Namaku, Giselle Trixiena. You can call me Giselle. Aku adalah seorang gadis yang beranjak dewasa. Lahir dari keluarga sederhana yang menginginkan kebahagian. Aku punya keluarga yang standard, sepasang orang tua dan seorang kakak perempuan juga (dua anak). Nama kakakku itu, Rachael Audrey. Aku selalu iri padanya, dia selalu menjadi yang terutama di keluargaku. Bukan hanya keluarga kecilku ini saja, tapi di seluruh keluarga besarku!
Hari ini aku dan keluargaku akan mendatangi rumah kakakku (anak dari kakak mama) dia baru saja menikah dan sekarang sedang melaksanakan acara keluarga bersama. Uhh, kapan sih aku tidak dibanding-bandingkan dengan kakak? Baru saja aku bangun tidur, sudah dimarahi!
“Gisell… Giselle… Lihat tuh Kak Rachel! Bangun pagi tiap hari! Kamu apa?” celoteh mama ketika aku bangun. Memang sih, ini udah jam 8. Tapi, tadi malam kan aku harus menyelesaikan tugas sekolah. Lagipula, ini hari libur, ya, walaupun hari ini ada acara.
“Kamu nggak ke depan, Selle?” Tanya Jessie yang mengagetkan ku.
“Enggak, ah. Nanti aku malah dimarahin mama. Dibilang pembuat masalah, lah. Lagipula, Kak Rachael kan lagi pidato. Dia kan primadona di keluarga.” Jelasku.
“Selle, kamu nggak iri apa sama kakakmu? Kamu tuh kayak nggak dianggap di keluarga tau.” Aku termenung mendengar kata Jessie. Huh.
“Giselle, kamu pulang sama Tante Merry, ya!” suruh mama. Ya, mau diapakan lagi? Nurut saja lah.
“Gisell… Giselle… Lihat tuh Kak Rachel! Bangun pagi tiap hari! Kamu apa?” celoteh mama ketika aku bangun. Memang sih, ini udah jam 8. Tapi, tadi malam kan aku harus menyelesaikan tugas sekolah. Lagipula, ini hari libur, ya, walaupun hari ini ada acara.
“Kamu nggak ke depan, Selle?” Tanya Jessie yang mengagetkan ku.
“Enggak, ah. Nanti aku malah dimarahin mama. Dibilang pembuat masalah, lah. Lagipula, Kak Rachael kan lagi pidato. Dia kan primadona di keluarga.” Jelasku.
“Selle, kamu nggak iri apa sama kakakmu? Kamu tuh kayak nggak dianggap di keluarga tau.” Aku termenung mendengar kata Jessie. Huh.
“Giselle, kamu pulang sama Tante Merry, ya!” suruh mama. Ya, mau diapakan lagi? Nurut saja lah.
Di perjalanan, aku cukup senang. Tidak seperti biasa bersama papa dan mama. Aku bisa tertawa dengan Tante Merry, Jessie, Yerricho dan Keisha. Setidaknya mereka masih menghargaiku. Ketika sedang asik bercanda gurau. Tiba-tiba saja Keisha, dia yang paling kecil umurnya berteriak nyaring dan melengking “AWAAASSS!!! MAMMAAA !!”
Semuanya gelap, sakit, aneh. Aku takut sekali. “arrrgghh” aku mengerang, kepalaku sakit sekali. “Huhuhuhu… huhu..” kudengar suara isakan tangis, perlahan kubuka mataku. Lho, kok aku terbaring disitu! Kan aku disini! Aku mulai merasa aneh, aku nggak bisa menyentuh mama atau Kak Rachael.
Kini aku tau, aku sudah tiada. Kulihat, di samping diriku yang terbaring pucat tanpa nafas, ada Tante Merry, Yerricho, Jessie dan Keisha. Kulihat ke sampingku, Tante Merry, Yerricho, Jessie dan Keisha juga sudah menjadi arwah sepertiku.
Tiga hari sudah aku mengamati keluargaku yang sekarang tanpa ada aku. Mereka mungkin lupa kalau sebenarnya ini hari ulang tahunku. Kini, rumah itu kosong, biasanya, segelap apapun rumah itu, sesepi apapun rasanya aku disitu. Rumah itu tak akan pernah sunyi, aku selalu memperdengarkan tuts-tuts piano yang bisa menenangkanku jika aku kesepian. Aku tidak lagi mendengar keluhan dan banding-bandingan dari mama untukku. Aku sekarang mendengar penyesalan mereka yang telah mengecewakanku.
“Biasanya, hari ini Giselle berangkat bimbel, sebelumnya, dia pasti main piano, terus nyomot-nyomot masakan pagi ini buat dicicipi.” Keluh mama. Aku tak kuasa menahan deraian air mata yang terus membasahi pipi ini. Aku berharap Tuhan memberikan keluargaku kebahagiaan. Biarkanlah, aku saja yang merasakan sakitnya seperti ini.
Cerpen Karangan: Edenia Devina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar