Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Di Bawah Bunga Merah Jambu

Kau mirip helai bunga sakura yang mekar dan berguguran, dan kusimpan di antara lipatan buku kenangan yang indah. Sewaktu-waktu aku bisa membukanya dan melihatmu masih ada disana. Helai bunga sakura yang masih utuh, seperti menyimpan segala kenangan tentangmu yang belum pernah terhapus barang sedikitpun. Hari ini aku kembali. Stasiun ramai oleh orang-orang yang pergi dan datang, ada yang menunggu dan mengantar. Meski begitu ujung sepatuku masih bisa menghentak dan menggema di keramaian, seperti menunjukkan ke arah mana aku harus melangkah. Aku melewati pertokoan kecil berukuran 1×2 m yang saling dipisahkan oleh sekat besi di pelataran stasiun yang semakin rapi sejak renovasi 10 tahun lalu. Sudah 10 tahun sejak hari itu dan kau memang benar, aku masih bisa bertahan hidup.
Ada satu pohon yang tanpa sengaja menjadi penanda gerbang sekolah, dari kejauhan pohon itu sudah terlihat menjulang megah. Kepala Sekolah, Guru-guru dan beberapa teman-teman OSIS menyambut kedatangan siswa baru di gerbang depan. Wajah yang datang dengan tertunduk malu-malu berdatangan dengan seragam yang masih harum baru. Ah, ini tahun ajaran baru terakhir bagiku sebelum beranjak ke universitas. “Ini akan jadi kesempatan terakihr kamu van?” Eko menepuk pundakku seraya menunjuk ke lapangan utama tempat siswa baru berkumpul. Aku tersenyum kecut, paham betul apa yang ada di pikirannya. Aku menggeleng tak tertarik. Kutinggalkan Eko dan sejuta ide gilanya untuk menebar pesona di antara siswa kelas X. Semua sibuk dengan kegiatan perkenalan sekolah dan demo ekstrakurikuler di hari kedua nanti. “Bisa bantu demo futsal besok?” Anya menyodorkan bola futsal yang masih menyebarkan aroma baru. Aku enggan sementara Anya masih berkeras, dia adalah manager tim futsal kami disamping menjadi Pemimpin Redaksi majalah sekolah. Rapi, cekatan dalam bekerja dan tentu saja, cantik. Eko bilang meski Anya berpacaran dengan Dumas, ia menyukaiku sejak di kelas X, tapi entah mengapa aku tak pernah tertarik. “Cinta bukan urusan paras atau popularitas van, tenang lah aku yakin kau bukan hom*..” sahut Dumas dengan bijak, setidaknya pendapatnya bisa menenangkanku dari serangan Eko. Dumas benar, cinta bukan urusan paras apalagi popularitas. Anya memiliki keduanya, bahkan lebih. Tapi aku tak pernah bisa menyukainya lebih jauh.
Lapangan utama dipenuhi siswa baru yang duduk rapi melingkari pelataran depan tempat demo dilaksanakan. Anya masih berdiri di sampingku, mengantisipasi jika tiba-tiba aku berubah pikiran dan ingin ikut demo tim futsal. “Itu Pemimin Redaksi majalah sekolah yang baru..” Anya mengomentari demo majalah sekolah yang akhir-akhir ini memang tengah melonjak reputasinya. “Siapa namanya?” Eko menatapku keheranan demi mendengar aku menanyakan nama seseorang selain kapten futsal tim lain. “Maudy, namanya Maudy. Anak kelas XI Ipa dulu di kelas X.1. iya kan nya?” Eko menoleh meminta konfirmasi. Kutinggalkan Eko dengan segala ocehannya, bukan karena tidak tertarik tapi aku lebih senang mencari tahu sendiri dibanding harus mendapat kabar darinya yang pasti sudah diwarnai bumbu-bumbu agar aku tertarik. Demo majalah sekolah masih berlanjut saat aku mencoba lebih mendekat.
“Jika adik-adik kelas X berminat untuk bergabung bisa datang langsung ke sekretariat kami atau tunggu open recruitment dari majalah sekolah, terimakasih..” ia menutup demonya dengan sempurna, entah mengapa untuk pertama kalinya aku bisa tersenyum saat melihatnya tersenyum.
Pohon megah itu telah memekarkan bunganya berwarna merah jambu, membuat siapapun yang lewat ingin meliriknya. Lama kuamati bunga itu, beberapa masih kuncup di atas dan beberapa sudah berguguran. “Namanya Maudy..” seolah aku membisikkan namanya pada bunga-bunga yang kuncup agar segera bermekaran. Ada kebahagiaan yang melesap begitu saja secepat air meresap di tanah. Cepat namun menyejukkan dan menumbuhkan senyuman.
Angin lembut mulai berhembus mengiringi perjalanan pulang. Maudy ternyata begitu sederhana dari berbagai sisi. Aku semakin mengenalnya sejak Anya mengajakku ke perpisahan tim futsal yang mengundang semua ketua ekstrakurikuler dan hari ini dia berjalan tepat di sampingku dalam perjalanan pulang. “mau langsung pulang Mau?” sementara dia lebih banyak diam, aku justru lebih banyak berusaha untuk berbasa-basi. Sekalipun dekat aku tak pernah berhasil mengajaknya pulang bersama, ia lebih senang naik angkutan umum dibanding harus berboncengan denganku. Eko bilang aku harus mau berkorban untuk ikut naik kendaraan umum, entah ini ide bagus atau konyol tapi aku tetap mencobanya. “Hari ini aku ga bawa motor, lagi di bengkel..” mencoba berbasa-basi lagi, sementara dia hanya ber o-o datar. Naik angkutan umum ternyata tak begitu buruk, selain aku hanya ada seorang lelaki separuh bayu tertidur di pojokkan dan seorang ibu yang duduk di samping supir. “Maudy?” aku terpikir untuk mengajaknya pergi ke rumah Apple untuk mencoba pie apel bersama. “Maudy sih ga keberatan ka, asal baliknya ga terlalu sore..” aku tersenyum tanggung sementara dalam hati bersorak girang seperti ada regu marching band menggelar pawai sepanjang perjalanan menuju Rumah Apple.
Tante Marsha tertawa begitu aku memperkenalkan Maudy kepadanya. “Maklum Tante kaget lihat Ivan bawa teman perempuannya kesini, soalnya yang sering datang ya Eko, ya Dumas.. Tante seneng Maudy mau datang..” sambutnya sambil menggandeng tangan Maudy menuju ke saung kecil di tengah taman teduh. Dalam pikiranku Tante Marsha seperti bertemu calon istriku saja, bersemangat betul tingkahnya. Siang itu kuhabiskan dengan mengobrol tentang banyak hal, ternyata ia banyak bicara dan menyenangkan. Aku banyak tersenyum karena melihatnya banyak tersenyum juga. Kami pulang menjelang sore, tetap dengan angkutan umum. Ah, barangkali besok aku harus menjual motorku dan menggantinya dengan angkutan umum agar Maudy tak akan menolak tawaranku untuk pulang bersama. “Rumahku ke arah sana kak? Kakak ke sana kan?” aku tak bisa memaksakan untuk mengantarnya sampai ke depan rumah. Eko bilang kita jangan terlalu memaksa, nanti perempuan bisa takut dan justru menjauh dari kita. Jadi kuputuskan untuk berpisah dan memilih pulang ke rumah, setengah berharap besok bisa benar-benar mengantar tepat sampai di depan rumahnya, untung-untung diminta mampir.
Sudah seminggu lebih ninja kesayanganku terkapar di garasi. Saran Eko tak begitu buruk, kemarin aku berhasil mengantarnya sampai depan stasiun. Angin berhembus dingin menggugurkan bunga-bunga yang baru bermekaran. “Hari ini aku berharap bisa lebih lama dengannya..” bisikku seperti biasa. Eko dan Dumas sudah menunggu di depan kelas. “Ada kemajuan apa lagi nih?” terhitung satu semester sejak aku mengenal Maudy dan selama itu pula Eko rajin menanyakan perkembangan hubungan kami, mirip seorang ibu yang sedang mengawasi pertumbuhan balitanya. “sampai kapan begini sih van? Lama kelamaan kamu jadi mirip bodyguard nya yang selalu menemani pulang..” Dumas tertawa sinis. Aku hanya bisa tersenyum tanggung. Mereka tak mengerti, aku menyukai Maudy bukan sekadar ingin menjadikannya pacar, karena itulah selama ini tak pernah sekalipun aku berpacaran. Berbeda dengan Eko yang barangkali sudah memiliki pacar sejak di Taman Kanak-kanak. Aku lebih ingin menjaganya, mungkin itulah yang membuatku bahagia hanya dengan ada di sampingnya dan mengetahui ia baik-baik saja. Maudy nampak dikejauhan, menggunakan batik sekolah dan rambut hitam bergelombangnya yang dibiarkan tergerai menutupi bahu. Ia memiliki warna kulit kecoklatan dan mata yang indah, terlebih senyum di bibir mungilnya yang selalu menarikku untuk ikut tersenyum saat ia tersenyum. “Aku? Apakah aku benar-benar menyukainya?” entah mengapa pertanyaan itu terluncur begitu saja, aku merasa perasaan yang tumbuh itu lebih dari perasaan suka. Kami berjalan bersama ke luar gerbang untuk menunggu angkutan umum. “Hari ini aku akan mengantarkannya sampai ke depan rumah..” gumamku dalam hati sambil meresapi angin dingin yang membawa bunga merah jambu berguguran, menghiasi sepanjang perjalanan menuju ke luar sekolah.
“ada masalah Mau?” tanyaku saat wajah Maudy sedikit ditekuk. Eko bilang kita harus perhatian dan mencoba lebih dewasa dengan jalan memberinya nasehat saat ia sedang dalam kesulitan. Terkadang aku berpikir, definisi pacar dalam benak Eko itu mirip supir yang harus mengantar jemput, atau kakek-nenek yang rajin memberikan nasehat?. Maudy hanya membalasnya dengan senyuman, seolah menunda untuk mengatakan sesuatu. “Hari ini antar Maudy sampai rumah ya? Sekalian main, kan kak Ivan belum tahu rumah Maudy, bisa kan kak?” Aku mengangguk mantap. Kemajuan ini yang bisa aku pamerkan pada Eko dan Dumas besok siang. Aku tersenyum puas. Stasiun ramai dan sibuk. Ada yang pergi dan pulang, ada yang menunggu dan mengantar. Jika kemarin statusku hanya mengantar, sekarang aku sudah ikut mengantri membeli karcis tujuan terdekat. Maudy memberiku isyarat untuk berjalan lebih cepat, sementara aku tak ingin hari ini berlalu lebih cepat. Kami turun di pemberhentian pertama dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki di sepanjang trotoar yang sejuk oleh pepohonan. “Apa kak Ivan suka sama Maudy?” rasanya jantungku hampir berhenti berdetak mendengar pertanyaan mengejutkan itu. Lama, kami berdua terdiam. “Kak Anya bilang, kak Ivan suka sama Maudy?” Tak ada jawaban, kami melanjutkan perjalanan sampai berhenti di gerbang rumah ber cat putih. “Ini rumah Maudy, kak Ivan bisa datang kapan-kapan,” kami memasuki pelataran rumah bergaya tradisional dengan halaman yang cukup luas, ia mempersilahkanku duduk di bale taman belakang. Sepi. “Mama sama Papa lagi di luar..” katanya seolah dapat membaca pikiranku. “Kakak belum jawab pertanyaan Maudy?” ah, aku kembali dag-dig-dug, setengah hati berharap pertanyaan itu tak akan datang lagi. “Ngg.. Nggak ko, maksudnya ya Kak Ivan suka kamu sebagai teman, sama seperti Eko, Dumas atau Anya” Maudy tersenyum tanggung, nampak belum puas dengan jawabanku.
Cahaya matahari sore menyinari wajahnya, baru kusadari Maudy berbeda hari ini. Ia membuatku tak bisa tersenyum. “Udah sore Mau, kakak pulang dulu ya” pamitku.
“Kak Anya bilang dia suka sama kak Ivan, tapi lebih baik lihat kak Ivan bahagia. Kak Anya bilang kak Ivan suka sama Maudy. Apa itu lebih baik menurut kakak?” pertanyaan itu lagi. Aku berlalu dan menjawab pertanyaannya dengan senyuman, seperti kebiasaannya. Maudy.. sama sekali tak ada jawaban untuk pertanyaan itu, bahkan aku sendiri tak mengerti perasaan jenis apa yang sebenarnya tumbuh ini?
Eko dan Dumas seperti penjaga pintu kelas yang setiap hari menyambutku dengan senyuman khas karyawan minimarket. “Jadi ada kemajuan apa hari ini?” sekarang mereka jadi mirip manajer minimarket yang menanyakan perkembangan usahanya. Aku menggeleng lesu ingat kejadian kemarin. Bahkan hari ini aku lupa menyapa pohon di depan gerbang, dari depan kelas nampak pohon itu hanya menyisakan ranting-ranting yang kering.
Maudy tak masuk hari itu dan beberapa hari selanjutnya. Sakit. Aku menolak tawaran Eko dan Dumas untuk menengok ke rumahnya. Keesokan harinya sebuah pesan singkat dari Maudy datang. Isinya singkat betul, hanya memintaku untuk bermain ke rumahnya. Singkat tapi sulit. Selepas sekolah akhirnya aku memutuskan untuk datang. Kutolak tawaran Dumas dan Eko untuk ikut. “Maudy sakit apa?” seperti biasa ia hanya menjawabnya dengan senyuman. Ia memintaku untuk mengajaknya berjalan-jalan. “duduk di kursi roda itu bikin pegel ka..” ia mencoba bergurau meski ia terlihat masih lemah. Ia mengajakku melihat pohon yang sama seperti yang biasa kami lihat di gerbang sekolah. “Mirip pohon sakura ya kak? Nanti Maudy mau lihat pohon sakura yang asli..” Aku senang hari ini ia tak lagi menanyakan tentang perasaanku. Namun kurasakan hati kita saling berjanji untuk menjaga apapun yang kita rasakan saat itu. ‘Hey, aku menyayangi Maudy, simpan kata-kata ini, barangkali akan lebih bermakna jika kukatakan nanti..” bisikku sambil menatap pohon yang masih beranting kering, tanpa bunga.
Maudy masuk sekolah seperti biasa, dan hari-hari itu berlalu dengan indah sekaligus menyakitkan karena perpisahan yang semakin dekat. “Sebentar lagi semester akan berakhir, Eko benar, waktuku semakin sempit sekarang.” pohon itu mulai menampakkan calon-calon bunga kecil mirip serbuk putih menempel di ranting. Aku menunggunya hampir setiap hari, sejak sering sakit, Maudy tak lagi berangkat dengan angkutan umum, Papanya setiap hari mengantar dan menitipkannya padaku agar memastikan Maudy sampai di kelas tepat waktu, menemaninya saat istirahat siang dan menemani sampai Papanya datang menjemput. “Kapan kita bisa makan pie bareng lagi?” Hari itu ia menatapku dengan begitu meneduhkan. “Hari ini? Why not? biar aku antar kamu pulang pakai motor ya?” Tak biasanya, ia mengangguk mantap. Untuk pertama kalinya ia duduk di belakangku sambil terus tersenyum sepanjang perjalanan. Kami menghabiskan waktu bersama sampai senja tiba. “Rasanya Maudy ga mau pulang kak..” bisiknya saat perjalanan pulang. “Lagi ada masalah Mau?” tak ada jawaban dari belakang. Dari spion kulihat matanya terpejam damai.
Ujian Nasional, ujian sekolah dan ujian praktikum telah berakhir, perpisahan sekolah seminggu lagi. Eko dan Dumas membujukku memberi kejutan untuk Maudy. “Ini terakhir, kamu harus nembak Maudy..” Eko menggigiti handuknya karena kesal. Dumas berjanji akan mempersiakan amunisi yang kubutuhkan. Aksi ‘penembakan’ yang ada dalam benak mereka bagiku lebih mirip aksi penembakan sungguhan. “Maudy ga akan suka,” tolakku mentah-mentah, lagipula belum tentu Maudy akan datang, selama liburan ini dia sakit.
Aku baru bisa menjenguk selepas ujian. Seperti biasa ia akan memintaku datang untuk mengajaknya jalan-jalan, melihat bunga-bunga yang mulai muncul satu persatu. Tapi hari itu tak ada, yang ada hanya Papa dan Mamanya yang menyambutku dengan wajah lelah di bale taman belakang. “Maudy lagi istirahat, maaf ya dia selalu merepotkan kamu van..” Papa memulai pembicaraan saat kami mulai berjalan-jalan menyusuri pedesaan belakang. “Maudy anak baik, ceria dan.. yah, kamu kenal baik dia selama ini. Apa perasaan kamu sama Maudy?” ditanya seperti itu aku merasa sedang ujian calon menantu. “Apa Maudy yang..”
“Seandainya kamu suka sama Maudy, jangan pernah sia-siakan kesempatan yang ada. Kamu bisa bilang sekarang kalau dia sudah bangun nanti, besok atau lusa. Kalau susah bertemu kamu bisa mengatakannya lewat ponsel atau apapun. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada Ivan,.” Papa mengakhirinya dengan senyuman yang sangat dipaksakan. Aku tersenyum kecut, kesal tak mampu membaca situasi sebenarnya. Maudy sudah bangun saat kami kembali dari berjalan-jalan. Ia terlihat kelelahan, matanya tak bersinar seperti biasa, tapi senyumannya masih kuat untuk membangkitkan senyumanku. Aku pamit pulang tanpa menyampaikan apapun pada maudy selain ‘cepat sembuh ya, biar bisa datang ke perpisahanku..’
Bunga-bunga merah jambu itu mulai bermekaran indah, tapi tak ada sedikitpun kebahagiaan yang hadir saat melihatnya. “Kenapa aku ini? Hari ini hari perpisahan dan aku belum juga memutuskan apakah aku benar-benar akan menyatakan perasaanku pada Maudy..”. Perpisahan berlangsung meriah tapi kosong. Maudy tak hadir seperti dugaanku, lagipula ini perpisahan kelas XII jadi tak masalah jika kelas XI tak hadir. Eko dan Dumas mendengus kesal. “Aku tahu rumahnya mas, ko.. lagipula kampus ku kan ga begitu jauh..” sanggahku saat untuk kesekian kalinya mereka menyuruhku menemui Maudy. “Papa dan Mamanya Maudy datang taukk!” Eko menjewer kupingku, kesal.
“Maaf Maudy ga bisa datang van, dia harus banyak istitahat..” Mama mengelus pundakku, wajahnya nampak lelah.
“Sebenarnya Maudy sakit apa sih Ma? Pa?” tanyaku saat diperjalanan menuju rumah Maudy. Mama dan Papa hanya saling menatap, sama sekali bukan jawaban yang memuaskan. Dumas dan Eko juga saling menatap bingung. Pelataran rumah sepi, Maudy sedang istirahat di kamar. “Apapun perasaan kamu sama Maudy, sekarang waktunya kamu bilang van..” Mama membisikku dengan mata berkaca-kaca. “Kami akan pindah ke Jepang, seminggu lagi..” aku terhenyak, jadi ini yang dimaksud tak ada lagi kesempatan? Harus memanfaatkan kesempatan dan keadaan apapun. Aku menjadi kesal sendiri memikirkannya.
Pohon disini pun mulai berbunga. Warnanya merah jambu seperti tahun lalu, tak banyak yang berubah dari pohon ini tapi telah begitu banyak hal yang berubah dariku. Jalan yang kulalui akan segera berganti warna. Aku tak mengerti kemana harus melangkah. Sekalipun Eko, Dumas, Mama dan Papa menyarankan agar aku berbicara dengan Maudy tapi aku merasa belum bisa memutuskan, sementara lusa Maudy akan segera berangkat ke Jepang.
“Warna bunganya tak pernah pudar sampai ia gugur, jadi kita bisa melihat keindahannya dari dekat.” Anya berdiri di sampingku, memungut helai bunga yang jatuh. “Seandainya perasaanmu sekuat yang kamu bayangkan, pasti Maudy tahu tanpa kamu bilang.” Anya tersenyum yakin.
“Hey.. hari ini dia akan pergi, aku juga. Aku akan mengajaknya kesini suatu hari nanti, saat bunga-bunga mu bermekaran seperti ini lagi..” angin berhembus dingin, bunga berguguran tertiup angin mengantarkanku melangkah di jalan yang baru. Mengingatkanku saat berjalan bersamanya di bawah hujan bunga-bunga berguguran. Bandara ramai, ada yang pergi, datang, menunggu dan tentu saja mengantar. Eko dan Dumas nampak dikejauhan melambaikan tangan, memberiku isyarat untuk bersegera. Maudy duduk di kursi roda seperti biasa. Ia tersenyum meski tatapan matanya nampak kosong. “Maudy? Apa kabar? Kamu bisa lihat bunga sakura sungguhan di Jepang nanti..” aku berlutut di sampingnya. Ia menatapku dengan wajah penuh tanda tanya meski senyum tak pernah luntur dari wajahnya. Terasa asing, gadis di hadapanku terasa asing. Aku menatap Mama dan Papa meminta jawaban, tapi selalu hanya senyuman yang kudapatkan. “Kalau aku tak bisa menyusul, sisipkan sehelai bunga sakura untukku, aku ingin melihat keindahannya dari dekat. Aku sayang Maudy.. aku pasti bisa melihat bunga sakura dari dekat, bersama Maudy..” bisikku saat Maudy mulai beranjak. Ia tersenyum teduh tanpa mengucapkan sepatah katapun. Oh, lihatlah aku tak bisa melihatnya seperti biasa lagi.. Mama menyelipkan sebuah bungkusan ke jaketku sebelum mereka berangkat. Maudy, kita akan menjalani hidup kita masing-masing.
Kami bertiga meninggalkan bandara dengan menumpang taksi, kubuka bungkusan dari Mama, berisi kaset rekaman dan sebuah buku berwarna merah jambu dengan hiasan helai bunga sakura. Kuputar rekaman itu sesampainya di rumah. Ada suara Maudy di ujung sana. “Kak Ivan, apa kabar? Apa bunga-bunga merah jambu sudah bermekaran?. Kak, selagi Maudy bisa mengingatnya Maudy ingin mengucapkan terimakasih. Seandainya bisa Maudy tak mau sedikitpun melupakannya. Saat bersama teman-teman dan bersama kak Ivan. Di depan gerbang sekolah di bawah bunga merah jambu. Saat di rumah apel, sampaikan salam Maudy untuk Tante Marsha, sekarang Maudy masih bisa mengingat rasa pie apelnya tapi nanti pasti sulit. Begitu kata dokter, Maudy ga akan bisa mengingat apapun. Kak? Selagi Maudy ingat, Maudy mau meminta maaf seandainya nanti waktu kita bertemu Maudy tak bisa mengingat siapa kakak, segala jasa dan kebahagiaan yang pernah kakak berikan untuk Maudy. Terakhir, Maudy sayang kakak, terimakasih sudah jadi kakak yang baik. Jangan sayangi Maudy lebih dari seorang adik karena Maudy juga tak ingin menyayangi kak Ivan lebih dari seorang kakak, karena meski saling menyayangi pada akhirnya juga kita tak akan pernah bisa seperti kak Dumas dan kak Anya. Iya kan? Kalau bunga di depan sekolah mulai gugur, ambil satu untuk Maudy, karena Maudy juga tak akan ingat untuk melihat sakura sungguhan, apalagi menyimpannya, sakura yang abadi. terimakasih ka, Maudy sayang kak Ivan, sayang sekali. Mulai sekarang kita akan bertahan hidup dengan cara kita masing-masing, kita pasti bisa kak. Pasti. Sayonara..” Aku menggenggam erat kaset dan buku merah jambu itu. Kau tahu ini sakit sekali rasanya, mencoba bertahan? Sungguh memulai itu sulit Maudy, sangat sulit. Kamu tak akan ingat ya? Kalau begitu biar aku yang mengingatnya, cukup aku saja yang mengingat saat bunga merah jambu itu tumbuh perlahan, mekar saat kubisikkan namamu dikuncupnya, gugur dan lembut menyentuh kulit bersama angin berhembus saat kita melewatinya.
10 tahun lalu kita pernah berdiri disini, saling tersenyum dan merasakan kebahagiaan, menyusuri trotoar yang teduh dan saling meyakinkan tanpa kata-kata bahwa kita memang saling menyayangi. Gerbang rumah yang berganti. Seperti katamu, semua akan tetap bertahan hidup, termasuk pohon ini yang tetap bisa memekarkan dan menggugurkan bunga merah jambunya. “Hey.. aku tak bisa membawanya kesini, ia memiliki kehidupannya sendiri tanpa bisa mengingatku lagi..” bisikku pada bunga merah jambu yang berguguran.
Cerpen Karangan: Widia Ayu Lestari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar