Aku berjalan seorang diri, menerobos beberapa kerumunan orang di tempat ini. Entah kenapa, perutku terasa mual setiap kali aku melihat keramaian seperti ini. Aku juga tak tau, angin apa yang membawaku ke tempat ini. Tempat yang sebelumnya belum pernah ku jamah sekalipun. Pasar malam. Ya, sekarang aku sedang berada di tengah hiruk-pikuk tempat yang hanya dibuka di malam hari ini.
BRUK
Aku sedikit terhuyung ke belakang saat ku rasakan tubuhku baru saja menabrak sesuatu. Ku angkat kepalaku untuk melihat benda apa yang telah ku tabrak tadi. Mataku seakan terkunci pada satu objek di depanku ini. Lidahku seperti bertulang, hingga aku tak bisa mengatakan apapun. Detik waktu seakan berhenti, berhenti disini. Saat aku melihat sorot teduh mata bulatnya.
Gadis ini. Sepertinya aku tak asing dengan wajahnya. Tapi siapa?
Gadis ini. Sepertinya aku tak asing dengan wajahnya. Tapi siapa?
“Maaf mas, maaf.”
Lagi lagi ku temukan keanehan pada diriku saat mendengar suaranya. Hatiku berdesir. Oh Tuhan, ada apa denganku.
“Mas nggak papa kan? Atau ada yang luka?” aku masih terdiam. Mencerna kata demi kata yang terlontar dari bibir tipis itu. Astaga. Apa yang aku pikirkan. ‘Tidak.. tidak!’ tampikku dalam hati.
Bukankah aku ini orang yang sangat tak percaya dengan hal-hal berbau cinta. Buktinya saja, selama aku hidup di dunia ini aku belum pernah sekalipun mengecap rasanya berpacaran. Menurutku, aku masih terlalu muda untuk merasakan itu. Muda? Iya memang aku masih muda. 16 tahun. Bukankah itu tergolong masih muda? Tapi terkadang aku heran, kenapa Bundaku sepertinya ingin sekali melihatku pacaran. Bukankah pacaran itu dilarang agama?
Lagi lagi ku temukan keanehan pada diriku saat mendengar suaranya. Hatiku berdesir. Oh Tuhan, ada apa denganku.
“Mas nggak papa kan? Atau ada yang luka?” aku masih terdiam. Mencerna kata demi kata yang terlontar dari bibir tipis itu. Astaga. Apa yang aku pikirkan. ‘Tidak.. tidak!’ tampikku dalam hati.
Bukankah aku ini orang yang sangat tak percaya dengan hal-hal berbau cinta. Buktinya saja, selama aku hidup di dunia ini aku belum pernah sekalipun mengecap rasanya berpacaran. Menurutku, aku masih terlalu muda untuk merasakan itu. Muda? Iya memang aku masih muda. 16 tahun. Bukankah itu tergolong masih muda? Tapi terkadang aku heran, kenapa Bundaku sepertinya ingin sekali melihatku pacaran. Bukankah pacaran itu dilarang agama?
“Reihan, kapan kamu bawa pacarmu ke rumah. Bunda kan pengen lihat.”
Hampir setiap hari aku dicekoki pertanyaan itu oleh Bunda. Dan aku hanya mengedikkan bahu untuk menanggapinya. Wanita memang ribet.
Eh, malah jadi ngelantur. Back to gadis manis yang barusan ku tabrak itu. Dia menatapku dengan kerutan di keningnya. Aku pun begitu.
Hampir setiap hari aku dicekoki pertanyaan itu oleh Bunda. Dan aku hanya mengedikkan bahu untuk menanggapinya. Wanita memang ribet.
Eh, malah jadi ngelantur. Back to gadis manis yang barusan ku tabrak itu. Dia menatapku dengan kerutan di keningnya. Aku pun begitu.
“Kamu.. baik-baik aja kan?” aku sedikit berjengit saat tangan gadis itu mengibas di depan wajahku. Ada perasaan aneh lagi. Dentuman jantungku semakin tak terkendali saja. Aku bingung. Aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini, tapi rasanya sulit. Kakiku seperti tak bisa digerakkan.
“Kak Lea, ayo kesana kak.”
Aku dan gadis itu sentak mengalihkan pandangan ke bawah, tepatnya ke arah seorang gadis kecil yang baru saja menghampiri kami.
“Iya sayang, ayo kesana.” Aku kembali menatap gadis itu. Suaranya sangat lembut. Mirip Bunda. Apa-apaan ini.
Aku dan gadis itu sentak mengalihkan pandangan ke bawah, tepatnya ke arah seorang gadis kecil yang baru saja menghampiri kami.
“Iya sayang, ayo kesana.” Aku kembali menatap gadis itu. Suaranya sangat lembut. Mirip Bunda. Apa-apaan ini.
“Maaf ya yang tadi.” Ucap gadis itu seraya menatapku. Entah sadar atau tidak yang jelas aku merasakan kepaku bergerak. Mengangguk.
Untuk beberapa saat aku masih terdiam. Hingga suara kembang api yang menggelegar di langit mengejutkanku. Dan saat itulah aku baru tersadar, gadis itu sudah menghilang di balik kerumunan orang.
“Lea.” Gumamku pelan. Gadis itu bernama Lea.
“Lea.” Gumamku pelan. Gadis itu bernama Lea.
—
“Rei, mau kemana malem-malem? Tumben.” Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bunda.
“Mau kencan yaa?” ku tolehkan kepalaku ke samping. Ada kak Diana yang sedang pacaran dengan laptop pinky kesayangannya. Dia kakak perempuanku satu-satunya. Kakak usil yang selalu mengangguku. Dia tak berbeda dengan Bunda. Selalu saja mengejekku karena belum punya pacar. Dia juga sering menjodoh-jodohkan aku dengan teman-temannya. Tentu saja aku menolak. Mana mungkin aku pacaran dengan tante-tante.
“Bukan urusanmu.” Tukasku singkat. Aku segera menghampiri Bunda yang sedang duduk di dekat jendela.
“Bunda, aku pergi dulu. Assalamualaikum.” Pamitku seraya menjabat tangan Bunda dan menciumnya.
“Uuhh, manis sekali anak Bundaa.” Ejek kak Dian. Aku hanya meliriknya sebal. Dia malah tertawa. Segera saja aku berjalan keluar.
“Mau kencan yaa?” ku tolehkan kepalaku ke samping. Ada kak Diana yang sedang pacaran dengan laptop pinky kesayangannya. Dia kakak perempuanku satu-satunya. Kakak usil yang selalu mengangguku. Dia tak berbeda dengan Bunda. Selalu saja mengejekku karena belum punya pacar. Dia juga sering menjodoh-jodohkan aku dengan teman-temannya. Tentu saja aku menolak. Mana mungkin aku pacaran dengan tante-tante.
“Bukan urusanmu.” Tukasku singkat. Aku segera menghampiri Bunda yang sedang duduk di dekat jendela.
“Bunda, aku pergi dulu. Assalamualaikum.” Pamitku seraya menjabat tangan Bunda dan menciumnya.
“Uuhh, manis sekali anak Bundaa.” Ejek kak Dian. Aku hanya meliriknya sebal. Dia malah tertawa. Segera saja aku berjalan keluar.
—
Tempat ini lagi. Aku datang kemari lagi untuk kedua kalinya. Ya, pasar malam lagi. Entahlah, sejak tadi siang tiba-tiba aku ingin sekali ke tempat ini. Tak ada motif apapun. Sungguh.
“Mas, aromanis mas. Dijamin manis mas.” Aku menoleh ke samping, ke arah penjual aromanis tepatnya.
“Saya beli satu, mas” ujarku seraya merogoh saku. Ku keluarkan selembar uang sepuluhribuan.
“Mas, aromanis mas. Dijamin manis mas.” Aku menoleh ke samping, ke arah penjual aromanis tepatnya.
“Saya beli satu, mas” ujarku seraya merogoh saku. Ku keluarkan selembar uang sepuluhribuan.
—
Aku berhenti di depan sebuah kios. Aku lelah. Entah sudah berapa lama aku disini, hanya jalan-jalan tanpa tujuan. Gadis itu tak datang, pikirku. Baiklah, mungkin gadis itu memang benar-benar tak datang. Aku tak boleh mengharapkan hal-hal aneh seperti itu lagi. Ku angkat tanganku, aromanis ini masih utuh. Tak ku jamah sedikit pun.
‘Bodoh. Untuk apa aku membeli makanan seperti ini.’ Gumamku pelan.
‘Bodoh. Untuk apa aku membeli makanan seperti ini.’ Gumamku pelan.
“Pokoknya aku mau aromanis. Titik!!”
Aku menoleh ke belakang saat ku dengan suara anak kecil berteriak dan menangis. Ya Tuhan. Gadis itu datang. Benar. Itu gadis yang sama. Bersama gadis kecil itu lagi.
“Tapi Fah, aromanisnya udah ngga ada. Udah abis semua.” Gadis itu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang ia panggil ‘Fah’ itu. Dipeluknya gadis kecil itu. Ia benar-benar baik, seperti Bunda.
Aku berjalan mendekati mereka. Entahlah, kakiku seperti ditarik untuk menghampiri mereka. Ku sodorkan sebungkus besar aromanis yang sedari tadi ku pegang. Ku lihat gadis kecil itu terbelalak. Matanya sangat bulat, lucu sekali.
“Ini buat Ifah?’ Tanya gadis kecil itu dengan logat anak-anak yang sangat menggemaskan. Aku ikut berjongkok. “Iya, ini buat Ifah. Jangan nangis lagi ya.” Bujukku. Apa-apaan ini, kenapa aku jadi suka anak kecil begini.
“Ah, nggak usah repot-repot mas.” Gadis itu berdiri dan merebut aromanis yang ada di tangan Ifah. Ia mengembalikannya padaku. Mungkin gadis itu khawatir kalau-kalau aku ini adalah orang jahat yang hendak menculik anak dengan iming-iming sebungkus aromanis. Huh, apa tampangku sejahat itu.
“Aku bukan orang jahat kok. Tadi aku beli ini, tapi kayaknya aku ngga doyan. Jadi, buat adikmu aja.” jelasku meyakinkan, aku ikut berdiri. Ku berikan lagi aromanis itu pada Ifah. Dengan cekatan Ifah mengambil aromanis itu dan segera memakannya.
Aku menoleh ke belakang saat ku dengan suara anak kecil berteriak dan menangis. Ya Tuhan. Gadis itu datang. Benar. Itu gadis yang sama. Bersama gadis kecil itu lagi.
“Tapi Fah, aromanisnya udah ngga ada. Udah abis semua.” Gadis itu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang ia panggil ‘Fah’ itu. Dipeluknya gadis kecil itu. Ia benar-benar baik, seperti Bunda.
Aku berjalan mendekati mereka. Entahlah, kakiku seperti ditarik untuk menghampiri mereka. Ku sodorkan sebungkus besar aromanis yang sedari tadi ku pegang. Ku lihat gadis kecil itu terbelalak. Matanya sangat bulat, lucu sekali.
“Ini buat Ifah?’ Tanya gadis kecil itu dengan logat anak-anak yang sangat menggemaskan. Aku ikut berjongkok. “Iya, ini buat Ifah. Jangan nangis lagi ya.” Bujukku. Apa-apaan ini, kenapa aku jadi suka anak kecil begini.
“Ah, nggak usah repot-repot mas.” Gadis itu berdiri dan merebut aromanis yang ada di tangan Ifah. Ia mengembalikannya padaku. Mungkin gadis itu khawatir kalau-kalau aku ini adalah orang jahat yang hendak menculik anak dengan iming-iming sebungkus aromanis. Huh, apa tampangku sejahat itu.
“Aku bukan orang jahat kok. Tadi aku beli ini, tapi kayaknya aku ngga doyan. Jadi, buat adikmu aja.” jelasku meyakinkan, aku ikut berdiri. Ku berikan lagi aromanis itu pada Ifah. Dengan cekatan Ifah mengambil aromanis itu dan segera memakannya.
“Aku Reihan.” Ucapku seraya menjulurkan tangan ke arahnya. Bermaksud ingin berjabat. Tapi ternyata dia tak meraih tanganku, dia hanya tersenyum dan sedikit membungkuk. “Aku Leana.” Ujarnya pelan.
“Ya Tuhan, dia benar-benar gadis yang berbeda.” Gumam batinku.
“Ya Tuhan, dia benar-benar gadis yang berbeda.” Gumam batinku.
DRTT DRTT
Ku rasakan ada sesuatu yang bergetar di saku celanaku. Ponsel.
Bunda? Ada apa Bunda menelponku?
“Iya, Bun. Ada apa?”
“…”
“Ya ya, aku pulang sekarang.” Ku tutup sambungan telpon dan kembali ku masukan ponselku ke saku.
“Aku pergi dulu.” Ucapku pada Leana. Dia mengangguk dan tersenyum. Aku balas tersenyum, lagi-lagi dia mengingatkan aku pada Bunda. Senyuman itu begitu mirip dengan senyuman Bunda.
“Kakak, makasih ya.” Ku tundukan kepalaku. Aku tersenyum dan mengangguk, ku usap lembut kepala Ifah. Dia juga tak kalah cantiknya dengan Leana.
“Aku harap, besok kita bisa ketemu lagi. Leana.” Batinku seraya berjalan.
Bunda? Ada apa Bunda menelponku?
“Iya, Bun. Ada apa?”
“…”
“Ya ya, aku pulang sekarang.” Ku tutup sambungan telpon dan kembali ku masukan ponselku ke saku.
“Aku pergi dulu.” Ucapku pada Leana. Dia mengangguk dan tersenyum. Aku balas tersenyum, lagi-lagi dia mengingatkan aku pada Bunda. Senyuman itu begitu mirip dengan senyuman Bunda.
“Kakak, makasih ya.” Ku tundukan kepalaku. Aku tersenyum dan mengangguk, ku usap lembut kepala Ifah. Dia juga tak kalah cantiknya dengan Leana.
“Aku harap, besok kita bisa ketemu lagi. Leana.” Batinku seraya berjalan.
—
Malam ini aku kembali lagi ke tempat ini. Pasar malam. Untuk ketiga kalinya ku injakan kedua kakiku di tempat ramai ini. Ku tahan mualnya perutku demi untuk melihat gadis itu. Leana. Semoga saja aku bisa bertemu lagi dengannya.
Seperti biasa, aku berjalan mengelilingi tempat ini. Sekedar melihat-lihat tanpa ada sedikitpun niatan untuk mencoba permainan-permainan yang tersedia. Aku tersenyum saat melihat beberapa anak kecil sedang merengek meminta dibelikan mainan pada Ibu mereka.
Seperti biasa, aku berjalan mengelilingi tempat ini. Sekedar melihat-lihat tanpa ada sedikitpun niatan untuk mencoba permainan-permainan yang tersedia. Aku tersenyum saat melihat beberapa anak kecil sedang merengek meminta dibelikan mainan pada Ibu mereka.
Ku edarkan pandanganku ke sekeliling. Berharap menemukan kedua gadis itu. Aku tersenyum saat ku lihat gadis kecil itu. Ifah. Dia sedang berlari-larian. Tapi sepertinya ada yang aneh. Dia menangis? Benarkah begitu? Ku sipitkan mataku agar lebih jelas melihatnya.
Benar, Ifah menangis. Aku segera berlari mengejarnya. Ku hentikan langkahku saat mataku menangkap pemandanganan yang benar-benar mengenaskan. Mataku terasa panas. Jantungku berdentum tak karuan. Seluruh persendianku terasa lemas.
Benar, Ifah menangis. Aku segera berlari mengejarnya. Ku hentikan langkahku saat mataku menangkap pemandanganan yang benar-benar mengenaskan. Mataku terasa panas. Jantungku berdentum tak karuan. Seluruh persendianku terasa lemas.
“Tabrak lari mas.” beberapa orang berlarian.
“Kak Lea, bangun kak! Bangun kak! Jangan tinggalin Ifah.” Ku dengar gadis kecil itu terus menangis dan berteriak histeris. Dengan langkah gontai, ku dekati kerumunan orang itu. Menatap tak percaya pada sesosok gadis yang tergeletak tak berdaya dengan darah mengucur dari beberapa bagian tubuhnya. Leana?
Aku tersadar dan kupercepat langkahku. Ku suruh beberapa orang untuk membantuku membawa Leana ke rumah sakit.
Aku tersadar dan kupercepat langkahku. Ku suruh beberapa orang untuk membantuku membawa Leana ke rumah sakit.
—
“Leana!!”
Aku tersentak dari tidurku. Apa ini? Apa aku baru saja bermimpi? Ku usap keningku yang terasa basah.
“Rei, udah bangun? Sana cepetan siap-siap ke sekolah. Udah siang.” ku palingkan wajahku ke arah pintu. Itu Bunda. Aku menggaruk tengkukku, aku bingung. Benarkah itu tadi hanya mimpi? Leana? Gadis itu terasa sangat nyata.
“Kok malah ngalamun?” aku berjengit mendengar suara Bunda. Sedetik kemudian aku bergerak turun dari ranjang. Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi.
“Leana.. Leana..” gumamku seraya berjalan.
Aku tersentak dari tidurku. Apa ini? Apa aku baru saja bermimpi? Ku usap keningku yang terasa basah.
“Rei, udah bangun? Sana cepetan siap-siap ke sekolah. Udah siang.” ku palingkan wajahku ke arah pintu. Itu Bunda. Aku menggaruk tengkukku, aku bingung. Benarkah itu tadi hanya mimpi? Leana? Gadis itu terasa sangat nyata.
“Kok malah ngalamun?” aku berjengit mendengar suara Bunda. Sedetik kemudian aku bergerak turun dari ranjang. Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi.
“Leana.. Leana..” gumamku seraya berjalan.
END
Cerpen Karangan: Asri P. Astuti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar