Aku menyibak tirai kamarku lalu kubuka jendela kamarku. Aku memandang ke luar, tepatnya ke arah kamar Adin yang ada di seberang kamarku. Kami bertetangga sejak kecil. Dan.. aku menyukainya sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar.
Walau bertetangga kami tidak pernah mengobrol. Bisa dibilang aku sama sekali tidak akrab dengannya. Walaupun aku satu sekolah dengannya, tapi tetap saja.. rasanya aku tidak mampu untuk menyapanya, berhadapan dengannya.
Walau bertetangga kami tidak pernah mengobrol. Bisa dibilang aku sama sekali tidak akrab dengannya. Walaupun aku satu sekolah dengannya, tapi tetap saja.. rasanya aku tidak mampu untuk menyapanya, berhadapan dengannya.
Tirai kamar Adin masih tertutup, sepertinya dia masih terlelap. Memang sih, ini masih pagi sekali. Tapi aku sudah biasa bangun jam segini.
Ternyata dugaanku salah. Tirai kamar Adin tiba-tiba terbuka dan muncullah sosok cowok yang kukagumi selama ini. Dia memakai kaus oblong berwarna coklat, rambutnya masih berantakan dan dari ekspresi wajahnya aku tahu kalau dia masih ngantuk.
Dia menatap ke arahku sekilas. Jantungku berdebar-debar, dengan cepat kutup tirai kamarku. Bodohnya aku muncul di hadapannya dengan penampilan yang masih berantakan karena baru bangun tidur. Haah…
—
“Ayu..!” sapa Citra, temanku sambil menjajarkan langkahnya dengan langkahku. Saat itu kami sudah ada di sekolah.
“Hai Citra..,” jawabku sambil tersenyum padanya.
“Hai..,” balasnya, “ehm.. sebenarnya aku ingin bertanya padamu.”
“Bertanya apa?”
“Apa benar kamu tetangganya Adin?”
“Eh?” aku menghentikan langkahku, refleks. Citra seperti bingung dengan tindakanku. Ya, aku juga bingung kenapa dia menanyakan hal itu.
“Iya, memang benar. Memangnya kenapa?” jawabku sambil tersenyum hangat, walaupun sebenarnya aku sedikit curiga pada Citra. Maklum Adin sangat populer di sekolahku. Banyak cewek yang berharap jadi pacarnya, termasuk aku.
“Ahh, nggak apa kok. Aku hanya memastikan saja. Pasti kau sangat akrab dengannya ya?”
“Hai Citra..,” jawabku sambil tersenyum padanya.
“Hai..,” balasnya, “ehm.. sebenarnya aku ingin bertanya padamu.”
“Bertanya apa?”
“Apa benar kamu tetangganya Adin?”
“Eh?” aku menghentikan langkahku, refleks. Citra seperti bingung dengan tindakanku. Ya, aku juga bingung kenapa dia menanyakan hal itu.
“Iya, memang benar. Memangnya kenapa?” jawabku sambil tersenyum hangat, walaupun sebenarnya aku sedikit curiga pada Citra. Maklum Adin sangat populer di sekolahku. Banyak cewek yang berharap jadi pacarnya, termasuk aku.
“Ahh, nggak apa kok. Aku hanya memastikan saja. Pasti kau sangat akrab dengannya ya?”
Aku tersenyum kecut. Akrab apanya? Bicara berdua saja belum pernah. Oh yang benar saja, apa kata teman-teman jika mereka tahu aku tetangga Adin tapi belum pernah mengobrol dengannya.
“Tidak terlalu,” akhirnya hanya itu kata-kata yang kukeluarkan pada Citra.
“Ohh..,” gumam Citra. Sekali lagi, aku tersenyum palsu padanya.
Ayu, kau memang menyedihkan.
“Ohh..,” gumam Citra. Sekali lagi, aku tersenyum palsu padanya.
Ayu, kau memang menyedihkan.
—
“Ayuu…!!” Seru mama membangunkan aku. Aku menguap dan menggeliat di atas kasurku yang nyaman. Kutengok jam dinding doraemon yang terpasang di atas dinding. Jam 16.06 WIB.
Kurasa memang waktunya bangun.
“Ayuu..!!” Seruan mama terdengar lagi, kali ini lebih keras.
“Iyaa, sebentar maa,” balasku sambil turun dari kasur lalu membuka pintu kamarku dan menghampiri mamaku.
“Ada apa?” tanyaku saat menemukan mama yang sedang memasak di dapur.
“Itu..,” mama menunjuk sebuah tas plastik yang lumayan besar. Aku menghampiri tas plastik itu dan melihat apa yang dimaksud mama. Beberapa toples yang berisi kue kering ditumpuk dengan rapi dan diberi pita warna-warni. Aku menyerngit heran.
“Ma, untuk apa ini semua?” tanyaku.
“Ini untuk Bu Yanti..,” jawab mama. Aku mengangguk-angguk. Lalu apa hubungannya denganku?
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku persis dengan pikiranku.
“Antarkan ini ke rumahnya.”
Kurasa memang waktunya bangun.
“Ayuu..!!” Seruan mama terdengar lagi, kali ini lebih keras.
“Iyaa, sebentar maa,” balasku sambil turun dari kasur lalu membuka pintu kamarku dan menghampiri mamaku.
“Ada apa?” tanyaku saat menemukan mama yang sedang memasak di dapur.
“Itu..,” mama menunjuk sebuah tas plastik yang lumayan besar. Aku menghampiri tas plastik itu dan melihat apa yang dimaksud mama. Beberapa toples yang berisi kue kering ditumpuk dengan rapi dan diberi pita warna-warni. Aku menyerngit heran.
“Ma, untuk apa ini semua?” tanyaku.
“Ini untuk Bu Yanti..,” jawab mama. Aku mengangguk-angguk. Lalu apa hubungannya denganku?
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku persis dengan pikiranku.
“Antarkan ini ke rumahnya.”
HAAH? Maksudnya diantar ke rumah Bu Yanti, dengan kata lain ke rumah Adin?
Oh my…
Oh my…
“Tapi aku kan tidak kenal dengan Bu Yanti,” aku mencoba menolak.
“Makanya kenalan. Salah sendiri kau kuper, banyak yang tidak mengenalmu. Sekali-kali cobalah berbaur dan menjalin hubungan dengan orang lain. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia lainnya. Kau harus ingat itu Ayu..”
“Makanya kenalan. Salah sendiri kau kuper, banyak yang tidak mengenalmu. Sekali-kali cobalah berbaur dan menjalin hubungan dengan orang lain. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia lainnya. Kau harus ingat itu Ayu..”
Great. Mama malah menceramahiku.
Aku hanya bisa mengangguk lesu dan menjawab. “Oke, akan kuantarkan..”
Aku hanya bisa mengangguk lesu dan menjawab. “Oke, akan kuantarkan..”
End Ayu POV
—
Ting Tong. Ayu memencet bel rumah Keluarga Bu Yanti. Ia menggigit bibir bawahnya dengan khawatir, berharap semoga saja Adin sedang tidak di rumah.
“Sebentar…” jawab sebuah suara dari dalam. Suara yeoja, pasti itu suara mama Adin. ‘Tapi kenapa suaranya seperti suara yeoja muda ya?’ pikir Hye Jin.
Jeglek. Tidak lama kemudian pintu terbuka. Ayu menurunkan senyumnya dan hanya bisa memasang tampang kaget.
“Citra? Kenapa kau di sini?” tanya Ayu kaget melihat Citra berada di depannya, di rumah Adin.
“Lho, memangnya tidak boleh?” jawab Citra sambil tertawa ramah, ia heran mengapa gadis di depannya ini begitu kaget.
“Masuklah..”
“Lho, memangnya tidak boleh?” jawab Citra sambil tertawa ramah, ia heran mengapa gadis di depannya ini begitu kaget.
“Masuklah..”
Ayu mengangguk dan masuk ke dalam rumah Keluarga Bu Yanti dengan ragu-ragu.
Ia melihat sekitar. Rumah Bu Yanti tidak terlalu besar, tapi sangat rapi dan mewah.
Ini pertama kalinya Ayu masuk ke dalam rumah ini.
Ia melihat sekitar. Rumah Bu Yanti tidak terlalu besar, tapi sangat rapi dan mewah.
Ini pertama kalinya Ayu masuk ke dalam rumah ini.
“Duduk di sini..,” Citra mempersilahkan, seolah dia adalah empunya rumah.
“Kau pasti ingin bertemu Adin ya? Aku panggilkan dulu..,” Citra melangkah pergi.
“Bukan! Aku bukan ingin bertemu Adin..,” cegah Ayu buru-buru. Citra menoleh dan menatap temannya dengan bingung.
“Lalu kau ingin ketemu siapa?” tanyanya.
“Aku ingin bertemu Bu Yanti, mamanya Adin. Apa dia ada?”
“Dia sedang arisan. Sebaiknya bertemu Adin saja..”
“Eh?” Ayu ingin mencegah tapi Citra keburu menghilang dari pandangan. Ia menaiki tangga. Ayu dapat mendengar suara Citra yang bmemanggil-manggil nama Adin.
‘Tamatlah aku…’ pikir gadis itu.
“Kau pasti ingin bertemu Adin ya? Aku panggilkan dulu..,” Citra melangkah pergi.
“Bukan! Aku bukan ingin bertemu Adin..,” cegah Ayu buru-buru. Citra menoleh dan menatap temannya dengan bingung.
“Lalu kau ingin ketemu siapa?” tanyanya.
“Aku ingin bertemu Bu Yanti, mamanya Adin. Apa dia ada?”
“Dia sedang arisan. Sebaiknya bertemu Adin saja..”
“Eh?” Ayu ingin mencegah tapi Citra keburu menghilang dari pandangan. Ia menaiki tangga. Ayu dapat mendengar suara Citra yang bmemanggil-manggil nama Adin.
‘Tamatlah aku…’ pikir gadis itu.
Tidak lama kemudian Adin terlihat dari balik tembok. Cowok itu berbelok ke ruang tamu dan melihat Ayu sedang duduk sambil tertunduk.
‘Itu dia..,’ pikir Ayu sambil melirik Adin dengan ekor matanya, ‘Bagaimana ini?’
‘Itu dia..,’ pikir Ayu sambil melirik Adin dengan ekor matanya, ‘Bagaimana ini?’
“Ada perlu apa?” tanya Adin semakin mendekati Ayu.
Namun Ayu tidak juga menjawab atau melihat Adin. Ia masih menundukkan kepalanya.
“Hei, kamu nggak kenapa-napa?” tanya Adin yang mulai khawatir.
Ayu mendongakkan kepalanya perlahan, ia mencoba tersenyum melihat Adin yang berdiri di samping Citra.
“Ng-nggak papa kok…,” jawabnya.
“Aku hanya ingin mengantarkan ini..,” ia menyerahkan tas plastik yang berisi kue-kue kering buatan mamanya pada Adin.
“Ini dari mamaku..,” katanya lagi.
“Ah, makasih ya..,” ucap Adin sambil tersenyum hangat, membuat Ayu seakan terbang dan tidak menginjak tanah lagi.
“S-sama-sama..”
“Yu, kamu kenapa? Kok berkeringat banget?” tanya Citra khawatir.
“Gak papa kok. Ng.. ngomong-ngomong apa kalian pacaran?” tanya Ayu. Gadis itu hendak menampar bibirnya sendiri karena pertanyaan lancang yang tiba-tiba keluar dari mulutnya. ‘Duh Ayu, kamu bodoh sekali..’ makinya dalam hati.
Citra tersenyum malu. Tiba-tiba Adin melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Citra.
“Kenapa kamu bisa tahu? Kelihatan ya?” kata Adin, sukses membuat semua tulang-tulang Ayu seakan patah.
“Ng.. i-iya..,” jawab Ayu dengan gugup, “kalian serasi kok.. Semoga langgeng ya..,” katanya sambil tersenyum dan mengambil sweaternya di atas sofa.
“Aku pamit dulu. Daah..”
“Daah. Makasih ya, Yu..,” ucap Citra dan Adin hampir bersamaan.
Ayu tersenyum dan berbalik. Meninggalkan mereka berdua.
Namun Ayu tidak juga menjawab atau melihat Adin. Ia masih menundukkan kepalanya.
“Hei, kamu nggak kenapa-napa?” tanya Adin yang mulai khawatir.
Ayu mendongakkan kepalanya perlahan, ia mencoba tersenyum melihat Adin yang berdiri di samping Citra.
“Ng-nggak papa kok…,” jawabnya.
“Aku hanya ingin mengantarkan ini..,” ia menyerahkan tas plastik yang berisi kue-kue kering buatan mamanya pada Adin.
“Ini dari mamaku..,” katanya lagi.
“Ah, makasih ya..,” ucap Adin sambil tersenyum hangat, membuat Ayu seakan terbang dan tidak menginjak tanah lagi.
“S-sama-sama..”
“Yu, kamu kenapa? Kok berkeringat banget?” tanya Citra khawatir.
“Gak papa kok. Ng.. ngomong-ngomong apa kalian pacaran?” tanya Ayu. Gadis itu hendak menampar bibirnya sendiri karena pertanyaan lancang yang tiba-tiba keluar dari mulutnya. ‘Duh Ayu, kamu bodoh sekali..’ makinya dalam hati.
Citra tersenyum malu. Tiba-tiba Adin melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Citra.
“Kenapa kamu bisa tahu? Kelihatan ya?” kata Adin, sukses membuat semua tulang-tulang Ayu seakan patah.
“Ng.. i-iya..,” jawab Ayu dengan gugup, “kalian serasi kok.. Semoga langgeng ya..,” katanya sambil tersenyum dan mengambil sweaternya di atas sofa.
“Aku pamit dulu. Daah..”
“Daah. Makasih ya, Yu..,” ucap Citra dan Adin hampir bersamaan.
Ayu tersenyum dan berbalik. Meninggalkan mereka berdua.
—
Ayu menutup pintu rumah Adin dengan pelan, nyaris tanpa suara. Air matanya jatuh dengan deras, membasahi pipinya yang putih. Ia tidak menyangka rasanya akan sesakit ini.
Mengetahui bahwa sekarang Adin milik cewek lain. Dan cewek itu adalah teman sekelasnya sendiri. Sakit.
Ayu mencoba untuk kuat. Ia bertekad tidak akan menangis seperti gadis cengeng. Ia harus tabah dan menerima dengan lapang dada. Lagipula Adin bukanlah satu-satunya cowok di bumi ini.
Mengetahui bahwa sekarang Adin milik cewek lain. Dan cewek itu adalah teman sekelasnya sendiri. Sakit.
Ayu mencoba untuk kuat. Ia bertekad tidak akan menangis seperti gadis cengeng. Ia harus tabah dan menerima dengan lapang dada. Lagipula Adin bukanlah satu-satunya cowok di bumi ini.
Pagi itu Ayu bersekolah, seperti biasa. Ia baru saja selesai dari kelas bimbel ketika melihat Citra dan Adin berangkulan mesra di pojokan kelas yang tidak jauh dari toilet.
Ayu memejamkan matanya, berusaha kuat melihat adegan yang sangat menyiksa hatinya itu.
Ayu memejamkan matanya, berusaha kuat melihat adegan yang sangat menyiksa hatinya itu.
Ia berbalik dan berjalan hendak meninggalkan mereka.
“Ayuu..!” tiba-tiba Citra berseru memanggil Ayu.
Ayu menoleh dan tersenyum melihat mereka.
Ayu menoleh dan tersenyum melihat mereka.
Citra menggerakkan tangan kanannya, seolah meminta Ayu untuk mendekat.
Gadis itu pun menghampiri mereka.
“Yu, apa kamu nggak ada kegiatan malam ini?” tanya Citra dengan senyum riang, seperti biasa.
“Nggak. Memanya kenapa Cit?”
“Ah, kami ingin mengajakmu jalan-jalan..”
“Hah, aku?” tanya Ayu kaget sambil menunjuk dirinya sendiri, memastikan Citra tidak salah orang.
“Ya iyalah, memangnya siapa lagi,” jawab Citra sedikit memanyunkan bibir. Ia berdiri dan merangkul Ayu. “Karena kau orang pertama yang berhasil tahu kalau kami pacaran, maka kami ingin mengajakmu jalan-jalan bersama. Lagipula kita teman sekelas. Kau tidak keberatan kan?”
Ayu tersenyum, tapi sebenarnya di dalam hati ia menangis. Ia bingung harus apa.
Menanggapi ajakan Citra bukankah semakin menyakiti hatinya? Tapi kalau menolaknya.. Citra pasti sedih.
“Ng.. bagaimana ya?” Ayu menimbang-nimbang.
“Ahh, ayolaah… temani kami. Ya? Ya?” rayu Citra. Ia mengeluarkan jurus imut dan puppy eyes nya. Membuat Ayu semakin tidak tega.
“Baiklah, baiklah..,” jawab Ayu pada akhirnya.
“Horee!” seru Citra sambil langsung memeluk temannya itu, “kami akan menjemputmu jam 4 sore nanti yaa.”
Gadis itu pun menghampiri mereka.
“Yu, apa kamu nggak ada kegiatan malam ini?” tanya Citra dengan senyum riang, seperti biasa.
“Nggak. Memanya kenapa Cit?”
“Ah, kami ingin mengajakmu jalan-jalan..”
“Hah, aku?” tanya Ayu kaget sambil menunjuk dirinya sendiri, memastikan Citra tidak salah orang.
“Ya iyalah, memangnya siapa lagi,” jawab Citra sedikit memanyunkan bibir. Ia berdiri dan merangkul Ayu. “Karena kau orang pertama yang berhasil tahu kalau kami pacaran, maka kami ingin mengajakmu jalan-jalan bersama. Lagipula kita teman sekelas. Kau tidak keberatan kan?”
Ayu tersenyum, tapi sebenarnya di dalam hati ia menangis. Ia bingung harus apa.
Menanggapi ajakan Citra bukankah semakin menyakiti hatinya? Tapi kalau menolaknya.. Citra pasti sedih.
“Ng.. bagaimana ya?” Ayu menimbang-nimbang.
“Ahh, ayolaah… temani kami. Ya? Ya?” rayu Citra. Ia mengeluarkan jurus imut dan puppy eyes nya. Membuat Ayu semakin tidak tega.
“Baiklah, baiklah..,” jawab Ayu pada akhirnya.
“Horee!” seru Citra sambil langsung memeluk temannya itu, “kami akan menjemputmu jam 4 sore nanti yaa.”
—
Ayu memandang pantulan dirinya di cermin. Ia sudah mengenakan salah satu baju keberuntungannya dan merias dirinya agar tidak kelihatan kalau habis menangis.
“Mungkin ini yang terbaik…,” gumamnya pada diri sendiri. “Seharusnya aku bisa menerima kalau Adin tidak akan bersamaku. Aku kan tidak pantas untuknya..”
“Mungkin ini yang terbaik…,” gumamnya pada diri sendiri. “Seharusnya aku bisa menerima kalau Adin tidak akan bersamaku. Aku kan tidak pantas untuknya..”
“Ayuu..!” terdengar suara mama memanggil anaknya, “teman-temanmu datang.”
“Itu pasti mereka,” gumam Ayu. “Sebentar maa..,” jawabnya sambil meraih tas kecilnya dan bergegas turun.
“Itu pasti mereka,” gumam Ayu. “Sebentar maa..,” jawabnya sambil meraih tas kecilnya dan bergegas turun.
Adin dan Citra sudah menunggu Ayu di ruang tamu.
“Aah, aku senang kau ikut..!” seru Citra yang periang sambil memeluk Ayu. Ayu membalas pelukan Citra.
“Aku nggak mungkin melewatkannya, hehe..,” jawab Ayu sambil pura-pura riang.
“Kalau gitu kita berangkat sekarang?” tawar Adin.
Citra mengangguk, “ayo!”
“Aah, aku senang kau ikut..!” seru Citra yang periang sambil memeluk Ayu. Ayu membalas pelukan Citra.
“Aku nggak mungkin melewatkannya, hehe..,” jawab Ayu sambil pura-pura riang.
“Kalau gitu kita berangkat sekarang?” tawar Adin.
Citra mengangguk, “ayo!”
Ayu berdecak kagum melihat sebuah taman hiburan besar yang baru dibangun. Kini ia, Citra dan Adin ada di dalamnya dan siap menyerbu wahana-wahana permainan yang sepertinya sangat seru itu.
“Bagus banget..,” gumam Citra, mimik wajahnya menunjukkan bahwa gadis itu benar-benar terpesona. Adin hanya tertawa geli dan memberantaki rambut pacarnya itu.
“Heh, Adin! aku susah-susah menatanya tau..,” protes Citra tidak terima. Ia segera mengambil sisir dari tasnya dan merapikan rambutnya.
“Ayo, kita naiki semua wahana yang ada di sini. Mumpung masih jam setengah 5,” ajak Adin sambil berlari-lari menuju wahana kapal naga.
Cowok itu menggilai game, tidak heran kalau dia juga menggilai permainan-permainan yang ada di taman hiburan ini.
“Heh, Adin! aku susah-susah menatanya tau..,” protes Citra tidak terima. Ia segera mengambil sisir dari tasnya dan merapikan rambutnya.
“Ayo, kita naiki semua wahana yang ada di sini. Mumpung masih jam setengah 5,” ajak Adin sambil berlari-lari menuju wahana kapal naga.
Cowok itu menggilai game, tidak heran kalau dia juga menggilai permainan-permainan yang ada di taman hiburan ini.
“Aku nggak mau di pinggir, kalau di pinggir pasti menakutkan. Aku mau di pojok kanan..,” rengek Citra ketika mereka bertiga menentukan tempat duduk.
“Iya.. aku yang di pinggir. Ayu di tengah..” Adin mengalah. Citra tersenyum senang dan segera mengambil tempat duduk yang paling pojok.
Ayu duduk di tengah-tengah Adin dan Citra.
“Iya.. aku yang di pinggir. Ayu di tengah..” Adin mengalah. Citra tersenyum senang dan segera mengambil tempat duduk yang paling pojok.
Ayu duduk di tengah-tengah Adin dan Citra.
Sebenarnya Ayu tidak suka permainan ini. Jujur saja, permainan ini benar-benar membuatnya takut. Tapi ia tidak bisa menolak ajakan Citra dan Adin yang keliahatannya begitu bersemangat. ‘Citra kelihatan sangat senang, aku nggak bisa menolaknya..’ pikir Ayu.
Ayu menutup matanya dengan rapat bahkan ketika wahana belum dijalankan. Belum mulai saja sudah deg-degan begini..
Greek, tiba-tiba terdengar suara dari bawah, menandakan kalau kapal naga itu sudah mulai bergerak.
Greek, tiba-tiba terdengar suara dari bawah, menandakan kalau kapal naga itu sudah mulai bergerak.
Ayu ingin sekali memeluk lututnya, tapi tidak mungkin karena badannya sudah dipasangi sabuk pengaman. Pasti akan susah sekali kalau ingin mengangkat kakinya ke atas.
Kapal naga itu berayun ke depan sampai-sampai Ayu bisa melihat langit yang begitu biru tua. Beberapa bintang sudah muncul. Ayu sempat mengagumi maha karya Tuhan yang begitu indah itu. Tapi tidak lama karena kapal naga itu berayun mundur, membuat Ayu tersentak dan takut.
‘Nggak boleh, nggak boleh takut!’ Ayu membentak dirinya sendiri, tapi percuma, tidak mempan. Ia masih ketakutan, bahkan ia merasa akan jatuh.
“KYAAA~” terdengar teriakan dari orang-orang yang menaiki wahana kapal naga, termasuk Ayu.
Ayu semakin panik. Ia melirik ke arah Citra, gadis itu berteriak, tapi kesenangan tergambar jelas di wajahnya. Lalu Ayu melirik Adin, cowok itu biasa-biasa saja. Hanya sedikit tertawa geli jika kapal naga berayun dengan cepat.
Ayu semakin panik. Ia melirik ke arah Citra, gadis itu berteriak, tapi kesenangan tergambar jelas di wajahnya. Lalu Ayu melirik Adin, cowok itu biasa-biasa saja. Hanya sedikit tertawa geli jika kapal naga berayun dengan cepat.
Tanpa sadar Ayu memeluk lengan Adin erat. Ia memejamkan mata dan hanya bisa berdoa dalam hati agar permainan ini cepat berakhir.
Ayu melepaskan tangan Adin dengan cepat begitu menyadari dirinya tengah memeluk lengan cowok itu.
“S-sori, Din..,” ucap Ayu gugup.
“S-sori, Din..,” ucap Ayu gugup.
“Minta maaf buat apa?” tanya Adin tidak mengerti. Ah, rupanya cowok ini nggak menyadari kalau lengannya dipeluk. Ayu segera menggeleng cepat.
Ayu melirik Citra, takut kalau cewek itu salah sangka dengannya. Tapi Citra sepertinya tidak sadar dan masih asyik menikmati permainan kapal naga.
Ayu melirik Citra, takut kalau cewek itu salah sangka dengannya. Tapi Citra sepertinya tidak sadar dan masih asyik menikmati permainan kapal naga.
—
Adin, Citra, dan Ayu sekarang sedang makan malam di food court. Keadaan berubah menjadi dingin. Mungkin karena mereka lelah bermain banyak permainan.
“Hei, aku ke toilet dulu ya..,” ujar Citra. Adin dan Ayu hanya tersenyum sambil mengangguk. Citra berdiri dan melangkah pergi menuju toilet.
Suasana benar-benar canggung sekarang. Ayu hanya mengaduk-aduk minumannya dan Adin sibuk mengetuk-ngetuk garpunya di atas meja.
“A-Adin…,” panggil Ayu, “sebenarnya tadi.. waktu di kapal naga, aku tidak sengaja memeluk lenganmu. Sori, so-soalnya aku.. memang takut dengan permainan itu. Maaf ya..”
Adin tersenyum hangat, “Gak papa, sebenernya aku udah tahu. Aku mengerti kok. Kalau kamu memang takut kenapa nggak menolaknya tadi?”
“Kulihat Citra sangat senang, jadi nggak ada salahnya aku mencoba..”
Adin tersenyum lagi, “Makasih ya, Yu. Kamu baik banget..”
“Kulihat Citra sangat senang, jadi nggak ada salahnya aku mencoba..”
Adin tersenyum lagi, “Makasih ya, Yu. Kamu baik banget..”
Ayu terpana melihat senyum Adin. Cowok itu tersenyum, dan senyumnya itu untuknya. Rasanya sangat bahagia.
Tapi kenapa ia harus dekat dengannya saat ia sudah jadi milik orang lain?
Kenapa?
Tapi kenapa ia harus dekat dengannya saat ia sudah jadi milik orang lain?
Kenapa?
“Hmm, Citra lama banget ke toiletnya..,” kata Adin sambil melihat jam tangannya.
Ayu mengangguk setuju. Tiba-tiba handphone Adin berdering. Adin mengambil handphonenya dan sedikit heran begitu melihat nama Citra ada di layarnya.
“Halo, kamu di mana?” tanya Adin.
“Adin, Ayu, bisa kalian temui aku di taman sekarang?”
“Memangnya ada apa?”
“Ku mohon..”
Tut.. tut.. sambungan terputus. Adin menyerngitkan dahi, merasa bingung dengan sikap Citra yang aneh.
“Ayu..,” panggil Adin, “kita harus ke taman sekarang.”
“Adin, Ayu, bisa kalian temui aku di taman sekarang?”
“Memangnya ada apa?”
“Ku mohon..”
Tut.. tut.. sambungan terputus. Adin menyerngitkan dahi, merasa bingung dengan sikap Citra yang aneh.
“Ayu..,” panggil Adin, “kita harus ke taman sekarang.”
—
Ayu dan Adin melihat Citra di taman sedang berbicara dengan seseorang. Adin kembali mengerenyitkan dahi. Siapa orang itu?
Citra menoleh ke arah Adin dan Ayu, dan tersenyum manis. Adin dan Ayu melangkah menghampiri Citra. Begitu mereka dekat dengan gadis itu, mereka bisa melihat mata Citra yang sembab.
“Cit, kamu habis nangis?” tanya Adin bingung sambil mendekati pacarnya itu.
Citra menggeleng, masih tersenyum, “nggak apa-apa, Din. Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan dengan kalian.”
Citra berjalan menghampiri Adin.
“Aku.. aku nggak bisa meneruskan hubungan kita.”
“A-apa? Kenapa Cit?” Adin kaget dengan kata-kata yang keluar dari bibir Citra.
“Aku sudah dijodohkan..,” jawab Citra sambil memalingkan wajah. Ia tak akan sanggup menatap mata Adin.
“Dijodohkan? Tapi..”
“Aku benar-benar tidak bisa. Kumohon jangan marah, jangan benci padaku. Aku mencintaimu. Tapi kita nggak bisa bersama..”
Citra menggeleng, masih tersenyum, “nggak apa-apa, Din. Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan dengan kalian.”
Citra berjalan menghampiri Adin.
“Aku.. aku nggak bisa meneruskan hubungan kita.”
“A-apa? Kenapa Cit?” Adin kaget dengan kata-kata yang keluar dari bibir Citra.
“Aku sudah dijodohkan..,” jawab Citra sambil memalingkan wajah. Ia tak akan sanggup menatap mata Adin.
“Dijodohkan? Tapi..”
“Aku benar-benar tidak bisa. Kumohon jangan marah, jangan benci padaku. Aku mencintaimu. Tapi kita nggak bisa bersama..”
Ayu terbelalak kaget. Citra dijodohkan?
Rasanya hati Ayu ikut sakit. Walaupun ia menyukai Adin, tapi ia tidak pernah berharap seperti ini jadinya.
Rasanya hati Ayu ikut sakit. Walaupun ia menyukai Adin, tapi ia tidak pernah berharap seperti ini jadinya.
“Tu-tunggu Cit!” seru Ayu sambil berlari menghampiri Citra.
“Kamu nggak bisa seperti ini, kalau kamu cinta sama Adin, kamu harus perjuangkan cintamu itu. Jangan menyerah. Aku yakin pasti ada jalan, percayalah…”
“Kamu nggak bisa seperti ini, kalau kamu cinta sama Adin, kamu harus perjuangkan cintamu itu. Jangan menyerah. Aku yakin pasti ada jalan, percayalah…”
Tapi Citra hanya tersenyum menatap Ayu, “makasih Yu, kamu juga harus memperjuangkan cintamu..”
“Eh?”
“Kamu suka sama Adin kan? Kamu harus perjuangkan itu..,” kata Citra sambil menarik Ayu agar mendekat pada Adin.
“Maaf sudah membuatmu sakit. Aku tidak bermaksud begitu. Kamu cewek yang sangat baik Ayu, kamu pantas untuk mendapatkan Adin.”
“Maaf..,” ucap Citra lagi, “aku harus pergi. Terimakasih untuk segalanya…”
“Eh?”
“Kamu suka sama Adin kan? Kamu harus perjuangkan itu..,” kata Citra sambil menarik Ayu agar mendekat pada Adin.
“Maaf sudah membuatmu sakit. Aku tidak bermaksud begitu. Kamu cewek yang sangat baik Ayu, kamu pantas untuk mendapatkan Adin.”
“Maaf..,” ucap Citra lagi, “aku harus pergi. Terimakasih untuk segalanya…”
Kosong. Hanya kekosongan yang dirasakan Adin saat Citra meninggalkannya.
Ia tidak bisa menemukan jati dirinya lagi. Hatinya seakan hampa. Ia tidak peduli apapun lagi. Yang ia inginkan hanya satu. Citra kembali padanya.
Hanya itu.
Ia tidak bisa menemukan jati dirinya lagi. Hatinya seakan hampa. Ia tidak peduli apapun lagi. Yang ia inginkan hanya satu. Citra kembali padanya.
Hanya itu.
Adin membanting pintu kamarnya. Sudah sebulan sejak Citra pergi dari sisinya. Citra sudah dijodohkan dengan orang lain. Itu membuatnya sakit.
Hatinya berteriak, ada sesuatu yang ingin dikeluarkannya, tapi ia tak tahu bagaimana caranya.
Ia terus berlari tanpa arah, mungkin menyiksa tubuhnya akan mengurangi sedikit sakit dalam hatinya.
Ia terus berlari tanpa arah, mungkin menyiksa tubuhnya akan mengurangi sedikit sakit dalam hatinya.
Tiba-tiba semua terasa gelap. Hanya terdengar sayup-sayup suara seorang perempuan yang memanggil namanya. Tapi kemudian suara itu lenyap. Dan hanya kegelapan yang Adin rasakan.
Ayu’s POV
“Adin! Adin! Adiin!!” seruku panik saat melihat Adin memotong urat nadinya sendiri.
“ADIIN!!” seruku lagi. Aku tidak bisa diam. Mungkin suaraku tidak terdengar olehnya. Aku membuka jendelaku dan berteriak memanggil namanya semakin keras. Tiba-tiba dia terjatuh. Aku dapat melihat cairan merah yang menetes-netes dari pergelangan tangannya.
“ADIIN!!” seruku lagi. Aku tidak bisa diam. Mungkin suaraku tidak terdengar olehnya. Aku membuka jendelaku dan berteriak memanggil namanya semakin keras. Tiba-tiba dia terjatuh. Aku dapat melihat cairan merah yang menetes-netes dari pergelangan tangannya.
Aku berlari keluar rumah, menuju rumah Bu Yanti dan menggedor-gedor pintu rumah Adin.
Bu Yanti keluar dengan tampang kesal karena perbuatanku yang berisik. Tapi aku tidak peduli, yang penting sekarang adalah menyelamatkan Adin.
Bu Yanti keluar dengan tampang kesal karena perbuatanku yang berisik. Tapi aku tidak peduli, yang penting sekarang adalah menyelamatkan Adin.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Tante, cepat lihat Adin sekarang, cepat!!” tidak sadar aku membentak orang yang lebih tua. Aku sangat panik.
“Memangnya kenap?”
“DIA BUNUH DIRI!!!”
“Tante, cepat lihat Adin sekarang, cepat!!” tidak sadar aku membentak orang yang lebih tua. Aku sangat panik.
“Memangnya kenap?”
“DIA BUNUH DIRI!!!”
End of Ayu’s POV
—
Adin membuka matanya. Ruangan ini terasa asing baginya. Ia tahu sekarang ia ada di rumah sakit. Tapi bagaimana bisa? Kenapa dia masih hidup?
Ia menoleh ke samping dan melihat Ayu duduk di samping ranjangnya. Gadis itu sedang tertidur. Adin melihat bekas luka yang ada di pergelangan tangannya yang tertutup oleh kapas dan plester coklat.
Gadis ini..
Gadis yang selalu memperhatikannya dari jendela kamarnya. Sejak 14 tahun yang lalu, Adin selalu merasa Ayu menyukainya. Tapi ia tak berani menyimpulkan. Ayu selalu melihatnya saat pagi dan malam. Mereka bertetangga bahkan satu sekolah, tapi mereka tak pernah berkomunikasi.
Gadis yang selalu memperhatikannya dari jendela kamarnya. Sejak 14 tahun yang lalu, Adin selalu merasa Ayu menyukainya. Tapi ia tak berani menyimpulkan. Ayu selalu melihatnya saat pagi dan malam. Mereka bertetangga bahkan satu sekolah, tapi mereka tak pernah berkomunikasi.
“Ayu..,” ucap Adin pelan, “apa kamu menyumbangkan darahmu untukku?”
Ia tahu Ayu tak akan menjawabnya. Gadis itu masih terlelap.
Ia tahu Ayu tak akan menjawabnya. Gadis itu masih terlelap.
“Makasih…,” ucap Adin lagi.
“Makasih karena sudah mencintaiku. Makasih atas perhatianmu selama ini. Aku tak akan bisa tidur kalau tak melihat wajahmu yang selalu memperhatikanku.
“Makasih karena sudah mencintaiku. Makasih atas perhatianmu selama ini. Aku tak akan bisa tidur kalau tak melihat wajahmu yang selalu memperhatikanku.
Adin bangun dan mengelus rambut Ayu, membuat Ayu terbangun.
Ia menatap Adin yang tersenyum lembut.
Ia menatap Adin yang tersenyum lembut.
“Maaf membangunkanmu..,” ucap Adin.
“Kamu.. udah sadar..,” ucap Ayu yang gugup.
“Iya lah.”
“A-Adin..,” panggil Ayu, “aku tahu kamu mencintai Citra. Tapi kamu nggak boleh kehilangan semangat hidup. Kamu?”
“Kamu.. udah sadar..,” ucap Ayu yang gugup.
“Iya lah.”
“A-Adin..,” panggil Ayu, “aku tahu kamu mencintai Citra. Tapi kamu nggak boleh kehilangan semangat hidup. Kamu?”
CHU~
Ayu terdiam. Adin mencium pipinya tiba-tiba. Sesuatu yang tak pernah Ayu bayangkan untuk menjadi nyata. Apa ini mimpi?
“Sudah nggak usah bawel.., aku punya syarat kalau begitu.”
“Apa?”
“Jadilah pacarku, Ayu. Jangan pernah tinggalkan aku…”
“Kamu.. yakin? Bukannya kamu cinta sama Citra?”
“Nggak, aku mencintai Ayu, bukan Citra.”
“Apa?”
“Jadilah pacarku, Ayu. Jangan pernah tinggalkan aku…”
“Kamu.. yakin? Bukannya kamu cinta sama Citra?”
“Nggak, aku mencintai Ayu, bukan Citra.”
Ayu terdiam, namun kemudian cewek itu menangis bahagia. Ia memeluk Adin dan berbisik, “terimakasih, aku juga mencintaimu.., Adin”.
TAMAT
Cerpen Karangan: Arisa Yuu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar