Kalau aku mendengar cerita cinta teman-temanku, aku pasti akan merasa iri. Mereka bisa jatuh cinta kepada siapa saja. Bisa saling bergandengan tangan dengan kekasih mereka. Bisa pacaran, kemudian putus dan bersama lagi dengan seseorang yang mereka cintai. Sementara aku tidak akan pernah bisa seperti mereka selama cincin lumba-lumba itu masih melingkar di jari manisku. Yah, aku tidak lebih dari seorang gadis 18 tahun yang sudah menjadi tunangan seorang pemuda. Aku bahkan tidak mengetahui siapa tunanganku itu sebenarnya. Yang kutahu, dia adalah Ivan, anak dari teman baik almarhum ayahku.
“Kenapa Bunda harus menjemputku?” Tanyaku kesal. Pulang sekolah tadi sebenarnya aku berencana akan berjalan-jalan bersama beberapa temanku sebelum bunda mengacaukannya.
“Karena bunda tidak mau putri bunda pulang terlambat.”
“Kenapa?”
“Bunda tidak mau kamu pulang malam yang artinya kamu terlambat. Bunda tidak ingin kamu bertemu orang jahat dan sesuatu yang buruk terjadi padamu.. Apa yang akan bunda katakan pada Ivan dan keluarganya kalau hal itu terjadi?”
“Aaaarrrgghh!!! Jangan sebut nama itu lagi!!!” Aku hanya bisa berteriak dalam hati sementara aku mengikuti bunda yang membawaku menuju kediaman kami.
“Karena bunda tidak mau putri bunda pulang terlambat.”
“Kenapa?”
“Bunda tidak mau kamu pulang malam yang artinya kamu terlambat. Bunda tidak ingin kamu bertemu orang jahat dan sesuatu yang buruk terjadi padamu.. Apa yang akan bunda katakan pada Ivan dan keluarganya kalau hal itu terjadi?”
“Aaaarrrgghh!!! Jangan sebut nama itu lagi!!!” Aku hanya bisa berteriak dalam hati sementara aku mengikuti bunda yang membawaku menuju kediaman kami.
“Nanti malam temani bunda, bisa kan?”
“Kemana?”
“Nanti kamu juga akan tahu.” Jawab bunda. “Dandan yang cantik ya.”
“Iya.” Aku menurut saja.
“Kemana?”
“Nanti kamu juga akan tahu.” Jawab bunda. “Dandan yang cantik ya.”
“Iya.” Aku menurut saja.
Aku duduk di sebuah meja makan dengan berbagai macam makanan enak tersaji di atasnya. Bersamaku ada beberapa orang yang belum pernah kutemui sementara bunda berbincang dengan sangat akrab. Aku hanya bisa diam saja dan dengan canggung memakan makan malamku yang porsinya jauh lebis sedikit dibanding biasanya. Bunda tidak membiarkanku mengambil sendiri makanan yang ingin kumakan karena dia tahu aku pasti akan melahap habis semuanya. Dan itu akan sangat memalukan di hadapan orang-orang itu. Akhirnya makan malam itu usai sementara perutku masih kosong.
“Apa kau Iliya?” Tanya seseorang yang tegap dan bersetelan rapi menghampiriku.
“Iya,” jawabku. “Kamu siapa?”
“Aku Ivan.” Jawabnya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum. Aku begitu terkejut sampai lupa menyambut uluran tangannya. Perutku yang tadinya masih lapar sekarang terasa kenyang.
“Aku tunanganmu.” Tambahnya.
Aku mundur beberapa langkah. Aku masih belum bisa mempercayai pendengaranku. Selama ini aku menganggap pertunanganku ini hanyalah dongeng yang bunda ceritakan kepadaku. Aku bahkan menganggap kalau selama ini cincin lumba-lumba yang melingkar di jariku adalah pemberian pangeran dari negeri impian yang tidak benar-benar nyata. Dan sekarang dia berdiri di hadapanku. Di dunia nyata.
“Maukah kau berjalan-jalan denganku?” Tanyanya sopan.
Aku melirik bunda yang memberikan kode agar menerima ajakannya itu. Jadi tanpa menjawab aku mengikuti langkahnya yang panjang namun pelan, berjalan-jalan di halaman rumahnya yang luas. Aku masih diam sambil menenangkan diri dan mencoba mencubit lenganku, berharap itu akan membangunkanku dari mimpi buruk ini. Sakit! Ternyata ini bukan mimpi! Oh! Tiiidddaaakkk!!!
“Iya,” jawabku. “Kamu siapa?”
“Aku Ivan.” Jawabnya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum. Aku begitu terkejut sampai lupa menyambut uluran tangannya. Perutku yang tadinya masih lapar sekarang terasa kenyang.
“Aku tunanganmu.” Tambahnya.
Aku mundur beberapa langkah. Aku masih belum bisa mempercayai pendengaranku. Selama ini aku menganggap pertunanganku ini hanyalah dongeng yang bunda ceritakan kepadaku. Aku bahkan menganggap kalau selama ini cincin lumba-lumba yang melingkar di jariku adalah pemberian pangeran dari negeri impian yang tidak benar-benar nyata. Dan sekarang dia berdiri di hadapanku. Di dunia nyata.
“Maukah kau berjalan-jalan denganku?” Tanyanya sopan.
Aku melirik bunda yang memberikan kode agar menerima ajakannya itu. Jadi tanpa menjawab aku mengikuti langkahnya yang panjang namun pelan, berjalan-jalan di halaman rumahnya yang luas. Aku masih diam sambil menenangkan diri dan mencoba mencubit lenganku, berharap itu akan membangunkanku dari mimpi buruk ini. Sakit! Ternyata ini bukan mimpi! Oh! Tiiidddaaakkk!!!
“Selamat datang di keluargaku, Iliya.” Katanya. “Aku boleh memanggilmu begitu kan?”
Seperti terhipnotis aku hanya bisa mengangguk.
“Berapa usiamu?”
“18 tahun”
“Ah! Ternyata kita seumur. Apa kau juga akan mengikuti ujian nasional tahun ini?”
“Tentu saja.”
“Aku berharap akan mengikuti ujian nasional bersamamu tahun ini.” Katanya lagi seperti melamun. “Aku senang sekali bisa bertemu denganmu malam ini.”
Aku memaksakan diri tersenyum.
“Aku tahu pertunangan ini tidak adil untukmu. Tapi bersabarlah sedikit lagi.” Katanya lagi. “Kurasa ini akan segera berakhir karena mungkin sebentar lagi kita akan segera menikah.”
Apa?! Aku terbelalak. Menikah!? Itu tidak mungkin! “Aku tidak mau. Aku tidak bisa menikah denganmu! Apa yang harus kulakukan agar tidak menikah denganmu?” Aku sangat panik.
“Tidak ada yang bisa kau lakukan. Kau hanya harus menjadi tunanganku. Dan itu artinya kau adalah calon istriku.”
“Calon istri?!” Gumamku ngeri. “Aku tidak mau! Aku harus menyelesaikan sekolahku. Apa yang akan terjadi padaku? Astaga, ini mimpi buruk!”
Aku benar-benar panik sementara Ivan tersenyum maklum dengan reaksiku. “Aku tidak punya kuasa untuk memutuskan. Semuanya tergantung pada orang tua kita.”
“Pangeran impianku, Ivan, atau siapapun kamu. Tolong batalkan niatmu untuk menikah denganku. Aku tidak bisa melakukan pernikahan ini!” aku memohon.
“Pangeran impian? Begitukah kau memanggilku?” Tanyanya sambil tersipu. “Aku benar-benar tersanjung. Rupanya kau juga menyukaiku.”
“Aku menyebutmu begitu hanya karena aku tidak mengenalmu. Aku hanya mengetahui bahwa kamu ada dari cincin lumba-lumba yang melingkar di jariku ini.” Ralatku.
Ivan memegang tanganku dengan lembut dan dari wajahnya terlihat sekali kalu dia terharu. “Bahkan kau masih mengenakan cincin pertunangan kita?”
Ivan mengambil sebuah kotak kecil dari sakunya. Sementara aku hanya bisa menghela nafas pasrah. “Bukan begitu…”
“Kuharap kau tidak membenciku karena aku menyimpan cincin ini sementara kau terus memakainya sepanjang waktu. Aku tidak bermaksud mengkhianatimu dengan berpura-pura tidak ada apa-apa di antara kita. Aku hanya takut jika aku memakai cincin ini, aku akan semakin mencintaimu. Aku takut setelah aku bertemu denganmu, aku akan semakin mencintaimu melebihi sebelumnya, sementara kau tidak pernah merasakannya. Aku takut akan terluka.”
“Itu…” Aku belum sempat melanjutkan kata-kataku karena Ivan sudah memotongnya.
“Mulai sekarang aku tidak akan melepaskannya.” Katanya sambil memasang cincin kepunyaannya di jarinya. “Dan aku juga tidak akan melepaskanmu, Iliya.”
Seperti terhipnotis aku hanya bisa mengangguk.
“Berapa usiamu?”
“18 tahun”
“Ah! Ternyata kita seumur. Apa kau juga akan mengikuti ujian nasional tahun ini?”
“Tentu saja.”
“Aku berharap akan mengikuti ujian nasional bersamamu tahun ini.” Katanya lagi seperti melamun. “Aku senang sekali bisa bertemu denganmu malam ini.”
Aku memaksakan diri tersenyum.
“Aku tahu pertunangan ini tidak adil untukmu. Tapi bersabarlah sedikit lagi.” Katanya lagi. “Kurasa ini akan segera berakhir karena mungkin sebentar lagi kita akan segera menikah.”
Apa?! Aku terbelalak. Menikah!? Itu tidak mungkin! “Aku tidak mau. Aku tidak bisa menikah denganmu! Apa yang harus kulakukan agar tidak menikah denganmu?” Aku sangat panik.
“Tidak ada yang bisa kau lakukan. Kau hanya harus menjadi tunanganku. Dan itu artinya kau adalah calon istriku.”
“Calon istri?!” Gumamku ngeri. “Aku tidak mau! Aku harus menyelesaikan sekolahku. Apa yang akan terjadi padaku? Astaga, ini mimpi buruk!”
Aku benar-benar panik sementara Ivan tersenyum maklum dengan reaksiku. “Aku tidak punya kuasa untuk memutuskan. Semuanya tergantung pada orang tua kita.”
“Pangeran impianku, Ivan, atau siapapun kamu. Tolong batalkan niatmu untuk menikah denganku. Aku tidak bisa melakukan pernikahan ini!” aku memohon.
“Pangeran impian? Begitukah kau memanggilku?” Tanyanya sambil tersipu. “Aku benar-benar tersanjung. Rupanya kau juga menyukaiku.”
“Aku menyebutmu begitu hanya karena aku tidak mengenalmu. Aku hanya mengetahui bahwa kamu ada dari cincin lumba-lumba yang melingkar di jariku ini.” Ralatku.
Ivan memegang tanganku dengan lembut dan dari wajahnya terlihat sekali kalu dia terharu. “Bahkan kau masih mengenakan cincin pertunangan kita?”
Ivan mengambil sebuah kotak kecil dari sakunya. Sementara aku hanya bisa menghela nafas pasrah. “Bukan begitu…”
“Kuharap kau tidak membenciku karena aku menyimpan cincin ini sementara kau terus memakainya sepanjang waktu. Aku tidak bermaksud mengkhianatimu dengan berpura-pura tidak ada apa-apa di antara kita. Aku hanya takut jika aku memakai cincin ini, aku akan semakin mencintaimu. Aku takut setelah aku bertemu denganmu, aku akan semakin mencintaimu melebihi sebelumnya, sementara kau tidak pernah merasakannya. Aku takut akan terluka.”
“Itu…” Aku belum sempat melanjutkan kata-kataku karena Ivan sudah memotongnya.
“Mulai sekarang aku tidak akan melepaskannya.” Katanya sambil memasang cincin kepunyaannya di jarinya. “Dan aku juga tidak akan melepaskanmu, Iliya.”
Aku sudah akan memohon lagi untuk membatalkan pernikahan, tapi bunda datang dan mengumumkan tanggal pernikahan kami. Itu akan berlangsung 2 bulan lagi dan bertepatan pada hari pertama ujian nasional. Aku hanya bisa tertunduk sedih. Tanpa kusadari Ivan juga bersedih.
“Iliya, ayo bangun. Sudah pagi, Sayang.” Bunda membangunkanku.
“Sebentar lagi, Bun.” Aku mengeliat di balik selimutku. Mataku masih saja belum bisa terbuka. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan masa depanku yang akan segera hancur dengan sebuah pernikahan. Aku tidak ingin menikah muda. Aku masih terlalu muda untuk membina sebuah rumah tangga. Tidak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi padaku nantinya jika aku benar-benar menikah dengan pangeran impianku itu.
“Ayo cepat bangun. Ivan sudah menunggumu untuk sarapan.” Kata bunda yang membuat mataku seketika menjadi terbuka lebar. Apa yang dia lakukan di rumahku pagi-pagi begini?!
“Sebentar lagi, Bun.” Aku mengeliat di balik selimutku. Mataku masih saja belum bisa terbuka. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan masa depanku yang akan segera hancur dengan sebuah pernikahan. Aku tidak ingin menikah muda. Aku masih terlalu muda untuk membina sebuah rumah tangga. Tidak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi padaku nantinya jika aku benar-benar menikah dengan pangeran impianku itu.
“Ayo cepat bangun. Ivan sudah menunggumu untuk sarapan.” Kata bunda yang membuat mataku seketika menjadi terbuka lebar. Apa yang dia lakukan di rumahku pagi-pagi begini?!
Akhirnya sekarang aku duduk dengannya dan juga bunda. Menikmati sarapan yang sudah disediakan oleh bunda sendiri.
“Akhirnya puteri tidur bangun juga.” Katanya. “Untung lah tidak harus menunggu pangeran menciumnya dulu agar bisa bangun.”
Aku terbelalak sementara bunda tersenyum geli menganggap kalau candaan Ivan itu sangat lucu. “Tentu saja aku bangun.”
“Akhirnya puteri tidur bangun juga.” Katanya. “Untung lah tidak harus menunggu pangeran menciumnya dulu agar bisa bangun.”
Aku terbelalak sementara bunda tersenyum geli menganggap kalau candaan Ivan itu sangat lucu. “Tentu saja aku bangun.”
Hari pernikahanku semakin dekat. Semuanya sibuk mempersiapkan semuanya. Sementara aku masih sibuk membenahi hatiku yang hancur. Aku sangat kecewa dengan keputusan ini. Aku harus menikah muda. Bahkan tampa menyelesaikan pendidikanku di bangku SMA. Aku rasa ini sangat tidak adil. Sebenarnya aku sudah membujuk bunda untuk setidaknya menunda pernikahan ini sampai ujian nasional berakhir, tapi tidak digubris. Aku juga sempat melarikan diri, dan dipaksa pulang saat ketahuan sedang menginap di rumah salah seorang teman sekelasku. Maka pupus lah sudah harapanku untuk mengikuti ujian nasional karena harus menikah muda.
Aku sudah didandani. Gaun pengantin berwarna putih membalut tubuhku. Semua orang bahagia melihatku kecuali aku sendiri. Hari ini adalah hari pernikahanku sementara di kelasku sedang berlangsung ujian nasional yang aman penting bagiku dibanding pernikahan ini. Kurasa aku adalah satu-satunya pengantin yang bersedih di hari pernikahannya. Aku sedih karena tidak satu pun temanku yang hadir di perta pernikahanku karena sedang berjuang dalam ujuan nasional. Tanpa terasa air mataku mengalir dengan deras.
Sampai saat proses pernikahan yang sakral berlangsungpun aku tidak juga berhenti meneteskan air mata. Semua orang mengira aku menangis karena bahagia. Tapi sebenarnya aku amat bersedih.
Malam itu setelah semua acara selesai, Ivan mendekatiku. “Aku sangat senang karena akhirnya kau menjadi istriku.”
Aku diam saja sambil menunduk menyembunyikan airmataku.
“Apa kau tidak denang? Kau tidak bahagia, Iliya?”
“Apa yang mesti kulakukan? Semua sudah terjadi. Penyesalan pun tidak ada gunanya.”
“Kau menyesal menikah denganku?”
Aku terdiam. Aku tidak bisa menjawabnya karena tidak ingin menyakiti hatinya. Akhirnya aku berkata pelan. “Apa yang harus kulakukan?”
“Tidak ada yang harus kau lakukan. Kau hanya perlu menjadi istriku.”
“Apa yang akan terjadi padaku nanti?”
“Kau tidak perlu mencemaskan apapun selama kau menjadi istriku. Tidak akan terjadi apa-apa.”
“Apa kau bisa menjamin masa depanku akan lebih baik dari masa depanku seandainya aku tidak menikah denganmu?”
“Dengan izin Allah aku akan menjamin masa depanmu akan lebih baik selama kau menjdi istriku. Karena kau istriku, aku akan memberimu nafkah dengan tetesan keringatku. Aku akan menyayangi dam mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku juga akam melindungimu dengan darah bahkan nyawaku. Apa itu cukup untuk menjamin kebahagiaanmu?”
Aku diam saja sambil menunduk menyembunyikan airmataku.
“Apa kau tidak denang? Kau tidak bahagia, Iliya?”
“Apa yang mesti kulakukan? Semua sudah terjadi. Penyesalan pun tidak ada gunanya.”
“Kau menyesal menikah denganku?”
Aku terdiam. Aku tidak bisa menjawabnya karena tidak ingin menyakiti hatinya. Akhirnya aku berkata pelan. “Apa yang harus kulakukan?”
“Tidak ada yang harus kau lakukan. Kau hanya perlu menjadi istriku.”
“Apa yang akan terjadi padaku nanti?”
“Kau tidak perlu mencemaskan apapun selama kau menjadi istriku. Tidak akan terjadi apa-apa.”
“Apa kau bisa menjamin masa depanku akan lebih baik dari masa depanku seandainya aku tidak menikah denganmu?”
“Dengan izin Allah aku akan menjamin masa depanmu akan lebih baik selama kau menjdi istriku. Karena kau istriku, aku akan memberimu nafkah dengan tetesan keringatku. Aku akan menyayangi dam mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku juga akam melindungimu dengan darah bahkan nyawaku. Apa itu cukup untuk menjamin kebahagiaanmu?”
Aku tertegun. Ada sesuatu yang teramat penting yang aku lupakan. Selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Menyayangkan pernikahan mudaku. Menyayangkan pendidikanku. Menyayangkan pertunanganku yang tidak pernah kusetujui. Aku tidak melihat bahwa Ivan begitu tulus mencintaiku. Aku tidak pernah berpikir kalau Ivan juga berada dalam posisi yang sama denganku. Kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan harus menikah denganku. Aku menangis. Kali ini aku menangis karena bahagia. Bahagia menemukan seorang Ivan, pangeran impianku.
“Syukurlah karena kamulah pangeran impianku.” Gumamku.
Ivan memelukkku. “Syukurlah kaulah pendamping hidupku.” Ivan mengecup keningku.
“Syukurlah karena kamulah pangeran impianku.” Gumamku.
Ivan memelukkku. “Syukurlah kaulah pendamping hidupku.” Ivan mengecup keningku.
Tiba-tiba cahaya terang menyilaukanku. aku melihat ke sekelilingku. Ini adalah kelasku. Semuanya tengah sibuk mengerjakan lembar tugas. Aku melihat lembar tugasku. Soal ujian nasional. Aku tersenyum. Sambil sesekali melirik cincin lumba-lumbaku yang bertengger manis di jariku aku mulani mengerjakan soal-soal ujian itu. Dalam hatiku bersyukur telah dianugrahi seorang pangeran impian, Ivan.
“Aku akam menunggumu, pangeran impianku.”
- END -
Cerpen Karangan: Miem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar