Rabu, 13 November 2013

Cerpen - Mencintai dan Memaafkan

Menyandang nama belakang Irawan, hidup Maura Kalena bisa dikatakan mendekati kata sempurna. Kehidupan mewah yang bagi kebanyakan orang hanyalah isapan jempol belaka merupakan suatu hal yang dimiliki Maura sejak lahir. Semua yang diinginkan Maura tidak pernah tidak dipenuhi. Telepon genggam keluaran terbaru, kamar tidur sekelas hotel bintang lima, serta supir yang selalu siap antar jemput kemana saja. Maura bisa menikmati semua fasilitas tersebut karena ia merupakan anak tunggal dari seseorang yang sangat berpengaruh di kalangan pebisnis papan atas. Papanya merupakan pemilik dari Irawan group, yang menjalankan bisnis di bidang real estate sementara mamanya sedang bergelut di bidang butik.
Dibalik semua kemewahan itu, Maura tetaplah seorang remaja SMA biasa. Ia tidak terlalu ambil pusing dengan semua gosip maupun decak kekaguman yang dilontarkan teman-temannya di sekolah. Ia merasa miris mengetahui semua anak mendambakan kehidupannya. Maura memang cantik, pintar, dan dikelilingi harta berlimpah, namun apa semua itu berguna ketika ia sendiri merasa sangat kesepian? Kedua orang tuanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka selalu berpikir bahwa putri tunggal mereka hanya butuh harta, harta dan harta.
“Mama, Papa, kita liburan, yuk. Maura pengen ke Lombok. Kata temen Maura disana bagus.” Maura dengan antusias berbicara kepada kedua orang tuanya. Maura pikir makan malam adalah waktu yang paling pas, karena hanya pada saat makan malamlah mereka bertiga bisa duduk satu meja. Senyum Maura perlahan memudar ketika dia tahu ucapannya tadi berakhir sia-sia. Maura melihat kedua orang tuanya sibuk dengan telepon genggam mereka masing-masing, sama sekali tidak mendengarkan apa yang Maura katakan.
“Eh, tadi Maura bilang apa?” tanya Mama, sepuluh menit kemudian.
“Maura pengen liburan, Ma. Liburan yang beneran, bertiga bareng mama sama papa. Terakhir kita liburan bareng kapan? 10 tahun yang lalu?”
Mamanya terdiam. Papa Maura yang tadinya terus sibuk dengan telepon genggamnya akhirnya angkat bicara. “Maura, sudah berapa kali sih papa bilang? Papa itu sibuk kerja, cari uang buat hidup kamu sama mama. Bisnis papa nggak mungkin bisa ditinggal untuk hal-hal tidak penting seperti itu. Kamu lagi butuh apa sih? HP baru? Atau laptop baru? Kalau iya, bilang sama papa. Inget ya, jangan sekali-sekali ajak papa buat hal-hal kayak gitu.”
Maura setengah mati menahan air matanya yang hendak tumpah dan memaksakan senyum. “Kalau Maura liburannya berdua sama mama boleh, Pa?” Maura bertanya kepada papanya dengan suara bergetar menahan tangis, sementara yang ditanya kembali mengacuhkan Maura. Maura menoleh ke arah mamanya, minta penjelasan.
“Maura sayang, kamu kan tahu papa itu sibuk, jadi nggak usah ganggu papa untuk hal-hal seperti ini. Kalau untuk liburan, maaf ya sayang. Mama lagi sibuk soalnya ada rencana mau buka cabang baru.” Mamanya berusaha menjelaskan dan sedetik kemudian kembali sibuk dengan telepon genggamnya.
Maura menyeka air matanya yang perlahan turun, menyudahi makan malamnya, dan berlari ke kamarnya. Sungguh, hidup seperti inikah yang didambakan teman-teman sekolahnya? Dari kecil Maura tidak pernah dekat dengan papanya, dan ketika sudah menginjak bangku SD, mamanya juga terasa menghilang dari kehidupan Maura. Maura hanya ditemani pembantu, supir, serta barang-barang elektronik mewah miliknya. Jika bisa, ia ingin menjadi seperti Naisha, teman sekelasnya. Naisha tidaklah kaya, namun ia bahagia. Walaupun tidak liburan ke luar negeri, kedua orang tua Naisha sangat memperhatikannya. Andai saja mama dan papa tahu bahwa harta dan kedudukan bukanlah segalanya.
Maura tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya. Bayangkan saja, saat liburan seperti ini pun mereka masih saja sibuk dengan bisnis mereka. Maura menghempaskan tubuhnya ke sofa besar di kamarnya dan tangannya iseng menyalakan televisi, bermaksud untuk menghibur diri agar tidak kesepian. Terdengar suara penyiar berita dan urat-urat di tubuh Maura menegang seketika begitu mendengarnya.
“Rosa Irawan, istri dari Ridwan Irawan seorang yang seperti kita ketahui merupakan pemilik dari Irawan Group diketahui selingkuh dengan seorang aktor perfilman papan atas Indonesia, Dimas Fariz. Mereka tertangkap kamera sedang berpelukan mesra layaknya dua orang remaja yang sedang jatuh cinta. Berita ini tentunya mengguncang dunia intertaiment maupun dunia bisnis Indonesia. Apalagi seperti yang selama ini kita ketahui pernikahan Ridwan dan Rosa Irawan tidak bisa dikatakan harmonis. Tentunya, pemirsa, yang paling menderita akibat kasus ini adalah putri tunggal mereka, Maura Kalena Irawan…”
Maura langsung mematikan televisi begitu foto mama dan Oom Dimas ditampilkan pada layar. Maura tahu belakangan mama dekat dengan Oom Dimas dikarenakan alasan bisnis. Saat Maura sedang merenungi hidupnya yang semakin berantakan, pintu kamarnya dibuka paksa. Terlihat mamanya dengan keringat yang bercucuran deras dan napas yang tersengal-sengal. Matanya menatap Maura meminta iba.
“Ma, Maura lagi pengen sendiri.”
“Kamu pasti udah denger berita. Kamu gak boleh percaya sama itu. Kamu harus percaya sama mama, wanita yang melahirkan kamu. Kamu harusnya tahu Maura, semua itu tadi bukan apa-apa.” Maura tetap diam di tempatnya dan menatap mamanya tanpa ekspresi.
Maura tersenyum sedih. “Bukan apa-apa tapi pelukan di tempat umum? Maura aja nggak pernah dipeluk. Ha ha.” Maura tertawa sarkatis. Mamanya kembali menggila. Ia kembali berteriak-teriak memanggil nama Maura dan menangis meraung-raung. Maura dengan santainya berjalan keluar kamar, menuju ke kamar tamu di sebelah kamarnya dan mengunci pintunya dengan kasar. Ia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi suatu saat nanti.
“Sekarang mama tahu kan, rasanya diabaikan…” Maura berkata lirih dan berusaha tidur ketika suara papanya terdengar menggelegar di dalam rumah.
Sesudahnya hari-hari Maura terasa berjalan begitu lambat. Semua hal buruk dalam mimpi tergelapnya datang bertubi-tubi menimpa pundaknya. Mama dirawat di rumah sakit jiwa akibat guncangan mental yang dideritanya beberapa saat setelah berita perselingkuhan itu mucul ke permukaan. Papa pergi meninggalkan rumah di hari yang sama dan tidak pernah Maura lihat lagi. Orang-orang masih berpikir hidup Maura sempurna, sementara Maura tidak menginginkan apa-apa lagi selain keutuhan keluarganya kembali.
Ini sudah hari ketiga setelah mama dirawat di rumah sakit. Hari ini hati Maura akhirnya luluh dan memutuskan untuk menjenguk mama. Maura membawa bunga mawar dan sekotak puding karamel kesukaan mama. Begitu Maura tiba di kamar yang ditunjukkan oleh perawat, Maura tidak melihat siapa-siapa kecuali seorang wanita sedang terbaring dengan tangan dan kaki yang diikat kain. Dengan rambut acak-acakan dan pandangan yang kosong, setiap beberapa detik sekali ia selalu menggumamkan dua patah kata yang membuat hati Maura mencelos. “Maura, maaf.”
Dengan mata yang basah, Maura mendekati mamanya dan memeluknya erat sekali seperti tidak ingin kehilangan mama lagi.
“Mama, ini Maura. Maura bawa puding karamel.” Maura berkata pelan-pelan kepada mamanya dengan suara bergetar menahan tangis. Tangannya mengelus rambut mamanya penuh sayang, dan mengecup pipi mamanya pelan. Mama bereaksi sedikit, ditolehkannya kepala ke arah Maura.
“Maura, maaf.” Mama mengucapkan dua kata itu lagi dengan pandangan kosong. Maura meneteskan air matanya. “Mama udah Maura maafin.” Maura memeluk mamanya kembali.
“Maura, maaf.” Tangis Maura kembali pecah. Bahunya teguncang naik turun, napasnya tersengal-sengal. “Maura sayang mama!!” jerit Maura akhirnya sambil tetap memeluk mamanya.
Mama terdiam, badannya tersentak kaku. Air matanya mengalir perlahan. Dokter yang merawat mama berkata bahwa kesembuhan mama mungkin membutuhkan waktu yang lama. Jadi Maura tidak bisa berharap banyak untuk hari ini.
“Maura, Papa?” Kini giliran Maura yang tersentak kaget. Mama merubah kata-katanya. Sekarang Maura tahu mama pasti bisa sembuh. Maura tahu kini gilirannya yang harus bertindak sebagai orang dewasa. Ia hanya ingin keluarganya utuh kembali.
“Gila? Haha kalau bicara nggak usah ngawur, nak.” Kata papa sambil terus membaca koran. Hari ini papa pulang ke rumah dan Maura bisa bernapas sedikit lega.
“Papa kalau nggak percaya besok ikut Maura ya nengokin mama. Tolong pa…”
“Kamu udah papa bilangin berapa kali? Papa itu sibuk cari uang buat kamu sekolah.”
“Tapi ini mama, pa! Mama sakit! Mama butuh papa, butuh kita! Papa harusnya tau, kalau uang sama harta bukan segalanya. Saat kita nggak punya apa-apa lagi, semua hal akan pergi ninggalin kita kecuali keluarga, pa.” Maura sekuat tenaga berusaha menjelaskan hal yang selama ini ia pendam sendiri.
Papa membetulkan letak kacamata dan posisi duduknya, sehingga kini ia berhadap-hadapan dengan Maura.
“Nak, sebetulnya papa paham banget maksud kamu itu baik, tapi kenyataannya kamu nggak paham sama situasi sekarang. Ternyata kamu belum sepenuhnya ngerti tentang apa yang sebenarnya terjadi. Gini ya nak, saat kita disakiti oleh seseorang, apa yang seharusnya kita lakukan? Memaafkan dia kan? Papa juga gitu, nak. Waktu papa disakiti, dikecewain, ditinggalkan, papa berusaha ikhlas. Papa berdoa supaya papa bisa memaafkan mereka-mereka itu tanpa ada dendam sama sekali.
Tapi kalau kejadiannya lebih dari sekali, gimana? Sakit, ya? Makanya papa butuh waktu untuk menenangkan diri. Maafin papa ya kemarin bertindak seperti anak kecil, kabur dari rumah. Papa cuma nggak tahu harus gimana lagi.” papa mengelus-ngelus rambut Maura penuh sayang. Sementara Maura masih saja menatap papanya dengan mata yang menyipit, menuntut penjelasan lebih. Papa paham sekali akan hal ini. Ia menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menjelaskan.
“Maura, papa hampir bangkrut nak. Sekitar tiga bulan yang lalu papa ditipu habis-habisan oleh klien dan rekan bisnis papa sendiri. Sejak itu papa berusaha terus biar bisnis papa tetep jalan, biar kamu sama mama tetep bisa hidup enak. Itu kenapa papa belum bisa liburan. Papa kerja siang malem dan jadi sibuk banget sampai-sampai nggak merhatiin kamu sama mama. Maafin papa ya? Lalu setelah semua yang sudah papa lakukan, sewaktu bisnis papa udah mulai pulih, apa yang papa dapet, nak? Kamu udah liat kan di tv? Jadi sewaktu kamu bilang ketika kita nggak punya apa-apa lagi, semua hal akan pergi ninggalin kita kecuali keluarga, papa nggak percaya.” Papa tersenyum sedih mengakhiri penjelasannya.
“Maura nggak ninggalin papa kok…” Maura merasa matanya panas. Saat tak mampu lagi menahan air matanya, ia menghambur ke pelukan papanya. Berulang kali meminta maaf dengan ucapan yang tidak terdengar jelas karena ia sedang menangis sesenggukan.
Hal yang paling membahagiakan bagi Maura hari itu adalah ketika ia tahu papa telah memaafkan mama. Entah bagaimana caranya, Maura tidak pernah paham mengapa papa punya hati sebesar dunia.
“Ayo, Maura. Keburu jam besuk habis.” Papa berteriak setengah memaksa.
“Iya, iya. Aku udah kok.” Maura sekali lagi menatap pantulan dirinya di cermin sebelum meyakinkan dirinya bahwa penampilannya sudah rapi.
“Dasar cewek, dandan lama sekali.” Papa terkekeh pelan lalu menggandeng putri semata wayangnya itu ke mobil. Maura yakin mama pasti senang.
Keadaan mama tidak jauh berbeda dari yang terakhir kali dilihat Maura. Rambutnya mama masih acak-acakan, pandangan matanya masih kosong, dan tangan serta kakinya masih terikat dengan kain yang Maura rasa cukup kuat. Maura menoleh ke sebelah kanannya dan yang membuat Maura ingin mengutuk dan memarahi mama adalah kedua bola mata papa yang basah. Papa berjalan pelan mendekati ranjang. Dielusnya rambut mama yang kusut itu.
“Halo, Rosa. Apa kabar?” dan bersamaan dengan itu air mata papa jatuh menetes mengenai muka mama. Mama terlihat terkejut dan menolehkan kepalanya.
“Maura, papa?” Maura tersenyum sedih mendengarnya. Ternyata mama masih belum ada mengalami perkembangan yang begitu berarti. Maura mendekati mama dan memegang tangannya.
“Itu papa, ma. Papa mau ngomong sama mama.” Maura menunjuk ke arah papa dan mama mengikuti arah pandangnya.
“Papa, maaf.” Kata-kata mama berganti namun pandangan matanya masih tetap kosong. Papa mengeluarkan air mata lebih banyak.
“Iya, papa udah maafin mama.” Papa lalu memeluk mama penuh rasa sayang dan Maura tak tahu lagi kemana rasa benci itu menguap.
Maura menangis dan ikut masuk kedalam pelukan kedua orang tuanya. Sekarang Maura bisa merasa bahagia di antara kedua orang tuanya setelah selama kurang lebih 10 tahun belakangan merasa jauh di antara mereka. Maura tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan atas segala nikmat dan karunia-Nya. Walaupun keadaan mama belum memungkinkan untuk berkumpul bersama mereka, Maura yakin suatu saat mama bisa sembuh dan pulang ke rumah.
Saat jam besuk habis, dengan berat hati papa mengajak Maura pulang. Mereka mampir di kedai kue dekat rumah, kedai kue kesukaan mereka bertiga.
“Papa, ajarin Maura biar Maura punya hati sebesar papa.” Maura membuka pertanyaan setelah sekian detik yang sunyi.
Papa tersenyum, “Papa harus ngajarin apa ke kamu? Kamu malah yang udah ngajarin papa banyak hal. Kamu juga yang bikin papa sadar kalau ternyata selama ini sikap mama sama papa salah. Papa nggak tahu kalau ternyata kamu kesepian sekali.”
“Iya, yang itu emang betul. Maksud Maura, ajarin Maura biar Maura juga bisa maafin orang kayak papa yang udah maafin mama.”
“Maura Kalena, hal kayak gini harusnya nggak perlu diajarin. Ketika kamu sangat menyayangi seseorang, tak peduli berapa sering ia menyakitimu kamu pasti akan memaafkannya, cepat atau lambat. Semua hanya masalah waktu, nak. Tapi yang harus kamu ketahui, pasti akan tiba saatnya untuk membuat kita ikhlas memaafkan seseorang.”
Kini Maura paham betul arti cinta. Cinta adalah ketika kamu mampu memaafkan orang tersebut tidak peduli betapa sering ia menyakitimu. Cinta adalah ketika kamu menyayangi seseorang tanpa pernah berharap perasaanmu terbalas. Cinta adalah tentang pembuktian, bukan hanya deretan kata-kata gombal. Cinta itu seperti papa mencintai mama.
Menyandang nama belakang Irawan, hidup Maura Kalena bisa dikatakan mendekati kata sempurna. Bukan, bukan karena harta yang mereka miliki. Namun karena Maura punya mama dan papa yang baru belakangan ini Maura yakin sangat mencintainya.
Cerpen Karangan: Athaya Haidaranis Nadhira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar