Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Tembok Kilometer

Orang bilang, cinta adalah anugrah terindah bagi manusia. Dengan bertemunya sepasang manusia yang tidak saling kenal awalnya, menciptakan pertemanan, menjalin kasih, lalu berpisah.
Orang bilang, cinta adalah hal terkuat yang tidak bisa memisahkan dua hati. Lah, lalu mengapa terjadi perpisahan? Perceraian contohnya.
Bohong. Semua omong kosong. Tidak ada yang abadi, bahkan manusia pun memiliki masa kadaluarsa. Begitu juga dengan cinta. Don’t trust too much with love.
Sepertinya, kita sering kali disengaja untuk menonton film layar lebar ataupun sinetron ataupun serial drama yang ceritanya romantis dan mudah ditebak. Perempuan bertemu laki-laki, mereka berkenalan, berteman, jalan-jalan mengitari dunia hingga lelah, beristirahat di sebuah hubungan yang kelemit rumit, menaikkan kaki ke pelaminan, lalu hidup bahagia. Klasik. Tapi begitulah realita dalam sebuah drama.
Hai. Kita terlalu tinggi dalam berimajinasi. Khayalan-khayalan bahkan kekuasaan mimpi yang tidak bisa lagi ditangkap oleh logika. Semua seperti dejavu, katanya. “Ya, aku pernah begini”, kata seorang gadis yang selalu menganggap dirinya paling sedih sedunia. No, you’re not alone.
Hidup memang berpasang-pasangan. Kaya-miskin, tua-muda, panjang-pendek, hidup-mati, dan… pria-wanita. Memang begitulah adanya. Dunia, dunia… semua bisa bersatu karena cinta, katanya?
Bagi sepasang sejoli yang telah yakin bahwa diri mereka adalah jodoh yang dipersatukan Tuhan, cinta tak dapat memisahkan segalanya. Mereka yakin bahwa segala masalah dalam dunia bisa mereka selesaikan secara berdua, bersama. Bahkan mereka rela mati bersama demi menunjukkan bahwa cinta mereka abadi. Tuhan, apa sesederhana itukah cinta?
Sampai kapanpun, akan ada pertanyaan mengenai apa itu cinta sejati dan si penjawab akan kebingungan. Apa yang akan dijawab jika kenyataannya tidak ada yang namanya kesejatian di dunia ini selain Tuhan?
Baiklah. Cinta adalah sesuatu yang tidak dapat dideskripsikan bahkan diukur. Ia berada dalam keadaan di bawah alam sadar manusia. Tidak tahu darimana asalnya dan berakhirnya. Yang diketahui hanyalah bagaimana ia tersampaikan pada jiwa yang bersedia menerimanya apa adanya, bukan ada apanya. Dan, hanya orang-orang yang memiliki hati dan kepekaanlah yang bisa merasakan dan memiliki cinta. Adakah yang ingin cintanya diterima dan terbalaskan? Semua orang menginginkannya, pasti.
Ada kalanya, dimana cinta tidak bisa mengalahkan segala sesuatu yang ada di hadapan kita. Apapun itu. Kau tahu? Jarak adalah salah satunya. Percuma rasanya, cintaku telah hilang karena jarak.
Jarak telah berhasil mengubah dan menggilakan semua yang aku rasakan. Mengubah pola pemikiran dan membuatku semakin gugur dalam kerinduan yang tak pernah sampai tepat waktu.
Aku mengenal Adith baru tiga bulan, melalui media sosial yang aku tahu itu adalah dunia maya yang memiliki perbedaan besar dan jauh lebih berbeda dengan dunia nyata. Namun, waktu berkata lain. Kami dipertemukan di sebuah seminar kesehatan di Jakarta. Kami berkenalan dan melanjutkan hubungan yang lebih jauh. Dan hubungan yang jauh itu pun membuat kami terpaksa ikut berjauhan. Saat itu, Adith harus tinggal di Tokyo untuk beberapa tahun. Lalu, apa masalahnya? Hanya perbedaan waktu yang membebani di antara pikiran-pikiran konyol dua sejoli ini. Lalu, apalagi?
Ternyata, benar.
Aku tidak bisa memahami pikiranku sendiri, bahkan untuk memikirkan Adith seperti biasa pun aku susah. Banyak sekali memori bahkan beban yang melintas. Kekhawatiran akan kesanggupan dan tanggung jawab kesetiaan adalah hal-hal yang menjadi komitmen.
Memang, komitmen yang dimiliki oleh Adith sungguh besar. Dan aku percaya bahwa tidak akan ada perempuan bahkan siapa pun yang mendekatinya selain aku, keluarganya, dan rekan kerjanya. Toh aku mengenali rekan-rekannya, kok. Lalu apalagi?
Aku bahagia mengenal Adith. Pria dengan gelar dokter gigi yang sedang melanjutkan studinya ke Tokyo itu adalah satu-satunya pria yang tidak pernah menjanjikan aku apa-apa selain masa depan dan kebahagiaan selagi ia masih bisa membahagiakanku. Aku pun tidak pernah meminta hal-hal aneh dan aku tak pernah merogoh kantongnya untuk kepentinganku sendiri.
Tujuh bulan setelah kami berpacaran, Adith kembali ke Indonesia untuk berlibur sejenak dari studinya. Ia sengaja menemuiku dan orang tuaku. Untuk pertama kalinya, seorang pria menghampiriku dan meminta izin kepada orang tuaku agar ia diizinkan untuk menjalin hubungan denganku. Ibuku tidak berkata apa-apa, begitu juga dengan ayah. Mereka hanya menitip pesan agar Adith menjagaku hingga kapan pun, memintanya untuk tidak menyakitiku dan menuntunku untuk menjadi wanita yang baik seutuhnya. Adith pun menyanggupi.
Masih terngiang di telingaku apa saja yang Adith katakan saat itu dan apa yang ia lakukan padaku. Adith mengatakan bahwa ia akan mencintaiku secinta mungkin, sesekali ia mencium keningku dengan lembut dan menggerai rambutku. Kami tertawa geli di bawah langit malam itu. Tidak ada yang lain selain kami. Hanya desiran ombak dan hembusan angin laut. Sesekali terdengar gesekan anak kepiting melintas.
“hihihihi” aku tertawa geli dan Adith memelukku, erat.
Adith berkemas dan siap berangkat. Aku memandangi punggungnya dengan kerisauan. Entahlah, aku rasa akan ada kerinduan yang dalam di antara kami. Aku apalagi. Aku mengelus dada dan berusaha kuat. Bola mata Adith mengarah padaku, menatapku dalam dan tersenyum. Aku tahu, Adith tidak rela meninggalkanku.
Usia hubungan kami menginjak satu tahun. Satu tahun tanpa jarak dan tanpa perdebatan. Tidak satupun hal yang kami jadikan alasan pertengkaran. Kami bahagia. Kami bahagia jika kami bersama.
Adith memelukku untuk yang keberapa kalinya. Aku tahu, ia akan merindukanku di setiap waktunya. Wajar saja, selama ini akulah yang selalu menemaninya sesibuk apapun. Ah. Aku meminta kesabaranku ditambahkan lebih lebih lagi, Tuhan.
“Jaga diri kamu baik-baik, Sa. I’ll be missing you every second. I miss you, I’ll miss you. Don’t worry, I won’t make you sad and cry. I’ll be back soon, and marry you. Don’t worry, Hun.” Adith menggenggam tanganku erat dan merangkul hingga menyentuh dadanya.
“Yakinkan aku bahwa kamu ga akan kecewain aku, Dit. Buat aku percaya bahwa kamu gak akan nyeleweng dengan perempuan lain, bahkan dengan mantan-mantan kamu. Aku tunggu kamu sampai dua tahun. Doakan selalu hubungan kita. Aku sayang kamu.” Aku menangis dalam pelukan Adith. Aroma vanilla-nya sungguh melekat dalam tubuhku. Aku tidak akan lupa dengan aroma ini, bagaimana pun.
Adith pun terbang ke Tokyo.
Sampai jumpa, sayang.
“Dr. Sesa Paramitha” panggil seorang suster di bagian informasi di sebuah klinik tempatku bekerja.
“Ada apa, suster?”
“Ada telepon dari Dr. Adith”
Aku tersenyum, segera aku jawab sapaan dari telepon.
“Halo ibu dokter, apa kabar?” suara Adith terdengar lebih berat.
“Halo! Kamu sakit? Aku baik-baik aja. Kenapa gak nelfon ke handphoneku aja sih?” dengusku.
“Aku lagi gak pake handphone, aku lagi kurang fit, jadi aku mengurangi pendengaran dari speaker handphone. Kamu baik-baik aja kan? Kerjaan juga kan?”
“Kamu bawel! Aku udah berapa kali bilang jaga makan dan kurangi minuman dingin, katanya kamu dokter tapi kamu sendiri sakit. Pasien lebih membutuhkanmu! Ya, ya, ya… pekerjaan dokter begini-begini saja. Aku baru saja memeriksa kandungan pasien.”
“Siap bu dokter! Ok kalau begitu, selamat bekerja my endless love.” Adith mematikan teleponnya. Ada rasa bahagia yang bergetar. Aku merindukanmu, Dit.
Siang ini klinik tampak sepi, apa ibu-ibu hamil tidak merasakan getaran dalam perutnya?
Sesaat mataku tertuju pada bingkai-bingkai yang berada di atas meja kerjaku. Ya, pria itu memang selalu tersenyum kapanpun. Dan kuarahkan pandanganku pada bingkai paling besar yang tergantung di tembok belakang tubuhku. Ah. Adith memang pria idaman. Wajahku dan wajah Adith di foto itu sungguh bahagia. Aku ingat, kami saat itu sedang berada di Bali. Liburan akhir tahun di saat anniversary hubungan setahun kami.
Kapan pulang, Dit? Aku mendengus sabar.
Untuk pertama kalinya kami bertengkar. Tidak ada komunikasi antara aku dan Adith. Ini memasuki hari ketiga kami tidak bertegur sapa melalui telepon genggam. Apa yang terjadi sebenarnya?
Aku menganggap ini semua adalah kesibukan Adith yang tak sempat mengabariku, bahkan tidak satupun pesan yang ia balas. Aku mencoba menganggapnya enteng. Keadaan akan berakhir, aku percaya itu.
Aku melanjutkan pekerjaanku. Konsentrasiku buyar, ada hal lain yang aku pikirkan selain pasien yang memasuki usia kandungan ke 8 ini. Aku benar-benar lelah. Aku memutuskan untuk menutup klinik dan pulang ke rumah. Aku yakin akan menemukan ketenangan disana meskipun keberadaan Adith tak ada.
From: Sesa
To: Adith
Adith. Kamu dimana? Balas pesanku. Aku merindukanmu, sayang.
Cepat ku-klik tombol send dan aku menghela nafas. Semoga Adith membalasku, setidaknya ia ingat bahwa ini adalah tanggal jadian kami. Tepat satu setengah tahun usianya. Dan kami tetap terkurung jarak. Aku menatap kosong langit kamar, menunggu pesan hingga tertidur.
From: Adith
To: Sesa
Selamat malam sayang, maaf kesibukanku membuatmu khawatir. Aku juga merindukanmu. By the way, I love you so much. Selamat satu setengah tahun, calon istriku!
Aku terbangun dan melihat pesan dari Adith. Syukurlah, legaku. Aku tahu, Adith tidak akan lupa.
Entah mengapa, hubungan kami tak sebagus dulu. Kami mulai sering melakukan perdebatam yang tak penting dan membuat keduanya kesal. Aku memecah tangis dalam kerinduan dan Adith lebih memilih diam. Ia tak pernah bisa menjawab pertanyaanku.
“Kapan kembali? Ini sudah memasuki dua tahun. Mana kepulanganmu tak juga aku temui?” tanyaku keras pada Adith. Adith tak pernah bisa menjawab. Aku memilih untuk sabar.
Hari demi hari berlanjut. Adith tak juga bisa menjelaskannya. Atau sebaliknya, atau bagaimana, aku tidak mengerti.
“Dit! Kamu gak bisa terus-terusan menggantungkan hubungan kita yang sudah memasuki dua tahun lebih. Sudah dua tahun kamu berada di Tokyo, tidak pulang dan jarang sekali menghubungiku. Apa yang terjadi?”
Kudengar ia menarik nafas sedalam-dalamnya.
“Entahlah, Sa” Adith menjawab. Akhirnya, ia menjawab setelah berbulan-bulan pertanyaanku tak pernah terjawab. Meskipun kegelisahan dan kebingungan terselimuti dalam pikirannya, aku kenal jelas bagaimana Adith.
“Aku gak bisa, Sa. Aku gak bisa terus-terusan begini.”
“Begini bagaimana, Dit?” Suaraku semakin bergetar. Aku meremas selimutku dan berharap bahwa aku baik-baik saja.
“Karena orang lain? Karena perempuan Tokyo? Atau mantanmu?”
Aku semakin berkeras.
“Lalu mantanmu memintamu untuk memutuskanku dan kembali padanya? Dia lagi? Mau apalagi dia?”
Tubuhku semakin bergetar. Ya Tuhan, apakah ini waktunya?
“Bukan.”
“Lalu? Perempuan Tokyo?”
Adith tersentak. Tidak kudengar suaranya, bahkan hembusan nafasnya. Adith. Kamu kenapa?
“Sesa!” Adith mengejutkanku.
“Kamu terlalu jauh buat aku. Tokyo-Indonesia begitu jauh! Aku ga bisa!”
Aku terkejut. Aku memejamkan mataku, menahan tangis dan rasanya kedongkolan dalam hati ini semakin besar. Aku melupakan derajatku sebagai wanita. Tidak, biarlah kali ini aku mengemis untuk kepentingan hati. Bukan, ini tentang aku dan Adith lebih tepatnya.
Aku merasakan kamar ini berputar dan segala isinya roboh tak tentu lagi bagaimana bentuknya. Aku merasakan sinyal-sinyal kekalahan akan menghampiriku. Aku tidak boleh menyerah.
“Jadi, hanya karena itu?”
“Ya. Jauh. Jauh. Jauh. Jauh. Sangat jauh.” Adith menghela nafas.
“Kamu harus tahu, pria mana yang tidak tergoda melihat wanita lain berada di sampingnya. Aku mencoba setia, namun manusiawinya adalah pria butuh pengertian wanita secara nyata.”
“Adith… kamu…” aku kembali menangis.
Lalu kenapa kalau berjauhan? Apakah perhatian dan pengertianku kurang selama ini? Apakah ada hal buruk yang akan terjadi setelah ini?
Adith kembali tak bersuara. Atau sebaliknya atau bagaimana, aku mengetahui penjelasannya. Ia percaya bahwa pria membutuhkan wanita. Apakah ia tak tahu bahwa wanita membutuhkan hal yang sama? Dokter gigi satu itu konyol. Aku mencoba menghibur diri.
“Dit, kamu harus tahu bahwa aku juga membutuhkan hal yang sama. Namun aku memilih menunggu dalam kesetiaan dan bersedia menunggu hingga kau pulang. Apa yang aku dapat setelah sekian lama aku menunggu? Hanya kekecewaan dan kebohongan yang aku dapatkan.”
“Sesa..”
“Kau bilang akan menikahiku setelah studimu lulus, dan kau akan pulang dengan segera. Aku mempercayai segala ucapanmu yang mengatakan tak pernah akan mengecewakanku dan membuatku sedih. Namun dalam tiga bulan terakhir ini hanya tangis dan kekecewaan yang kau hadiahkan. Apakah itu kurang sakit? Lalu kau ingin lebih dari itu?”
“Sesa. Maafkan aku.”
Sinyal terputus. Tidak ada lagi yang bisa kudengar. Hanya kegelisahan dan angin malam yang tak pernah bisa menggantikan keadaanku mala mini.
Aku meminta pertanggungjawabanmu atas cinta yang aku simpan untukmu. Tapi sama sekali tak kau risaukan. Entahlah, aku seperti menuntut atas hal ini. Wajar saja, kan?
Jauh. Jauh. Dan jauh. Hanya itulah yang ada di pikiranmu. Harusnya aku yang mempermasalahkan itu semua, bukan kamu. Dan seharusnya jarak tak menjadi masalah bagi pasangan yang percaya bahwa kesetiaan itu adalah kenyataan.
Enam bulan sudah lamanya hubunganku dan Adith berakhir. Aku dengar, Adith kembali ke Indonesia bulan depan. Ia telah menyelesaikan studinya dan ia menggunakan waktu sebulan untuk berlibur di China. Bersama siapa, aku tak tahu dan tidak akan pernah tahu lagi.
Apa kabar, Dit?
Aku mengadah pada langit biru yang sekiranya bisa menyampaikan salamku pada Adith.
Aku tahu, Adith merindukanku juga.
Aku memperhatikan seluruh isi rumahku. Ini adalah rumah yang baru saja aku beli dengan penghasilanku bertahun-tahun menjadi dokter. Rumah minimalis dengan halaman yang luas menjadikan rumah ini nyaman dan bersuhu dingin.
Aku duduk di cafĂ© table di pantry. Hah… seandainya Adith disini bersamaku, pasti kami tengah bercerita mengenai pola hidup sehat dan keturunan yang baik. Dan sesekali kami membahas tentang rencana masa depan dan anak-anak kami kelak. Sayangnya, itu hanyalah bayangan yang hanya selalu menjadi bayangan. Tanpa realisasi. Apa kabar, Adith? Aku meneguk cappucinno hangatku.
“Ses, ada salam dari mamanya Adith. Sore ini beliau ngajak kamu makan disana.” Ibu menatapku dan tersenyum. Ada kecemasan dibalik senyum Ibu. Ya, aku tahu itu.
Aku mengangguk. Aku anggap saja aku akan menghadiri undangan dari keluarga Adith. Entah ada rencana apa, aku tidak mengerti. Semoga saja aku bisa bertemu Adith.
Di rumah Adith, aku menemui Bu Resni, ibunya Adith. Ada Nela juga, adiknya Adith. Rumah ini masih seperti pertama kali aku kesini, sepi, hanya ada kicauan burung peliharaan Adith dan ayahnya. Masih ada lukisan yang dilukis oleh Adith di ruang tamu. Masih ada Moly, kucing peliharaan Nela yang selalu menggemaskan. Aku memilih untuk berbincang-bincang dengan Bu Resni di teras rumahnya.
Sebuah mobil CR-V berwarna hitam berhenti di depan rumah. Turun seorang pria dengan kemeja biru membawa tas kerja. Aku menarik nafasku dalam-dalam. Ya Tuhan, apa kabarnya sekarang? Pria itu menutup pintu. Dan… AH! Siapa itu?
Adith membuka pintu mobil sebelah kiri dan kulihat high heels berwarna biru tua dan betis yang putih. Kutenangkan pikiranku, kembali aku berbincang-bincang dengan Bu Resni. Pikiranku entah kemana. Ingin aku pulang, namun rasa segan menghampiriku.
“Kalau aku jahat, aku akan pergi dari sini. Ini adalah bentuk penghormatanku kepada Bu Resni, kau mengecewakanku, Dit.” Kesalku dalam hati.
“Adith, kamu sudah sampai, Nak.” Bu Resni memeluk Adith. Adith mencium tangan ibunya. Perempuan di sebelahnya terlihat anggun dengan senyumnya.
“Aku rasa wanita ini berkelas dan sosialita sekali.” Pikirku keras. Aku menebar senyum palsu di depan keduanya.
“Eh, Ses. Apa kabar?”
“Baik”
“Ma, kenalin. Ini Rana.”
“Rana” Ia tersenyum di depan Bu Resni. Begitu sebaliknya.
Hatiku semakin sakit ketika melihat Adith mempersilahkan Rana masuk, dengan tangannya yang melingkar di pinggang Rana. Sakit.
Nafsu makanku menghilang. Kepalaku berputar-putar. Kakiku sulit digerakkan. Aku merasakan titik rendahku kembali. Aku merasa sulit bernafas, ditambah melihat kemesraan Adith dan Rana di meja makan.
Aku memilih pulang lebih dulu dengan alasan akan ada keluarga yang ingin datang ke rumah. Adith mengantarkanku hingga depan pintu.
“Dit. Itu pacar baru kamu?”
“Hm.. bukan, Sa… ah ya begitulah” Adith berusaha menghindar.
“Mesra ya?” Aku mengulas senyum.
“Ah. Tidak. Sa, kamu pulang sendiri?”
“Ya. Rumahku sudah pindah.”
“Sa. Maafkan aku.” Adith berusaha meraih tanganku.
“Buat apa?”
“Semuanya.”
“Sudahlah, lupakan. Apa kau dan Rana juga LDR?”
“Hm.. Iya, Sa.”
“Oh. Katamu tak sanggup LDR? Lalu ini apa? Memang benar adanya, bukan hanya jarak yang memisahkan kita ya, namun juga hati yang tidak pernah mencintai dengan tulus dan ketidaksabaran yang kau miliki. Berbahagialah.” Aku melangkah menuju mobilku. Deru tangisku didengar oleh Adith namun tak ia gubris sedikit pun.
Ya, begitulah cinta. Ada kebohongan di dalamnya. Aku memilih untuk pergi, bahkan aku harus melupakan. Apa gunanya kesetiaan? Jika dikhianati dengan kebohongan. Rasanya klasik, diputuskan kekasih hanya karena jarak dan ternyata ada permainan di baliknya.
Aku sudah berkali-kali disakiti, lalu ini kejadian menyakitkan yang keberapa kalinya?
Aku tak pernah percaya bahwa cinta itu adalah hal abadi yang dimiliki sepasang manusia. Cinta itu konyol. Harusnya, cinta itu dijalani dengan sabar dan ikhlas.
Sejak saat itulah, aku mencoba tidak begitu mempercayai perasaan. Bahkan aku tak ingin sembarangan mengucap cinta. Tidak ada lagi yang bisa kupercaya. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara dalam hitungan detik.
Rasanya aku mati rasa. Tidak ada lagi perasaan cinta yang aku miliki untuk saat ini. Entah kapan bisa aku kembalikan keadaanku. Semua terasa menyakitkan, Adith, Rana, Jakarta, Tokyo, bahkan semuanya.
Kupijak pedal gas sekuat-kuatnya. Aku berharap aku bisa keluar dari sini. Keluar dari kehidupan Adith.
Cerpen Karangan: Hesty Indah Pratiwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar