Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Cintaku Tak Semanis Brownies Cake

Buku diary menjadi saksi bisu atas kesedihan yang masih tak mampu kuluapkan dengan kata-kata. Benarkah ini? Benarkah hati ini telah rapuh? Di bawah teriknya matahari kurasakan sebuah kehangatan tangan bergerak menyentuh tangan kananku. Menyelipkan jari-jarinya di sela jari-jariku dan menggenggamnya dengan erat. Aku menoleh kepadanya, demikian dengan dia. Hembusan angin tersayup-sayup seiring dengan sebuah nyanyian yang keluar dari bibir manisnya. Suaranya yang serak basah tertangkap jelas oleh telingaku. Aku tersenyum kaku. Ada semacam perasaan bahagia di hatiku. Hingga sempat membuatku sedikit salah tingkah. “Akhirnya..” ujarku setelah genggaman tangannya dilepaskan, yang membuat lidahku sempat kelu beberapa saat. Ibunya tersenyum kepadaku dari arah garasi ketika beliau hendak pergi. Boy menatapku sambil tersenyum. Senyumnya tulus membuatku semakin nyaman berada di dekatnya.
Aku tahu, aku hanyalah gadis mungil yang tak pernah berhenti bermimpi. Aku hanyalah satu dari ribuan bahkan jutaan gadis mungil yang punya mimpi. Tiap goresan tinta kehidupanku adalah angan dan impianku ke depan. Aku bukan gadis yang terlahir seutuhnya meraih cinta dan kesuksesan di awal perjuangan. Aku hanya berusaha agar mimpiku tidak redup, karena sebagian dari nafasku kuperjuangkan untuk meraih semua mimpi-mimpiku.
Ku balik satu persatu lembar buku yang menumpuk di meja belajarku. Bersanding dengan segala peralatan sekolah, aku mulai membaca. Mataku meneliti kalimat demi kalimat yang terpampang di bukuku. Dari belajarlah aku ingin suatu hari nanti mimpi dan anganku akan benar-benar menjadi nyata. Dan kelak bisa membuat orang tuaku bangga melihatku sukses dan bersanding dengan orang yang ku sayang. Tak hanya belajar aku juga berdo’a kepada Allah agar diberi kemudahan di setiap jalanku.
Perlahan kubuka laptop yang terbaring di meja kamarku. Ku buka sebuah foder yang berisikan foto-foto aku dengan Boy pada saat ulang tahunnya yang ke 16 tahun. Malam itu di PDAM tepat di sebelah baratnya gemericik air PDAM berjatuhan, dengan dibantu teman-temanku aku mulai memasang lilin-lilin kecil yang akan dilekatkan pada lantai sehingga terbentuk sebuah hati yang terlihat indah menyala.
Tak berselang lama, Boy pun datang bersama dengan temannya. Lalu Devi segara menutup mata Boy dengan sehelai kain “lepas… ampun” teriak Boy dengan lantang. “Sudahlah diam, nurut saja kamu” sahut Devi. Devi segera menuntunnya dan membantu Boy berjalan hingga tepat di depan lilin-lilin yang telah menyala itu. Satu.. dua.. tiga.. matanya mulai terbuka dan Boy tersenyum pasrah karena terkejut. Aku dan teman-teman menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan Boy berdo’a sejenak lalu meniup lilin yang tertancap rapi di atas brownies cake yang kubawa. Sesudah lilin mati, aku berkata kepadanya “maaf ya aku ngak bisa memberi apa-apa, dan ini buat kamu.. “prraaak..!” sebuah telur yang ku hantamkan tepat di dahinya. “Aaaa..” teriak Boy dengan keras. Boy mual-mual karena bau telur yang amis itu. “Hahaha makan itu telur” ucap Devi. Aku segera menggandeng tangannya dan kusuruh Boy untuk membersihkan kotoran itu dengan air di pancuran kecil. Sembari menunggu Boy aku beristirahat di tempat duduk dekat pancuran itu. Setelah bersih Boy segera menghampiriku dan duduk di sebelahku. “Terima kasih ya kejutannya ini gak akan ku lupakan” ucap Boy sambil memandangku. “Iya sama-sama Boy” jawabku dengan nada pelan.
Malam itu aku bercanda tawa dengannya, bahkan krim kue ku goreskan di pipinya. Namun Boy membalas dengan memotong sedikit kue lalu ia suapkan kue itu kepadaku. “Andai kamu tahu perasaan ini Boy, aku sangat bahagia bila setiap hari seperti ini” ucapku dalam hati. Sempat kejadian itu membuat iri teman-temanku yang saat itu sedang bersamaku. “Aku juga pengen” teriak mereka dengan manja yang sedang duduk sekitar dua meter di depanku. “hehehe” aku hanya senyum tersipu malu.
Sejenak aku terdiam dengan pandangan mata kosong. Teringat akan kabar-kabar tentang Boy yang katanya punya pacar baru. “Woy!” teriak Boy tepat di telingaku yang membangunkanku dari lamunan itu. Dengan reflek aku melontarkan pertanyaan kepada Boy “kamu punya pacar?” “pacar? Tidaklah aneh-aneh saja kamu ini” jawabnya dengan cepat. “Alah yang bener, bohong kan?” sahutku. “Tidak aku tidak bohong” jawab Boy sambil meyakinkan aku. Aku masih belum puas, ku tanyakan lagi “punya pacar kan?” Boy hanya terdiam sambil menatapku. “Kenapa diam? Jawab Boy!” dengan nada sedikit kesal aku mendesaknya sambil menari-narik lengan bajunya. Boy menghela nafas panjang dan berkata “maaf ya, benar aku memang punya pacar tapi aku tidak ingin kamu tahu” Ucapan itu seperti petir yang menyambar seluruh isi hatiku. Aku pun tertegun galau ketika ia berucap demikian. Aku tak percaya. Benar-benar tidak percaya. “Aku pacaran kerena terpaksa, awalnya aku hanya ingin menggoda, tapi aku terlanjur berkata cinta padanya, dan ceweknya menjawab iya” jelas Boy kepadaku. Mencoba untuk tetap tegar, aku kembali bertanya “sejak kapan?” “tanggal 12 bulan 12 tahun 2012” jawab Boy sambil menyembunyikan mukanya. Hatiku tersayat. Rasanya semua tubuhku membeku dan tak bisa berkata-kata lagi. Angin membawa lamunanku melayang menembus langit senja. Padahal ketika di malam tahun baru itu Boy mengucap janji kepadaku ia ingin menghabiskan malam tahun baru bersamaku. Namun semua itu telah hilang begitu saja. Sakit, sakit sekali rasanya. Aku bisa merasakan tetes air mataku lembut mengalir pelan melewati kelopak mataku. Berjalan pelan menuruni pipi merahku. Ya aku kecewa. Aku kecewa ketika menerima kenyataan ini. Aku kecewa atas semua kebohongannya. Aku menghela nafas panjang dan kemudian kusuruh Boy untuk segera pulang. Karena apabila semakin lama aku bersama Boy, batinku semakin sakit dan tersiksa. “Semoga bahagia” ucapku terakhir sebelum Boy pulang. Raut wajahnya terlihat bingung. “Aku tak ingin pulang sebelum melihat kamu tersenyum lagi” ucap Boy. Tak banyak pikir, Ku tarik perlahan bibirku dan tersenyum kepadanya.
Aku hanya satu dari ribuan dan harapan yang nyaris menghilang. Berkali ku alami pahitnya kegagalan dan kesedihan. Pedihnya di campakkan dan pilunya di kucilkan oleh orang yang ku sayang. Namun aku tetap berusaha berdiri dan tetap tegar. Inilah kisahku, kegagalan yang tak pernah ada habisnya. Namun dari situlah aku bisa belajar bersabar dan terus belajar, agar kelak semua harapan dan impianku bisa terwujud bahagia bersama orang-orang yang ku sayangi terutama kedua orang tua. Aku ikhlas dan akan merelakan sesuatu yang memang bukan untukku, mungkin itu yang terbaik. Dan dari situ lah aku bisa menemukan pelajaran yang sangat berharga di balik kegagalanku. “Di lain hari aku yakin pasti Tuhan mempertemukanku dengan laki-laki yang benar-benar mencintaiku dengan tulus”.
Cerpen Karangan: Anita Diah Aprilia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar