Rabu, 13 November 2013

Cerpen - Bidadari Kecil, Saghirah

“Saghirah, hari ini sekolah ya nak. Ibu tak mau gara-gara ibu, Saghirah ga sekolah.” ucap ibu Fitri yang masih terbaring lesu setelah di tabrak lari oleh sebuah mobil sedan dua bulan yang lalu yang membuat kedua kakinya tak dapat digerakkan lagi. Ibu muda beranak dua tersebut sudah dua tahun terakhir menjadi tonggak dalam keluarganya setelah suaminya meninggal dunia karena infeksi di kakinya.
“Iya, bu.” Jawab Saghirah. Matanya berkaca, namun ia tetap tersenyum.
“Maafkan Ira, bu. Ira ga mau ibu sedih kalau tau sebenarnya Ira sudah tidak sekolah, Bu.” lirih Saghirah dalam hati. Rasa tak tega yang membuat semua ini terjadi.
“Ibu, minum obat dulu ya.” Ira duduk sembari merapikan tempat tidur ibunya yang lusuh.
“Kamu dapat obat dari mana sayang?”
“Eu… Di kasih sama dokter Hani, bu.”
Sejenak Ira terdiam. Ia merasa bersalah telah berulang kali terpaksa melakukan hal yang menurutnya konyol itu.
“Siapa beliau itu, nak?” Tanya Ibu Fitri lagi. Kondisi kakinya yang masih membengkak dan tidak mendapatkan perawatan yang berarti membuatnya tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai ibu sekaligus bapak bagi kedua anaknya.
“Beliau dokter di kampung sebelah, bu.” Kali ini dia tak berbohong. Namun, bukanlah kebaikan dokter Hani yang memberikannya obat setiap hari, tapi hasil keringatnya lah yang membuat obat itu menjadi miliknya sekarang.
Seperti dijanjikan, ia pamitan untuk sekolah. Melihat penampilannya selaku siswa, tak ada yang menyangka apa sebenarnya telah berlaku terhadap si kecil Saghirah. Ia masih berseragam sekolah sampai ke sebuah gerbang, gerbang dimana tak seharusnya ia berada. Dan, tak ada yang menduga kalau sejatinya ia sekarang sudah menjadi salah satu murid di ‘sekolah alam’, TPA, Tempat Pembuangan Akhir, tersebut. Hal itu sudah dilakoninya semenjak kecelakaan ibunya, namun baru minggu ini ia mulai dari pagi, setelah dia di vonis untuk tidak dapat lagi mengikuti pembelajaran oleh kepala sekolahnya.
Disana ia belajar menjadi seorang ibu, bapak, atau penanggung jawab keluarga. Sampah-sampah yang menurut kita kotor dan jijik adalah ‘mutiara’ dimatanya sekarang dan mutiara itu menjadi buku serta mata pelajarannya, sedang panas dan peluh adalah gurunya. Di sana ia berlomba dengan serombongan ‘murid-murid’ sekolah terbaiknya saat itu. Ia harus berlomba mencari ‘mutiara’ yang bisa di daur untuk di tukar dengan Rupiah. Tak ada harapan muluk setelah seharian dia disana. Ia hanya berharap untuk bisa terus melanjutkan hidup bersama ibu dan adik semata wayangnya.
“Ya Allah, Ira hanya ingin ibu cepat sembuh. Ira ga tega melihat ibu terbaring tak berdaya. Ira pengen beli obat agar ibu sehat, ya Allah…” Doa tulus dan polos dari bibir mungilnya di pagi ini. Walau perasaan tak enak selalu menghantuinya, gelisah, khawatir akan kondisi ibunya yang tak stabil ditinggalnya sendiri di rumah. Sedang adiknya yang masih kelas dua Sekolah Dasar belum bisa diharapkan apa-apa. Ia bisa sekolah dan jajan ringan tiap harinya saja telah cukup bagi Ira.
Hari berganti, pekan mulai menutup masa, dan bulan ketiga pun menyambut. Niatnya menabung untuk kembali bisa sekolah terpaksa diurungkannya. Dipikirannya kesehatan ibunya adalah utama. Walau kadang ia merasa iri melihat teman sebayanya yang masih bisa sekolah dengan nyamannya. Tak jarang juga ia minder untuk itu. Namun ia bertekad akan berjuang, walau mungkin ia hanya bisa jadi murid di ‘sekolah alam’ itu, namun ia tetap menyempatkan diri dengan berbekal seragamnya ia pura-pura menjadi murid yang hampir tiap hari hanya study tour, beberapa sekolah ia sambangi untuk bisa belajar walau hanya dua hari dalam seminggu. Tak ada yang menduga ia demikian. Sungguh Saghirah luar biasa.
Tuntutan untuk saling mengenal antara dia dan beberapa jajaran guru di sekolah Menengah Atas Swasta di Kota Bekasi yang ia kunjungi kembali memaksanya untuk berbohong.
“Maaf, bu, pak, kalau saya berbohong.” lirihnya dalam hati. Walau sejatinya berbohong adalah hal yang paling tidak bisa diterima hatinya.
Keesokan harinya, Ibu Aisyah, seorang guru di sekolah yang baru ia kunjungi tanpa sengaja bertemu Saghirah tak di sekolah seperti apa yang dia katakan kemarin hari. Tak ayal, beliau mendapati Saghirah dengan ketegarannya menjalani hidup. Ia memperhatikan apa yang seakan tak dipercayainya. Saghirah mengganti seragam sekolahnya dan menuju sekolah alamnya. Tiga jam berlalu. Saghirah membersihkan ‘mutiara’ hasil jerihnya di sekitar semak TPA itu. Sesekali ia merenung dengan raut gelisah. Kemudian ia memboyongnya dengan mengangkat sekarung ‘mutiara’ untuk dijadikan Rupiah. Ibu Aisyah tak kuasa menahan air matanya. Kemudian Saghirah kembali mengganti seragamnya dan pulang dari ‘sekolah’nya. Di jalan ia sempatkan diri untuk ke pasar menukar lembaran lusuh itu dengan seliter beras dan ke apotik langganannya. Ibu Aisyah yang menyamar menatapnya dengan mata sembab. Kemudian beliau mengikutinya sampai ke rumah. Saghirah masuk, namun tak lama kemudian ia kembali keluar dengan membawa drigen tiga puluhan liter untuk mengisi air di mushalla seberang jalan depan rumahnya. Ibu Aisyah terharu dengan apa yang tampak dimatanya. Menurutnya Saghirah begitu tegar. Dan semua beban itu tak pantas ada dipundaknya yang masih kecil dan lemah itu.
Dengan susah payah Saghirah memboyong air tiga puluh liter itu kerumahnya. Kemudian ia memapah ibunya ke kamar mandi di sebelah rumahnya. Tak ada raut mengeluh atau terpaksa dalam melakukan ini semua. “Tapi apa benar Saghirah sekolah di sekolah itu, atau…..?” Pertanyaan tak butuh jawaban menari sekelabat di hati ibu Aisyah. Namun, tak lama, ia masih terpana dengan apa yang tampak dihadapannya itu.
Tak lama kemudian Saghirah kembali memapah ibunya Ke dalam rumah. Rasa ingin tahu lebih dalam tentang seorang yang cerdas namun misterius itu menyesaki ruang hatinya. Ia begitu menarik untuk diperhatikan, menurutnya. Tak sadar sudah hampir setengah hari ibu Aisyah mengikuti Saghirah secara mengendap-endap. Ia bahkan lupa akan jadwal rapat di sekolahnya.
Saghirah kembali dengan kesibukannya di dalam rumah. Ia membalut luka yang masih belum kering dan menempel obat ramuan tradisional yang dibuatnya sendiri. Tak ada pilihan lain yang dapat membantunya sekarang selain dirinya yang melakukan ini semua. Semua keluarganya jauh di Madura sana.
Selesai Saghirah menanak nasi, ia kebingungan. Uangnya sudah ia belanjakan semua, sedangkan untuk lauk makan siang itu belum ada sama sekali. Kemudian ia mendiamkan nasi hasil masaknya dari tungku kayu yang dibuatnya selama ibunya sakit. Ia harus berhemat untuk menggunakan dapur gas. Dengan berbekal nasi putih dan garam dapur, ia mencoba menghidangkannya untuk ibunya.
“Maafin Ira, Bu. Ira belum bisa berbuat apa-apa untuk ibu, ini ada sedikit riski dari Allah untuk kita makan hari ini, tapi…” Ia tak berani untuk melanjutkannya.
“Sudah. Seharusnya ibu yang minta maaf. Ini adalah kewajiban ibu, nak. Bagi ibu, bisa melihat anak ibu sekolah dan tersenyum itu sudah lebih dari cukup, Nak.” Ira hanya tersenyum walau hatinya tak sejalur dengan apa yang ibunya katakan, matanya kembali berkaca, hati kecilnya tak kuat, tak tega dengan selalunya membohongi ibunya, namun sementara waktu itulah yang terbaik menurutnya. Kemudian ia menyuapkan nasi putih yang ditaburi garam dapur untuk ibunya. Walau nafsu makan kurang, ibunya berusaha untuk menelan suapan dari putri tersayangnya. Setidaknya hal tersebut akan membuat saghirah bahagia. Hanya itu harapan ibu yang semakin lama semakin terlihat tua ketimbang umurnya yang masih berkepala tiga. “Nak, kamu kerja apa? Ibu merasa ada yang kamu sembunyikan dari ibu. Tiap hari kamu membawa ibu makanan lezat ini dan obat untuk ibu. Siapa yang membantu kita? Ibu ingin berterima kasih banyak padanya.” Ibunya penasaran dengan apa yang dilakukan Saghirah sehingga setiap pulang sekolah ia membawa seliter beras dan sebungkus obat untuk dirinya.
“Euuu… I.. Ira ga bekerja, Bu. Ira tiap hari sekolah. Riski kan kata ibu ada yang mengaturnya, jadi Ira ga perlu pusing untuk itu.” Ibunya terharu mendengar kata tulus dan tinggi dari anak kebanggaannya tersebut. Namun hatinya seakan tak percaya dengan semua itu.
“Trus siapa yang tiap hari bersedia memberi kita beras dan obat itu, Ra?”
“Ada, nanti ibu pasti bisa ketemu sama orangnya.” Hibur Saghirah. Kemudian ia memeluk ibunya. Air matanya tumpah. Dalam hati ia menyumpahi dirinya sendiri. Keharuan dan kesyahduan melanda hati mereka. Dan, doa adalah hasil dari kesyahduan tersebut.
“Ya Allah, selamatkanlah Jiwa raga kami, berikanlah rizki yang cukup dan halal bagi kami. Selamatkanlah ya Allah anak-anak hamba yang merupakan titipan dari-Mu. Ya Allah, hamba menerima semua apa yang menjadi kehendak-Mu. Hamba sudah tak bisa mengawasi anak-anak hamba, hamba serahkan semuanya pada-Mu ya Allah.” doa yang disertai air mata itu begitu mengharukan jiwa. Andai Saghirah mendengarnya.
“Erni, kamu tau kabar tentang Shagirah?” Tanya Andi, selaku Ketua Osis di sekolahnya.
“Eu… Ga tau, tuh.” Jawab Erni singkat, walau sebenarnya dia sedikit tahu perihal yang terjadi dengan Saghirah. Namun pesan Saghirah untuk menyembunyikan ini semua membuat ia bungkam. Andi merasa ada yang tidak beres dengan kehilangan Saghirah, murid teladan yang merupakan mantan wakil ketua Osis di sekolah tersebut. Seminggu lebih ia mencari informasi tentang keberadaan Saghirah, namun sayang, ia tak berhasil. Erni saja yang merupakan teman dekat Saghirah hanya tahu ia pindah sekolah.
Keesokan harinya Andi mencari tahu alamat Saghirah, dan hanya Erni yang pernah kerumahnya. Kemudian Andi memaksa Erni untuk mengantarkannya kerumah Saghirah. “Assalamu’alaikum…” Erni memberi salam.
“Wa’alaikum salam, siapa ya?” Jawab ibunya Saghirah dari kamarnya.
“Erni, Bu. Saghirah ada?”
“Erni…? Masuk nak. Saghirahnya sedang sekolah.”
Mereka dipersilahkan untuk masuk ke kamar. Setelah masuk dan basa-basi, Erni baru sadar, ternyata ibunya Ira yang dulu segar-bugar kini lemas tak berdaya. Kemudian mereka mengutarakan hajat mereka.
“Loh, bukannya Erni ini sekelas dengan Saghirah?” Tanya bu Fitri kemudian. Erni merasa ada yang tidak beres dengan Saghirah. Menurut cerita ibunya, setiap hari ia sekolah dengan seragam yang sama dengan dirinya. Tapi di sekolah ia tak pernah tampak sudah dua minggu.
“I… Iya, tapi tadi pagi belum datang, makanya kita kesini.” Erni membuat skenario. Sedang Andi semakin bingung. Namun, ia hanya diam saja walau keningnya mengernyit.
“Ya, ibu juga ga tau. Semoga ga apa-apa dengan dia.” Mendengar Saghirah belum ada di sekolahnya pagi ini membuat air bening tanda khawatir sekaligus kasih sayang itu mengalir lembut. Tak lama kemudian mereka pamitan.
“Kamu tau kalo ibunya Ira sakit?” Tanya Andi seakan menyalahkan Erni yang tak memberi tahunya.
“Ga, Aku ga tau kalo ibunya sakit. Dulu pernah cerita, tapi dah lama banget. Kirain ga separah itu.” Jawab Erni.
“Trus apa maksudmu Ira belum datang tadi pagi?” Tanya Andi.
“Eu… Gini, Ira keknya lagi ada masalah besar yang membuat dia ga sekolah lagi. Dari rumah ia tiap hari sekolah, tapi kemana kita ga tau. Tadi tuh maksudnya biar ibunya ga merasa bahwa Ira selama ini ga sekolah. Kasian dia.”
“Trus, tadi cuma boongan doang?”
“Ya iya, Ndi. Gimana sih. Apa kamu tega liat ibunya yang sedang tak berdaya itu puyeng gara-gara Ira ga ke sekolah?”
“Iya juga sih. Tapi gua harus tau. Ira sekarang sekolah dimana.”
“Iya. Mungkin besok pagi kita bisa buntuti dia.”
“Okey, sip. Tar kita SMS-an aja ya.”
“Sip.”
Masih seperti kemarin. Ira berseragam dan menuju TPA, Andi dan Erni membuntutinya dari belakang. Saghirah tak menyadari.
“Loh, kok dia menuju TPA, ngapain?” Andi seakan tak sabar karena sebentar lagi bel di sekolahnya berbunyi.
“Sabar aja. Kita liat, kali aja bukan kesana.” Jawab Erni santai.
Namun lain dari ucapan Erni. Saghirah segera menggantikan seragamnya. Namun ia tetap menggunakan jilbab dan terlihat ayu. Karena menurutnya, menjalankan Agama Allah adalah kewajiban mutlak yang merupakan kebutuhan bagi setiap individu. Dan, kedua pasang mata itu terbelalak. Seakan mereka tak percaya melihat apa yang terjadi. Dengan ketegarannya, Saghirah mengambil perlengkapan seadanya dan menuju tumpukan ‘mutiara’. Dua pasang mata itu tak henti menatap, dan mulai ia berkaca-kaca. “Ya Allah, jadi selama ini Ira mencari duit untuk menafkahi ibu dan adiknya disini.” ucap Erni terbata. Ia tak kuasa melihat teman sejawatnya itu berkelakar dengan sampah. Ia tak sampai hati melihat dimana ia mengganti seragam sekolahnya dengan baju kumal dan bau itu. “Ya Allah, Ndi. Ira…” Erni tak sanggup lagi melanjutkannya.
Begitu juga Andi. Ia tak sanggup berucap, dihatinya dipenuhi rasa iba yang menyesakkan dada.
“Ya Allah, betapa kejamnya kehidupan.” Andai bisa dirubah, ia mau menggantikan posisi Ira. Itulah humanity-nya.
Jam menunjukkan jam tujuh tiga puluh, Andi dan Erni segera meluncur ke sekolahnya. Sampai di sekolah Andi menceritakan apa yang tadi pagi dilihatnya dengan mata berkaca-kaca, dan rata-rata teman Osis seakan tak percaya. “Tapi, pasti ada yang tidak beres di sekolah. Aku sangat kenal pribadinya Ira, ia tak mungkin putus sekolah tanpa sebab yang jelas dan parah.” timpal Rahmat, mantan Ketua Osis dimana Saghirah sebagai wakilnya.
“Ya, sejauh ini kita belum ada informasi. Mungkin kita selidiki lebih lanjut nantinya.” Pungkas Andi yang di iya kan seluruh team work nya. Begitu juga dengan teman sekelas Saghirah. Mereka mengenal Saghirah adalah tipe gadis periang yang tak ada setitik beban terlihat di wajah ayu nya. Dan, mereka tak sadar kalau itu adalah cara lain Saghirah agar teman-temannya tak menjadi sedih dengan apa yang menimpanya. Bahkan di hari terakhir ia sekolah, ia hanya memberi tahukan Erni. Walau ia sadar hal tersebut akan menyakitkan temannya. namun, lagi-lagi menurutnya itu adalah cara terbaik untuk sekarang ini. “Masa’ sih? Kasian banget Ira, gimana dong?” Timpal Dewi, salah satu teman yang lumayan akrab dengan Saghirah.
“Ya… Andi dan teman-teman Osis lagi ngusahain untuk cari tahu penyebabnya. Kita sabar aja dulu, tunggu hasil dari usaha mereka, baru kita bisa gerak.” Ucap Erni yang sesaat ia menjadi komando dadakan.
Andi dan teman sesama Osisnya mencari akar perkara yang membuat Ira berhenti dari sekolah tersebut. Andi menemui guru BP; “Pak, bapak tau ga si Ira?” Tanya Andi dengan nada santai agar guru BP tersebut tak menyadari bila Andi sebenarnya sedang menyelidiki.
“Iya, kenal. Yang juara olimpiade itu bukan?”
“Iya. Hemmm… Denger-denger, dia di keluarin ya dari sini?” selidik Andi dengan cara menyergap dari depan.
“Sebenarnya kita juga kurang mengerti, kan kamu tau sendiri kepala sekolah kita sekarang. Orangnya pendiam, mukanya killer dan banyak hal misterius dengan dia.”
“Oya, memangnya benar Ira di keluarin, Pak?” Andi mulai terlihat serius.
“Kata Ibu Salamah sih begitu.”
“Trus, pasti ada sebabnya dong.”
“Iya, katanya Ira belum bayar SPP selam lima bulan ini.”
Andi tersentak mendengarnya. “Seorang yang juara olimpiade Fisika tingkat Provinsi bisa di skor untuk berhenti dari sekolah hanya gara-gara SPP? Ya Allah, kejam hidup ini.” Andi bergumam dalam hati.
“Ya udah makasih banyak, pak.” Ucap Andi lantas pergi meninggalkan guru BP tersebut sendiri.
“Sama-sama.”
“Jadi hanya karena SPP?” Rahmat kaget mendengarnya dari Andi.
“Iya, kak.”
“Semakin ga beres ini kepala sekolah kita. Kayaknya kita perlu bertindak lebih lanjut.”
“Setuju…!” jawab seluruh anggota Osis dan sebagian anak kelas XII IPA A, dimana Ira dan Erni berada. Kemudian Rahmat membisikkan sesuatu ke kuping Andi. Andi juga membisikkan ke yang lain sampai seluruh yang hadir dalam rapat tak teroganisir tersebut mengetahuinya.
Selanjutnya mereka mengatur strategi. Semua anggota Osis dan seluruh ketua kelas dikumpulkan secara diam-diam untuk mengomandoi. Rahmat yang menjadi dalangnya, sedang Andi dan Erni menyiapkan kebutuhan lainnya.
Hari yang dijadwalkan. Semua siswa dikomandoi untuk datang lebih telat dari biasanya, dan Rahmat menjadi penanggung jawabnya. Jam sembilan tepat. Sekolah SMAN 1 Percontohan kota Bekasi masih sepi dari siswa. Tak ada satupun siswa yang sudah hadir. Semua guru-guru hanya saling berbagi kebingungan. Bahkan ada yang menduga bahwa hari ini adalah tanggal merah. Beberapa menit kemudian, seluruh siswa datang berbarengan dengan membawa seluruh atribut demo. Ternyata rencana Rahmat mendalangi seluruh siswa untuk berdemo kepada kepala sekolahnya berjalan sempurna. Namun, mereka tetap memilih jalur damai. Seluruh siswa berseragam rapi. Hanya saja membawa baliho dan spanduk yang bertuliskan, “SELAMATKAN ASET SEKOLAH KITA” “APA ARTINYA SPP KETIMBANG ASET” diiringi teriakan massa dari seluruh siswa di sekolah yang terkenal terfavorit di kota mereka.
“Kami tak menerima Ira harus berhenti sekolah.” Ucap salah satu dari anggota Osis.
“Kami juga tidak menerima seorang juara olimpiade harus jadi pemulung.” Teriak siswa lainnya. Dari ribuan Siswa, terdapat pula beberapa kotak amal bertuliskan, “SPP UNTUK SAGHIRAH” di lain sudut ada juga yang bertuliskan, “SPP UNTUK SANG JUARA”. Dengan raut serius dan berduka, tak sedikit dari peserta demo berurai air mata. Bahkan guru yang mengetahui perihal tersebut merasa haru dan bangga dengan kebersamaan dan kesetia kawanan yang mereka miliki. Sedang di sana, di sekolah Alam, Ira sibuk dengan dulangan mutiara. Dan, Ibu Aisyah dari Sekolah Swasta yang sempat Ira kunjungi menceritakan hal serupa kepada seluruh guru dan kepala sekolah. Dan, kepala sekolah tersebut menyarankan agar Ira resmi pindah sekolah dengan biaya seratus persen di tanggung olehnya.
Setelah demo berlansung, Rahmat, Andi dan Erni ke rumah Ira. Namun sayang, mereka tak dapat menemui Ira, ia sudah berangkat ke ‘sekolah’ nya. Sebentar mereka di rumah Ira, selanjutnya mereka bertiga menuju TPA, sedangkan hasil sumbangan semua diberikan kepada ibunya Ira. “Ira…” Panggil Erni. Saghirah melihat dengan tatapan biasa. Namun setelahnya ia tersentak dan kaget. Bagaimana tidak, Erni datang dengan siswa pilihan yang merupakan siswa paling disegani di sekolahnya, Rahmat dan Andi. Kemudian Ira mendekat dengan pakaian kumalnya. Rahmat tak kuasa melihat sahabat terbaiknya itu bergumul dengan sampah. Tak hanya berkaca-kaca, air matanya tumpah. Namun tetap ia paksakan untuk tersenyum menyambut senyumnya Ira.
“Dari mana kalian tahu Ira disini?” tanya Ira bahagia, ia merasa begitu diperhatikan oleh teman-temannya.
“Dari kemarin-kemarin kita sudah melihat kamu disini, kok” Sahut Erni belagak. Ira hanya tersenyum melihat temannya yang selalu membuatnya bisa tertawa.
Kemudian Ira di ajak pulang.
“Ga bisa sekarang. Ira harus beresin itu dulu semuanya, habis tu baru bisa pulang. Mau tunggu?”
“Ah, ga mau nunggu. Mau bantu aja, boleh?” tanya Erni.
“Eee… Ga usah, tar seragamnya kotor lagi.”
“Ayooo… Siapa juga yang takut kotor. Hemmm..” Erni dengan nada centilnya.
“Kangen tau ditinggalin lama banget.” Seloroh Erni sambil jalan menuju tumpukan sampah daur ulang hasil jerihnya Ira pagi ini. Rahmat dan Andi mengikuti di belakang.
“Ira juga kangen ma kalian semua.” Ucap Saghirah dengan mata berkaca. Kemudian, sambil membersihkan sampah-sampah tersebut, Ira diminta untuk menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya.
“Jadi, hampir seluruh profit dari hasil Olimpiade itu di sita kepala sekolah?”
“Iya, tapi, ya… Lupakan lah.” Ucap Saghirah ikhlas.
“Ga.. Ga.. Ga.. Ga boleh gitu. Itu udah korupsi plus menipu namanya. Benar-benar bangsat dia. Kurang ajar.” Rahmat geram.
Andi menunggu kata-kata inspiratif yang biasanya muncul kala geram menerpa Rahmat.
“Gua laporin ke KPK tau rasa dia.”
“Aha, tepat. Kita ga usah repot-repot. KPK jawabannya.” jawab Andi menemukan ide.
“Udahlah, jangan. Kasian dia.” timpal Ira kemudian.
“Yah, gimana nanti aja.” Jawab Rahmat.
Kemudian dengan semangat Andi dan Rahmat membantu mengangkat ‘mutiara’ milik Ira menuju tempat ia menukar menjadi Rupiah. Sedang Ira mengganti seragamnya kembali. Erni hanya menunggu sambil menghayal akan hal indah besok hari yang akan diterima Ira, sahabatnya. Sambil pulang, seperti biasa, Ira menyempatkan diri untuk beli beras dan obat. Andi dan Rahmat yang sebenarnya sudah membawa kebutuhan-kebutuhan untuk Ira juga hanya diam. Ia tak mau merubah apa yang menjadi kebiasaan yang memang dinikmati Saghirah.
Sampai di rumah, Ira kaget dengan semua ini. Disana baru Erni menceritakan apa yang sudah Andi dan teman-teman Osis perbuat demi dirinya. Ira terisak. Menangis haru. Kemudian ia tersenyum bangga dan memeluk Erni seraya berterima kasih tak terhingga bagi Rahmat, Andi, rekan Osis, dan semua siswa.
“Allah pasti membalas niat baik kalian, Ira belum bisa berbuat lebih untuk kalian.”
“Sudahlah, lupakanlah.” Ucap Andi.
“Terima kasih banyak, Nak. Ibu hanya bisa berdoa, semoga kalian semua diberkahi Allah.”
“Iya, Bu. Terima kasih doanya. Itu sudah lebih dari cukup bagi kami yang memang hanya melakukan kewajiban kami.” Jawab Rahmat yang memang berdiri dekat ranjang ibunya Saghirah. Tak lama kemudian, dari luar terdengar ketukan pintu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam.” Jawab Ira dan Teman sekolahnya. Ira membuka pintu.
“Ibu Aisyah? Ya Allah. Silahkan masuk, Bu.”
“Iya Saghirah, terima kasih. Tapi ibu ga sendiri. Ibu sama guru-guru lainnya.”
“Hah…?” Ira baru sadar.
“Ya Allah… silahkan masuk bu, pak.” sambung Ira ramah. Lalu sebagian dari guru-guru dari dua sekolah itu masuk untuk menjenguk ibu Saghirah secara bergantian. Rasa bahagia yang dirasakan Ira memuncak. Dan, buliran itu tak pernah luput untuk mengapresiasikan kebahagiaan yang melanda hatinya. Sebelumnya ia tak pernah merasa se berharga hari ini. Walau ketika Ia memenangkan Olimpiade sekalipun.
Sore harinya rumah Ira disesaki oleh teman-teman dari kedua sekolah juga.
“Kami sangat berterima kasih sama Ira, Bu. Karena dia sekolah kita bisa jadi sekolah favorit.” Ucap salah satu teman yang sekelas dengan Saghirah.
“Kami juga berterima kasih kepada Ira. Karena dia, kebusukan yang terpendam dalam diri kepala sekolah kami jadi terbongkar. Semoga ia taubat. Amin.” Ucap guru BP sekolah Saghirah yang diamini Ibu Fitri dan seluruh siswa yang berada dalam kamar itu.
“Nak, kenapa kamu harus menutup ini semua sama ibu?” Pertanyaan polos dan sangat dalam itu keluar dari mulut ibu Fitri yang masih terbaring lesu.
Saghirah tak sanggup menjawab. Air matanya berurai.
“Maafkan Ira, bu. Ira ga tega kalo ibu harus mengetahuinya waktu itu.” Lantas ia memeluk ibunya. Suasana haru menyelimuti ruangan sederhana itu.
“Ibu bangga dengan mu, nak.” Ucap ibu Fitri tulus. Linangan air mata tak sanggup dibendungnya.
“Mulai besok kamu tak perlu lagi ke TPA, nak. Semua biaya hidup kita sudah di tanggung oleh Kepala Sekolah SMA Islam Modern Kota Bekasi selama ibu belum bisa bekerja. Dan biaya sekolah kamu sudah di tanggung guru-guru sekolah kamu. Keluarga Erni juga membiayai seluruh biaya pengobatan ibu.” Lanjut ibunya. Saghirah kaget dan melepaskan pelukannya. Aura bahagia memancar dari wajah lusuh ibu Fitri.
“Ya Allah. Terima kasih atas rahmat-Mu ini.” Ucap Saghirah dengan bersujud syukur. Isaknya terdengar. Sebuah isakan bahagia.
“Terima kasih banyak, Er. Kamu sahabat terbaikku.” Ujar Saghirah sambil mendekati dan memeluknya yang membuat linangan baru di mata Erni.
“Sama-sama Ira. Justru aku lah yang seharusnya bereterima kasih. Karena kamu ayah Erni terinspirasi untuk membuat sekolah gratis untuk semua golongan. Terima kasih banyak.” Seluruh temannya menyaksikan haru dan khidmat.
Hari pertama sekolah kembali.
Ira kaget dengan apa yang Rahmat, Andi dan rekan Osis rencanakan.
“Kita sambuuut… Saghirah…” Ucap Andi yang ditemani Rahmat yang memang telah merencanakan syukuran keberhasilan mereka. Tepukan kebanggaan yang diselimuti bahagia menyeruak menghangatkan suasan pagi itu. Semua siswa bahagia dengan kembalinya sang Juara ke sekolah mereka.
Air mata bahagia masih melekat di kelopak mata Saghirah. “Terima kasih tak terhingga untuk Kak Rahmat, Andy serta staf Osisnya, seluruh jajaran guru yang sangat Ira cintai, Erni dan rekan-rekan. Terima kasih juga yang sebesar-besarnya atas kerja keras teman-teman semua. Ira takkan bisa seperti ini tanpa kalian semua.” Begitulah sekelumit sambutan dari Saghirah yang mendadak menjadi pusat perhatian.
Hari-hari selanjutnya Saghirah dapat kembali sekolah dengan tenangnya. Seminggu kemudian Kepala Sekolah diganti, karena Kepala Sekolah yang lama menjadi tersangka korupsi dana Olimpiade tahun lalu. Dan, namanya juga telah didaftarkan untuk ikut olimpiade tingkat Nasional tahun depan. Luar biasa. “Ira, engkau bidadari kecil yang selalu mengajarkan ibu untuk tegar. Kau telah membuat ikon baru dalam kehidupan ibu dan teman-temanmu. Lihatlah disana, mereka semua mengikuti gaya baikmu. Mereka semua memakai kerudung dan baju yang sopan dan menjadi wanita shalehah yang tegar sepertimu. Nak, ibu bangga denganmu… Semoga Allah menyelamatkan kita semua. Amin Ya Rabbal ‘alamin”
Tamat
Cerpen Karangan: Muallim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar