Sabtu, 16 November 2013

Cerpen - Siapa Dia?

Sesak nafasku sesaat melihat seseorang sedang menggenggam tangannya dengan erat, berambut ikal panjang, tinggi semampai, cara berjalannya bagaikan macan lapar saja. Hanya berdua di taman dekat rumahku, tempatku dan dia biasa bertemu. Dan kali ini dia tak bersamaku, namun bersama seorang wanita yang tak aku kenal. Padahal hari ini ia ada janji untuk bertemu denganku disini. Taman yang biasanya terlihat indah dan sejuk, kini terasa kering kerontang dan panas karena pemandangan yang baru lima detik ku lihat dengan dua bola mataku ini.
Aku terduduk lemas di bangku ayunan yang biasa kugunakan untuk bercanda dengan wahyu. Di samping pohon cemara, yang tertutupi oleh pohon mangga. Sesaat fikiran negatifku menjulang tinggi ke atas ketika aku lihat hal ini, hatiku terasa seperti sedang diiris lalu dikucuri oleh jeruk nipis. Otakku penuh dengan darah panas yang mengalir sangat deras, di penuhi oleh fikiran negatif yang tak bisa di logika, jantung yang aku punyai sudah berdetak sangat kencang, yang kurasakan sekarang badanku mulai lemas dan tak kuat berdiri.
Siapa dia? Yang berjalan di samping Wahyu. Aku tak percaya dia tega melakukan hal ini padaku, sampai disinikah cintanya padaku? Yang setiap hari ia berkata sumpah bahwa ia mencintaiku dan tak akan pernah melepaskanku walaupun segalanya terjadi, ucapan-ucapan manis yang selalu dilontarkannya padaku. Janji setianya yang tak akan pernah ku lupakan seumur hidupnya, bahwa hatinya telah buta kepada perempuan manapun selain aku. Sumpah Qur’an yang di lakukannya di depanku hingga berulang sampai lima kali terucap dari mulutnya. Apakah kupingku ini telah rusak karena salah mendengar bahwa ia sudah bersumpah semanis itu, sehingga aku sungguh terlalu mempercayainya hingga sekarang ini.
Setelah kemarin malam aku di antarkannya ke rumah sakit karena sakit lambung yang ku derita, yang masih tergambar jelas bayangan ia kemarin di waktu ia mengantarkan aku ke ruangan yang berwarna putih, yang ia selalu saja memaksakan dirinya untuk ikut mengantarkan aku masuk ke ruangan itu hanya karena ia ingin mengetahui makanan apa sajakah yang tak boleh ku makan di waktu aku lemah seperti itu, dan ia bertanya secara mendetail mengenai penyakitku, obat yang harus di tebus ke apotek di tanyai nya pada dokter secara menyeluruh, dan ia mencatatnya. Di apotek manakah ia harus membeli, di jam berapakah ia harus datang ke rumahku untuk memastikan apakah aku sudah meminum obat secara sempurna, ia tau semua hal yang harus dilakukannya, ia tau semuanya tentangku.
Sepulangnya aku di suapinya dengan semangkuk cemoe dan dua buah kue kimyen isi ayam kesukaanku dengan penuh perhatian. Di saat aku mulai mual dan makanan yang aku makan akan keluar dari perutku, ia selalu menegakkan leher dan badanku, kepalaku tak boleh di tundukkan, masih teringat dengan jelas saat itu tangan kirinya memegangi daguku agar aku tetap tegak dan aku tak menunduk, hal itu membuat aku tak jadi memuntahkan semua yang ku makan. Tangan kanannya memegang tanganku dengan halus, agar aku kuat menahan rasa mual ku ini. Dengan kata-kata lucunya, agar aku tertawa dan terhibur sehingga aku bisa melupakan rasa sakit yang ku derita ini. Beberapa menit setelah itu aku tak lagi merasakannya, mual yang tadi kurasakan hilang karena kata-kata lucunya yang setiap detik mengiringi aku bernafas dan membuatku seakan-akan aku sehat sekali. Setelah rasa itu hilang, ia kembali menyuapiku dengan kata-kata lucunya lagi seperti, “6513 disini pilot helikopter tanpa baling-baling, ngeeng… ngeeeng… helikopter ini kehabisan bahan bakar dan akan segera mendarat di goa terdekat, harap bersiap… ciaa..!!”. kalimat itulah yang di ucapkannya ketika ia menyuapkan satu sendok cemoe ke mulutku.
Sendok dan mangkok cemoe itulah yang menjadi saksi bisu perhatiannya terhadapku. Ia selalu melarangku pergi-pergi yang tidak begitu penting bagiku, ia selalu marah sekali jika aku melanggarnya, tapi ia selalu perhatian padaku jika terjadi sesuatu yang menimpaku seperti sekarang ini. Ia melarangku karena ia kuatir dengan kondisi yang sekarang ini ku derita. Jika ia melarang sesuatu kegiatanku, itu pasti ada alasan dan maksudnya agar tak terjadi apa-apa dengan keadaanku. Pernah sesekali aku melanggarnya, tapi sesuatu yang tak di inginkan benar terjadi padaku. Dan ia tau apa yang harus di lakukannya padaku jika terjadi hal ini.
Ia paham segala hal mengenaiku, mulai dari kebiasaanku, tabiatku, kepribadian yang kumiliki hingga semua mengenai hal-hal yang ku benci ataupun hal-hal yang ku sukai. Ini kan yang di maksud dengan perhatian dan kasih sayang? Ini kan yang disebut-sebut semua orang yang sedang jatuh cinta sebagai “pengertian”? Bukankah ia sangat menyayangiku dengan bukti yang sudah jelas tergambar seperti itu?. Pertanyaan semacam inilah yang sekarang ini melanda otak dan fikiranku, ada saja prasangka buruk dan pertanyaan aneh yang selalu saja bermunculan di otakku sekarang.
Benarkah dia menyayangiku? Bersungguh-sungguhkah sumpahnya itu di hadapanku? Atau hanya ucapan manisnya agar aku percaya dengannya? Agar ia dapat mengelabuhiku dengan mudah? Mungkinkah benar seperti itu? Tapi tentang pertanyaan mendetail tentang penyakitku? Tentang obatku? Dan usahanya memegangi daguku agar tetap tegak? Helikopter tanpa baling-baling yang kehabisan bahan bakar?.
Ah .. apa ini? Fikiran apa ini, apa maksud dari semua ini. Otak macam apa yang ku punyai ini? Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lebih baik aku pulang saja daripada terus menangisi suatu fikiran yang sekarang sedang mengguncang otakku, dan aku sekarang harus kuat berdiri. Ya, berdiri dari ayunan ini. Aku sudah berdiri, dan selanjutnya aku akan membalikkan badan dan menganjakkan kaki meninggalkan semua kenanganku bersamanya.
Selamat tinggal sayang semoga kau bahagia bersamanya. Mungkin dia memang lebih baik dariku, dan satu yang perlu kau tau bahwa air mata ini adalah air cinta kasihku padamu yang takkan pernah kering selamanya walaupun aku tak memilikimu lagi. Aku sangat menyayangimu, selamat tinggal sayangku. Kau kan selalu ada di hatiku, dan cinta ini tak akan pernah pudar walaupun di telan waktu. Ingatlah sayang, di saat kau pergi dengan yang lain aku rela menjauh demi kebahagiaanmu. Namun jangan pernah berfikir, aku akan membencimu. Dan disaat kau merasa kesepian, datanglah padaku karena kebahagiaanku bukan di saat memilikimu, tetapi di saat melihat senyum dan tawamu.
Tolong bantu aku melupakan semua kenangan ini, aku tak sanggup berdiri dan meninggalkan tempat ini. Aku pasti bisa, aku harus berusaha menghapus air mata ini. Dan sekarang aku sudah membalikkan badan, hanya tinggal membuka mataku perlahan lalu menghapus air mata kepedihan ini. Berat sekali rasanya, ku tak sanggup membukanya. Hancur sudah perasaanku jika ku buka mata ini. Namun perlahan mulai terbuka, iya aku bisa, aku tak boleh menyerah begitu saja, ayolah mengeringlah air mataku. Dan sekarang ku sudah membuka mataku dan…
“happy birthday to you…”
“happy birthday to you…”
“happy birthday, happy birthday, happy birthday lovely…”
“selamat ulang tahun…”
“selamat ulang tahun…”
“selamat ulang tahun sayang.. selamat ulang tahun..”
“tiup lilinnya.. tiup lilinnya.. tiup lilinnya sekarang juga, sekaraaanng juuuga, sekaraaaang jugaa…”
“potong kuenya.. potong kuenya, potong kuenya sekarang juga, sekaraaang juuuugaaa…”
Tepuk tangan dari semua teman-teman wahyudi bersama dengan wanita bertubuh tinggi semampai itu, dan semua pertanyaanklu terjawab sudah yang ternyata adalah ibu kandung wahyudi yang baru saja pulang dari Saudi Arabia, ikut mengiringi tetesan air mataku yang sudah tak sanggup lagi ku menahannya, terus mengalir. Namun saat ini bukan tetesan air mata kepedihan lagi, melainkan tetesan air mata kebahagiaan.
Cerpen Karangan: Dwi Damayanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar