Koridor sekolah nampak ramai. Bagaimana tidak, hari ini adalah pengumuman penerimaan siswa baru. Yup! Papan pengumuman sudah penuh dengan orang-orang yang tidak ia kenal. Hampir saja ia ditabrak-tabrak puluhan manusia yang notabene tidak punya perasaan sabar. Ia harus menunggu, walaupun menghabiskan beberapa detik dalam pengharapannya.
Wajah senang, wajah sedih, wajah penuh bahagia juga wajah kecewa tercetak jelas di antara mereka. Mungkin satu hal pembelajaran baginya adalah, siap gagal dan bersyukur kalau berhasil.
Wajah senang, wajah sedih, wajah penuh bahagia juga wajah kecewa tercetak jelas di antara mereka. Mungkin satu hal pembelajaran baginya adalah, siap gagal dan bersyukur kalau berhasil.
Jari telunjuk mungilnya terus menunjuk pada beberapa kertas warna putih yang ditempel pada mading sekolah dengan nama siswa-siswa yang diterima. Sebuah nama yang hanya dimiliki olehnya, Andriyani Reynita.
Baru saja ia bersyukur, seseorang menabraknya. Tubuh tinggi menjulang, badan kekar, sebuah lesung pipi di pipi kanannya dan satu hal yang ia ketahui ketika itu adalah, sosok itu ramah. Senyum terbaik disuguhkan begitu saja oleh sang pria. Emosinya ia redam.
“Sori ya, gue nggak sengaja. Oh ya, nama gue Andra!” ucapnya begitu saja, tanpa memperhatikan Andri. Pria itu sedang mencari namanya seperti apa yang dilakukan Andri sebelumnya.
“Gue Andri!” sahut gadis itu singkat. Ia hendak beranjak.
“Yes, gue diterima!!” teriaknya girang, beberapa orang sontak memperhatikannya. Kemudian pria itu kembali biasa. “Tunggu dulu, tadi lo bilang nama lo Andri?” tanyanya kembali fokus, ia memastikan.
Andri hanya mengangguk. Kemudian berlalu. Sedangkan pria itu kembali memperhatikan papan pengumuman. Detik berikutnya, sebuah langkah tepat di belakang gadis bernama Andri itu.
“Hey, nama lo Andriyani Reynita?” tanyanya lagi. Untuk kedua kalinya Andri mengangguk mantap.
Andra hanya tersenyum, entah senyum pertanda apa. Mereka berlalu, keluar SMA yang sekarang adalah milik keduanya. SMA yang memperkenalkan kedua insan itu.
Baru saja ia bersyukur, seseorang menabraknya. Tubuh tinggi menjulang, badan kekar, sebuah lesung pipi di pipi kanannya dan satu hal yang ia ketahui ketika itu adalah, sosok itu ramah. Senyum terbaik disuguhkan begitu saja oleh sang pria. Emosinya ia redam.
“Sori ya, gue nggak sengaja. Oh ya, nama gue Andra!” ucapnya begitu saja, tanpa memperhatikan Andri. Pria itu sedang mencari namanya seperti apa yang dilakukan Andri sebelumnya.
“Gue Andri!” sahut gadis itu singkat. Ia hendak beranjak.
“Yes, gue diterima!!” teriaknya girang, beberapa orang sontak memperhatikannya. Kemudian pria itu kembali biasa. “Tunggu dulu, tadi lo bilang nama lo Andri?” tanyanya kembali fokus, ia memastikan.
Andri hanya mengangguk. Kemudian berlalu. Sedangkan pria itu kembali memperhatikan papan pengumuman. Detik berikutnya, sebuah langkah tepat di belakang gadis bernama Andri itu.
“Hey, nama lo Andriyani Reynita?” tanyanya lagi. Untuk kedua kalinya Andri mengangguk mantap.
Andra hanya tersenyum, entah senyum pertanda apa. Mereka berlalu, keluar SMA yang sekarang adalah milik keduanya. SMA yang memperkenalkan kedua insan itu.
—
Keduanya saling mengenal, bahkan saling memiliki. Saling memiliki sebagai sahabat. Andri yang periang, supel juga Andra yang memiliki sikap hampir sama sepertinya. Mereka seperti saudara kembar, sungguhan.
Hanya dua kata yang menyatukan mereka, bersama dan sama. Semua kesukaan dan apapun yang mereka ingini.
“Cie, ngeliatin sapa sih? Dia temen gue, suka lo?” ledek Andri sambil terus membuat gelembung besar dari permen karetnya. Sedangkan Andra hanya tertawa seperti candaan yang biasa mereka lakukan. Mereka menyusuri koridor-koridor kelas sambil memperhatikan beberapa siswa yang bagi mereka cukup unik untuk diperbincangkan.
“Lo punya temen? Gue kira, gue satu-satunya temen lo!” timpal Andra. Ia terkekeh melihat perubahan wajah sahabatnya.
“Sialan lo!” balas Andri sambil menyikut lengan Andra. Sedangkan pria itu nampak biasa saja, ia masih merangkul sahabatnya. Sebaliknya, Andri menepis rangkulan itu begitu saja.
Ini bukan kali pertama mereka jalan beriringan, bahkan sangat dekat hingga siapapun mengenal mereka adalah pacaran, padahal sebenarnya jauh dari pemikiran orang-orang. Next, mereka nampak biasa saja dan tidak menggubris ocehan sekitar.
Hanya dua kata yang menyatukan mereka, bersama dan sama. Semua kesukaan dan apapun yang mereka ingini.
“Cie, ngeliatin sapa sih? Dia temen gue, suka lo?” ledek Andri sambil terus membuat gelembung besar dari permen karetnya. Sedangkan Andra hanya tertawa seperti candaan yang biasa mereka lakukan. Mereka menyusuri koridor-koridor kelas sambil memperhatikan beberapa siswa yang bagi mereka cukup unik untuk diperbincangkan.
“Lo punya temen? Gue kira, gue satu-satunya temen lo!” timpal Andra. Ia terkekeh melihat perubahan wajah sahabatnya.
“Sialan lo!” balas Andri sambil menyikut lengan Andra. Sedangkan pria itu nampak biasa saja, ia masih merangkul sahabatnya. Sebaliknya, Andri menepis rangkulan itu begitu saja.
Ini bukan kali pertama mereka jalan beriringan, bahkan sangat dekat hingga siapapun mengenal mereka adalah pacaran, padahal sebenarnya jauh dari pemikiran orang-orang. Next, mereka nampak biasa saja dan tidak menggubris ocehan sekitar.
Bel berbunyi, menandakan mereka harus masuk kelas. Kelas yang sama, kelas dimana mereka mulai dekat dan mulai saling mengenal sebagai sahabat. Sahabat yang benar-benar sahabat.
—
Bintang-bintang nampak berkilau seperti malam-malam sebelumnya. Bulan memperhatikan mereka berdua disana. Gadis hitam manis mengenakan kemeja pendek dengan celana blue jeans belel, pria bertubuh tegap itu pun hampir sama, mengenakan kaos kebesaran yang warna sebenarnya tidak bisa dipastikan apa dan sebuah celana pendek tiga-perempat. Keduanya memang tidak terlalu memperhatikan fashion, yang penting nyaman bagi mereka.
Keduanya merebahkan tubuh di rerumputan hijau yang mulai basah secara beriringan. Menatap bintang seperti biasanya, ditempat yang sama. Entah mengapa mereka bisa saling mengenal hingga seakrab itu.
“Ndra, lo kenapa sih nggak punya cewek? Padahal menurut gue sih, lo nggak jelek-jelek amat! Ya walaupun nggak secakep Alfa!” ujar Andri seenaknya. Gadis itu tersenyum membayangkan tokoh Alfa yang selama ini selalu terngiang dalam pikirannya.
“Alfa siapa?” tanya Andra menyelidik. Ia melirik ke arah gadis yang sedang berbaring di sebelahnya. Menatap sungguh-sungguh.
“Saking cupunya ya lo sampe-sampe nggak tau Alfa? Astaga Andra!” tegas Andri terkekeh. Andri bangun dari posisinya, ia terduduk.
“Alfa anak futsal?” tanya Andra lagi memastikan. Ia pun mengikuti posisi Andri. Andri hanya mengangguk. Gadis itu kemudian menerawang jauh tentang Alfa dan memikirkan tokoh menarik baginya itu.
Tiba-tiba suasana hening. Ada sebuah beban yang dipikul Andra, rasa sakit atau entah apa namanya. Sungguh, ini bukan hanya tentang kecemburuan, tapi tentang bagaimana memperjuangkan seorang gadis yang amat ia sayang, namun hampir sia-sia. Setidaknya satu hal yang tidak ingin terjadi dalam hidupnya adalah, ia tidak mau kehilangan segala perhatian Andri jika ia benar-benar sudah menjadi milik Alfa.
“Kok lo diem sih? Alfa tuh keren, kece, yang pasti nggak sotoy kaya lo!” ledek Andri sambil mengacak-acak rambut Andra.
“Apa bagusnya coba? Cuma orang yang hobinya nendang bola, terus lo suka gitu? Gue juga bisa!” sahut Andra menatap Andri lekat-lekat.
“Tuh kan mulai sotoynya! Kalau cuma nendang bola sih semuanya juga bisa, ya pokoknya ada hal menarik di dirinya! Dia nggak sesimple lo!” ledek Andri seenaknya.
“Lo itu cocoknya sama gue Ndri. Dari nama udah mirip, dari sifat mirip banget malah, dari kesukaan sama, nah apa yang diraguin?” sahut Andra bangga. Wajahnya tiba-tiba saja memancarkan senyum manis. Lesung pipi tercetak disana.
“Itu semua kebetulan boy! Pokoknya Alfa nggak bisa dibanding-bandingin!” tegas Andri.
“Ndri, gue suka sama lo. Dari dulu bahkan! Masa lo nggak ngerti-ngerti sih? Gue mau, lo jadi cewek gue!” ujar Andra kemudian. Sontak saja membuat Andri limbung. Wajahnya berkeringat, begitu pula tangan yang sejak tadi Andra genggam erat.
“Canda!” sahut Andri seadanya.
“Gue serius Ndri!” tegasnya lantang. Andri terdiam.
Andra menatapnya penuh harap. Saat ini, bagi Andri hanya satu hal yang harus ia lakukan. Menegaskan bahwa mereka adalah sahabat, dan selamanya akan terus menjadi sahabat. Bukan yang lain.
“Ndra, lo kenapa sih nggak punya cewek? Padahal menurut gue sih, lo nggak jelek-jelek amat! Ya walaupun nggak secakep Alfa!” ujar Andri seenaknya. Gadis itu tersenyum membayangkan tokoh Alfa yang selama ini selalu terngiang dalam pikirannya.
“Alfa siapa?” tanya Andra menyelidik. Ia melirik ke arah gadis yang sedang berbaring di sebelahnya. Menatap sungguh-sungguh.
“Saking cupunya ya lo sampe-sampe nggak tau Alfa? Astaga Andra!” tegas Andri terkekeh. Andri bangun dari posisinya, ia terduduk.
“Alfa anak futsal?” tanya Andra lagi memastikan. Ia pun mengikuti posisi Andri. Andri hanya mengangguk. Gadis itu kemudian menerawang jauh tentang Alfa dan memikirkan tokoh menarik baginya itu.
Tiba-tiba suasana hening. Ada sebuah beban yang dipikul Andra, rasa sakit atau entah apa namanya. Sungguh, ini bukan hanya tentang kecemburuan, tapi tentang bagaimana memperjuangkan seorang gadis yang amat ia sayang, namun hampir sia-sia. Setidaknya satu hal yang tidak ingin terjadi dalam hidupnya adalah, ia tidak mau kehilangan segala perhatian Andri jika ia benar-benar sudah menjadi milik Alfa.
“Kok lo diem sih? Alfa tuh keren, kece, yang pasti nggak sotoy kaya lo!” ledek Andri sambil mengacak-acak rambut Andra.
“Apa bagusnya coba? Cuma orang yang hobinya nendang bola, terus lo suka gitu? Gue juga bisa!” sahut Andra menatap Andri lekat-lekat.
“Tuh kan mulai sotoynya! Kalau cuma nendang bola sih semuanya juga bisa, ya pokoknya ada hal menarik di dirinya! Dia nggak sesimple lo!” ledek Andri seenaknya.
“Lo itu cocoknya sama gue Ndri. Dari nama udah mirip, dari sifat mirip banget malah, dari kesukaan sama, nah apa yang diraguin?” sahut Andra bangga. Wajahnya tiba-tiba saja memancarkan senyum manis. Lesung pipi tercetak disana.
“Itu semua kebetulan boy! Pokoknya Alfa nggak bisa dibanding-bandingin!” tegas Andri.
“Ndri, gue suka sama lo. Dari dulu bahkan! Masa lo nggak ngerti-ngerti sih? Gue mau, lo jadi cewek gue!” ujar Andra kemudian. Sontak saja membuat Andri limbung. Wajahnya berkeringat, begitu pula tangan yang sejak tadi Andra genggam erat.
“Canda!” sahut Andri seadanya.
“Gue serius Ndri!” tegasnya lantang. Andri terdiam.
Andra menatapnya penuh harap. Saat ini, bagi Andri hanya satu hal yang harus ia lakukan. Menegaskan bahwa mereka adalah sahabat, dan selamanya akan terus menjadi sahabat. Bukan yang lain.
—
Dane dan Ira. Kedua sahabat Andri itu selalu menenangkan Andri, setidaknya membuat Andri melupakan sikap Andra yang menyebalkan. Alhasil, kedua sahabat itu kembali dalam sebuah ikatan sahabat lagi.
“Sahabat akan selamanya jadi sahabat. Itu alasan kenapa gue nggak mau nerima lo jadi pacar, pacar bisa jadi mantan. Tapi, sahabat nggak akan pernah jadi mantan!” ujar Andri dengan senyum terbaiknya. Andra hanya menanggapinya garing, sedangkan Dane dan Ira tersenyum mendukung.
“Kalian itu udah dua tahun sahabatan, masa gara-gara gini doang kalian berantem sih, kayak anak kecil tau!” ujar Dane meledek.
“Sahabat akan selamanya jadi sahabat. Itu alasan kenapa gue nggak mau nerima lo jadi pacar, pacar bisa jadi mantan. Tapi, sahabat nggak akan pernah jadi mantan!” ujar Andri dengan senyum terbaiknya. Andra hanya menanggapinya garing, sedangkan Dane dan Ira tersenyum mendukung.
“Kalian itu udah dua tahun sahabatan, masa gara-gara gini doang kalian berantem sih, kayak anak kecil tau!” ujar Dane meledek.
Lambat laun, mereka masuk kelas XII. Kelas yang menjadi penentu untuk masa depan mereka sesungguhnya, kelas pemulai segala cita-cita semua siswa di seluruh dunia — mungkin.
Beriringan dengan waktu, Andri pun lebih dekat dengan Alfa, hingga mereka berdua benar-benar mempunyai status — berpacaran.
Beriringan dengan waktu, Andri pun lebih dekat dengan Alfa, hingga mereka berdua benar-benar mempunyai status — berpacaran.
Semua dukungan penuh dari Dane dan Ira untuk Andri, namun tidak untuk Andra. Ia nampak biasa-biasa saja, atau sangat biasa. Sebuah beban kembali muncul dalam hidupnya, dalam hatinya yang sepenuhnya ia berikan kepada Andri.
Wajah murung, kecewa, gelisah, sedih sekaligus patah hati bercampur disana. Wajah cerianya tak ada lagi, juga canda-canda yang biasa ia beri untuk Andri pun tidak ada. Tidak akan ada lagi.
Wajah murung, kecewa, gelisah, sedih sekaligus patah hati bercampur disana. Wajah cerianya tak ada lagi, juga canda-canda yang biasa ia beri untuk Andri pun tidak ada. Tidak akan ada lagi.
Satu hal yang setiap detiknya selalu ia pikirkan, membuat impuls otaknya tidak bekerja maksimal, membuat semuanya menjadi tidak biasa. Kerja jantung yang tak lagi bekerja optimal, peredaran darah yang berjolak tak keruan. Semuanya karena satu nama, Andri.
Kisahnya terlalu menyiksa.
Kisahnya terlalu menyiksa.
Detik berganti, menit berganti, jam berganti. Hingga berhari-hari dan berminggu-minggu. Rasa sakitnya terlalu dalam. Entah berapa lama ia harus terus menghindar dari Andri. Kekecewaan dan pendekatan yang selama ini ia lakukan sia-sia, ia kalah oleh seorang yang baru Andri kenal.
“Andra, lo kemana aja sih? Kok selalu ngehindar dari gue?” tanya Andri serius. Wajahnya ada sebuah pengharapan untuk mengulang kenangan bersama sahabatnya itu.
Andra tak menjawab. Ia kembali fokus pada langkahnya. Tanpa Andri ketahui Andra sudah memiliki seorang kekasih, seorang kekasih yang tidak ia cintai. Maya Amora, teman satu sekolah mereka.
Andra tak menjawab. Ia kembali fokus pada langkahnya. Tanpa Andri ketahui Andra sudah memiliki seorang kekasih, seorang kekasih yang tidak ia cintai. Maya Amora, teman satu sekolah mereka.
—
Langkah Andra mendekat. Tiba-tiba menghampiri tempat duduk Andri. Ia berbisik singkat.
“Gue tunggu nanti malem, di tempat biasa!” ujar Andra ketika melewati tempat duduk gadis itu. Ia duduk menyepi, mendengarkan lagu dari headphonenya, kemudian menutup wajah dengan tudung jaket.
“Gue tunggu nanti malem, di tempat biasa!” ujar Andra ketika melewati tempat duduk gadis itu. Ia duduk menyepi, mendengarkan lagu dari headphonenya, kemudian menutup wajah dengan tudung jaket.
Malam yang sepi seperti biasanya. Namun, malam ini tak berbintang juga tak ada bulan disana. Hanya kumpulan awan-awan putih yang sebagian menghitam. Andra sudah disana menunggunya.
“Sori gue telat. Tadi…”
“Gue tahu, pasti sama Alfa kan?” potong Andra sinis. Andra bangun dari tidurnya, sementara itu Andri masih berdiri pada posisinya. Ia seperti tidak mengenal sahabatnya.
Andri mengangguk ragu-ragu.
“Gue udah duga!” sahutnya singkat. Ia kembali berbaring.
“Sebenernya gue juga suka sama lo! Gue ngerasa kehilangan lo sejak lo menjauh!” ujar Andri kemudian. Sontak Andri kaget, tapi ia mencoba biasa saja. Ia sedang mencoba tenang.
“Kalo gitu, lo putusin aja Alfa, dan gue putusin Maya! Terus kita jadian! Gue nggak mau terus-terusan kehilangan lo! Jauh dari lo!” ujar Andra tegas. Andri hanya kebingungan.
“Lo udah mulai sinting ya!”
“Gue sinting ya kena lo! Andr!i”
“Please Ndra, lo itu sahabat gue. Selamanya bakal kayak gitu!” Andri duduk di samping Andra. Andra pun mengubah posisinya ke duduk.
Andra menatap Andri lekat-lekat, wajahnya ia dekatkan pada Andri, hampir saja ia mencium gadis itu, tapi Andri menolaknya. Andri memang menyukai Andra dan Alfa, tapi baginya Alfa adalah pacarnya, tak mungkin ia menyakiti pria itu. Lagipula ia tidak mau mengotori persahabatan yang selama ini membuatnya nyaman hanya dengan sebuah kata, cinta.
“Ndra, lo apa-apaan sih!” bentak Andri. Ia memalingkan wajahnya. Ia nampak kecewa dan sangat kesal. “Kenapa sih lo berubah kayak gini, asli! Gue nyaman kalau deket sama lo, kalau sama Alfa gue nggak senyaman ini. Tapi, kenapa harus semuanya dikotori sama egois lo sih! Lo nggak pengen gue bahagia?” bentak Andri emosi, ia masih tak menatap Andra.
“Kalo lo nyaman sama gue, ngapain lo sama anak itu! Jelas-jelas cuma gue yang bisa bikin lo bahagia!” bentaknya.
“Please Ndra, jangan bikin gue kayak gini. Kalau lo kayak gini terus, lo itu nggak dewasa, lo itu nggak bikin gue nyaman dan jelas-jelas jauh dari bikin gue bahagia. Ayolah Ndra, kayak dulu lagi. Itu yang bikin gue bahagia! Bukan kayak gini!” ujar Andri terisak. Tiba-tiba Andra diam.
“Sori gue telat. Tadi…”
“Gue tahu, pasti sama Alfa kan?” potong Andra sinis. Andra bangun dari tidurnya, sementara itu Andri masih berdiri pada posisinya. Ia seperti tidak mengenal sahabatnya.
Andri mengangguk ragu-ragu.
“Gue udah duga!” sahutnya singkat. Ia kembali berbaring.
“Sebenernya gue juga suka sama lo! Gue ngerasa kehilangan lo sejak lo menjauh!” ujar Andri kemudian. Sontak Andri kaget, tapi ia mencoba biasa saja. Ia sedang mencoba tenang.
“Kalo gitu, lo putusin aja Alfa, dan gue putusin Maya! Terus kita jadian! Gue nggak mau terus-terusan kehilangan lo! Jauh dari lo!” ujar Andra tegas. Andri hanya kebingungan.
“Lo udah mulai sinting ya!”
“Gue sinting ya kena lo! Andr!i”
“Please Ndra, lo itu sahabat gue. Selamanya bakal kayak gitu!” Andri duduk di samping Andra. Andra pun mengubah posisinya ke duduk.
Andra menatap Andri lekat-lekat, wajahnya ia dekatkan pada Andri, hampir saja ia mencium gadis itu, tapi Andri menolaknya. Andri memang menyukai Andra dan Alfa, tapi baginya Alfa adalah pacarnya, tak mungkin ia menyakiti pria itu. Lagipula ia tidak mau mengotori persahabatan yang selama ini membuatnya nyaman hanya dengan sebuah kata, cinta.
“Ndra, lo apa-apaan sih!” bentak Andri. Ia memalingkan wajahnya. Ia nampak kecewa dan sangat kesal. “Kenapa sih lo berubah kayak gini, asli! Gue nyaman kalau deket sama lo, kalau sama Alfa gue nggak senyaman ini. Tapi, kenapa harus semuanya dikotori sama egois lo sih! Lo nggak pengen gue bahagia?” bentak Andri emosi, ia masih tak menatap Andra.
“Kalo lo nyaman sama gue, ngapain lo sama anak itu! Jelas-jelas cuma gue yang bisa bikin lo bahagia!” bentaknya.
“Please Ndra, jangan bikin gue kayak gini. Kalau lo kayak gini terus, lo itu nggak dewasa, lo itu nggak bikin gue nyaman dan jelas-jelas jauh dari bikin gue bahagia. Ayolah Ndra, kayak dulu lagi. Itu yang bikin gue bahagia! Bukan kayak gini!” ujar Andri terisak. Tiba-tiba Andra diam.
Andra membalik badan Andri. Detik pertama, kedua, ketiga mereka saling diam. Selanjutnya, Andra memeluk Andri dengan tulus. Ia tidak mau menyakiti gadis itu, walau sebenarnya hatinya masih terombang-ambing dan menerawang dalam angan yang tak sampai.
Andra masih memeluk Andri. Erat.
“Lo itu akan terus milikin gue Ndra. Selamanya, karena lo tahu, nggak akan ada mantan sahabat. Lo akan tetep dan selamanya bikin gue nyaman dan bahagia! Selamanya Ndra! Lo nggak bakal kehilangan gue! Gue pastiin itu!” ujar Andri masih terisak. Setidaknya, kalimat itu membuat Andra sedikit tenang. Cukup tenang untuk kali ini.
“Lo itu akan terus milikin gue Ndra. Selamanya, karena lo tahu, nggak akan ada mantan sahabat. Lo akan tetep dan selamanya bikin gue nyaman dan bahagia! Selamanya Ndra! Lo nggak bakal kehilangan gue! Gue pastiin itu!” ujar Andri masih terisak. Setidaknya, kalimat itu membuat Andra sedikit tenang. Cukup tenang untuk kali ini.
Satu hal yang Andri pelajari sekarang, senyaman apapun dengan orang lain, lebih nyaman dengan sahabat yang benar-benar menyayanginya. Dan, pelajaran bagi Andra adalah, tidak selamanya hal yang diinginkan harus termiliki, bersyukur akan yang sudah dimiliki dirasa cukup.
Cerpen Karangan: Sugesty Nurchadjati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar