tempat pensilku.
“Huh, Nih!” ku sodorkan bolpoint putih itu seketika ku berhadapan dengan wajahnya, Haappp!! Oh my God cowo’ itu keren, ganteng, kulitnya putih, tatapan matanya.. ouch!! #Plak!! Apa-apa’an ini!, terpesona pada pandangan pertama! Ga baik itu, Neisy!, tapi gue ga bisa munafik.. jujur, gue jatuh cinta.
“Makasih yah”
“Hmh, iya?” sudah, Neisya!, kembali pada pekerjaan awal, dan tempat pensilku, ku cari sebuah bolpoint dan What!!! Gilaa!!, bolpoint putih itu masih ada di tempat pensilku, lalu yang tadi itu bukan bolpointku, dodol!! Bentuknya, merknya bahkan sama, ahh! Itu bukan bolpointku, kenapa aku main serobot aja dan dengan percaya diri itu milikku, hiks!! Rasanya maluku ini lebih berat dari pada dihukum berlari bolak-balik mengelilingi taman sekolah ketika terlambat sama Pak Dono satpam sekolahku, ini lebih berat dari segalanya. Diam-diam ku lirik wajahnya, ahh.. toh kan dia menertawakanku yang super dodol ini.
“Gapapa kok dek, tenang saja” hiks:’( dia baik.
“Em.. Ma, maaf kak!” Tuhan aku sungguh memalukan.
“Santai aja?” rasanya ingin cepat menghilang dari tempat dudukku ini dalam hitungan 1 detik. Tapi itu mustahil. Ku selesaikan segera tugas menulis ini agar aku cepat pergi dari hadapan si dia. Dan yups! Selesai, ku bergegas untuk pergi.
“Assalamu’alaikum” haaa?
“Wa’alaikumsalam” mimpi buruk.
“Selamat pagi anak-anak” Tuhan cepatkanlah waktuku hari ini.
“Pagi, Bu” dalam do’aku terselip jam kosong pada jam pertama. Tuhan, tahukah Engkau, Neisya belum sarapan, Neisya ga kuat, Neisya hanya tidak mau merepotkan teman-teman jika pada akhirnya Neisya pingsan kelaparan. Tapi, do’aku tak terkabul. Sabar!
“Hari ini jam KBM tidak berada di kelas. Ibu akan memberi tugas pada kalian untuk mencari buku antologi yang berada di perpus. Kalian cari sebuah puisi karya Sutardji Calzoum Bachri! Tulis puisi tersebut pada buku tugas kalian, hafalkan. Pada pertemuan yang akan datang langsung praktik membaca puisi di depan kelas, faham?”
“Faham, Bu” lagi-lagi hafalan?, i don’t care it, baby. (Efek kemalasan akibat gak sarapan).
“Ketua kelas, kondisikan kelas agar tidak ada yang tidak mengerjakan tugas Ibu hari ini”
“Anak-anak. Ibu ada keperluan hari ini! Tolong, jangan sampai ada yang tidak ke perpus, baik terimakasih Wassalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” setelah Ibu Harti, guru Bahasa Indonesia super disiplin itu meninggalkan kelas, ku langsung berlari ke Refan ketua kelasku.
“Fan, gue ke kantin dulu ya!” pintaku (kasihan banget sih aku, kelaparan aja sampai kayak ini)
“Gak bisa Neis, udah kamu selesaikan dulu tugasnya”
“Tapi..”
“Udah, kerjakan dulu baru boleh makan sekenyangmu, tapi jangan sampai ketahuan Guru!”
“Asyeek!! Oke, Fan.. makasih yah!” sejurus kemudian ku berlari menuju rak buku referensi, gak susah-susah amat sih menemukan buku antologi karya hmh, sapa tadi.. Hash! Kok lupa sih aku, Tardji siapa yaah, yups! Akhirnya ketemu di depan mataku, owalaa karya Sutardji Calzoum Bachri. Tuhan begitu baik, mempermudahkan segala urusanku..Thanks God, sedikit tergesa-gesa ku berlari menuju bangku pembaca, ku buka buku tugasku setelah menemukan judul yang tepat, dan bolpoint!, ku ambil bolpoin putihku di samping kiriku. Semua serba cepat, demi kantin yang ada di benakku.
“Hmh, dek!” seorang cowok yang duduk di sampingku menyentuh lenganku dengan jari telunjuknya.
“Apa!” tanpa melihat ku jawab dengan singkat. Hih, mau ngapa sih cowo’ ni, mau kenalan? Mau minta nomer hape?, ini perpus bro, bukan Mall. Dongkol banget ih.
“Bolpoint, dek!” apa? Cuma mau pinjem bolpoint, ga sopan ih, tapi gue saat ini ga mau berdebat, betah-betahin waktu gue buat stay in perpus. Nevermind, ku pinjamkan bolpoint itu, lagian ku masih punya banyak bolpoint di tempat pensilku.
“Huh, Nih!” ku sodorkan bolpoint putih itu seketika ku berhadapan dengan wajahnya, Haappp!! Oh my God cowo’ itu keren, ganteng, kulitnya putih, tatapan matanya.. ouch!! #Plak!! Apa-apa’an ini!, terpesona pada pandangan pertama! Ga baik itu, Neisy!, tapi gue ga bisa munafik.. jujur, gue jatuh cinta.
“Makasih yah”
“Hmh, iya?” sudah, Neisya!, kembali pada pekerjaan awal, dan tempat pensilku, ku cari sebuah bolpoint dan What!!! Gilaa!!, bolpoint putih itu masih ada di tempat pensilku, lalu yang tadi itu bukan bolpointku, dodol!! Bentuknya, merknya bahkan sama, ahh! Itu bukan bolpointku, kenapa aku main serobot aja dan dengan percaya diri itu milikku, hiks!! Rasanya maluku ini lebih berat dari pada dihukum berlari bolak-balik mengelilingi taman sekolah ketika terlambat sama Pak Dono satpam sekolahku, ini lebih berat dari segalanya. Diam-diam ku lirik wajahnya, ahh.. toh kan dia menertawakanku yang super dodol ini.
“Gapapa kok dek, tenang saja” hiks:’( dia baik.
“Em.. Ma, maaf kak!” Tuhan aku sungguh memalukan.
“Santai aja?” rasanya ingin cepat menghilang dari tempat dudukku ini dalam hitungan 1 detik. Tapi itu mustahil. Ku selesaikan segera tugas menulis ini agar aku cepat pergi dari hadapan si dia. Dan yups! Selesai, ku bergegas untuk pergi.
Berjalan dengan linglung ku masih merasakan perasaan memalukan itu, ah! Ga biasanya kamu sebegitu malunya, biasanya kan kamu malu-maluin, tapi aku gak munafik. Sambil menentang buku tulisku ku langsung menuju kantin, sudah lupakan segalanya!!. Berenang sambil minum air, itulah prinsipku, kalau aku masih bisa mengerjakan kesibukanku di sela-sela kewajibanku, aku pasti akan mengerjakannya dan ini, makan sambil hafalin deretan puisi. Semangat Neisya.
“ngiau! Kucing dalam darah dia menderas” ah kata-katanya penuh makna dan panjang banget, pasti sulit di hafalin, salahku sih peh judulnya kucing aja langsung di tulis.
“lewat dia mengalir ngilu” ups! Seketika ku hentikan ngehafalin puisiku, apa-apaan nih cowo’ tadi kok ada di sini sih, padahal aku sudah melupakannya, aku jadi malu nih kalau ketemu dia, ah lebih baik segera pergi dari tempat ini sebelum dia mengenal tulang hidungku.
“ngiau! Kucing dalam darah dia menderas” ah kata-katanya penuh makna dan panjang banget, pasti sulit di hafalin, salahku sih peh judulnya kucing aja langsung di tulis.
“lewat dia mengalir ngilu” ups! Seketika ku hentikan ngehafalin puisiku, apa-apaan nih cowo’ tadi kok ada di sini sih, padahal aku sudah melupakannya, aku jadi malu nih kalau ketemu dia, ah lebih baik segera pergi dari tempat ini sebelum dia mengenal tulang hidungku.
From: Faza
Neisyaa! Cepat pulang. Aku mau curhat nih
Pulang sekolah selalu saja di hadirkan sms darinya, lagi-lagi Faza, hidup ini penuh dengan nama Faza, pasti tak lain dia mau curhat soal pacarnya si Fera yang over make-up itu, terang aja aku ngerti si Fera itu, wong kelasnya aja bersebelahan sama aku, tapi tetap aja parah! Pacarnya Faza aja ngerti, tapi kenapa sampai sekarang aku belum ngerti-ngerti Faza juga, lagian akunya aja yang males nyari nama Faza di SMU 3 Solo tercintaku itu. Biarin aja deh gak ngerti, ntar neg ngerti sendiri. Ku balas pesan singkatnya.
To: Faza
Iya, Za. Aku baru pulang nih
Dan pesan terkirim,
Neisyaa! Cepat pulang. Aku mau curhat nih
Pulang sekolah selalu saja di hadirkan sms darinya, lagi-lagi Faza, hidup ini penuh dengan nama Faza, pasti tak lain dia mau curhat soal pacarnya si Fera yang over make-up itu, terang aja aku ngerti si Fera itu, wong kelasnya aja bersebelahan sama aku, tapi tetap aja parah! Pacarnya Faza aja ngerti, tapi kenapa sampai sekarang aku belum ngerti-ngerti Faza juga, lagian akunya aja yang males nyari nama Faza di SMU 3 Solo tercintaku itu. Biarin aja deh gak ngerti, ntar neg ngerti sendiri. Ku balas pesan singkatnya.
To: Faza
Iya, Za. Aku baru pulang nih
Dan pesan terkirim,
“I hope tonight full smile…” Hapeku berdering, gak!! Lebih tepatnya bunyi bertanda ada panggilan masuk, dan huaah! Apa-apaan ini, Faza langsung menelfonku, gak ngerti apa, aku belum makan, Za!! Dengan perasaan dongkol ku jawab telefon dari seberang sana.
“Hallo!!” sedikit marah sih, capek tau’ kalau harus dengerin curhatan gak penting dari orang yang gak ku ketahui, tapi ku kenal sih.
“Hih, Neisy! Kok marah sih, tak do’ain anakmu lahir langsung mirip Mpok Nori tau rasa loe!”
“Aku belum makan, Za. Ntar aja deh curhatnya, yaa”
“Ga bisa, Neisy”
“Ini perut aku! Dia belum makan!”
“Iya, yaa. Hihihihi, marah bener orang ini, ya udah kamu ke belakang dulu ambil makanan tapi telefonnya jangan di mati’in yah, ntar kalau udah ngambil langsung pegang hapenya ya, tugas kamu cuma dengerin aja kok, gapapa aku biar yang ngomong walau di sela-sela suara berisik kunyahanmu. Plisss!” enak aja, memang situ berani bayar berapa!.
“Ahh, ntaa”
“Pliisss, gapapa yah?”
“Huft, ya deh” mengalah lagi-lagi mengalah gara-gara si kunyuk bawel itu, ku langsung bergegas ke dapur sambil membawa hapeku. Ku sengaja lama-lamain biar tau’ rasa tuh. Hahaha, tapi kasihan juga, gapapa deh sambil menyelam minum air. Sambil makan ndengerin curhatan orang gak penting.
“Hoey,”
“Hiih, kok lama banget sih”
“Udah, cepetan curhat!”
“Iya iya, gue gak direstui pacaran sama nyokep gue, Neisy” toh kan bener-bener gak penting, toh juga gak nyangkut nyawa hidupku.
“Trus?”
“kok Ga mood gitu sih. Neisy?”
“Gak, aku mood kok. Udah terusin aja”
“Neisy, kita ketemu yuk, aku pengen cerita panjang ke kamu”
“Apaa?!” makananku hampir keselek.
“Iya, aku tahu, kamu belum tahu wajah aku, aku juga belum tahu wajah kamu, Neisy! Lantas kalau kita terus-terusan gini kapan kita tahunya”
“Ehm, baiklah, tapi kamu bener-bener siswa SMU 3 Solo, kan? Ehm, maksudku bukan orang lain”
“Maksud kamu om om gitu?, ya gak lah Neisy, kamu butuh bukti apa, kepala sekolahnya aku kenal, guru bahasa indonesia yang killer itu aku juga kenal, Bu Harti. Iya kan?”
“Iya iya, ketemu dimana?” sebenernya sih, gue juga gak sabar pengen tahu bentuk wajahnya.
“Di Shakefield sebelahnya studio musik Rajo, gimana?”
“Oke,”
“Aku tungggu ntar jam 2 ya”
“Jam 4 aja”
“Oke deh”
“Klik!”
“Hallo!!” sedikit marah sih, capek tau’ kalau harus dengerin curhatan gak penting dari orang yang gak ku ketahui, tapi ku kenal sih.
“Hih, Neisy! Kok marah sih, tak do’ain anakmu lahir langsung mirip Mpok Nori tau rasa loe!”
“Aku belum makan, Za. Ntar aja deh curhatnya, yaa”
“Ga bisa, Neisy”
“Ini perut aku! Dia belum makan!”
“Iya, yaa. Hihihihi, marah bener orang ini, ya udah kamu ke belakang dulu ambil makanan tapi telefonnya jangan di mati’in yah, ntar kalau udah ngambil langsung pegang hapenya ya, tugas kamu cuma dengerin aja kok, gapapa aku biar yang ngomong walau di sela-sela suara berisik kunyahanmu. Plisss!” enak aja, memang situ berani bayar berapa!.
“Ahh, ntaa”
“Pliisss, gapapa yah?”
“Huft, ya deh” mengalah lagi-lagi mengalah gara-gara si kunyuk bawel itu, ku langsung bergegas ke dapur sambil membawa hapeku. Ku sengaja lama-lamain biar tau’ rasa tuh. Hahaha, tapi kasihan juga, gapapa deh sambil menyelam minum air. Sambil makan ndengerin curhatan orang gak penting.
“Hoey,”
“Hiih, kok lama banget sih”
“Udah, cepetan curhat!”
“Iya iya, gue gak direstui pacaran sama nyokep gue, Neisy” toh kan bener-bener gak penting, toh juga gak nyangkut nyawa hidupku.
“Trus?”
“kok Ga mood gitu sih. Neisy?”
“Gak, aku mood kok. Udah terusin aja”
“Neisy, kita ketemu yuk, aku pengen cerita panjang ke kamu”
“Apaa?!” makananku hampir keselek.
“Iya, aku tahu, kamu belum tahu wajah aku, aku juga belum tahu wajah kamu, Neisy! Lantas kalau kita terus-terusan gini kapan kita tahunya”
“Ehm, baiklah, tapi kamu bener-bener siswa SMU 3 Solo, kan? Ehm, maksudku bukan orang lain”
“Maksud kamu om om gitu?, ya gak lah Neisy, kamu butuh bukti apa, kepala sekolahnya aku kenal, guru bahasa indonesia yang killer itu aku juga kenal, Bu Harti. Iya kan?”
“Iya iya, ketemu dimana?” sebenernya sih, gue juga gak sabar pengen tahu bentuk wajahnya.
“Di Shakefield sebelahnya studio musik Rajo, gimana?”
“Oke,”
“Aku tungggu ntar jam 2 ya”
“Jam 4 aja”
“Oke deh”
“Klik!”
Ku berjalan cepat menuju Shakefield tempat janjianku sama Faza, ku tahu kalau aku sedang terlambat, huft.. sampai, tapi dimana dia, hassh!! Ku saja tak mengenali wajahnya bagaimana aku bisa bertemu dengannya. Segera ku raih telfon genggamku,
To: Faza
Hay, kamu dimana?, aku udah di tempat.
Tak lama lagi, dia membalas pesan singkatku.
From: Faza
Aku tempat duduk paling pojok, deket kaca jendela. Kalau kamu belum mengenaliku, aku yang memakai kemeja coklat.
Ku langsung mengarahkan pandanganku ke pojok, yap dia gak bohong memang ada seorang cowo duduk sendirian di tempat tersebut, dari belakangnya ku berjalan ke arah dia, dan hmh sedikit deg-degan, loh? biasa aja kali.
To: Faza
Hay, kamu dimana?, aku udah di tempat.
Tak lama lagi, dia membalas pesan singkatku.
From: Faza
Aku tempat duduk paling pojok, deket kaca jendela. Kalau kamu belum mengenaliku, aku yang memakai kemeja coklat.
Ku langsung mengarahkan pandanganku ke pojok, yap dia gak bohong memang ada seorang cowo duduk sendirian di tempat tersebut, dari belakangnya ku berjalan ke arah dia, dan hmh sedikit deg-degan, loh? biasa aja kali.
“Ehm, Faza” seketika dia menengok ke arahku, jdaar!!! Apa? Ini gak mungkin, Tuhan. Aku gak percaya!! Sungguh,
“Kamu?, hey, aku gak nyangka lo, Neisya ternyata kamu? Hahaha, si bolpoint putih?” Faza ternyata seorang cowo di perpus itu yang pernah membuatku jatuh cinta padanya, Tuhan aku gak percaya.
“Oh, hmh” aku masih malu Tuhan, aku masih gak percaya.
“Hahaha, udah gak usah malu, kenalin. Aku Faza” dia menyodorkan tangannya seolah-olah kita baru saling kenal.
“Neisya?”
“Mari duduk, mau pesan apa?” dia baik.
“Milkshake aja”
“Oke, bentar ya” dia memesan minuman untukku, huft! Aku benar-benar gak percaya, senang kalau ternyata cowo itu orang yang selama ini telah jadi sahabatku, sedih kalau kenyataannya Faza sudah punya pacar, cemburu sedikit, tapi aku bukan apa-apa baginya, aku hanya seorang teman yang senantiasa menampung curahan hatinya, tapi aku cemburu, aku gak munafik.
“Hey, Sya. Aku benar-benar gak percaya lok, kalau itu kamu. Hahahahha”
“Udah ah, aku malu kalau ngingetnya” sedikit demi sedikit aku mulai bisa menguasai perasaanku.
“Haha, iya-iya. Tapi aku ga bisa melupakan loh”
“Udah… lupakan!!”
“Hahaha, lucu”
“Ihhh, kamu curhat apa nih?” ku mengalihkan perhatiannya.
“Ehm, apa ya, kok aku lupa sih”
“Hhih, dodol. Katamu kamu gak di restuin sama nyokap?”
“Oh iya bener.. Aku bingung Neisy, Nyokapku gak ngerestuin hubunganku, bahkan adikku menentang keras-keras gak boleh pacaran sama dia”
“lha kamunya sayang apa gak?”
“Iya sayang sih”
“Kok ada sih, nya.. Yang pasti donk”
“Aku sedikit terpaksa Neisy sama dia”
“Omigo… buat apa kamu pacaran coba kalau kamu aja maksa sayang sama dia,”
“Apa aku harus mutusin dia, Neisy?” kata-kata itu seketika membersitku.
“Itu tergantung hatimu, Za. Cobalah sayangi dia, kasihan dia kalau kamu Cuma membuat dia sebagai selir hatimu, lagian kayaknya dia juga sayang sama kamu”
“Tapi bagaimana aku meneruskan hubunganku kalau orangtuaku tak merestui”
“Orang tua memang selalu memberikan yang terbaik buat putranya”
“Dia cemburu sama kamu, Neisy”
“Ha? Apa, kok bisa?” sontak aku kaget mendengar pernyataannya.
“Iya memang dia itu cemburuan, dia itu selalu membatasi semua yang aku lakukan, gak boleh ini gak boleh itu, sebel tahu ga”
“Dodol!” ku tabok pipinya, tapi gak beneran loh, gak sampai ngebuat pipinya jadi memar merah, habisnya dodol banget, gak ngerti apa maksud pertanyaanku.
“Maksud aku tuh, kok namaku di ikut-ikutkan ke hubungan kalian, lagian kan kita baru kenal”
“Dia, tahu apa yang aku kerjakan”
“Waah!” aneh nih orang ini.
“Ya dia cemburu saat ini, kalau aku mutusin dia sekarang dia mesti bilang: kamu pasti punya penggantiku, cewek kalau udah begitu sulit diluluhkan”
“Ya terang aja dia bilang gitu”
“Dia bakalan nangis Neisy,”
“Gue harus gimana, Neisy?”
“Ku tanya sekali lagi, loe benar-benar bisa mencintai dia dengan tulus gak?”
“Gak tahu”
“Ihh, jadi cowo kok gak tegas sih”
“Aku belum bisa menyayanginya dengan tulus”
“Ingat kata-kata ini: lebih baik disakiti dengan kejujuran dari pada di bahagiakan dengan kebohongan, bisa-bisa kamu itu Cuma bahagia di atas penderitaan orang lain, kamu bahagia karena seneng ada yang merhatiin kamu ada yang menyapamu dengan penuh kasih sayang, dia menderita karena ternyata orang yang dia harapin tidak mencintainya seperti perasaanmu padanya, mudeng?”
“Aku ga mau jadi penyebab masalah kalian berdua, semua keputusan ada pada hati kamu” ku meneruskan kata-kataku.
“Aku ngerti, Neisy. Jadi aku harus mutusin dia, nyakitin dia sejak dini dari pada lebih nyakitin dia di kelak hari”
“Jangan sekarang, Za. Tunggu kalau dia yakin tak ada orang ke-3 di antara kalian, jadi kesannya kamu mutusin dia jangan karena cewek lain, itu pilihan hatimu”
“Iya, akan ku cari waktu yang tepat”
“Makasih ya, Neisy”
“Iya, gapapa kok. Oh iya aku pulang dulu ya, udah mau petang nih”
“Aku antar sekalian yuk”
“Ga usah, Za. Aku bisa pulang sendri”
“Oh, iya udah, hati-hati ya, Neisy”
“Iya” ke beranjak dari tempat dudukku, seketika dia menghentikan langkahku.
“Sekali lagi, makasih ya Neisy”
“Iya, gapapa, nyantai aja, kita kan sesama teman, duluan ya Za”
“Iya?”
“Kamu?, hey, aku gak nyangka lo, Neisya ternyata kamu? Hahaha, si bolpoint putih?” Faza ternyata seorang cowo di perpus itu yang pernah membuatku jatuh cinta padanya, Tuhan aku gak percaya.
“Oh, hmh” aku masih malu Tuhan, aku masih gak percaya.
“Hahaha, udah gak usah malu, kenalin. Aku Faza” dia menyodorkan tangannya seolah-olah kita baru saling kenal.
“Neisya?”
“Mari duduk, mau pesan apa?” dia baik.
“Milkshake aja”
“Oke, bentar ya” dia memesan minuman untukku, huft! Aku benar-benar gak percaya, senang kalau ternyata cowo itu orang yang selama ini telah jadi sahabatku, sedih kalau kenyataannya Faza sudah punya pacar, cemburu sedikit, tapi aku bukan apa-apa baginya, aku hanya seorang teman yang senantiasa menampung curahan hatinya, tapi aku cemburu, aku gak munafik.
“Hey, Sya. Aku benar-benar gak percaya lok, kalau itu kamu. Hahahahha”
“Udah ah, aku malu kalau ngingetnya” sedikit demi sedikit aku mulai bisa menguasai perasaanku.
“Haha, iya-iya. Tapi aku ga bisa melupakan loh”
“Udah… lupakan!!”
“Hahaha, lucu”
“Ihhh, kamu curhat apa nih?” ku mengalihkan perhatiannya.
“Ehm, apa ya, kok aku lupa sih”
“Hhih, dodol. Katamu kamu gak di restuin sama nyokap?”
“Oh iya bener.. Aku bingung Neisy, Nyokapku gak ngerestuin hubunganku, bahkan adikku menentang keras-keras gak boleh pacaran sama dia”
“lha kamunya sayang apa gak?”
“Iya sayang sih”
“Kok ada sih, nya.. Yang pasti donk”
“Aku sedikit terpaksa Neisy sama dia”
“Omigo… buat apa kamu pacaran coba kalau kamu aja maksa sayang sama dia,”
“Apa aku harus mutusin dia, Neisy?” kata-kata itu seketika membersitku.
“Itu tergantung hatimu, Za. Cobalah sayangi dia, kasihan dia kalau kamu Cuma membuat dia sebagai selir hatimu, lagian kayaknya dia juga sayang sama kamu”
“Tapi bagaimana aku meneruskan hubunganku kalau orangtuaku tak merestui”
“Orang tua memang selalu memberikan yang terbaik buat putranya”
“Dia cemburu sama kamu, Neisy”
“Ha? Apa, kok bisa?” sontak aku kaget mendengar pernyataannya.
“Iya memang dia itu cemburuan, dia itu selalu membatasi semua yang aku lakukan, gak boleh ini gak boleh itu, sebel tahu ga”
“Dodol!” ku tabok pipinya, tapi gak beneran loh, gak sampai ngebuat pipinya jadi memar merah, habisnya dodol banget, gak ngerti apa maksud pertanyaanku.
“Maksud aku tuh, kok namaku di ikut-ikutkan ke hubungan kalian, lagian kan kita baru kenal”
“Dia, tahu apa yang aku kerjakan”
“Waah!” aneh nih orang ini.
“Ya dia cemburu saat ini, kalau aku mutusin dia sekarang dia mesti bilang: kamu pasti punya penggantiku, cewek kalau udah begitu sulit diluluhkan”
“Ya terang aja dia bilang gitu”
“Dia bakalan nangis Neisy,”
“Gue harus gimana, Neisy?”
“Ku tanya sekali lagi, loe benar-benar bisa mencintai dia dengan tulus gak?”
“Gak tahu”
“Ihh, jadi cowo kok gak tegas sih”
“Aku belum bisa menyayanginya dengan tulus”
“Ingat kata-kata ini: lebih baik disakiti dengan kejujuran dari pada di bahagiakan dengan kebohongan, bisa-bisa kamu itu Cuma bahagia di atas penderitaan orang lain, kamu bahagia karena seneng ada yang merhatiin kamu ada yang menyapamu dengan penuh kasih sayang, dia menderita karena ternyata orang yang dia harapin tidak mencintainya seperti perasaanmu padanya, mudeng?”
“Aku ga mau jadi penyebab masalah kalian berdua, semua keputusan ada pada hati kamu” ku meneruskan kata-kataku.
“Aku ngerti, Neisy. Jadi aku harus mutusin dia, nyakitin dia sejak dini dari pada lebih nyakitin dia di kelak hari”
“Jangan sekarang, Za. Tunggu kalau dia yakin tak ada orang ke-3 di antara kalian, jadi kesannya kamu mutusin dia jangan karena cewek lain, itu pilihan hatimu”
“Iya, akan ku cari waktu yang tepat”
“Makasih ya, Neisy”
“Iya, gapapa kok. Oh iya aku pulang dulu ya, udah mau petang nih”
“Aku antar sekalian yuk”
“Ga usah, Za. Aku bisa pulang sendri”
“Oh, iya udah, hati-hati ya, Neisy”
“Iya” ke beranjak dari tempat dudukku, seketika dia menghentikan langkahku.
“Sekali lagi, makasih ya Neisy”
“Iya, gapapa, nyantai aja, kita kan sesama teman, duluan ya Za”
“Iya?”
Bel istirahatpun berbunyi nyaring, ku langkahkan kakiku keluar kelas, akhirnya ku bisa keluar bebas menghirup udara luar dari kepenatan bergulat dengan jam pelajaran. Ku berjalan sendiri menuju taman sekolah sesekali ku selipkan headset ke kupingku dan ku dengarkan musik-musik hardrock yang menenangkan.
“Aku mencintaimu, Za!” seketika ku copot heandset dan mendengarkan suara lirih yang ternyata arah suara tersebut dari Fera di sebuah bangku taman sekolah, aku tahu siapa cowo di samping Fera itu, itu Faza. Dengan seksama ku dengarkan percakapan mereka berdua tanpa mereka ketahui.
“Tolong, jangan tinggalkan aku, Za” Faza tetap diam, tak sekalipun dia angkat bicara.
“Siapa, cewek yang udah ganti posisiku di hatimu, Za”
“Ga ada, Fer!” Baru kali itu Faza bicara. Perkataan itu cukup membersitku seperti sebuah pisau yang mengenai ujung jari, terasa perih di sesaat kemudian.
“Siapa yang ada di hatimu saat ini, Za”
Faza tak menjawab.
“Jawab, Za. Siapa?”
“Kamu, Fer. Yakinlah padaku” bukan pisau yang membersitku ketika itu, tapi sebuah pedang tajam mengiris hatiku dengan kejamnya, dia tidak kejam, tapi aku yang mengkejami diriku sendiri.
“Makasih, Za” seketika Fera memeluk diri Faza. Itu sebuah pemandangan buruk bagiku, ku berlari meninggalkan tempat itu, ku biarkan air mata merembes membasahi pipiku, tak ku hiraukan orang lain memandang aneh ke arahku, ku ingin menangis Tuhan, ini salahku. Aku bukanlah segalanya. Ku mengharapkan seseorang yang tak tepat untuk hatiku. Ku mencintai orang yang salah, ku yang akan merasakan pedih ini, karena ku yang menyayanginya dengan bodoh. Dan ketika sebuah api yang menjadi lilin saat menerangi kegelapanku, ketika menjadi api unggun yang selalu menghangatiku, tak akan ku berani lagi menyentuh dan mendekatinya, karena aku takut, lidah api itu akan membakar kulitku.
“Aku mencintaimu, Za!” seketika ku copot heandset dan mendengarkan suara lirih yang ternyata arah suara tersebut dari Fera di sebuah bangku taman sekolah, aku tahu siapa cowo di samping Fera itu, itu Faza. Dengan seksama ku dengarkan percakapan mereka berdua tanpa mereka ketahui.
“Tolong, jangan tinggalkan aku, Za” Faza tetap diam, tak sekalipun dia angkat bicara.
“Siapa, cewek yang udah ganti posisiku di hatimu, Za”
“Ga ada, Fer!” Baru kali itu Faza bicara. Perkataan itu cukup membersitku seperti sebuah pisau yang mengenai ujung jari, terasa perih di sesaat kemudian.
“Siapa yang ada di hatimu saat ini, Za”
Faza tak menjawab.
“Jawab, Za. Siapa?”
“Kamu, Fer. Yakinlah padaku” bukan pisau yang membersitku ketika itu, tapi sebuah pedang tajam mengiris hatiku dengan kejamnya, dia tidak kejam, tapi aku yang mengkejami diriku sendiri.
“Makasih, Za” seketika Fera memeluk diri Faza. Itu sebuah pemandangan buruk bagiku, ku berlari meninggalkan tempat itu, ku biarkan air mata merembes membasahi pipiku, tak ku hiraukan orang lain memandang aneh ke arahku, ku ingin menangis Tuhan, ini salahku. Aku bukanlah segalanya. Ku mengharapkan seseorang yang tak tepat untuk hatiku. Ku mencintai orang yang salah, ku yang akan merasakan pedih ini, karena ku yang menyayanginya dengan bodoh. Dan ketika sebuah api yang menjadi lilin saat menerangi kegelapanku, ketika menjadi api unggun yang selalu menghangatiku, tak akan ku berani lagi menyentuh dan mendekatinya, karena aku takut, lidah api itu akan membakar kulitku.
Cerpen Karangan: Nita Durotul Husna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar