Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Hening

Mobil Avanza melaju menyerobot derasnya hujan bahkan aku hampir tidak bisa melihat jalan dengan jelas. Irwan mencoba mengelapnya untuk mengurangi embun yang menempel di kaca depan. Lampu temaran mobil itu yang menembus hujan menambah suasana sore seperti kesunyian.
“biar aku bantu mengelap, kamu harus konsentrasi melihat jalan..” aku menawarkan diri, ku lihat wajahnya serius sekali mengelap kaca.
“sudahlah tidak apa-apa. Kau tenang saja aku bisa berkonsetrasi sambil mengelap kaca ini” Katanya. Dia belum menampakkan senyumnya.
Beberapa jam yang lalu, dia mengirim pesan kepadaku. Aku merasa senang karena aku kira dia ingin menghiburku, mengajakku jalan keluar menikmati sore berdua. Kerena kebetulan sekali otakku lelah dipenuih dengan rumus matematika yang harus kuhapal, belum lagi rumus fisika, dan kimia. Akhir-akhir ini aku mengikuti berbagai kursus untuk menghadapi ujian nasional yang tinggal menghitung hari. Pikirku otakku juga perlu istirahat dan pergi dengannya mungkin bisa menghibur sedikit rasa lelahku. Aku balas dengan excited bertanya ‘where we will go?’ dia hanya membalas ‘sudah nanti akan aku jemput kamu’. Namun sejak dia menjemputku aku lihat rona mukanya hanya keseriusan dan ketenangan yang nampak, tidak terucap satu kata pun saat aku memasuki mobil Avanza-nya. Apa yang sedang ia pikirkan?.
Aku memberanikan diri bertanya “kita akan pergi kemana?”
“ehm.. kita akan pergi ke Rose’s Caffe, kamu ingat?” tatapannya serius menatap jalan, duduknya berubah sedikit ke depan mendekati kaca agar jalan dapat lebih terlihat olehnya.
“oh, aku ingat, tempat itu kan tempat kamu nembak aku satu tahun yang lalu” Aku bersemangat.
Tanpa kusangka dia membalikkan kepalanya ke padaku dan memberikan senyum lebarnya, inilah irwan yang aku kenal.
Namun keheningan itu datang lagi saat mobil sampai di parkiran Rose’s Caffe. Aku seperti terbawa nostalgia satu tahun lalu, mobil Avanza ini masih sama, bahkan cincin yang pertama ia berikan padaku dari perak putih yang cantik masih setia aku kenakan.
Aku ragu untuk turun dari mobil, saat dia membukakan pintu aku sadar, aku memang harus turun. Ada apa dengan perasaanku? Begitu menyesakkan hati. Aku takut karena begitu banyak pertanyaan di kepalaku. Mengapa Irwan mengajakku kemari? padahal semenjak kita berpacaran kecuali pertama dia mengatakan cintanya kami tidak pernah lagi datang kemari, mengapa dia tidak banyak bicara padaku sejak tadi? Apa aku membuat suatu kesalahan?, apa ini atau itu… begitu banyak pikiran mendera otakku sekarang.
Irwan berjalan satu langkah lebih maju dari langkahku, dia bahkan tidak memegang tanganku atau bertanya padaku ‘apa kau senang datang kemari?’. Dia tidak berusaha melakukan apapun yang bisa membuat aku yakin hubungan ini baik-baik saja. Harum mawar segar menerpa penciummanku, Rose’s Caffe memang selalu dipenuhi bunga mawar segar di setiap sudut tempat mungkin begitulah ciri khas Caffe ini. Embun seperti kristal menempel pada kelopaknya, seakan mengibaratkan kesedihan dibalik semua harapanku, jujur aku tidak suka suasana hening walau mendamaikan, ia selalu meninggalkan banyak pertanyaan.
Aku hanya memesan secangkir cokelat panas, Irwan menambahkan bahwa aku harus makan sesuatu, namun perasaanku sedang tidak mood sekarang. Ia akhirnya memesan spaggeti untukku. Saat kami mulai bertatap muka dan dia mulai menebarkan senyum yang terlihat menutupi sesuatu, aku tahu pasti ada masalah dalam hubungan ini. Haruskah aku yang bertanya mengapa? Mengapa dia begitu berbeda?.
“hmmn..” dia seperti sudah siap mengucapkan kata-kata.
“ada yang ingin aku bicarain sama kamu..” dia tidak ingin menatap mataku, seakan tahu bahwa mataku akan menanyakan banyak pertanyaan dibandingkan dengan bibirku yang sudah mulai kaku dirudung kecemasan.
Seorang pelayan yang mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dariku, mengantarkan pesanan kami. Dia mungkin tahu gerak-gerik hubungan sedang mengalami masalah, tidak seperti pasangan lain yang sering berkunjung kemari. Caffe terlihat sepi, sehabis hujan lebat mengguyur mungkin banyak orang berpikir untuk berdiam di rumah. Dari pada bergelut dengan dinginnya malam atau dengan rintik hujan kecil yang masih terasa. Musik yang biasanya aku dengar ber-alunan romantis pun hilang seakan mengetahui keadaan hubungan kami.
“Ok.. bicaralah..” aku manatap matanya lebih tajam agar bisa kuperhatikan gaya bicaranya mungkin aku bisa menerka isi hatinya.
Di mulai berani menatapku “dengar..” dia menggenggam tanganku, aku merasa ada hawa dingin di tangannya. Entahlah itu, aku akan pasrah apapun yang terjadi dengan hubungan kita. Tapi aku harus tahu kenapa.
“kita harus berakhir sekarang?” akhirnya kata yang ia sembunyikan keluar dari mulutnya.
“kenapa? Aku berhak tau apa sebabnya” mataku mulai berkaca-kaca dan mengalihkan pandangan.
“Lihat aku, mungkin kita sudah tidak cocok lagi Lis, mungkin ini jalan yang terbaik” dia memandangku lekat. Hatiku terasa pecah menjadi serpihan yang berusaha aku pungut dengan tabah.
“aku tahu pasti bukan itu alasannya, apa aku berbuat salah?” aku berkata dengan air mata hampir meluap membasahi pipi.
Aku ingat pertama dia memandangku di perpustakaan sekolah, walau dia satu tahun lebih tua dariku dia tidak gengsi berkenalan denganku. Satu-satunya yang aku sukai dari perpustakaan sekolah ada banyak buku tentang psikologi disana. Dan bertambahlah alasanku karena aku merindukan wajah seriusnya mengerjakan soal matematika di meja dekat jendela perpustakaan. Ternyata dia juga kagum padaku katanya ‘aku selalu rindu pada seorang gadis bertubuh mungil duduk di lantai tanpa peduli orang sekitar sedang membaca buku psikologi padahal ada banyak bangku dan meja disana’. Tidak pernah aku sangka dia juga memperhatikan aku.
Sampai suatu hari ia datang ke rumah, saat keadaanku sedang kacau aku baru bangun dari tidurku, rambutku tak beraturan bahkan aku memakai celana pendek lusuh kesayanganku. Dia bilang ‘aku sengaja datang kemari, ini hari spesialmu’. ternyata dia ingat hari ulang tahunku, bahkan aku juga lupa karena banyak kegiatan paduan suara saat itu. Dia membelikan aku sebuah buku psikologi yang aku mau sebagai hadiah, dia juga lansung mengajakku ke Caffe ini, tentu saja saat aku sudah yakin aku bisa diajak kesana. Aku berdandan secantik yang aku bisa. Dia sangat tampan memakai setelan cassual-nya kaos dan jeans sedangkan, aku memilih dress-pink bermotif bunga. Baru aku sadari saat itu dia berperawakan tinggi, bahkan dapat melindungiku dari silau matahari aku selalu ingin melihatnya begitu karena, saat itu ia tampak seperti bayangan ‘pria cool’.
Di Caffe dia mengungkapkan perasaannya, aku tersipu dan menjawab ‘aku mau’ apakah aku terlalu naif mengatakannya? Itu memang perasaanku terhadapnya. Dia juga terlihat agak tegang dibalik sikap coolnya itu, apa lagi aku yang selalu salah tingkah di hadapannya. Dia juga memberiku cicin perak sebagai tanda hubungan kita, aku suka modelnya yang begitu klasik dengan mata berlian putih di tengahnya. Dan saat itu juga dia pertama mencium keningku.
Saat beberapa bulan hubungan kita, aku baru tahu kalau dia berbeda agama denganku, ia penganut Kristen yang taat. Aku pernah merasakan keheningan yang aku rasakan malam ini. Dia membawaku ke sebuah taman, tapi dia tidak terlihat serius ketika itu. Walau perbedaan keyakinan mengukung hubungan kami. Keheningan saat itu bisa teratasi dengan saling janji dan komitmen ‘kita akan selalu menghargai perbedaan antara kita dan kita bisa mengatasi tembok yang menjulang tinggi di antara kita’. Kami menjalani hubungan dengan baik, walau dia sibuk menghadapi ujian dan akhirnya masuk keperguruan tinggi yang ia idamkan. Ia masih menunjukkan rasa cintanya padaku.
Namun aku rasa keheningan saat ini tidak bisa teratasi, aku marah, aku merasa bersalah semua pikiran itu menggangguku saat ini. Air mataku tak terbendung mengalir membasahi pipiku, air mata itu kini meluap mewakili hatiku. Irwan coba menenangkanku, ia mengusap air mataku dengan tangannya yang kini mulai terasa bertambah dingin.
“tidak lis, kamu tidak melakukan kesalahan. Aku yang salah. Aku minta maaf”
“Katakan saja alasannya Ir, aku bisa terima apapun itu sehingga kita putuspun beralasan.. aku mohon” aku menatap matanya, air mata semakin deras mengalir.
Dia melepas genggamannya, dan hanya terdiam.
“aku ingin pulang sekarang,!” aku berdiri dari kursi.
“lis, cobalah mengerti” hatiku mulai merasa ingin berontak, ia bahkan tidak ingin menjelaskannya. Mengapa? bahkan dia tidak mengerti keadaan menghadapi ujian nasional yang harus aku persiapkan. Aku ingin mendapat dukungannya.
Aku berjalan menuju mobil Avanza miliknya, aku berpikir mungkin dengan pulang aku bisa menenangkan diriku, mencoba menerima semuanya. Irwan terlihat mengejarku dan memanggil namaku. Aku terus berjalan menuju mobil dengan air mata yang masih bercucuran. Aku melewati bunga mawar segar tadi, mereka seperti sudah memberi pertanda sebelumnya. Aku bahkan tidak mengira akan keluar dari Caffe yang menurutku bersejarah dalam cintaku dalam keadaan menangis, karenanya.
Aku masuk kedalamnya, aku mungkin bisa berlari atau naik kendaraan umum menuju rumah. Namun itu akan terlihat bodoh karena akan banyak orang yang melihat tangisku. Aku ingin ia mengungkapkan apa yang ia sembunyikan. Irwan memasuki mobil da duduk di hadapan stir sambil memandang ke arahku.
“Aku sadar aku terlalu tega lis, tapi…”
“Aku ingin pulang sekarang, aku lelah” aku menatap keluar jendela samping mobil, terlihat titik hujan masih menempel. Napasku membuat kaca mobil berembun.
“ini memang berat lis…”
“aku tau… pasti ada alasannya ir, kamu gak mau ngasih tau aku apa alasannya?” aku meninggikan nada bicaraku, merasa hatiku pun berhak untuk mengetahui apa yang disembunyikan.
“ok. Lis. Mamaku tidak setuju dengan hubungan kita..” ucapnya lirih, seakan berat mengatakannya.
“Apa karena perbedaan kita?” aku menoleh ingin melihat jawaban dari bibirnya.
“Iya…” suasana hening itu mengelimuti kami, aku mulai bisa merasa tegar.
Irwan adalah anak yang begitu patuh pada kedua orangtuanya, jika itu memang keputusan yang terbaik baginya aku akan terima. Jika memang ini alasannya aku bisa terima, aku mengerti sebagai anak dari kedua orangtua yang sudah membesarkanku, jika aku ada di posisinya mungkin aku akan lakukan hal yang sama. Tembok yang menjulang di antara kami adalah masalah keyakinan aku harus bisa menerimanya walau hatiku perih. Mungkin perbedaan yang begitu pekat tentang keyakinan, lebih mendominasi berakhirnya hubungan ini.
“Baiklah ir, aku mengerti sekarang, kita akhiri saja hubungan ini. Mungkin ini yang terbaik” aku berusaha menghapus air mataku dengan tanganku, lalu menarik napas dalam berusaha untuk tegar.
Suasana hening merundung kami, namun terdengar pikiran dalam hatiku terngiang-ngiang di kepala. Sepertinya Irwan juga merasakan hal yang sama, kami tenggelam dalam perasaan masing-masing yang mengalahkan suasana hening di antara kami.
“Ir, aku ingin pulang”
“baiklah…”
Dia memutar mobilnya, tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Mobil itu melaju, seakan tahu aku juga ingin lari dari kenyataan ini. Mataku mulai lelah dan sayu, seakan ingin lepas pergi ke dunia yang lebih baik dari kejadian ini.. aku tetidur dalam keheningan.
Seminggu kemudian, aku bangun lebih pagi karena hari ini adalah hari yang penting untuk menentukan masa depanku. Hari pertama aku menghadapi ujian nasional, mama bahkan membantuku membereskan alat-alat tulis mungkin saja ada yang tertinggal dan bisa fatal. Aku menghabiskan sarapan sambil dalam hatiku berdoa “mudahkan ya Allah.. mudahkanlah hamba”. Tiba-tiba bibi manghapiriku, dan memberikan surat untukku. Aku lihat siapa pengirimnya ternyata Irwan, isi suratnya:
For Lisa
‘Percayalah pada hatimu, kamu bisa lakukan apa yang kamu mau…’
Irwan your’s friend.
Cerpen Karangan: Cika J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar