Kesenian ini diduga telah ada / mulai dikenal pada abad XVII. Menurut sejarahnya, kesenian ini bermula ketika Demang Kesawen (Kesawen saat ini menjadi salah satu desa di Kecamatan Pituruh Kab. Purworejo) mengikuti Pisowanan di Kadipaten Karangduwur Sambil menunggu acara pisowanan tersebut dimulai, Demang Kesawen bersama 3 (tiga) prajuritnya yang bernama Krincing, Dipomenggolo dan Keling melakukan
latihan bela diri di lapangan Kadipaten. Ketika mereka sedang asyik
berlatih bela diri dan diketahui oleh Adipati Karangduwur, rupanya
beliau tidak berkenan jika Demang Kesawen dan anak buahnya melakukan
latihan bela diri di alun - alun Karangduwur. Untuk itu, Adipati
memperingatkan kepada Demang Kesawen dan anak buahnya, agar tidak
mengulangi kegiatan serupa lagi di masa yang akan datang.
|
Walaupun telah ditegur oleh Adipati Karangduwur, ternyata Demang
Kesawen tidak jera. Pada pisowanan yang akan datang dia berkeinginan
untuk kembali melakukan kegiatan latihan bela diri di Alun - alun
kawedanan. Untuk itu dia mengajak musyawarah dua orang kepercayaannya
yaitu Jagabaya dan Komprang. Hasil rembugan tersebut adalah : Krincing,
Dipomenggolo dan Keling akan ikut lagi dalam pisowanan. Untuk itu
Komprang akan membuat kegiatan latihan bela diri menjadi sebuah tarian
dengan diiringi tetabuhan / musik. Akhirnya terbentuklah tim kesenian
yang terdiri dari para prajurit kademangan.
Pada waktu pisowanan, gerak bela diri yang disamarkan dalam bentuk
tarian dan musik oleh para prajurit Demang Kesawen terbukti tidak
menimbulkan kecurigaan dan kemarahan Adipati Karangdwur. Mereka dianggap
sebagai sebuah kelompok kesenian biasa, padahal dibalik penyamaran itu
mereka adalah pengawal pilihan dari Demang Kesawen. Semenjak itulah
setiap pisowanan ke Kadipaten Karangdwur, Demang Kesawen selalu membawa
“Kelompok Kesenian”-nya yang terdiri dari para pengawalnya. Setiap
kelompok kesenian ini tampil di acara pisowanan, banyak petinggi
Kadipaten yang ikut menontonnya. Hingga Adipati Karangdwur meminta
kepada Demang Kesawen untuk melestarikan kesenian tersebut sekaligus
menanyakan apa nama kesenian yang mereka bawakan. Demang Kesawen yang
merasa tidak tahu menyerahkan jawabannya kepada Jagabaya. Jagabaya
menamai kesenian ini Cingpoling. Diambil dari nama 3 (tiga) orang
pengawal Demang, yaitu :
Dari nama Krincing diambil suku kata terakhir “CING”
Dari nama Dipomenggolo diambil suku kata terakhir “PO”
Dari nama Keling diambil suku kata terakhir “LING”
Sepulang dari Kadipaten, Demang Kesawen mengadakan syukuran yang meriah
untuk merayakan diterimanya Kesenian Cingpoling oleh Adipati.
Pada masa lalu, kesenian ini dipergunakan sebagai pengantar Demang
Kesawen dalam melakukan pisowanan. Namun karena terjadi pergantian
struktur pemerintahan yang dilakukan oleh penjajah Belanda dan Jepang
membuat kegiatan pisowanan tidak lagi dilaksanakan. Pada saat itulah
Cingpoling merubah diri menjadi kesenian yang dilakukan oleh masyarakat
sebagai bagian dari kekayaan seni dan budaya. Kesenian ini kemudian
menjadi sajian pada kegiatan-kegiatan seperti : menyambut tamu,
pernikahan, khitanan dan lain-lain, hingga saat ini.
Penari Cingpoling saat ini adalah masyarakat yang berkeinginan untuk
melestarikan kesenian tersebut. Jumlah penari biasanya terdiri dari 9
(sembilan) orang.Grup Kesenian Cingpoling “Tunggul Wulung” berada di
Desa Kesawen Kecamatan Pituruh dengan pimpinan Bapak Simun. Grup ini
telah berdiri sejak tahun 1957. Didirikan untuk melestarikan kesenian
Cingpoling agar tidak punah. Hingga sekarang grup ini masih eksis
walaupun para anggotanya telah berusia lanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar