Ocha meneguk lagi minuman beralkohol yang berada di hadapannya, dia sama sekali tidak memperdulikan hingar bingar yang berada di sekitarnya. Musik yang menghentak-hentak, suara tawa dari berbagai sudut, orang-orang yang menari dengan gilanya, sudah menjadi hal yang biasa bagi Ocha.
“Hoy Cha, tumben lu malam ini minum banyak banget?” seru Vita berusaha mengalahkan kebisingan di sekitarnya. Ocha hanya diam tidak menjawab, mulutnya masih saja menegak minuman beralkohol itu hingga tidak bersisa lagi.
“Pesenin gue satu gelas lagi Vit!” teriak Ocha tanpa sadar, dirinya sudah berada di bawah pengaruh alkohol.
“Gila lu, udah minum 3 gelas, mau minum lagi? Ntar kalau gue bawa pulang lu dalam keadaan mabuk gue bisa dibunuh sama bokap lu!” seru Vita lagi.
“Aaah! Masa Bodo sama Bokap! Pesenin gue satu lagi!!!” teriak Ocha sambil menyodorkan gelasnya pada Vita. Vita hanya menghela nafas melihat keadaan sahabatnya yang satu ini.
“Udah cukup lu minumnya, ayo sekarang gue anter elu pulang!” Vita berusaha menyeret Ocha, tapi Ocha menarik tubuhnya dan kembali duduk di sofa.
“Gue enggak mau pulang. Gue mau disini! ini dunia gue! kalau lu mau pulang, lu pulang aja sendiri!!”
“Gue bisa dihabisi sama bokap lu ntar, kalau gue pulang ninggalin lu disini!”
“Ah, Pers*tan dengan bokap gue!”
“Oke, lu pilih, gue anter pulang sekarang atau lu mau gue telpon bokap lu?” Ancam Vita mulai kehabisan kesabarannya dengan sahabatnya yang satu ini.
“Oke. oke gue pulang sekarang.” Ujar ocha mengalah, kemudian berusaha berdiri dan berjalan dengan terhuyung-huyung. Baru beberapa langkah Ocha menabrak seseorang lelaki tanpa sadar.
“Hey, lu engga apa-apa?” tanya lelaki itu memegang siku ocha yang hampir terjatuh. Ocha hanya mengangguk-angguk tidak peduli. Vita yang melihat langsung memapah Ocha.
“Sorry ya, dia lagi mabuk.” Kata vita pada lelaki itu.
“It’s ok. Butuh bantuan?” tanya lelaki itu seraya melepaskan pegangannya pada Ocha.
“Thanks tapi gak usah, gue bisa kok.” Tolak vita halus, kemudian berusaha memapah Ocha keluar dari hingar bingar. Tanpa mereka sadari sepasang mata mengamati mereka hingga menghilang dari balik pintu keluar.
“Hoy Cha, tumben lu malam ini minum banyak banget?” seru Vita berusaha mengalahkan kebisingan di sekitarnya. Ocha hanya diam tidak menjawab, mulutnya masih saja menegak minuman beralkohol itu hingga tidak bersisa lagi.
“Pesenin gue satu gelas lagi Vit!” teriak Ocha tanpa sadar, dirinya sudah berada di bawah pengaruh alkohol.
“Gila lu, udah minum 3 gelas, mau minum lagi? Ntar kalau gue bawa pulang lu dalam keadaan mabuk gue bisa dibunuh sama bokap lu!” seru Vita lagi.
“Aaah! Masa Bodo sama Bokap! Pesenin gue satu lagi!!!” teriak Ocha sambil menyodorkan gelasnya pada Vita. Vita hanya menghela nafas melihat keadaan sahabatnya yang satu ini.
“Udah cukup lu minumnya, ayo sekarang gue anter elu pulang!” Vita berusaha menyeret Ocha, tapi Ocha menarik tubuhnya dan kembali duduk di sofa.
“Gue enggak mau pulang. Gue mau disini! ini dunia gue! kalau lu mau pulang, lu pulang aja sendiri!!”
“Gue bisa dihabisi sama bokap lu ntar, kalau gue pulang ninggalin lu disini!”
“Ah, Pers*tan dengan bokap gue!”
“Oke, lu pilih, gue anter pulang sekarang atau lu mau gue telpon bokap lu?” Ancam Vita mulai kehabisan kesabarannya dengan sahabatnya yang satu ini.
“Oke. oke gue pulang sekarang.” Ujar ocha mengalah, kemudian berusaha berdiri dan berjalan dengan terhuyung-huyung. Baru beberapa langkah Ocha menabrak seseorang lelaki tanpa sadar.
“Hey, lu engga apa-apa?” tanya lelaki itu memegang siku ocha yang hampir terjatuh. Ocha hanya mengangguk-angguk tidak peduli. Vita yang melihat langsung memapah Ocha.
“Sorry ya, dia lagi mabuk.” Kata vita pada lelaki itu.
“It’s ok. Butuh bantuan?” tanya lelaki itu seraya melepaskan pegangannya pada Ocha.
“Thanks tapi gak usah, gue bisa kok.” Tolak vita halus, kemudian berusaha memapah Ocha keluar dari hingar bingar. Tanpa mereka sadari sepasang mata mengamati mereka hingga menghilang dari balik pintu keluar.
—
“Non Ocha ayo bangun. Udah Pagi.” seru Bi Ijah seraya mengguncang tubuh Ocha yang masih terlelap di kasurnya. Perlahan Ocha membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan dunia seakan berputar.
“Udah jam berapa bi?” tanya Ocha dengan suara parau berusaha melawan vertigo ringan yang menyerangnya.
“Udah jam 6 non, ntar non terlambat sekolah lo.” Ujar Bi Ijah seraya membereskan kamar Ocha yang terlihat seperti kapal pecah. Ocha tidak bergeming dari kasurnya, kepalanya masih tidak bisa diajak berkompromi.
“Ayah udah berangkat Bi?” tanya Ocha lagi.
“Udah non, Baru saja. Tuan marah banget non pulang dalam keadaan mabuk tadi malam.” Jelas Bi ijah masih membersihkan kamar Ocha. Ocha hanya menghela nafas panjang, kemudian berusaha bangun dari kasurnya. Dengan langkah gontai dan terhuyung-huyung Ocha berjalan menuju kamar mandi untuk mempersiapkan diri ke sekolah.
“Udah jam berapa bi?” tanya Ocha dengan suara parau berusaha melawan vertigo ringan yang menyerangnya.
“Udah jam 6 non, ntar non terlambat sekolah lo.” Ujar Bi Ijah seraya membereskan kamar Ocha yang terlihat seperti kapal pecah. Ocha tidak bergeming dari kasurnya, kepalanya masih tidak bisa diajak berkompromi.
“Ayah udah berangkat Bi?” tanya Ocha lagi.
“Udah non, Baru saja. Tuan marah banget non pulang dalam keadaan mabuk tadi malam.” Jelas Bi ijah masih membersihkan kamar Ocha. Ocha hanya menghela nafas panjang, kemudian berusaha bangun dari kasurnya. Dengan langkah gontai dan terhuyung-huyung Ocha berjalan menuju kamar mandi untuk mempersiapkan diri ke sekolah.
“Bibi, aku berangkat ya.” Seru Ocha seraya menyambar roti panggang gosong yang terletak di atas meja makan.
“Eeh, Non! minum susu coklatnya dulu.” Bi Ijah tergopoh-gopoh menyusul Ocha yang berlari kegarasi mobilnya sambil memegang segelas susu coklat hangat dan menyodorkannya pada Ocha. Dengan sekali teguk Ocha segera menghabiskan susu coklatnya.
“Aduuh Bi, kenapa selalu kemanisan sih.” Protes Ocha setelah menghabiskan susu pemberian Bi Ijah, belum sempat Bi Ijah menjawab, Ocha sudah melompat masuk ke dalam mobil Jeep merah kesayangannya.
“Bwngkaat duyuu Bhi.” Seru Ocha tak jelas sambil menggigit roti panggang yang belum sempat dihabiskannya. Bi Ijah hanya bisa mengelus dada melihat Nona kesayangannya selalu bertingkah seperti itu setiap pagi hingga Bi Ijah tidak pernah sempat menjelaskan sesuatu yang penting untuk Ocha.
“Eeh, Non! minum susu coklatnya dulu.” Bi Ijah tergopoh-gopoh menyusul Ocha yang berlari kegarasi mobilnya sambil memegang segelas susu coklat hangat dan menyodorkannya pada Ocha. Dengan sekali teguk Ocha segera menghabiskan susu coklatnya.
“Aduuh Bi, kenapa selalu kemanisan sih.” Protes Ocha setelah menghabiskan susu pemberian Bi Ijah, belum sempat Bi Ijah menjawab, Ocha sudah melompat masuk ke dalam mobil Jeep merah kesayangannya.
“Bwngkaat duyuu Bhi.” Seru Ocha tak jelas sambil menggigit roti panggang yang belum sempat dihabiskannya. Bi Ijah hanya bisa mengelus dada melihat Nona kesayangannya selalu bertingkah seperti itu setiap pagi hingga Bi Ijah tidak pernah sempat menjelaskan sesuatu yang penting untuk Ocha.
“Ah, bibi mesti selalu deh buat roti gosong.” Gumam ocha setelah menghabiskan rotinya sambil tetap memegang kemudi mobil. Vertigo yang menyerangnya tadi pagi belum sepenuhnya hilang akibat tadi malam Ocha terlalu banyak menegak minuman beralkohol, karena itu Ocha menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak biasanya Ocha menegak minuman beralkohol sebanyak tadi malam, biasanya Ocha hanya meneguk sedikit untuk menghangatkan badan dan turun berdansa hanya untuk melepaskan stress. Tapi Ocha memiliki alasannya, kenapa ia minum sebanyak itu hingga mabuk. Ada hal yang ingin Ocha lupakan meskipun sampai saat ini ia masih mengingatnya. Perlahan memorinya berputar kembali ke saat sebelum Ocha pergi ke bar.
Siang itu Ocha baru pulang dari sekolahnya, tidak seperti biasanya, mobil ayahnya sudah terparkir di garasi. Tentu saja itu membuat Ocha senang dapat bertemu dengan Ayahnya. Tapi apa yang dilihat Ocha di ruang tamu adalah sesuatu yang sangat tidak ingin Ocha lihat, ayahnya sedang mengobrol dengan sekertarisnya, Sekertaris Nana. Gadis yang sangat Ocha benci. Di mata Ocha, Sekertaris Nana selalu berusaha mendekati Ayahnya, seperti saat ini, Sekertaris Nana tertawa centil mendengar gurauan Ayahnya dan beberapa kali mencubit lengan Ayahnya membuat Ocha mengerenyit jijik dan ingin muntah melihat kecentilan Sekertaris Ayahnya itu.
“Lho, Ocha sudah pulang.” Sapa ayah Ocha yang melihat Ocha telah berdiri di ruang tamu.
“Ya.” Ujar Ocha pendek masih tetap menatap sekertaris Nana yang sedang tersenyum manis padanya, tapi bagi Ocha itu hanyalah senyum palsu untuk merebut hatinya. Dengan tatapan dingin Ocha melangkah berlalu dari situ.
“Ocha, ada tamu kok malah enggak disapa?” tegur Ayah Ocha menghentikan langkahnya.
“Tamu siapa maksudnya? Kalo Ayah maksud tamunya dia, buat aku dia bukan tamu yah. Tapi Setan numpang lewat.” Jawab Ocha yang disambut bentakan Ayahnya.
“Ocha! Kamu yang sopan ya!”
“Aku sopan kok yah, kalau bukan sama dia.”
“Siapapun tamu Ayah dan dia lebih tua dari kamu, kamu harus tetap sopan, tidak peduli kamu suka atau tidak!”
“Oh, gitu. Ah, lupaaa.. Ayahkan selalu belain dia. Daripada anaknya sendiri.”
“Ocha!”
“kenapa yah? Kalau ayah mau nikah sama dia sih engga apa-apa, tapi ocha ogah. Cewek menjijikan kaya gini..” belum sempat Ocha menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan ayahnya sudah melayang.
PLLAAKK!
Ocha memegang pipi kirinya yang memerah.
“Sekarang masuk ke kamarmu!!!” Bentak Ayah Ocha. Ocha menatap ayahnya dengan kesal, air mata menggenang di pelupuk mata gadis itu.
“Kenapa harus bunda yang pergi? Kenapa gak ayah aja? Ocha benci ayah!!” seru Ocha kemudian mengambil langkah seribu menuju kamarnya dan membanting pintu kamarnya. Ayahnya hanya bisa terkesiap mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Ocha.
“Lho, Ocha sudah pulang.” Sapa ayah Ocha yang melihat Ocha telah berdiri di ruang tamu.
“Ya.” Ujar Ocha pendek masih tetap menatap sekertaris Nana yang sedang tersenyum manis padanya, tapi bagi Ocha itu hanyalah senyum palsu untuk merebut hatinya. Dengan tatapan dingin Ocha melangkah berlalu dari situ.
“Ocha, ada tamu kok malah enggak disapa?” tegur Ayah Ocha menghentikan langkahnya.
“Tamu siapa maksudnya? Kalo Ayah maksud tamunya dia, buat aku dia bukan tamu yah. Tapi Setan numpang lewat.” Jawab Ocha yang disambut bentakan Ayahnya.
“Ocha! Kamu yang sopan ya!”
“Aku sopan kok yah, kalau bukan sama dia.”
“Siapapun tamu Ayah dan dia lebih tua dari kamu, kamu harus tetap sopan, tidak peduli kamu suka atau tidak!”
“Oh, gitu. Ah, lupaaa.. Ayahkan selalu belain dia. Daripada anaknya sendiri.”
“Ocha!”
“kenapa yah? Kalau ayah mau nikah sama dia sih engga apa-apa, tapi ocha ogah. Cewek menjijikan kaya gini..” belum sempat Ocha menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan ayahnya sudah melayang.
PLLAAKK!
Ocha memegang pipi kirinya yang memerah.
“Sekarang masuk ke kamarmu!!!” Bentak Ayah Ocha. Ocha menatap ayahnya dengan kesal, air mata menggenang di pelupuk mata gadis itu.
“Kenapa harus bunda yang pergi? Kenapa gak ayah aja? Ocha benci ayah!!” seru Ocha kemudian mengambil langkah seribu menuju kamarnya dan membanting pintu kamarnya. Ayahnya hanya bisa terkesiap mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Ocha.
Ciiittt.. Sebuah sepeda motor yang menyalip mobil Ocha menyentakkan Ocha dari lamunannya. Dengan kesal Ocha membunyikan klaksonnya, hampir saja ia menabrak pengendara motor itu.
“Wooi, hati-hati dong!!” seru Ocha kesal.
“Wooi, hati-hati dong!!” seru Ocha kesal.
—
“Ochaa, lu mau ke bar lagi?” tanya Vita setelah sekolah usai.
“Iya, tapi gue mau pulang dulu. Mau ganti baju.” Jawab Ocha seraya menyampirkan tas selempangan di lengannya.
“Oke deh, gue jemput seperti biasa?” tanya Vita lagi.
“Boleh. Yuk pulang.” Ajak Ocha kemudian berjalan menuju parkiran diikuti oleh Vita.
“Iya, tapi gue mau pulang dulu. Mau ganti baju.” Jawab Ocha seraya menyampirkan tas selempangan di lengannya.
“Oke deh, gue jemput seperti biasa?” tanya Vita lagi.
“Boleh. Yuk pulang.” Ajak Ocha kemudian berjalan menuju parkiran diikuti oleh Vita.
—
“Ocha, mau kemana kamu dengan pakaian seperti itu?” tanya Ayahnya yang melihat Ocha dengan pakaian serba minim. Malam itu seperti biasa Ocha akan pergi ke bar. Ocha hanya melengos mendapati ayahnya yang berada di ruang keluarga.
“Bukan urusan ayah.” Jawab Ocha dingin.
“Ini urusan ayah, kamu anak ayah! Ganti bajumu!”
“Kenapa aku harus ngikutin perintah ayah? Jadi ayah masih menganggap aku anak ayah? Bagus deh kalau gitu. Tapi sayangnya aku enggak. Buat aku ayah itu bukan ayah terbaik, jadi aku juga engga akan menuruti ayah.”
“Apa? Kamu berani ngomong seperti itu sama ayah?” Ocha hanya menatap Ayahnya dengan dingin kemudian berjalan meninggalkan ayahnya.
“Ocha! Ayah bilang kembali!!” Ocha tetap berjalan hingga menghilang dari balik pintu. Ayahnya menghela nafas panjang, tanpa ia sadari, air mata menggenang di pelupuk mata lelaki separuh baya itu.
“Yo, cha. Kenapa wajah lu kusut?” tanya Vita sambil menjalankan mobilnya. Ocha hanya mengangkat bahunya tidak berniat menjawab. Vita hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya yang satu ini.
“Bukan urusan ayah.” Jawab Ocha dingin.
“Ini urusan ayah, kamu anak ayah! Ganti bajumu!”
“Kenapa aku harus ngikutin perintah ayah? Jadi ayah masih menganggap aku anak ayah? Bagus deh kalau gitu. Tapi sayangnya aku enggak. Buat aku ayah itu bukan ayah terbaik, jadi aku juga engga akan menuruti ayah.”
“Apa? Kamu berani ngomong seperti itu sama ayah?” Ocha hanya menatap Ayahnya dengan dingin kemudian berjalan meninggalkan ayahnya.
“Ocha! Ayah bilang kembali!!” Ocha tetap berjalan hingga menghilang dari balik pintu. Ayahnya menghela nafas panjang, tanpa ia sadari, air mata menggenang di pelupuk mata lelaki separuh baya itu.
“Yo, cha. Kenapa wajah lu kusut?” tanya Vita sambil menjalankan mobilnya. Ocha hanya mengangkat bahunya tidak berniat menjawab. Vita hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya yang satu ini.
Sepanjang perjalanan Ocha hanya diam sambil menatap pemandangan yang dilaluinya. Ia tau kata-katanya terlalu kasar untuk ayahnya. Tapi kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Bagi Ocha, ayahnya sudah berubah. Semenjak kematian bunda ocha, Ayahnya terlalu sibuk kesana-kemari, kerja, kerja dan kerja. Ocha tau, bukan salah ayahnya bundanya meninggal, Ayahnya berusaha keras mencari uang hanya untuk Ocha. Tetapi ocha juga ingin seperti anak-anak lain yang diperhatikan oleh ayahnya. Sudah berulang kali ayahnya selalu melupakan janjinya, hingga akhirnya Ocha menyerah dan melupakan janji-janji yang dibuat oleh Ayahnya. Hubungan mereka merenggang dan bertambah buruk semenjak kehadiran sekertaris nana. Ocha tau ayahnya berusaha mendekatinya lagi, tapi ocha terlalu takut untuk kecewa lagi, dan untuk melepaskan beban itu, ocha memilih bersenang-senang, seperti saat ini.
“Woy cha, tuh cowok ngeliatin lu terus deh.” Seru Vita di tengah musik yang menghentak. Sejenak Ocha memperhatikan arah yang ditunjuk oleh Vita. Benar saja, seorang pemuda tampan sedang memperhatikannya, ketika mata mereka bertemu pemuda itu melambaikan tangannya. Ocha hanya mengangkat bahu berusaha tidak terlalu ge-er, bisa saja pemuda itu tersenyum dan melambaikan tangan pada temannya, kemudian Ocha kembali bergoyang di atas lantai dansa.
“Itu cowok yang kemaren lu tabrak pas lu mabuk lho cha.” Seru Vita lagi.
“Masa sih?”
“Iya, kayanya dia suka sama lu. Tuh dia lagi kesini.”
“Ah, yang bener? Paling dia mau ngehampirin temennya.” Ujar Ocha, belum sempat Vita membalas, punggung Ocha ditepuk dari belakang. Ocha mendapati pemuda tampan tadi berdiri di belakangnya.
“Hey.” Sapa pemuda itu.
“Oh, hay.” Balas ocha.
“Gue Eddie.”
“Gue Ocha dan ini Vita.” Ocha menarik lengan Vita untuk berdiri di seblahnya.
“Oh, udah engga mabuk lagi?” tanya eddie dengan senyum mautnya. Membuat kedua pipi ocha bersemu merah.
“Sorry ya kemaren.” Jawab ocha dengan malu.
“it’s okey. Duduk yuk? Gue traktir deh” Ajak Eddie.
“Boleh.”
“Eh, gue disini aja deh, gue masih mau ngedance nih.” Sela Vita seraya melepaskan genggaman tangan ocha.
“Tapi Vit..”
“Udah sana lu kenalan sama cowok ganteng.” Ujar Vita menyela sambil mendorong bahu Ocha. Ocha hanya mengangguk dan mengikuti eddie dengan ragu.
“Ayo duduk. Udah gue pesenin minum kok.” Ajak eddie sambil menepuk tempat di sebelahnya. Ocha duduk dengan ragu, entah mengapa hatinya sama sekali tidak tenang. Tapi Ocha segera menepisnya perasaannya, dia tidak ingin merusak suasana.
“Itu cowok yang kemaren lu tabrak pas lu mabuk lho cha.” Seru Vita lagi.
“Masa sih?”
“Iya, kayanya dia suka sama lu. Tuh dia lagi kesini.”
“Ah, yang bener? Paling dia mau ngehampirin temennya.” Ujar Ocha, belum sempat Vita membalas, punggung Ocha ditepuk dari belakang. Ocha mendapati pemuda tampan tadi berdiri di belakangnya.
“Hey.” Sapa pemuda itu.
“Oh, hay.” Balas ocha.
“Gue Eddie.”
“Gue Ocha dan ini Vita.” Ocha menarik lengan Vita untuk berdiri di seblahnya.
“Oh, udah engga mabuk lagi?” tanya eddie dengan senyum mautnya. Membuat kedua pipi ocha bersemu merah.
“Sorry ya kemaren.” Jawab ocha dengan malu.
“it’s okey. Duduk yuk? Gue traktir deh” Ajak Eddie.
“Boleh.”
“Eh, gue disini aja deh, gue masih mau ngedance nih.” Sela Vita seraya melepaskan genggaman tangan ocha.
“Tapi Vit..”
“Udah sana lu kenalan sama cowok ganteng.” Ujar Vita menyela sambil mendorong bahu Ocha. Ocha hanya mengangguk dan mengikuti eddie dengan ragu.
“Ayo duduk. Udah gue pesenin minum kok.” Ajak eddie sambil menepuk tempat di sebelahnya. Ocha duduk dengan ragu, entah mengapa hatinya sama sekali tidak tenang. Tapi Ocha segera menepisnya perasaannya, dia tidak ingin merusak suasana.
Beberapa lama Eddie dan Ocha menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bertukar cerita. Ocha beberapa kali tertawa mendengar candaan Eddie, sampai seorang waitress mengantarkan pesanan minuman mereka. Ocha yang terlalu banyak tertawa langsung menegak minumannya hingga habis. Tiba-tiba saja tubuhnya seakan melayang dan dunia di sekelilinya berputar.
“Ada Apa Cha?” tanya eddie sambil memegang siku ocha. Ocha memandang eddie kemudian menggelengkan kepalanya.
“Engga apa, kepala gue cuma sakit aja.” Jawab ocha tapi kemudian dia merasakan tubuhnya ditarik oleh pemuda itu.
“Lu tiduran dulu aja Cha.” Ujar eddie itu seraya menarik ocha dan meletakkan kepalanya di lengan pemuda itu. Ocha menutup matanya berusaha melawan gelombang vertigo yang aneh, tiba-tiba ocha merasakan sesuatu, hembusan nafas hangat yang terasa di wajahnya. Ocha membuka matanya, kemudian tersentak kaget saat melihat wajah eddie yang sangat dekat dengan wajahnya.
“gu.. guee udah engga apa-apa edd, thanks ya.” Ujar Ocha yang disambut senyuman eddie.
“Tapi lu masih pucet Cha, udah istrahat dulu aja.” Bujuk eddie lembut, ocha bisa merasakan maksud lain dari pemuda itu ditambah lagi wajah eddie yang memerah akibat pengaruh alkohol.
“Gue pulang aja ed.” Kata ocha seraya mendorong pemuda itu menjauh. Tapi yang ada eddie malah mempererat pelukkannya. Ocha meronta berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya terlalu lemah. Belum sempat ocha berteriak minta tolong, pemuda itu menghilang dari hadapannya dan BUG!! Ocha menoleh, ke arah sumber suara. Eddie sudah tergeletak di lantai sambil memegangi bibirnya yang berdarah. Kemudian 2 orang lelaki berpakaian serba hitam menyeret eddie keluar dari bar itu.
“Maaf, apakah nona baik-baik saja?” tanya seorang lelaki berpakaian serba hitam juga yang tiba-tiba berada di hadapan gadis itu.
“Kau siapa?” tanya Ocha dengan perasaan bingung.
“Saya disuruh Ayah anda untuk mengawasi nona.” Ujar lelaki itu sambil membantu Ocha berdiri.
“Ayahku?” tanya Ocha tak percaya. Lelaki itu tersenyum pada ocha.
“Ayah anda, sangat memperhatikan anda.” Ujar lelaki itu.
“Ocha!” seru Vita menyela sambil menghampiri Ocha dan langsung memeluknya.
“Lu gapapa Cha? Sorry ya, gue niggalin lu.” Ujar vita dengan nada penyesalan di dalamnya.
“Gue gapapa kok Vit. Thanks.” Ocha menepuk punggung sahabatnya itu.
“Nona, maaf menyela. Tapi saya membawa kabar untuk nona, tentang ayah nona.” Kata lelaki berpakaian serba hitam. Ocha melepaskan pelukannya pada Vita kemudian menatap lelaki berpakaian serba hitam itu. menunggu.
“Ayah nona, baru saja mengalami kecelakaan. Dan sekarang sedang koma di rumah sakit.” Jelas Lelaki itu. Sesaat Ocha terdiam, otaknya masih menyerap setiap kata dari lelaki itu.
“A.. ayaahku? koma?” gumam Ocha tak percaya. Kemudian dunianya berubah menjadi gelap.
“Ada Apa Cha?” tanya eddie sambil memegang siku ocha. Ocha memandang eddie kemudian menggelengkan kepalanya.
“Engga apa, kepala gue cuma sakit aja.” Jawab ocha tapi kemudian dia merasakan tubuhnya ditarik oleh pemuda itu.
“Lu tiduran dulu aja Cha.” Ujar eddie itu seraya menarik ocha dan meletakkan kepalanya di lengan pemuda itu. Ocha menutup matanya berusaha melawan gelombang vertigo yang aneh, tiba-tiba ocha merasakan sesuatu, hembusan nafas hangat yang terasa di wajahnya. Ocha membuka matanya, kemudian tersentak kaget saat melihat wajah eddie yang sangat dekat dengan wajahnya.
“gu.. guee udah engga apa-apa edd, thanks ya.” Ujar Ocha yang disambut senyuman eddie.
“Tapi lu masih pucet Cha, udah istrahat dulu aja.” Bujuk eddie lembut, ocha bisa merasakan maksud lain dari pemuda itu ditambah lagi wajah eddie yang memerah akibat pengaruh alkohol.
“Gue pulang aja ed.” Kata ocha seraya mendorong pemuda itu menjauh. Tapi yang ada eddie malah mempererat pelukkannya. Ocha meronta berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya terlalu lemah. Belum sempat ocha berteriak minta tolong, pemuda itu menghilang dari hadapannya dan BUG!! Ocha menoleh, ke arah sumber suara. Eddie sudah tergeletak di lantai sambil memegangi bibirnya yang berdarah. Kemudian 2 orang lelaki berpakaian serba hitam menyeret eddie keluar dari bar itu.
“Maaf, apakah nona baik-baik saja?” tanya seorang lelaki berpakaian serba hitam juga yang tiba-tiba berada di hadapan gadis itu.
“Kau siapa?” tanya Ocha dengan perasaan bingung.
“Saya disuruh Ayah anda untuk mengawasi nona.” Ujar lelaki itu sambil membantu Ocha berdiri.
“Ayahku?” tanya Ocha tak percaya. Lelaki itu tersenyum pada ocha.
“Ayah anda, sangat memperhatikan anda.” Ujar lelaki itu.
“Ocha!” seru Vita menyela sambil menghampiri Ocha dan langsung memeluknya.
“Lu gapapa Cha? Sorry ya, gue niggalin lu.” Ujar vita dengan nada penyesalan di dalamnya.
“Gue gapapa kok Vit. Thanks.” Ocha menepuk punggung sahabatnya itu.
“Nona, maaf menyela. Tapi saya membawa kabar untuk nona, tentang ayah nona.” Kata lelaki berpakaian serba hitam. Ocha melepaskan pelukannya pada Vita kemudian menatap lelaki berpakaian serba hitam itu. menunggu.
“Ayah nona, baru saja mengalami kecelakaan. Dan sekarang sedang koma di rumah sakit.” Jelas Lelaki itu. Sesaat Ocha terdiam, otaknya masih menyerap setiap kata dari lelaki itu.
“A.. ayaahku? koma?” gumam Ocha tak percaya. Kemudian dunianya berubah menjadi gelap.
1 minggu kemudian..
Ocha menatap ayahnya yang masih saja tetap menutup matanya, kemudian menghela nafas panjang. Sudah 1 minggu ayahnya koma dan belum sadar. Ayahnya mengalami kecelakaan parah ketika sedang dalam perjalanan menuju perusahaannya, untuk meeting mendadak. Semua itu Ocha ketahui dari cerita Bi Ijah. Ocha masih mengingatnya dengan sangat jelas, pernyataan yang dikatakan oleh Bi Ijah seminggu yang lalu saat Ocha sudah siuman.
“Tuan, Ayah Nona, benar-benar memperhatikan nona. Tuan sangat sayang pada Nona. Semenjak kematian Nyonya, Ibunda Nona. Yang tuan pikirkan hanya membuat Nona bahagia, karena itu tuan terus bekerja agar kebutuhan Nona tercukupi. Tapi ternyata tuan salah, dan tuan sangat ingin memperbaiki hubungan Tuan dengan Nona. Mungkin Nona tidak mempercayai ini, tapi setiap pagi yang membuat sarapan adalah Tuan, Tuan selalu bangun lebih pagi dan membuatkan Nona sarapan. Tuan juga selalu tidur paling belakangan, menunggu Nona sampai benar-benar tidur. Tuan selalu memikirkan Nona.” Penjelasan Bi Ijah yang panjang lebar membuat Ocha tersadar, dialah yang salah. Tanpa ia sadari, Ocha memberikan jarak untuk ayahnya, menutup setiap jalan untuk ayahnya yang berusaha untuk masuk dan memperbaikinya, hanya karena Ocha terlalu takut untuk dikecewakan lagi oleh ayahnya. Perlahan air matanya mengalir membasahi kedua pipinya.
“Ayah, Ocha minta maaf ayah. Ocha salah pada ayah. Ocha terlalu takut untuk ayah kecewakan lagi.. Terima Kasih Ayah, Ocha selalu bangga pada Ayah. Ayah selalu berusaha menjadi yang terbaik semenjak Bunda tidak ada. I Love You. Cepet Bangun Ayah, Kita perbaiki dari awal lagi.” Bisik Ocha lirih, kemudian mencium kening ayahnya dengan sayang. Surga seakan mendengar penyesalan Ocha. Perlahan kedua kelopak mata lelaki separuh baya itu terbuka perlahan, dan menatap tepat ke arah Ocha.
“Ocha..” bisik lelaki paruh baya itu lemah yang disambut senyuman Ocha.
Ocha menatap ayahnya yang masih saja tetap menutup matanya, kemudian menghela nafas panjang. Sudah 1 minggu ayahnya koma dan belum sadar. Ayahnya mengalami kecelakaan parah ketika sedang dalam perjalanan menuju perusahaannya, untuk meeting mendadak. Semua itu Ocha ketahui dari cerita Bi Ijah. Ocha masih mengingatnya dengan sangat jelas, pernyataan yang dikatakan oleh Bi Ijah seminggu yang lalu saat Ocha sudah siuman.
“Tuan, Ayah Nona, benar-benar memperhatikan nona. Tuan sangat sayang pada Nona. Semenjak kematian Nyonya, Ibunda Nona. Yang tuan pikirkan hanya membuat Nona bahagia, karena itu tuan terus bekerja agar kebutuhan Nona tercukupi. Tapi ternyata tuan salah, dan tuan sangat ingin memperbaiki hubungan Tuan dengan Nona. Mungkin Nona tidak mempercayai ini, tapi setiap pagi yang membuat sarapan adalah Tuan, Tuan selalu bangun lebih pagi dan membuatkan Nona sarapan. Tuan juga selalu tidur paling belakangan, menunggu Nona sampai benar-benar tidur. Tuan selalu memikirkan Nona.” Penjelasan Bi Ijah yang panjang lebar membuat Ocha tersadar, dialah yang salah. Tanpa ia sadari, Ocha memberikan jarak untuk ayahnya, menutup setiap jalan untuk ayahnya yang berusaha untuk masuk dan memperbaikinya, hanya karena Ocha terlalu takut untuk dikecewakan lagi oleh ayahnya. Perlahan air matanya mengalir membasahi kedua pipinya.
“Ayah, Ocha minta maaf ayah. Ocha salah pada ayah. Ocha terlalu takut untuk ayah kecewakan lagi.. Terima Kasih Ayah, Ocha selalu bangga pada Ayah. Ayah selalu berusaha menjadi yang terbaik semenjak Bunda tidak ada. I Love You. Cepet Bangun Ayah, Kita perbaiki dari awal lagi.” Bisik Ocha lirih, kemudian mencium kening ayahnya dengan sayang. Surga seakan mendengar penyesalan Ocha. Perlahan kedua kelopak mata lelaki separuh baya itu terbuka perlahan, dan menatap tepat ke arah Ocha.
“Ocha..” bisik lelaki paruh baya itu lemah yang disambut senyuman Ocha.
—
“Ochaa, hari ini Lu ke Bar?” tanya Vita menghampiri Ocha seusai sekolah.
“Enggak. Gue mau kencan.” Jawab Ocha enteng. Vita membelalakkan matanya mendengar jawaban Ocha.
“Emang Lu mau kencan sama siapa?” tanya Vita heboh yang disambut cengiran Ocha. Ocha menunjuk dengan dagunya ke arah parkiran sekolah. Vita hanya menggelengkan kepalanya lalu tersenyum pada Ocha.
“Good Luck deh Cha, besok ceritain yaa.” Ujar Vita sambil menepuk bahu sahabatnya yang disambut anggukan ceria Ocha. Dengan langkah seribu Ocha berlari menuju parkiran.
“Lu emang udah berubah Cha.” Gumam Vita tersenyum kemudian berlalu dari situ, samar-samar Vita masih mendengar suara Ocha.
“Ayah!”
“Enggak. Gue mau kencan.” Jawab Ocha enteng. Vita membelalakkan matanya mendengar jawaban Ocha.
“Emang Lu mau kencan sama siapa?” tanya Vita heboh yang disambut cengiran Ocha. Ocha menunjuk dengan dagunya ke arah parkiran sekolah. Vita hanya menggelengkan kepalanya lalu tersenyum pada Ocha.
“Good Luck deh Cha, besok ceritain yaa.” Ujar Vita sambil menepuk bahu sahabatnya yang disambut anggukan ceria Ocha. Dengan langkah seribu Ocha berlari menuju parkiran.
“Lu emang udah berubah Cha.” Gumam Vita tersenyum kemudian berlalu dari situ, samar-samar Vita masih mendengar suara Ocha.
“Ayah!”
Cerpen Karangan: Yvonemelosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar