Jumat, 15 November 2013

Cerpen - I’m Not a Monster

Satu tetes air mata pria itu terjatuh. Rasanya menatap orang yang sangat kita cintai dari jauh adalah hal yang paling menyakitkan. Apalagi menatapnya sedang sendirian. Itu adalah hal yang tak pernah bisa dia bayangkan. Jika saja gadis itu melihatnya, pasti dia akan langsung menyambar dan memeluk erat sambil meraba-raba wajahnya. Hal itu selalu bisa membuatnya terharu dan menangis. Dua kalimat paling menusuk untuk hatinya adalah, “Dunia bukan hanya untuk dilihat, namun dirasakan. Aku memang tak dapat melihat bagaimana dunia sebenarnya, namun aku bisa merasakan dunia itu lewat gelapnya pandangan mataku. Bukan hatiku.”
Kira-kira itu adalah hal yang paling menusuk tajam dalam jiwanya. Dia selalu menangis. Dan bahkan sampai tersedu-sedu. Hanya saja tak di depan dirinya.
Nama gadis itu adalah Gracia. Dia seorang gadis buta. Keinginan terbesarnya adalah melihat dunia kembali. Karena sekitar dua belas tahun yang lalu – ketika dia berumur lima tahun -, dia bisa melihat bagaimana dunia. Sampai sebuah kecelakaan yang merenggut penglihatannya. Sungguh hal yang paling dibencinya adalah itu.
Namun bagaimanapun juga, gadis itu tak bisa menyangkal sebuah kata yang bisa disebut ‘hidup’. Dia harus tetap hidup walau dalam keadaan gelap. Dia selalu membayangkan bagaimana wajah sang kekasih tercinta. Dia sungguh ingin melakukan operasi mata. Hanya satu tujuannya, untuk melihat orang yang amat mencintainya.
Dilihatnya lagi gadis berambut panjang itu. Pria tersebut menunduk sambil menitikan air mata kembali.
“Maafkan aku. Sekali lagi, maafkan aku, Gracia-ku.”
“Bagaimana keadaanmu?” suara itu geram dan serak. Gracia masih memandang ke depan dengan tatapan gelap.
“Tak buruk. Oh, ya. Minggu depan aku akan menjalani operasi mata. Ada seseorang yang mau mendonorkan korneanya untukku.” ucap Gracia ceria. Pria itu kembali mengeluarkan air mata.
“Syukurlah, aku turut berbahagia.”
“Grrr! Grrr!”
Monster itu tak bisa diam. Sesuatu telah membuatnya merasa tak enak. Dia terus berguling-guling tak menentu di atas tanah basah bekas hujan. Luka di dadanya mengeluarkan banyak darah. Dia tampak meringis dan menangis kesakitan. Walau tubuhnya begitu tegap dan gagah, siapa tahu ada kerentaan di balik hatinya. Bahkan dia sudah terlihat lemah. Dia terus menahan darah yang hendak keluar dari dadanya. Matanya basah berlinang menahan sakit yang teramat sangat mencekam. Bibirnya kelu tak bersuara. Hanya tiga kata yang bisa dia desahkan lewat bibir hitamnya yang penuh darah.
“Aku bukan monster…”
Gadis itu mulai membuka dan mengerjipkan matanya. Senyumnya mulai merekah ketika sebuah cahaya masuk dan terpantul dari lensa matanya. Dia sampai terharu keinginannya dapat terkabul.
“Ibu, aku bisa melihat dengan jelas sekarang. Walau kemarin pandanganku sedikit buram.” ucapnya bahagia dan menatap Ibunya yang terduduk di sana.
“Ibu, di mana Dean. Dia tak datang?”
“Tadi dia datang ke sini. Dia memberikanmu surat. Bacalah!” ucap Ibunya.
Gracia mulai membuka isi amplop itu. Sebuah amplop berwarna merah muda dengan secarik kertas cinta di dalamnya.
“Untukmu Graciaku.
Maaf aku tak bisa bertemu denganmu hari ini. Itu karena aku harus berangkat ke luar kota untuk memenuhi tugasku di sana. Aku harap aku tak akan lama. Dan kita bisa bersama lagi. Aku juga berharap kau tak akan sedih saat aku tak ada. Aku bahagia kau bisa kembali melihat. Jika ingin menghubungiku, kirimi saja aku surat.
Kekasihmu
Dean”
Surat itu begitu singkat dan padat bagi Gracia. Dia kembali melipat dan memasukan surat itu ke dalam amplopnya. Dia sedikit menangis mengingat dia tak dapat melihat wajah sang kekasih tercinta untuk pertama kalinya. Walaupun begitu, dia akan menunggunya sampai akhirnya dia kembali.
Pria itu berdiri di atas tebing tinggi. Tanpa kaos. Hanya sebuah celana panjang yang dia pakai. Celananya mirip seperti celana tentara. Dia menatap bulan di atas langit yang sedang enaknya menggantung di sana. Dia menitikan kembali setetes air mata dari pelupuk matanya. Setetes. Kembali terucap tiga kata yang salah satunya adalah nama dari kekasih tercinta.
“Maafkan aku, Gracia. Maaf sekali lagi maaf.”
Hanya itu yang keluar dari getaran bibirnya. Dan tak lebih sama sekali.
“Dear Deary
Aku sudah menantinya selama tiga bulan. Kapan dia akan pulang? Aku sungguh tak sabar untuk bertemu dengannya. Tiga bulan itu cukup lama. Jika sesuatu yang membuatmu tak bisa kembali padaku, aku bisa merelakanmu pergi dan tak usah kembali lagi. Tapi mengapa kau tak memberiku surat dan kabar lagi? Kau bilang, jika aku ingin menghubungimu, aku tinggal kirim surat. Yeah, aku akan melakukannya. Tapi itu jika kau menyelipkan sebuah alamat di amplop suratmu. Kau bahkan mengirim surat tanpa prangko. Kau kan langsung memberikannya pada Ibuku, tak melalui pos. Aku selalu mengharapkan kedatanganmu. Walau kau ingin memilih wanita lain, setidaknya berilah aku kabar atau ucapan selamat tinggal. Agar aku bisa tahu, apakah aku harus mempertahankan segala cintaku ini.”
“Grrr..! Grr…!”
Makhluk itu kembali menggeram dan meringis. Sekarang bukan dadanya, melainkan kakinya. Kakinya tertancap panah sewaktu di hutan. Dan itu membuat dia tak bisa menggerakan kakinya sama sekali. Dia kembali menitikan air matanya. Menahan sakit yang sudah menjalar hampir di seluruh tubuhnya. Juga menahan sakit yang ada pada hatinya. Bibirnya kembali bergetar,
“Aku bilang, aku bukan monster. Aku bukan monster…”
“Dean, apakah aku harus mengakuinya?” desahnya pelan sambil memegang sekuntum bunga mawar merah muda.
“Dean, berapa lama lagi aku harus menunggumu? Mengapa kau jadi seperti ini, Dean?” ucapnya sambil memetik setiap satu lembar kelopak mawar tersebut.
“Dean, jangan lama. Aku jemu menunggumu di sini. Jangan lama.”
“Kau mungkin bertanya, mengapa aku seperti ini? Semuanya karena keadaan. Aku merasa tak percaya diri harus bersanding dengan gadis secantik dirimu. Jika kau tahu siapa aku sebenarnya, masih maukah kau berjalan dan duduk di taman bersamaku? Aku tak bisa yakin akan itu. Aku tak bisa yakin terhadap diriku sendiri. Andai kata kau mau menerimaku apa adanya. Aku pasti akan merasa sangat bahagia. Walau aku tahu, aku benar-benar tak pantas untuk berdiri di sampingmu. Kuharap kau mengerti, Gracia.”
“Aku bukan monster!” jelasnya.
“Aku bilang aku bukan monster! Kalian jangan membunuhku! Aku tak akan menyakiti kalian!” jelasnya lagi dengan suara besar parau.
“Bagaimana kau bisa menjelaskannya? Kau manusia serigala! Dirimu membahayakan! Kau pantas dibunuh!”
“Tidak! Aku tak akan menyakiti siapapun. Termasuk Gracia, tidak akan!” dia terus meyakinkan pada mereka. Namun mereka sangat keras kepala.
“Diam, biar kubunuh kau pada hari ini juga, monster jahat!”
“Tidakk!”
Sleeb! Bau anyir dari tubuhnya tercium. Panah itu telah menikam dadanya hingga menembus punggungnya. Satu tembakan saja membuat nafasnya tersendat-sendat. Dia sekarat!
“Tidakkk!” teriak seorang gadis berambut panjang sambil menerobos kumpulan orang yang memanah makhluk tadi.
Air matanya meleleh melihat seseorang yang amat dinantinya tergeletak lemah dalam keadaan sekarat dan berlumur darah di dadanya. Monster itu memegang batang panah sambil berdesah,
“Gracia,”
“Dean, kau tahu arti kalimat ini?
‘Dunia bukan hanya untuk dilihat, namun dirasakan. Aku memang tak dapat melihat bagaimana dunia sebenarnya, namun aku bisa merasakan dunia itu lewat gelapnya pandangan mataku. Bukan hatiku.’ Kau tahu apa artinya Dean? Artinya, aku tak akan merasakan dengan hatiku, rasa dihatiku sudah beku untukmu. Biarkan aku merasakan dunia dengan mataku. Mataku, mataku tak buta Dean. Itu semua hanya bohong, Dean. Aku bisa melihatmu, Dean. Setiap hari. Bahkan wujudmu yang sebenarnya, Dean. Dean, mengapa kau tak datang ketika aku akan mengungkapkan seluruh rahasiaku, Dean? Apakah kau tak cukup yakin? Mengapa jika aku tak dapat melihat kau mau bertemu diriku, Dean? Apakah aku harus memusnahkan penglihatanku agar kau mau bersamaku, Dean? Dean? Dean! Kau tahu, megapa aku bisa langsung membaca suratmu, Dean? Itu karena aku sudah bisa! Aku tak buta! Aku tak buta! Dean, Dean! Aku mencintaimu! Jangan biarkan aku menunggu lagi! Jangan biarkan aku menunggu kematianku untuk bertemu denganmu! Dean, Dean!”
Gadis itu beteriak sambil memegang tubuh dan memeluknya – tubuh Dean monster -. Dia menangis melihat seseorang yang amat dicintainya sudah tak pasti untuk bisa melanjutkan hidupnya.
“Hanya kau yang aku cintai, Dean. Aku tak sanggup tanpamu. Aku tak sanggup. Di sinilah bersamaku, Dean. Mari kita mulai dari awal lagi.” isak Gracia.
“Maafkan aku, Graci-a.”
Terhenti. Nafas itu telah terhenti. Buka terhenti untuk sementara. Namun terhenti sampai ada saatnya untuk terhembus kembali. Sampai terhembus kembali. Mungkin akan terhembus sampai mereka akan bertemu kembali. Kembali. Dan terhenti. Gerak darahnya terhenti. Tak ada aliran lagi. Terhenti. Detak jantung dan nadinya terhenti. Tak terdengar lagi suara pompaan jantung itu. Terhenti. Beku. Seonggok monster yang telah terkaku. Terkulai. Tak akan ada lagi waktu untuk kembali lagi. Kembali membuka mata dan tersenyum. Tak ada lagi buaian tangan besarnya yang akan menghangatkan. Tak akan. Tak akan kembali. Sudah terhenti.
“Dean! Dean! Kau meninggalkanku? Kau tega? Dean, mengapa kau membiarkanku menunggumu lama lagi? Kau tak kasihan padaku? Tak kasihan? Dean! Dean!” isak tangisnya.
“Dean, kau tak mati, kan? Kau masih hidup? Tersenyum! Buai aku! Peluk! Bangun! Ayo! Ayo, Dean!” katanya sesenggukan.
Dia masih menggenggam erat baju berdarah monster itu. Dia masih sesenggukan sambil menahan kesakithatiannya.
Lolongan. Terdengar sebuah lolongan dari arah tebing di sana. Dia dapat melihatnya. Monster serigala tengah mengaung di sana di tengah bulan purnama yang besar. Monster itu melompat pergi ke arah bulan sampai hanya terlihat satu titik hitam kecil. Gracia menyeka bulir air matanya. Dia dapat melihat seorang pria tampan tertidur pulas di hadapannya.
“Aku tahu kau bukan monster. Maafkan aku, aku telah membohongimu selama ini. Aku dapat melihatmu, Dean. Jangan pernah berdusta lagi di antara kita, Dean. Aku mencintaimu.”
- SEKIAN -
Cerpen Karangan: Selmi Fiqhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar