Namamu Indah. Seperti orangnya. Indah. Cantik menawan. Kamu adalah siswi satu sekolahku. Dan, aku langsung jatuh cinta padamu. Mungkin orang beranggapan ini adalah cinta monyet, tapi ini bukan. Kalau cina monyet, aku pernah mengalaminya. Dulu, dan aku tidak ingin merasakan itu lagi. Cinta monyetku menyakitkan. Tidak, ini lebih serius dari itu. Aku merasakan hal yang sama, cuma lebih dalam.
Semakin lama, kita semakin dekat. Pulang bareng, bahkan istirahat ke kantin pun bareng. Saat ini adalah waktu yang berharga untukku, seorang remaja laki-laki yang biasa saja, tidak menarik, culun. Semakin aku mengenalmu, semakin aku kagum padamu. Setiap pulang sekolah, kamu pasti memberi sisa uang jajan kamu ke pengemis dekat komplekmu. Bukan hanya itu, bahkan setiap ulangtahun kamu tidak pernah membuat pesta. Kamu lebih memilih berbakti sosial. “Lebih bermanfaat.” katamu. Ya, kamu sesuai dengan namamu. Indah Angelia.
Pulang sekolah. Hujan. Aku melihatmu berdiri di lorong sekolah. Melihat hujan sambil tersenyum. “Kok ngeliat hujan sambil senyum-senyum gitu?” tanyaku. “Aku suka hujan. Kalau ada hujan, pasti sehabis itu pelangi. Tuhan seolah ingin menunjukkan, ada kebahagiaan sesudah masalah. Ada senyum sesudah tangis.” jawabmu. Dan kamu memejamkan mata, membawa saat saat hujan ini masuk ke memori, lalu masuk ke dalam hatimu. Dan tanpa disadari, kamu berlari, hujan-hujanan di tengah lapangan. “Hei, kamu ngapain? Cepat ke sini! Nanti kamu sakit!” teriakku. “Coba kamu ke sini! Ini asik!” kata dia sambil menarik tanganku. Aku kedinginan, tapi dia benar, ini memang asik. Dan jadilah hari itu kami hujan-hujanan, diliatin banyak orang.
Dan besoknya, kita berdua sakit. Hahaha. Tapi tak apalah. Saat hujan-hujanan itu, menjadi saat yang tak terlupakan. Meskipun dingin, tapi asyik. Dan aku merasa tenang. Seolah air menghanyutkan emosi yang ada dalam hati. Apalagi, hujan-hujanannya sama malaikat. Hahaha.
Mulai saat itu, jika hujan turun saat pulang sekolah, kami selalu hujan-hujanan. Orang mungkin menganggap kami aneh, kekanak-kanakkan. Peduli amat! Yang penting, kami berdua senang, meskipun kedua ibu kami marah-marah setiap pulang sekolah.
Hari itu, di sebuah taman. Aku yang sedang berjalan santai, mendapatimu duduk di bawah pohon. Kamu seperti sedang menggambar sesuatu. “Hai, lagi ngapain kamu?” tanyaku. “Ah, aku lagi ngegambar. Udah lama aku gak ngegambar.” jawabmu. “Coba lihat dong.” dan ternyata yang kamu gambar adalah hujan. Segitu addicted nya kamu sama hujan. Hahaha.
Beberapa saat kemudian, awan mendung berkumpul. “Udah mau hujan nih.” kataku. Kamu memperhatikan awan di atas sana. Memperhatikan, lama. Dan, hujan pun turun. Ketika itu, kamu memejamkan mata dan tersenyum. Ya, aku tahu kamu suka hujan. Dan menit berikutnya, aku dan kamu kejar-kejaran. Kayak anak kecil, kata orang. Tak apalah. Yang penting, aku dan kamu bahagia. Hahaha
Hujan masih rintik-rintik. Kita beristirahat di bawah pohon. Kita berdua kedinginan. Wajar karena hujan yang turun deras sekali. “Indah..” “Ya?” “Aku boleh ngomong sesuatu?” kamu penasaran dengan omongan ku barusan. “Boleh. Mau ngomong apa?”. Dan, kata-kata yang telah kulatih semalam suntuk, mendadak macet. Sungguh, tidak mudah untuk mengatakannya. Kamu terus menunggu, memperhatikanku dengan penasaran. Bismillah… Dan kalimat itu akhirnya terucap. Tersamarkan oleh suara gemuruh hujan. Hanya aku, kamu, pohon ini, dan Allah yang mendengar. Kamu kaget, kelihatannya kamu tidak menyangka kalimat itu akan keluar, ditujukan padamu. Dan, kamu mengangguk. Anggukan yang memberi warna baru pada hidupku, hidupmu, dan menambah satu kisah cinta di muka bumi ini.
Tapi hari itu, jam itu, menit itu, detik itu, menghentikan kegembiraan itu. Kejadian ini, tepat 2 bulan sesudah kejadian di taman itu. Kami lomba lari menuju rumah, sambil hujan-hujanan tentunya. Aku berlari di belakang kelelahan. Dia menoleh ke belakang sambil berkata “Ayo! Masa segitu doang sih? Ah payah kamu hahaha.” teriak dia sambil tertawa. Tertawa untuk yang terakhir kali. Beberapa menit kemudian, tubuhmu tergeletak. Air hujan menyapu darahmu, mengalirkan darah itu entah kemana. Sementara, mobil yang menabrakmu kabur. Pengemudi kaya tapi pengecut itu.
Kenapa? Kenapa secepat ini? Aku berlari mendekatimu. Memeluk tubuhmu yang bersimbah darah. Tangisku terhapus oleh air hujan. Teriakku tertutup suara guntur. Hujan makin deras. Seolah dia menyesal telah turun, seolah dia menyesal. Seolah kalau dia tidak turun, ini tidak akan terjadi.
Hujan pun selesai. Aku masih di situ, memeluk dia. Orang mulai mengerubuni kami. Hujan selesai, namun tidak ada pelangi. Tidak ada kebahagiaan setelah masalah, tidak ada senyum setelah tangis. Mungkin, pelangi sudah pergi. Atau, pelangi sedang menangis. Menangisi kepergian satu insan manusia di muka bumi.
Cerpen Karangan: Bagas Hayujatmiko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar