Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Hanya Dua Tanda Baca

Hampir jam dua pagi. Mataku masih terjaga. Aku hanya berbaring di atas ranjang di bawah langit-langit. Masih berusaha melelapkan diri, tapi lelap tetap tak menyapa. Aku insomnia. Sudah hampir sebulan ini aku mengidap syndrome ini.
Gara-gara kebanyakan cafein? Tidak. Aku alergi kopi.
Gara-gara nark*ba? Tidak mungkin. Itu benda asing bagiku.
Gara-gara tertekan? Kepikiran sesuatu? Mungkin saja.
Malam ini, atau lebih tepatnya pagi buta ini. Rasa sesal itu datang lagi seperti malam-malam kemarin. Bergentayangan, mencemooh ketololanku. Menyalahkan keputusan cerobohku dulu. Dia selalu sukses membuatku menggila. Menangis sendiri, tertawa sendiri, menari sendiri, menyanyi sendiri, mengobrak-abrik seisi ruangan sendiri. Sampai pagi. Sampai aku tersadar saat pukul sepuluh pagi. Aku terbangun dan tak tahu kapan aku mulai terlelap.
Malam datang lagi. Lampu kamar sudah padam. Rasa sesal itu mulai bergentayangan lagi. Dia tak cuma gentayangan, dia semakin kurang ajar. Dia datang membawa memori kelam. Aku seolah melihat film dengan tokoh utama diriku yang tolol.
Episode baru insomnia dimulai.
Aku melihat diriku dan cintaku. Peristiwa dua tahun lalu. Kau berlutut, menanyakan kesediaanku untuk menikah denganmu. Speechless, Aku hanya mampu mengangguk untuk menjawab. Senyum merekah, tangis haru membuncah. Jari manisku semakin manis setelah cincin melingkar di situ. pelukan hangatmu menutup prosesi itu. Bunga-bunga bertebaran dalam imajiku.
Aku tersenyum sendiri mengingatnya.
Aku melihat diriku dan egoku. Peristiwa dua tahun lalu. Pria botak itu datang dengan sejuta pesona. Tubuh sempurna, wibawa, serta sorot mata gagah. Tanganku menjabat tangannya, aku tahu namanya, aku dapat nomor telponnya.
Sprei sudah amburadul. Bantal entah kemana. Aku mulai menggila!
Dua bulan setelahnya, aku terperosok ke dalam pesonanya. Aku jatuh cinta. Dia memang sosok pria sempurna. Mampu menjagaku. Mampu membuatku merasa berarti. Mampu memompa libid*ku walau tanpa menanggalkan busana. Aku tak lagi bercincin. Hatiku sudah kuberikan padanya, dan kau aku tinggalkan. Aku bicara tentang ini kepadamu. Lalu Kau hanya bisa merelakan, kau bilang ‘asal kamu bisa bahagia, jalanilah!’
Aku tertawa kecut. Rambutku sudah tak berbentuk. Berteriak. Aku tambah menggila!
Aku melihat diriku dan sesalku. Kejadian empat bulan lalu. Semua terbongkar!
Aku murka. Gelas pecah. Tangis tumpah. Aku rasa aku memang gila.
Pria botak itu ternyata sudah berkeluarga. Istrinya melabrakku saat kami kencan. Aku merasa tertipu. Aku merasa dihianati. Merasa bersalah. Aku benar-benar menyesal sudah meninggalkanmu dan memilihnya. Sejak saat itu aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati. Aku jadi merasa bersalah dengan dirimu. Kenapa pria sebaik dirimu harus merasakan sakit yang seperti ini? dasar tolol!
Aku menangis sendiri. Air minum ku tumpahkan ke kasur. Tubuhku basah, ranjangku basah, pipiku basah oleh air mata.
Engkau seharusnya tidak aku tinggalkan. kau terlalu baik untuk merasakan rasa sakit yang menyayat hati seperti ini. aku ini memang monster paling kejam! Aku merasa jadi manusia paling berdosa. Aku malu, kenapa Aku baru menyadari semuanya sekarang? Saat sesal memaksa diriku untuk kembali ke pelukanmu.
Kalender robek. Aku teriak. Vas bunga pecah. Pundakku bergetar, tangisan dan sesal semakin menjalar.
Aku hanya ingin kembali ke pelukanmu. Aku ingin bersujud meminta maaf. Aku ingin cincin itu kembali memaniskan jari manis. Tapi semua sudah berbeda, keadaan sudah berubah. Kau tidak mau melihat batang hidungku lagi. Bagimu, aku ini makhluk najis yang harus dijauhi.
Pukul dua belas malam. Rasa sesal masih menyiksaku dengan memori yang dibawanya. Air mata masih deras. Aku berbaring, mencoba tidur. Sayang, mataku lebih memilih mengucurkan air mata daripada tertutup dalam lelap.
Pukul satu pagi. Pundakku bergetar hebat. Aku merabah telepon genggam. Zacky, namamu terpampang di layar bersama deretan angka. Aku masih menyimpan nomor teleponmu.
Jika memang kembali ke pelukanmu adalah hal mustahil, paling tidak aku bisa tahu keadaanmu sekarang. Itu saja. aku ingin memastikan kalau kau bahagia sekarang. Aku ingin kau tersenyum lepas. Bukan merasakan sakit karena ulahku.
Aku memandang layar lama. Aku ingin menelponmu. Menanyakan keadaanmu. Memohon maaf padamu. Setelah nafas panjang dan sekahan air mata, nada tunggu terdengar. Aku nekat menelponmu!
Tut… tut… tut… “Halo?” aku mendengar suaramu. Air mata meleleh lagi.
“Halo?” kau balas menyapa. aku tidak tahu harus berbicara apa. Bibirku bergetar. Lidahku terasa kelu. Aku seperti bisu.
“Halo?” suaramu mengeras. “siapa ini?” Aku bisa mendengar jelas suaramu!
“Halo?” lalu putus.
Tidak aku sangka, ternyata bicara denganmu tidak mudah. Entah apa yang terjadi padaku. aku hanya bisa menangis, tersenyum, gembira saat mendengar suara khasmu. Meski hanya sebatas kata singkat berbunyi ‘Halo’.
Sebenarnya, aku hanya ingin meminta maaf, menanyakan kabar, tapi apa? Mulutku seolah terkunci, saat aku berusaha mengucapkannya, tak sepatah kata pun keluar. Hanya isakan tangis yang keluar entah kenapa.
Aku beruntung. Saat ku telepon, dia masih belum tidur. Masih bisa mendengar suaranya. Apa dia juga insomnia sepertiku?
Pukul dua, pukul tiga, pukul empat, pukul lima. Aku hanya diam, sesekali tertawa, sesekali menangis, sesekali membanting apapun yang ada dalam radiusku. Aku dikendalikan sesal, aku dibuat gila oleh sesal. Karena aku sungguh-sungguh menyesal.
Ini adalah episode insomnia terpanjang. Aku sama sekali tak terlelap sampai mentari menggusur gelap.
Pukul enam. Aku masih belum tidur sejak semalam. Sesal itu tak kunjung reda. Kantuk pun tak punya daya untuk mengusirnya.
Kamar seperti kapal pecah. Hati seperti piring pecah. Mata seperti galon tumpah. Sesal ini masih terus menyiksaku. Aku bangkit, membuka gorden dan melihat mentari. Tapi apa yang terjadi, kaca jendelaku pecah. Aku memukulnya. Aku semakin menggila dan menggila. Tanganku berdarah, bercak darah berceceran, tapi aku mati rasa. Luka itu tidak berasa. Apa aku beneran gila?
Pukul tujuh.
Aku tak sekalipun menguap. Aku serasa sudah tak punya rasa kantuk lagi. Tak butuh istirahat. Bahkan dengan gilanya berniat mau lari pagi.
Ada dua barang yang selamat dari pengaruh buruk sesal. Jam dinding dan lemari pakaian. Niat hati ingin mengambil celana training, aku malah menemukan sesuatu. Foto seseorang yang terbingkai indah, yang sudah lama aku simpan dan terlupakan. Potret dirimu yang kucinta, potret dirimu yang pernah mencinta, potret dirimu yang terhianati cinta.
Air mata meleleh, entah ini sudah yang ke berapa. Rasa sesal semakin liar memainkan memori indah bersamamu. Aku menyumpahi diriku sendiri, aku menangis meraung, menerjang dinding. Aku gila!
Kaca bingkai berlumur darah. Tanganku yang terluka terus mengusap wajahmu. Membelai halus wajahmu yang hadir dalam imaji, diwakilkan foto dirimu yang beku. Sesekali merah darah yang berlumuran di fotomu memudar, tertimpa setetes air mata yang jatuh. Aku dekap erat foto dirimu.
Aku rasakan hangat dekapanmu hadir dalam sunyi. Lekuk harum tubuhmu hadir, menjelma pada bingkai dirimu.
Aku rasakan desah nafasmu hadir bersama semilir angin.
Aku bisa merasakan semua meski ragamu tak disini. Terlebih rasa sakit itu. Rasa kecewa yang dulu melanda dirimu. Aku dapat merasakan air matamu hadir bersama deras air mataku. Rasa sakitmu hadir lewat darahku yang mengucur. Bahkan rasa sakitmu lebih sakit dari luka di tanganku.
Aku memelukmu, mendekapmu, merasakan sakit yang pernah menderamu. Aku dapat merasakan semua, tapi satu yang tidak dapat aku rasa, senyumanmu. Senyum yang dulu selalu terjaga.
Kini, bertemu denganmu komplit bersama senyuman sungguh tidak mudah. Namun izinkanlah aku merasakan senyum itu sekali lagi. Entah lewat apa. Hadirkanlah senyumanmu demi ketenangan jiwa. Tak perlu ragamu, hanya senyumanmu.
Pukul tujuh tiga puluh.
Kita masih berpelukan ditemani tangis. Berpelukan dalam sunyi, ragamu diwakilkan dengan potret beku dirimu. Tiba-tiba handphone berdering, aku melepas pelukanmu.
Tubuh lusuhku berjalan meraih Handphone di atas ranjang. Tetes darah segar menjejak di lantai. Luka di tangan masih menganga, tapi tidak berasa. Aku mati rasa. Tapi tidak untuk rasa sesal ini, aku masih bisa merasakan rasa kurang ajar ini.
Ranjangku basah, Handphoneku basah. Keduanya semalam aku guyur air. Ada sebuah sms darimu. Aku sumringah tapi air mata tetap meronta. Dengan tanganku yang berlumur darah, aku baca sms-mu. Andai kau tahu, aku rela terluka lebih dari ini, aku rela darahku mengucur lebih banyak lagi, aku rela menggila dan tak tidur lebih lama lagi, jika memang itu bisa menebus kebodohanku. Asal kau mau memaafkan ketololanku dulu.
‘Ini siapa? Ada apa semalam telepon?’ isi sms dari mu.
Kau tidak mengenaliku. Kau saja sudah menghapus kontakku, pasti kenangan denganku juga ikut kau hapus. Tidak apa, aku tahu itu memang pantas kau lakukan. Kau pasti tidak ingin merasakan rasa sakit dariku lagi. Tapi ketahuilah, rasa sesalku ini sangat besar, lebih besar dari jagat raya yang menanungi kita. Adakah kesempatan sekali lagi untuk diriku?
Aku memilih untuk berbohong, aku terlalu takut untuk jujur. Pasti kau tak sudi membalas smsku selanjutnya jika kau tau yang mengirimnya adalah monster yang pernah melukaimu. Aku membalas, ‘tidak ada apa-apa, maaf semalam saya salah sambung.’
‘Oh, kirain client saya yang lagi ingin konsultasi via telepon.’
‘Client? Anda seorang psikolog?’ aku tahu kau memang seorang psikolog. Ini bukan pertanyaan bodoh, aku hanya ingin lebih lama mengobrol denganmu. Meski kau hadir lewat pesan singkat. Itu saja.
‘Ya. Memang saya psikolog. Anda siapa?’
Aku kekasihmu yang dulu menghianatimu. maukah kau memeriksa psikisku? Atau sekedar melihat keadaanku? Jikalau kau sedia mengusir kegilaanku, aku tahu caranya. Tak perlu kau periksa kejiwaanku, cukup bawalah aku kembali ke pelukanmu.
Aku sekarang seperti orang gila. Atau benar-benar sakit jiwa?
Aku membanting handphoneku. Lalu menangis. Lalu merangkak, meraihnya kembali. Aku sadar, ini satu-satunya benda yang bisa membuat diriku terhubung kembali denganmu. Maafkan aku handphone.
Bercak darah menempel di handphone. Aku membalas sms darimu, berbohong lagi. ‘Bukan siapa-siapa kok. Saya Cuma salah sambung. Sekali lagi saya minta maaf.’
‘Santai aja. Tidak apa-apa kok.’
Normalnya, percakapan sms akan berakhir disini. Tapi aku tidak mau. Aku ingin lebih lama lagi merasakan hadirmu, merasakan hawa sejuk saat berbincang denganmu seperti dulu. Aku mengirim pesan tak penting. ‘sampai jumpa.’
‘Sampai jumpa : ) ’
Air mataku meleleh, aku menjilat tanganku yang berdarah, Asin! Aku menari, aku menyanyi, Aku gila. Aku insomnia. Aku bahagia!
Mataku tiada berkedip melihat sms darimu. Aku terpaku. Senyumanku membatu. Aku sekarang bahagia, meski aku tak punya daya untuk bersanding denganmu. Aku bahagia karena kini aku bisa merasakan apa yang tidak pernah bisa aku rasakan, Senyumanmu. Dia hadir bersama pesan singkatmu. Aku merasakannya.
Aku merasakan kebahagiaanmu. Aku merasakan senyuman nyata lewat dua tanda baca. Benar, hanya dua tanda baca. Titik dua dan tutup kurung.
Sekarang semua darimu dapat aku rasakan. Pelukanmu, desah nafasmu, sedihmu, sakitmu, juga senyummu. Bukan ragamu yang hadir disini, tapi semua rasa itu saja. rasa yang hanya dapat aku nikmati tanpa pemilik rasa itu.
Pukul Sembilan lewat sepuluh menit.
Aku rasa gila yang menyerangku mulai berangsur sirna. Aku mulai bisa menguap. Aku berbaring di ranjang yang basah. Mataku mulai bisa menutup.
Ternyata aku salah, untuk menyudahi insomnia dan semua kegilaan ini tidak perlu membawa diriku kembali ke pelukanmu. Hanya lewat dua tanda baca darimu saja, gila dan insomnia kalah. Aku sadar, mungkin kegilaan ini adalah hukuman untuk egoku, untuk kebodohanku, dan sesal melengkapinya dengan menyiksaku.
Semua memang pantas aku terima. Aku yang hina ini tak pantas bersanding dengan dirimu yang baik luar biasa. Kendati sesal tetap ada, aku cukup bahagia dengan segala rasamu yang hadir dalam sunyi. Hanya rasa-rasa itu saja yang bisa aku miliki, bukan dirimu dan hatimu.
Pukul sepuluh tepat.
Aku terlelap bersama senyumanmu yang tergenggam. Hanya perlu dua tanda baca untuk melelapkan mataku. Terimakasih kau telah menghadirkannya untukku. Meski tak nyata secara visual, dua tanda baca itu menyiratkan senyum bahagiamu. Senyuman virtual yang dapat aku rasakan kehadirannya.
Aku tidur. Aku bermimpi melihat dirimu tersenyum. Sangat nyata, lebih nyata dari senyum yang terwakilkan lewat dua tanda baca.
Aku tahu aku yang jahat ini memang tidak pantas untukmu. Biarkanlah aku tetap merasakan rasa ini sampai kapanpun. Rasa yang terfosilkan lewat dua tanda baca darimu. Yang akan selalu tersimpan di dalam handphoneku.
Ternyata bahagia itu sederhana. Tidak perlu memiliki dirimu dan hatimu. Tapi cukup memiliki segala rasamu yang menjelma lewat apapun, dan dua tanda baca darimu. Itu saja.
Kau terus tersenyum padaku. Bukan lewat dua tanda baca, tapi lengkungan nyata di bibirmu. Aku tidak ingin terbangun dari mimpi ini, andai itu bisa.
Cerpen Karangan: Faiz mollamalik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar