Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Kutipan Cinta di Akhir Senja

Heningnya malam semakin hening, saat denting jam dinding seolah mengalun tanpa nada. Hembusan angin meniup sejuk, merayap membangunkan sosok wanita yang terbaring pulas. Mila.
“Subhaanallah”, ucap Mila. Kemudian mengambil wudhu dan segera mengerjakan shalat malam.
Dengan kusyuk ia manghadap Allah, berdoa dan memohon kepada-Nya. Menetes air mata seketika dari celah-celah mata yang penuh dengan harap. Berkali-kali ia memohon ampun, meminta petunjuk serta hidayah dari-Nya.
“Ya Allah Yang Maha Pengampun, sudikah kiranya Engkau mengampuni segala dosa yang telah ku buat? Berkali-kali hamba mendustai-Mu, mengingkari-Mu, juga berpaling dari-Mu. Hamba hanyalah kecil di hadapan-Mu. Bahkan sekalipun hamba beribu kali memohon ampun, tak lantas cukup untuk menebus segala dosa hamba. Hanya saja hamba yakin bahwa Engkau menyayangi hamba-Mu tanpa terkecuali. Hamba bukan hanya kecil ya Rabb, tapi juga lemah. Hamba tak berdaya tanpa-Mu. Apa yang hamba lakukan rasanya percuma jika tanpa ridha dari-Mu. Ya Allah Yang Maha Penentu Takdir, tempatkanlah hamba dalam ruang yang penuh oleh cahaya-Mu. Jika hamba jatuh cinta, maka jangan biarkan hamba mencintai makhluk melebihi hamba mencintai-Mu. Takdirkanlah hamba dengan jodoh yang benar-benar Engkau pilih. Yang mampu membawa rumah tangga kami ke dalam bahagia dunia maupun akhirat nanti. Aamiin.”
Keesokan harinya pertemuan dirinya dengan Ramlan pilihan kedua orang tuanya berlangsung. Ini adalah kali pertama Mila menjalani ta’aruf. Setelah menyambut kedatngan Ramlan dan keluarga, Mila bergegas ke dapur untuk menyiapkan jamuan, kemudian disusul sang ibu.
“Gimana Ndok? Kamu cocok?” tanya ibu.
“Apapun dan siapapun pilihan ibu dan ayah, cocok cocok saja. Tapi jika ditanya benar-benar cocok atau tidak, Mila belum tahu”, ucapnya sambil
tersenyum.
“Ya sudah ayo jangan lama-lama di dapur!”
“Iya Bu.”
Beberapa saat kemudian Milapun menuju ke ruang tamu dengan membawa makanan dan minuman yang telah ia siapkan untuk menjamu Ramlan dan keluarga.
“Subhanallah cantik dan anggun sekali kamu Ndok!” ucap Umi Aminah (Ibunda Ramlan) kepada Mila.
“Terima kasih Umi”, jawab Mila dengan ramah, “Silahkan diminum!” lanjut Mila.
Ramlan yang datang dengan ibu dan pamannya terlihat gugup. Sang paman yang mewakili mendiang ayahnya menyampaikan maksud dari kedatangan mereka kepada keluarga Mila.
“Nak Mila, perkenalkan ini Ramlan. Ramlan, ini Mila. Walaupun Ramlan sebelumnya tidak pernah bertemu dan mengenal nak Mila. Tapi dengan niat karena Allah, kami datang ke hadapan keluarga Pak Imran, selain semata-mata ingin bersilaturahim juga bermaksud untuk melamar Nak Mila. Sudikah kiranya Bapak dan keluarga menerima lamaran kami terhadap putri Bapak?”
“Keputusan ada di tangan Mila. Bagaimana Ndok?” ucap sang ayah kepada Mila.
“Insya Allah, dengan niat ibadah kepada Allah, Mila menerima lamaran Mas Ramlan dan keluarga”, jawabnya.
Rona bahagia pun tampak seketika di wajah mereka. Terutama ayah dan ibu Mila, juga Umi Aminah. Umi Aminah kemudian memesangkan cincin pada jari manis Mila. Di susul ucapan “Alhamdulillah” dari mereka.
Satu minggu kemudian akad nikah dan pesta pernikahanpun berlangsung. Acara berlangsung dengan hikmat. Sanak saudara, kerabat dekat, majelis pengajian Umi Aminah, menghadiri acara tersebut dan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Mempelai wanita tampak sangat cantik dengan terbalut gaun pengantin warna putih dan jilbab yang menutup aurat kepalanya. Serasi dengan mempelai pria yang juga berpakaian warna senada. Dalam hati Mila bergumam.
“Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah, Engkau telah mempertemukan hamba dengan jodoh hamba. Dengan laki-laki soleh, baik, dan tampan yang saat ini sedang duduk di samping hamba. Atas ridha-Mu, hamba jatuh cinta pada-Nya. Setelah penantian yang panjang, kini Kau anugerahi hamba perasaan yang indah ini. Semoga keindahan dari rasa ini akan senantiasa membawa berkah, bukan sebaliknya. Puji syukur atas segala nikmat dan karunia-Mu ya Allah.”
Pada malam harinya, mereka ditempatkan pada ruang kamar yang sama. Kamar dimana mereka akan mengalami kisah dan merajut cinta di dalamnya.
“Sebaiknya kamu tidur dulu saja Mila! Aku belum mengantuk.”
“Bukankah Mas juga capek?”
“Iya, tapi aku belum ingin tidur.”
“Ya sudah kalau begitu Mas berbaring saja dulu!”
“Tidak Mil, kamu tidur saja dulu ya! Aku mau menghirup udara di luar”, Ramlan pun beranjak dari kamar.
Sementara itu Mila tampak heran dengan sikap suaminya. Karena begitu lelah, Milapun akhirnya tertidur pulas. Keheranan Mila semakin besar saat mendapati suaminya hampir tiap malam tidak ingin tidur satu ranjang dengannya, melainkan di sofa.
Satu bulan kemudian Ramlan membeli rumah yang letaknya tidak jauh dari kediaman Umi Aminah.
“Umi, kami pamit ya”, ucap Mila kepada Umi.
“Iya Ndok, kalian hati-hati ya di sana. Maafkan Umi tidak bisa
mengantar. Insya Allah setelah pangajian selesai Umi sempatkan mampir.”
“Iya Umi, tidak apa-apa. Umi hati-hati ya.”
“Oh iya sebentar! Umi ada sesuatu untuk kalian.”
Umi pun beranjak dan datang kembali dengan membawa bingkisan.
“Terima kasih Umi!” ucap Mila.
“Terima kasih Umi. Kalau begitu kami pamit ya”, ucap Ramlan.
“Asalamualaikum Umi”, Mila berucap salam sambil mencium tangan Umi.
“Waalaikumsalam”, jawab Umi.
“Asalamualaikum Umi”, Ramlan mencium tangan ibunya.
“Waalaikumsalam”, jawab Umi lagi.
Sesampainya di rumah baru mereka.
“Alhamdulillah, akhirnya kita sudah tidak bergantung pada Umi lagi ya
Mas? Semoga di rumah ini, apa yang kita sama-sama kerjakan selalu dirahmati Allah SWT”, ucap Mila.
“Aamiin. Oh iya Mila, ini kamar kamu.”
“Loh?” Mila terkejut dan heran, “Kok kamar Mila Mas? Bukannya kamar kita berdua?” tukas Mila.
“Tidak. Kamarku yang itu!” sambil menunjuk ke arah kamar depan kamar Mila.
“Ada apa sih Mas sebetulnyaa? Tolong jelaskan! Jangan seperti ini!” lirih Mila.
“Nanti akan ku jelaskan jika waktunya tepat ya. Lebih baik sekarang kamu shalat asar dulu! Tadi belum shalat asar kan?” Ramlan kemudian beranjak dari kamar Mila sambil mengucapkan, “Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam”, jawab Mila lirih.
Hingga pada suatu malam, Mila mendapati suaminya sedang ingin melaksanakan shalat malam. Mila pun bergegas mengambil wudhu. Ramlan yang shalat di kamarnya tak manyadari, bahwa pintu kamarnya tidak ia tutup kembali sekembalinya ia dari wudhu. Sedangkan Mila yang baru saja selesai wudhu, sengaja membuka sedikit pintu kamarnya agar ia bisa menjadi makmum suaminya. Sementara Ramlan tak menyadari hal itu. Di sela-sela doa, terdengar isakkan tangis Ramlan yang begitu meluap. Sehingga membuat Mila ikut larut dalam isakkan itu. Ramlan berdoa di dalam hati.
“Ya Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa hamba. Hamba bagai tak tahu diri. Hamba bak mengotori jiwa dan raga hamba sendiri dengan kebodohan hamba. Ya Allah tunjukkanlah jalan-Mu. Keputusan hamba untuk menikah bukanlah langkah hamba untuk berbuat dosa. Tapi karena hamba ingin berbakti kepada kedua orang tua hamba. Rasanya ilmu yang hamba miliki terbuang sia-sia, karena untuk menjadi imam keluarga saja hamba tidak bisa. Hamba tahu bagaimana tersiksanya istri hamba. Apa yang harus hamba lakukan Ya Allah? Hamba belum juga memberikannya nafkah bathin yang mungkin telah lama dia tunggu. Hamba tidak ingin terlalu larut menykiti hatinya yang lembut itu. Hamba telah keras mencintainya, hamba telah lama menunggu anugerah rasa itu dari-Mu untuk aku memberikannya kepada Mila, istri hamba. Tuntun hamba Ya Allah. Agar ibadahku selama ini tidak sia-sia. Agar hamba tidak tersesat dalam kelabu hati hamba. Ya Allah ajari hamba mencintai Mila. Mila yang baik, Mila yang soleha, yang pandai harusnya mendapatkan pasangan yang benar-benar bisa membahagiakannya. Amnpuni hamba Ya Allah, atas dusta hamba kepada orang-orang yang bahagia atas pernikahanku dengan Mila. Atas ingkarku kepada-Mu Ya Rabb, ampuni hamba. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, waqinaa ‘adzaa ban naar. Aamin Ya Robbal ‘alamin.”
Mila berdoa agar apa yang suaminya panjatkan, dikabulkan Allah SWT. Beningnya air mata turut membasahi pipinya. Yang ia harapkan ialah agar air mata yang suaminya teteskan bukanlah air mata duka yang disebabkan olehnya. Mila sangat mencintai Ramlan, sehingga ia selalu berusaha untuk tidak menyakiti Ramlan. Hatinya memang berkecamuk, tapi cinta suci yang ia miliki masih benar-benar tersimpan untuk sang suami. Lambat pagi seraya menyentakkan bathinnya. Bathin yang selama ini telah mengeram, semakin tenggelam.
“Sarapan dlu Mas!” ucapnya kepada Ramlan, lembut.
“Iya, terima kasih”, jawab Ramlan.
“Mas Ramlan sehat bukan?” tanyanya.
“Alhamdulillah sehat.”
“Lalu kenapa wajahmu pucat Mas?”
“Tak usah merisaukanku Mila! Mungkin hanya karena kurang tidur saja.”
Mila tersenyum.
“Ada yang ingin ku katakan Mila”, seru Ramlan.
“Apa itu Mas?”
“Minggu depan aku bertugas ke luar kota”
“Boleh Mila tahu, berapa lama?”
“Delapan bulan Mil.”
Seketika itu juga Mila menangis. Setelah bathin yang menjerit sakit karena belum tersentuh kasih suaminya, kini Mila harus menerima kenyataan suaminya akan pergi dari pandangnya delapan bulan. Selama ini bathin yang terluka telah terobati dengan keindahan mata yang mampu menatap suami tercinta, keindahan itu tersapu kelu karena sang suami harus pergi untuk beberapa waktu.
“Kenapa kamu menangis Mil?”
“Cukup berat beban bathin yang selama ini Mila pendam Mas! Tapi beban
itu hilang seketika saat Mila mendapatimu setiap pagi dan sepulangmu dari kerja. Untuk seorang istri tentunya berat melepaskan suaminya pergi, walau untuk beberapa saat saja. Mila bahagia bisa bersuamikan kamu, Mas. Sekalipun Mas belum pernah sedikitpun menyentuh Mila. Sekalipun Mila sering bertanya-tanya akan perasaan Mas terhadap Mila. Tapi Mila selalu yakin bahwa Mas mencintai Mila. Entah apa yang sebenarnya kau rencanakan Mas. Mila hanya ingin selalu berada di sisimu. Mila tidak sanggup menahan sakitnya bathin yang belum kau nafkahi dan kini Mila harus menanggungnya sendiri. Mila sudah terlalu sering mendustai Ibu, Ayah, dan Umi. Memang Mila bahagia, tapi bahagia yang seperti ini tak sedikitpun Mila harapkan. Jika pernikahan ini hanya melukain hatimu Mas, kenapa tak kau sudahi saja? Mila hanya ingin kita sama-sama bahagia”, ucap Mila dalam isak.
“Maafkan aku Mil. Aku tak bermaksud melukaimu. Hanya saja cinta yang selama ini ku tunggu belum juga hadir untukmu. Aku memang telah melukaimu juga melukai kedua orang tua kita. Aku sudah berusaha keras untuk bisa mencintaimu. Tapi… entahlah Mil, aku bingung. Aku tidak ingin mengecewakan Umi dan mendiang Abi.”
“Mas, kamu itu suamiku. Seorang suami bukan hanya berkewajiban untuk mencintai istri. Tapi juga berkewajiban untuk menafkahi istrinya lahir dan bathin. Beban apa yang memberatkanmu? Katakanlah! Aku berhak tahu, kita bisa selesaikan bersama. Tidak seperti ini. Yang akhirnya semakin memberatkan salah satu di antara kita. Ayo kita bawa rumah tangga ini ke jalan-Nya.”
“Aku tidak bisa memberiknmu nafkah bathin, karena aku takut melukaimu Mila.”
“Melukaiku? Maksud Mas apa?”
“Aku takut, aku melakukannya hanya karena nafsu semata, bukan atas dasar cinta.”
“Kalau begitu lakukanlah dengan niat karena Allah. Mas, semua sudah menanyakan kehamilanku.”
“Maafkan aku Mila.”
Mila beranjak dengan kesedihan yang amat dalam. Di benaknya hanya kosong. Ia benar-benar tidak ingin suaminya pergi. Di setiap doanya, ia selalu meminta agar rumah tangganya bahagia. Agar cinta yang selama ini bertepuk sebelah tangan segera terlangkapi. Senjanya seakan hilang entah kemana. Wanita solaha itu kini benar-benar tiada daya. Pasrah dan iba selalu ia pasrahkan pada-Nya.
Tiga hari kemudian, malam yang cerah dengan keindahan bulan dan bintang. Bak terpercik tetes embun di gunung Sahara, hati Mila dipenuhi kesejukan. Bagaimana tidak, peluh penantian telah tertambatkan. Malam itu menjadi saksi peraduan cintanya dengan sang suami. Subhanallah.
>> Pernikahan adalah komitmen seumur hidup untuk mencintai seseorang meskipun mereka tidak layak dicintai, memaafkan seseorang meskipun mereka mungkin tidak layak dimaafkan, untuk menghormati seseorang bahkan ketika mereka berada dalam kondisi yang paling buruk dan untuk tidak pernah menyerah terhadap satu sama lain << ( Dimas R A).
Tepat pada dua hari sesudahnya, Mila harus merelakan kepergian suaminya bertugas ke luar kota.
“Hati-hati ya Mas. Kalau ada waktu luang, Mila mohon sempatkan untuk memberi kabar. Doakan Mila agar Mila di sini kuat dan tabah tanpamu Mas”, ucapnya lantas tersenyum.
“Insya Allah Mila. Jangan lupa mendoakanku ya. Semoga sepulangku nanti, aku bisa memperbaiki keadaan kita. Selain urusan pekerjaan, akan ku jadikan perjalananku nanti sebagai waktu untuk aku merenung. Aku pamit ya, asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam”, jawab Mila sambil mencium tangan Ramlan.
Pagi itu ia tetap mempertahankan senyum simpul yang terpahat di
sudut bibirnya. Ia tak ingin menampakkan kesedihan pada sang suami. Hatinya memang diburui kehancuran, tapi ia pun tak ingin menjadi egois. Ia tau kepergian suaminya di jalan yang baik. Untaian doa dan kasih sayang senantiasa ia curahkan untuk sang suami. Cintanya mengikis sakit yang diembannya. Cinta yang hanya sebelah tangan bertepuk, setidaknya telah sedikit merajuk. Malam indah yang telah lalu, menjadi saksi bisu kebersamaan mereka di persinggahan cinta.
“Ya Allah, dalam derai air mata ini hamba mohon perbaiki iman dan akhlak hamba. Teguhkan setiap langkah hamba untuk mencari ridha-Mu. Dalam setiap rintihan taubatku, hamba mohon ampuni segala dosa-dosa hamba. Lindungilah suami hamba dalam setiap langkah dan tuturnya Ya Rabb.”
Suatu pagi ia merasakan mual yang teramat kuat. Sehingga mengharuskannya memeriksakan diri ke Dokter.
“Selamat ya Bu Mila. Anda tengah hamil. Usia kehamilan Anda hampir sudah mencapai satu bulan”, ucap Dokter kepada Mila.
“Alhamdulillah. Jadi saya tidak sakit Dok?”
“Tidak, yang penting Bu Mila banyak-banyak istirahat ya! Serta menjaga pola makan yang baik, agar Bu Mila tetap sehat dan janin yang di kandung pun ikut sehat.”
“Baik Dok. Terimakasih! Kalau begitu saya permisi. Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mila beranjak dengan sumringah. Mimpinya untuk menjadi seorang ibu akan terwujud. Ucap syukur tak henti-hentinya ia panjatkan. Setelah kehamilannya mencapai empat bulan, ia memberitahukan kabar bahagia itu kepada orang tua dan mertuanya. Hanya saja sangat disayangkan ia belum bisa mengabari sang suami. Sampai saat ini belum juga ada kabar dari Ramlan. Ia menunggu Ramlanlah yang terlebih dahulu menghubunginya. Ia tak ingin mengganggu suaminya, sehingga ia pun berkeras untuk menunggu telepon dari sang suami.
Rindu yang berkalut semakin membuatnya berada dalam sudut. Sudut jiwa yang seolah tanpa nyawa. Dalam simpuh ia kembali mengadu.
“Ya Allah Yang Maha Pengasih, dalam lemah aku menengadah. Berharap Kau Sang Maha Pemberi Hidup memberikan kami umur yang panjang. Agar kami memiliki kesempatan untuk memperbaiki hilaf kami. Ampuni dosa-dosa kami Ya Rabb. Sampaikan rindu ini menyentuh hatinya, siratkan kasih hamba membelai kalbunya. Ya Allah, jadikanlah aku sebagai wanita terbaik di hatinya setelah ibunya, dan jadikanlah aku ibu yang terbaik untuk anak ku di hatinya. Pada-Mu aku mengadu, lindungilah kami di bawah naungan-Mu. Aamiin”
Setelah shalat, Mila beranjak ke tempat tidur. Namun raga yang ia baringkan, tak kunjung terlelap. Hatinya terus digedor-gedor pucuk rindu. Tergelantung asa dalam relung. Lantas ia mengambil secarik kertas. Jemarinya yang lentik begitu lihai menari dengan pena yang menggores kertas putih.
Untuk Mas Ramlan yang Mila cintai.
Asalamualaikum.Wr.Wb,
dengan rindu dan ketulusan kasih Mila kepada Mas Ramlan, Mila ajak pena ini mengisi kekosongan hati Mila. Untuk sekedar mencurahkan segala apa yang Mila pendam dalam. Mas Ramlan di sana apa kabar? Mila sungguh merindukanmu Mas. Ada banyak hal yang bisa Mila sesali, tapi lebih banyak hal yang bisa Mila syukuri di sini. Ada banyak hal yang tak sesuai dengan keinginan Mila, mungkin Allah ingin Mila lebih banyak menengadahkan tangan. Mila belum sepat mengabarimu kalau Mila sekarang sedang mengandung. Maafkan Mila. Bukannya Mila tidak ingin memberitahumu, tapi Mila tidak ingin mengganggu konsentrasi kerjamu Mas. Hati Mila sungguh berbunga-bunga ketika Mila tahu bahwa Mila sedang mengandung. Mila tidak merasa begitu kesepian lagi. Setidaknya ada anak kita yang menemani Mila. Walaupun dia belum terlahir di dunia, tapi Mila sudah merasakan kehadirannya. Mila sungguh bahagia Mas. Dua minggu lagi tepat 7 bulan usia kandungan Mila. Tidak terasa ya Mas? Sudah 7 bulan juga kamu meningalkanku. Mila tidak sabar menunggu satu bulan lagi, untuk bisa melihatmu lagi Mas. Rencananya, Ayah, Ibu, dan Umi akan mengadakan syukuran tujuh bulan kehamilan Mila. Alangkah lebih bahagianya Mila jika Mas juga ada di sisi Mila. Tapi sekali lagi Allah menginginkan Mila lebih banyak bersabar. Doakan saja ya Mas, agar acara berjalan lancar doakan juga semoga anak kita kelak menjadi anak yang soleh, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Mila sungguh mencintaimu Mas. Bagai mimpi yang panjang, ingin sekali Mila mendengarmu mengucapkan kata-kata itu padaku. Sekalipun hanya sekali saja seumur hidup Mila Mas mengucapkannya, sudah cukup membuat hati Mila teduh seteduh-teduhnya. Aku benar-benar mencintaimu Mas. Begitu indah anugerah ini yang Dia beri untuk Mila. Sehingga Mila akan menjaganya hingga akhir hayat Mila. Bahkan ingin sekali Mila abadikan rasa ini hingga ke Surga. Insya Allah. Mila rasa sudah cukup Mila mengukir lembar kertas ini. Ingin sekali rasanya saat ini juga sejenak berlabuh di bahumu. Semoga rindu ini tersampaikan padamu. Mila pamit Mas.
Wassalamualaikum.Wr.Wb.
Istri yang mencintaimu, yang lemah tiada daya,
Mila
Milapun melipat secarik kertas itu kemudian menyimpannya di laci samping tempat tidurnya.
Tepat delapan bulan sudah Ramlan di luar kota.
“Alhamdulillah. Akhirnya hari ini aku aku bisa kembali menemui istri dan keluargaku. Rasanya bagai terkurung dalam penjara. Mila, maafkan aku tidak sempat menghubungimu. Tapi hari ini aku janji akan meneleponmu, aku janji Mila”, gumam Ramlan.
Dengan semangat Ramlan mengambil ponsel yang selama ini ditahan perusahaan, karena selama bekerja semua karyawan benar-benar tidak boleh memegang alat komunikasi apapun. Akan tetapi berkali-kali Ramlan menelepon istrinya, tidak satu kalipun ada jawaban.
“Mila, tolong angkat teleponku!” ucapnya tampak cemas, “Ah mungkin Mila tidak di rumah dan lupa membawa ponselnya. Lebih baik sekarang aku kemas-kemas. Aku sudah tidak sabar berjumpa dengannya”, gumam Ramlan lagi.
Ramlan pun menyempatkan diri membeli camilan kesukaan Mila sebagai buah tangan. Sesampainya di rumah,
“Asalamualaikum!”
Berkali-kali Ramlan mengucap salam namun tidak ada satu kalipun jawaban salam dari Mila. Dia melihat ke seluruh ruangan tak juga ia dapati keberadaan sang istri. Lalu ia beranjak ke kamar Mila. Melihat-lihat keadaan di dalamnya. Ya, sepi! Sepi dan senyap. Sampai akhirnya ia menemukan secarik kertas yang dipenuhi tulisan Mila dalam laci. Ramlan tiba-tiba tenggelam dalam isak saat membaca tulisan itu. Berkali-kali ia mengucap istighfar dan maaf kepada Mila.
“Astaghfirullahaladzim. Maafkan aku Mila, maafkan aku! Aku berjanji mulai detik ini aku tidak akan lagi menyia-nyiakan cintamu. Maafkan aku Mila! Kamu di mana?” Ramlan larut dalam sedu, kemudian bergegas menghubungi orang tua Mila. Dari orang tua Mila, ia mendengar kabar bahwa istrinya sedang terbaring di rumah sakit dan akan melahirkan. Ramlan segera beranjak ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit.
“Asalamualaikum”, salam Ramlam.
“Waalaikumsalam”, jawab Ayah, Ibu, dan Umi bersamaan.
“Bagaimana keadaan Mila?” tanyanya.
Tiba-tiba keluarlah Dokter dari ruangan.
“Selamat! Bayinya laki-laki”, ucap Dokter.
“Alhamdulillah”, kata mereka serentak.
“Sebaiknya jika ingin mengadzankan, sekarang saja! Bayinya sedang dibersihkan, lalu akan segera dibawa ke inkubator, karena bayi lahir prematur.”
“Lalu bagaimana keadaan istri saya Dok?”
“Keadaan Bu Mila sangat lemah. Beliau mengalami pendarahan berat.”
Di wajah mereka terpancar suka dan kedukaan. Ramlan segera mengadzani sang bayi dan menghampiri Mila.
“Mila, kamu dengar aku? Aku pulang Mila. Sekarang aku ada di sisimu”, ucap Ramlan lirih.
Sementara Mila hanya bisa sayup membuka mata. Pandangannya lemah ke arah Ramlan. Sambil sesekali mencoba menegarkan diri dengan tersenyum.
“Mila, jangan kau khawatir dan bersedih. Sesungguhnya Allah jadi yang ketiga di antara kita berdua”, Ramlan menggenggam erat tangan Mila,
“Janganlah berhenti bersabar Mila, sungguh Allah bersama yang bersabar. Allah tiada tidur dan senantiasa mendengar segala pinta. Ia mengabulkan doa-doamu selalu, maka banyaklah berdoa Mila! Aku di sampingmu. Aku sungguh mencintaimu”, Ramlan semakin tak bisa membendung air mata,
“Mila, aku mencintaimu.”
Namun ternyata kata-kata itu benar-benar sekali saja Mila dengar. Allah begitu sayang kepadanya, sehingga Dia menginginkan Mila cepat-cepat kembali ke sisi-Nya.
“Inalillaahiwainailaihiraji’un. Mila, aku mencintaimu”, ucap ramlan semakin mengisak.
Kedatangan tiada lepas dengan kepergian. Kutipan cinta Mila mengantarkannya hingga ke akhir senja. Suasana seketika menjadi kelam. Kesedihan begitu terpancar di wajah mereka. Mila yang lembut hati, yang solehah, yang cantik jelita, yang berwibawa, sabar dan ramah telah pergi dengan damai. Ia membawa dan meninggalkan cinta. Namun kepergiannya menggoreskan duka yang mendalam di hati yang mencintainya. Sepenggal kisah dari wanita sejati yang mengaja dan menanti cinta hingga akhir hayatnya. Subhanallah. Tidak ada yang sempurna. Jika seseorang mengerti dan mencintai kita apa adanya, mengerti dan cintailah ia seperti sebaliknya karena kita dan dia pantas bersama. Jangan mengumpat dari seseorang yang sedang menunjukkan arti cinta, karena kita akan menyesal dan merasa kehilangan ketika ia pergi meninggalkan kita.
Cerpen Karangan: Rita Lestari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar