Januari 1996
Alunan suara piano menyejukkan hati pendengarnya. Para juri menutup kedua matanya. Senyuman tersungging di bibir mereka. Gerakan jemari sang pianis bergerak dengan serasi dan lembut. Chopin – Etude Op 10 Number 3. 4 menit 21 detik. Dalam waktu 4 menit saja, semua orang di ruangan itu tersentuh hatinya. Satu persatu dari mereka berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah. Para juri tidak bisa berhenti tersenyum. Begitu juga dengan sang pianis. Sang pianis berdiri dan menghadap ke para penonton dan memberikan hormat dengan hati yang sangat puas.
Alunan suara piano menyejukkan hati pendengarnya. Para juri menutup kedua matanya. Senyuman tersungging di bibir mereka. Gerakan jemari sang pianis bergerak dengan serasi dan lembut. Chopin – Etude Op 10 Number 3. 4 menit 21 detik. Dalam waktu 4 menit saja, semua orang di ruangan itu tersentuh hatinya. Satu persatu dari mereka berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah. Para juri tidak bisa berhenti tersenyum. Begitu juga dengan sang pianis. Sang pianis berdiri dan menghadap ke para penonton dan memberikan hormat dengan hati yang sangat puas.
“Keren banget!” Teriak Debby
“Aku sampe merinding tadi! Itu benar-benar pertunjukkan terbaikmu, Fhina!” Maria meranggkul sahabatnya itu.
Fhina tersenyum senang. Kedua tangannya memeluk piala yang baru saja ia dapatkan. “Makasih ya sudah datang tadi.”
“Makasih juga tiket gratisnya! By the way congratulation! You won the concert, baby!” Balas Debby.
“Iya selamat ya Fhina! Kamu memang patut dibanggakan!”
“Makasih! Makasih semuanya makasih! He he he”
“Aku sampe merinding tadi! Itu benar-benar pertunjukkan terbaikmu, Fhina!” Maria meranggkul sahabatnya itu.
Fhina tersenyum senang. Kedua tangannya memeluk piala yang baru saja ia dapatkan. “Makasih ya sudah datang tadi.”
“Makasih juga tiket gratisnya! By the way congratulation! You won the concert, baby!” Balas Debby.
“Iya selamat ya Fhina! Kamu memang patut dibanggakan!”
“Makasih! Makasih semuanya makasih! He he he”
Malam itu, Fhina pulang dengan piala barunya. Ia tak sabar untuk pulang dan mengabarkan berita hebat ini ke kedua orangtuanya. Ayah dan ibunya memang tidak bisa menghadiri konser sekaligus lomba hari ini. Mereka sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Karena itulah, tiket yang sudah Fhina belikan terpaksa diberikan kepada sahabatnya, Debby dan Maria. Fhina menyalakan mobilnya dan langsung menginjak gasnya. Sambil menyetir, Ia menyalakan mp3nya dan memutar album salah satu pianis favoritnya, Josef Huffman. Namanya pun di ambil dari pianis itu. Josefhina. Ayahnya dulu seorang guru piano, namun beliau sudah berhenti dari hobinya, maka dari itu beliau ingin sekali hobinya diteruskan oleh anak tunggalnya yaitu Fhina.
Saat itu, sudah pukul 2 pagi. Lomba tadi memang diselenggarakan malam-malam. Matanya sudah cukup lelah untuk terbuka. Butuh 40 menit untuk Fhina sampai di rumahnya sedangkan saat ini, Ia baru setengah jalan. Fhina memutuskan untuk memarkirkan mobilnya sejenak di pinggir jalan. Ia menguap untuk yang kesekian kalinya. Dia memang cukup bekerja keras untuk lomba kali ini dan sekarang, Fhina merasa sangat lelah. Fhina menutup kedua matanya dan tidak sengaja tertidur di dalam mobil.
Perlahan, Fhina membuka matanya. Ia merasakan sakit yang luar biasa pada tangan kanannya.
“Ini.. Dimana?” Fhina melihat ke sekeliling. Ia tidak sedang berada di mobilnya. Badannya tertidur terlentang di atas kasur. Matanya melirik ke sebelah kanannya. Ibunya tertidur dengan mata yang sembab. “Rumah.. Sakit..” Seketika itu juga, ia merasakan pusing yang tidak biasanya. Ia teringat kembali yang ia rasakan malam itu. Ya. Fhina mengalami kecelakaan saat ia sedang tertidur. Sebuah truk dengan pengendara yang mengantuk berjalan dengan cepat dan menabrak mobilnya. Mobil Fhina terseret dan berputar balik dengan posisi akhir terbalik. Beruntung mobilnya tidak meledak. Fhina sempat terbangun saat kejadian itu terjadi, namun ia tidak bisa bergerak. Kepalanya mengeluarkan darah dan tangannya terasa kaku karena tertusuk banyak pecahan kaca. Ia hanya bisa berdoa agar seseorang menolongnya.
“Ini.. Dimana?” Fhina melihat ke sekeliling. Ia tidak sedang berada di mobilnya. Badannya tertidur terlentang di atas kasur. Matanya melirik ke sebelah kanannya. Ibunya tertidur dengan mata yang sembab. “Rumah.. Sakit..” Seketika itu juga, ia merasakan pusing yang tidak biasanya. Ia teringat kembali yang ia rasakan malam itu. Ya. Fhina mengalami kecelakaan saat ia sedang tertidur. Sebuah truk dengan pengendara yang mengantuk berjalan dengan cepat dan menabrak mobilnya. Mobil Fhina terseret dan berputar balik dengan posisi akhir terbalik. Beruntung mobilnya tidak meledak. Fhina sempat terbangun saat kejadian itu terjadi, namun ia tidak bisa bergerak. Kepalanya mengeluarkan darah dan tangannya terasa kaku karena tertusuk banyak pecahan kaca. Ia hanya bisa berdoa agar seseorang menolongnya.
“Ayo, makan ya, Fhina?” Rayu ibunya sambil memegang semangkok bubur.
Fhina tidak menjawab. Matanya menatap keluar jendela dengan hampa.
“Fhina? Ayo sini Ibu suapi.” Ibunya mulai khawatir akan keadaan Fhina.
Fhina koma selama 3 hari. Dan setelah ia terbangun, Ia tidak seperti biasanya. Shock menyerangnya akibat kecelakaan yang dia alami. Namun, satu hal yang membuatnya benar-benar tidak dapat menerima kejadian ini, tangan kanannya diamputasi. Dan dia tidak dapat bermain piano.
Ibunya kembali mengeluarkan air mata. “Fhina.. Ibu dengar kamu juara satu, ya? Selamat ya nak. Ibu bangga sekali. Ayah kamu juga bangga. Maaf ibu tidak bisa hadir.” Sesal ibunya.
Fhina melirik ibunya yang sedang menangis. “Untuk apa ibu menangis? Aku yang mengalami kecelakaan ini. Aku yang kehilangan tangan kananku. Dan ayah ibu sendiri yang menolak tiket pertunjukan terakhirku dan memilih bekerja. Tidak usah menangis. Dan aku tidak lapar.” Fhina menjawab ketus.
Ibunya memandang Fhina iba. Ia tidak dapat marah seperti biasanya. Ia terlalu kasihan akan apa yang Fhina alami. Mimpinya untuk menjadi pianis perempuan yang terkenal dan go international hancur dalam waktu semalam. Tangisannya terhentikan. “Kamu tahu Lee Ah Hee?”
Fhina mengangguk pelan. “Aku tahu. Pemain piano cacat, kan?”
Ibunya tersenyum. “Tapi dia tidak mau memanggil dirinya cacat. Ia juga tidak mau dikasihani. Ia hanya ingin menjadi perempuan normal yang bisa bermain piano.”
Fhina terdiam sejenak. Matanya tidak menatap ibunya. “Aku tahu.” Jawabnya singkat.
“Tidakkah kamu mau mencoba dari awal?” Tanya ibunya penasaran.
Matanya kini berair. “Maksud ibu apa? Mana ada seorang pianis dengan tangan kirinya saja? Mana ada? Lee Ah Hee masih memiliki jari di kedua tangannya! Sedangkan aku? Jemari di tangan kananku sudah hilang! Di potong, Bu! Jemariku yang selama ini aku banggakan, sekarang mereka tidak ada! Aku tidak bisa merasakan tangan kananku!” Tangisannya membesar. Isakannya melukai hati ibunya. “Ibu tidak akan tahu apa yang aku rasakan! Tidak akan pernah! Aku cacat sekarang! Ibu boleh tidak mengakui aku sebagai anak Ibu lagi! Ibu boleh meninggalkan aku sendirian! Bahkan, aku mau mati saja sekarang! Karena semua jiwa dan hobiku juga sudah mati, kan?”
Mata Ibunya tidak berhenti bergerak. Kini matanya mulai berair lagi. Ia menarik nafasnya dalam-dalam. Ia berdiri dari kursinya dan memeluk Fhina yang sedang menutupi wajahnya dengan tangan kirinya. “Maafkan Ibu… Ibu minta maaf. Maafkan Ibu yang tidak bisa menjaga anaknya sendiri…”
Fhina merajuk. Ia membanting pelukan Ibunya dengan tubuhnya. “Ibu keluar saja! Aku mau sendiri.”
Ibunya hanya bisa menangis, dan perlahan, Beliau berdiri dan meninggalkan Fhina sendirian.
Fhina tidak menjawab. Matanya menatap keluar jendela dengan hampa.
“Fhina? Ayo sini Ibu suapi.” Ibunya mulai khawatir akan keadaan Fhina.
Fhina koma selama 3 hari. Dan setelah ia terbangun, Ia tidak seperti biasanya. Shock menyerangnya akibat kecelakaan yang dia alami. Namun, satu hal yang membuatnya benar-benar tidak dapat menerima kejadian ini, tangan kanannya diamputasi. Dan dia tidak dapat bermain piano.
Ibunya kembali mengeluarkan air mata. “Fhina.. Ibu dengar kamu juara satu, ya? Selamat ya nak. Ibu bangga sekali. Ayah kamu juga bangga. Maaf ibu tidak bisa hadir.” Sesal ibunya.
Fhina melirik ibunya yang sedang menangis. “Untuk apa ibu menangis? Aku yang mengalami kecelakaan ini. Aku yang kehilangan tangan kananku. Dan ayah ibu sendiri yang menolak tiket pertunjukan terakhirku dan memilih bekerja. Tidak usah menangis. Dan aku tidak lapar.” Fhina menjawab ketus.
Ibunya memandang Fhina iba. Ia tidak dapat marah seperti biasanya. Ia terlalu kasihan akan apa yang Fhina alami. Mimpinya untuk menjadi pianis perempuan yang terkenal dan go international hancur dalam waktu semalam. Tangisannya terhentikan. “Kamu tahu Lee Ah Hee?”
Fhina mengangguk pelan. “Aku tahu. Pemain piano cacat, kan?”
Ibunya tersenyum. “Tapi dia tidak mau memanggil dirinya cacat. Ia juga tidak mau dikasihani. Ia hanya ingin menjadi perempuan normal yang bisa bermain piano.”
Fhina terdiam sejenak. Matanya tidak menatap ibunya. “Aku tahu.” Jawabnya singkat.
“Tidakkah kamu mau mencoba dari awal?” Tanya ibunya penasaran.
Matanya kini berair. “Maksud ibu apa? Mana ada seorang pianis dengan tangan kirinya saja? Mana ada? Lee Ah Hee masih memiliki jari di kedua tangannya! Sedangkan aku? Jemari di tangan kananku sudah hilang! Di potong, Bu! Jemariku yang selama ini aku banggakan, sekarang mereka tidak ada! Aku tidak bisa merasakan tangan kananku!” Tangisannya membesar. Isakannya melukai hati ibunya. “Ibu tidak akan tahu apa yang aku rasakan! Tidak akan pernah! Aku cacat sekarang! Ibu boleh tidak mengakui aku sebagai anak Ibu lagi! Ibu boleh meninggalkan aku sendirian! Bahkan, aku mau mati saja sekarang! Karena semua jiwa dan hobiku juga sudah mati, kan?”
Mata Ibunya tidak berhenti bergerak. Kini matanya mulai berair lagi. Ia menarik nafasnya dalam-dalam. Ia berdiri dari kursinya dan memeluk Fhina yang sedang menutupi wajahnya dengan tangan kirinya. “Maafkan Ibu… Ibu minta maaf. Maafkan Ibu yang tidak bisa menjaga anaknya sendiri…”
Fhina merajuk. Ia membanting pelukan Ibunya dengan tubuhnya. “Ibu keluar saja! Aku mau sendiri.”
Ibunya hanya bisa menangis, dan perlahan, Beliau berdiri dan meninggalkan Fhina sendirian.
Januari 1997
Satu tahun sudah berlalu. Semenjak kecelakaan itu, Fhina tidak pernah menyentuh pianonya lagi. Sebelumnya, Fhinalah yang merawat piano kesayangannya. Tiap hari, Ia selalu membersihkan tiap debu yang menempel di atas pianonya. Namun sekarang, Fhina tidak pernah mau mengurusi piano tersebut. Bahkan melihatnya saja ia tidak sudi. Hingga suatu hari, Ia penasaran akan keadaan pianonya. Perlahan, ia berjalan mendekati piano itu dan membuka kain yang menutupi piano tersebut. Tidak berdebu. Seperti masih sering digunakan tiap harinya. Tidak ada satupun debu yang ia temui. Ia membuka penutup piano itu, dan menekan salah satu tombolnya menggunakan telunjuk kirinya. Dengan kening berkerut, Fhina duduk di kursi piano itu dan tak pernah berhenti menatapnya. Ia penasaran, siapa yang selama ini merawat piano itu? Matanya tidak sengaja melihat sebuah lipatan kertas yang terselip. Ia mengambil kertas itu dengan tangan kirinya dan segera membukanya. Penasaran, ia membaca tulisan yang tertulis di kertas itu. Dan tak lama, Fhina meneteskan air matanya. Ia menggenggam kertas itu dan berlari menuju kamar kedua orang tuanya.
“IBU!” ia membuka kamar itu, namun tak satu orangpun ia jumpai. Ia lupa, hari itu Ayah dan Ibunya bekerja. Segera ia berlari menuju telepon rumah dan menekan loudspeaker serta menekan nomor ibunya. Tak ada jawaban. Ia segera menutup hubungan itu dan menekan tombol ayahnya. Namun, saat itu juga, handphonenya berbunyi. Ia berlari menuju kamarnya dan melihat layar handphone tersebut. IBU. Dengan segera, ia menekan tombol hijau. “Halo? Ibu? Ibu dimana?”
“Halo?”
Fhina mengerutkan kepalanya. Itu bukan suara ibu. “Halo? Ini siapa? Bukankah ini handphone Ibu saya?”
“Oh kamu anaknya? Ibu kamu, pemilik handphone ini, baru saja mengalami kecelakaan. Sekarang beliau di bawa ke Rumah Duka Harapan. Ibu kamu sudah meninggal di TKP, nak.”
Mulut Fhina terbuka tak percaya. Ia berdiri perlahan dan berlari menuju keluar rumah. Ia tidak memperdulikan rumahnya yang tidak terkunci. Hanya lari, mencari taksi, dan menemui ibunya…
Satu tahun sudah berlalu. Semenjak kecelakaan itu, Fhina tidak pernah menyentuh pianonya lagi. Sebelumnya, Fhinalah yang merawat piano kesayangannya. Tiap hari, Ia selalu membersihkan tiap debu yang menempel di atas pianonya. Namun sekarang, Fhina tidak pernah mau mengurusi piano tersebut. Bahkan melihatnya saja ia tidak sudi. Hingga suatu hari, Ia penasaran akan keadaan pianonya. Perlahan, ia berjalan mendekati piano itu dan membuka kain yang menutupi piano tersebut. Tidak berdebu. Seperti masih sering digunakan tiap harinya. Tidak ada satupun debu yang ia temui. Ia membuka penutup piano itu, dan menekan salah satu tombolnya menggunakan telunjuk kirinya. Dengan kening berkerut, Fhina duduk di kursi piano itu dan tak pernah berhenti menatapnya. Ia penasaran, siapa yang selama ini merawat piano itu? Matanya tidak sengaja melihat sebuah lipatan kertas yang terselip. Ia mengambil kertas itu dengan tangan kirinya dan segera membukanya. Penasaran, ia membaca tulisan yang tertulis di kertas itu. Dan tak lama, Fhina meneteskan air matanya. Ia menggenggam kertas itu dan berlari menuju kamar kedua orang tuanya.
“IBU!” ia membuka kamar itu, namun tak satu orangpun ia jumpai. Ia lupa, hari itu Ayah dan Ibunya bekerja. Segera ia berlari menuju telepon rumah dan menekan loudspeaker serta menekan nomor ibunya. Tak ada jawaban. Ia segera menutup hubungan itu dan menekan tombol ayahnya. Namun, saat itu juga, handphonenya berbunyi. Ia berlari menuju kamarnya dan melihat layar handphone tersebut. IBU. Dengan segera, ia menekan tombol hijau. “Halo? Ibu? Ibu dimana?”
“Halo?”
Fhina mengerutkan kepalanya. Itu bukan suara ibu. “Halo? Ini siapa? Bukankah ini handphone Ibu saya?”
“Oh kamu anaknya? Ibu kamu, pemilik handphone ini, baru saja mengalami kecelakaan. Sekarang beliau di bawa ke Rumah Duka Harapan. Ibu kamu sudah meninggal di TKP, nak.”
Mulut Fhina terbuka tak percaya. Ia berdiri perlahan dan berlari menuju keluar rumah. Ia tidak memperdulikan rumahnya yang tidak terkunci. Hanya lari, mencari taksi, dan menemui ibunya…
Semuanya berjalan begitu cepat..
Kamu, anakku.
Ibu mencintaimu.
Tidak peduli akan kekuranganmu, Ibu akan selalu mencintaimu.
Setiap hari, Ibu menbersihkan kotoran di pianomu ini.
Rasanya sedih tidak bisa melihat kamu tersenyum sambil bermain piano lagi.
Josefhina, selamanya kamu akan menjadi nada di hati Ibu.
Nada yang selalu bernyanyi merdu.
Hati Ibu tidak pernah hampa karena kehadiranmu.
Selamanya kamu akan menjadi bagian dari Ibu.
Dan, kalau kamu membaca tulisan ini, berarti kamu masih memiliki sebagian dari hati pianomu itu.
Masuklah ke kamar Ibu. Ambillah sebuah mp3 yang Ibu simpan di dalam laci lemari rias Ibu.
Ambilllah, dan dengarkanlah.
Itu semua untukmu, sayang.
-Ibu-
Kamu, anakku.
Ibu mencintaimu.
Tidak peduli akan kekuranganmu, Ibu akan selalu mencintaimu.
Setiap hari, Ibu menbersihkan kotoran di pianomu ini.
Rasanya sedih tidak bisa melihat kamu tersenyum sambil bermain piano lagi.
Josefhina, selamanya kamu akan menjadi nada di hati Ibu.
Nada yang selalu bernyanyi merdu.
Hati Ibu tidak pernah hampa karena kehadiranmu.
Selamanya kamu akan menjadi bagian dari Ibu.
Dan, kalau kamu membaca tulisan ini, berarti kamu masih memiliki sebagian dari hati pianomu itu.
Masuklah ke kamar Ibu. Ambillah sebuah mp3 yang Ibu simpan di dalam laci lemari rias Ibu.
Ambilllah, dan dengarkanlah.
Itu semua untukmu, sayang.
-Ibu-
Januari 2013
Chopin – Etude Op 10 Number 3. Musik itu dimainkan solo dengan merdu oleh seorang perempuan berumur 12 tahun. Semua penonton dalam pertunjukkan itu berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah, begitu juga dengan para juri. Mereka tidak menyangka seorang anak berumur 12 tahun dapat memainkan lagu yang sulit. Perempuan itu berdiri, dan memberi hormat. Matanya melirik ke bangku penonton di sebelah kanan. Ia melihat seorang wanita disana berdiri dan tersenyum dengan puas. Perempuan itu ikut tersenyum melihat wanita itu berdiri disana.
Chopin – Etude Op 10 Number 3. Musik itu dimainkan solo dengan merdu oleh seorang perempuan berumur 12 tahun. Semua penonton dalam pertunjukkan itu berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah, begitu juga dengan para juri. Mereka tidak menyangka seorang anak berumur 12 tahun dapat memainkan lagu yang sulit. Perempuan itu berdiri, dan memberi hormat. Matanya melirik ke bangku penonton di sebelah kanan. Ia melihat seorang wanita disana berdiri dan tersenyum dengan puas. Perempuan itu ikut tersenyum melihat wanita itu berdiri disana.
“Ibu!” Pianis muda itu berlari memeluk Ibunya.
“Iya, nak. Tadi bagus sekali loh pertunjukkannya.” Ibunya membalas pelukannya dengan tangan kirinya.
“Iya kan Ibu yang ajarkan. Itu juga jadi lagu favoritku sekarang!” Ujarnya bahagia.
Ibunya tersenyum bahagia. Dengan tangan kirinya, ia merangkul anaknya dan membawanya kepada sang ayah.
“Iya, nak. Tadi bagus sekali loh pertunjukkannya.” Ibunya membalas pelukannya dengan tangan kirinya.
“Iya kan Ibu yang ajarkan. Itu juga jadi lagu favoritku sekarang!” Ujarnya bahagia.
Ibunya tersenyum bahagia. Dengan tangan kirinya, ia merangkul anaknya dan membawanya kepada sang ayah.
Aku tidak pernah lupa akan apa yang Ibuku ajarkan kepadaku. Di dalam mp3 itu, Ibuku memainkan lagu pertunjukkan terakhirku, Etude Op 10 Number 3. Ibuku bukan seorang pianis, namun ternyata selama ini, ia secara diam-diam meminta ayahku mengajarinya bermain lagu itu di atas piano. Banyak sekali nada fals yang berbunyi, namun itulah permainan terindah yang aku dengarkan. Karena permainan itu dimainkan dengan sepenuh hati dan diberikan untuk yang tersayang. Kini, aku sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Dan ia calon pianis. Oh tidak. Ia bahkan sudah menjadi pianis. Dan selamanya akan menjadi pianis. Terima kasih Ibu. Ibulah nada terindah yang pernah aku miliki.
–Josefhina. Seorang anak dari seorang pianis, dan seorang ibu dari seorang pianis-
–Josefhina. Seorang anak dari seorang pianis, dan seorang ibu dari seorang pianis-
Cerpen Karangan: Antonia Luisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar