Rabu, 13 November 2013

Cerpen - Biola Hitam

Nisa menyusuri trotoar menuju halte bus. Terik matahari menyoroti wajah Nisa yang putih bening. Nisa melihat sepanjang tempat duduk di halte, penuh tidak memungkinkan untuk duduk, dengan terpaksa dia berdiri sambil tangannya memegang sebuah biola kecil. Seperti biasa tiap hari rabu dan sabtu sore, Nisa latihan biola. Dengan kemampuan dan keahlian yang diturunkan oleh mamanya membuat Nisa sangat pintar bermain biola.
Sekitar 10 menit Nisa menunggu, akhirnya busnya datang juga. Nisa memilih tempat duduk di dekat jendela. Sambil melihat biola kecil yang dibawanya, Nisa termenung. Hari ini mamanya tidak bisa menjemputnya, katanya ada urusan penting. Dia hanya bisa diam dan menuruti untuk pulang dengan menggunakan bus. Karena terlarut dalam lamunan, hampir saja rumah Nisa terlewatkan. Dia segera menghentikan sopir busnya.
“Pak… pak… pak stop stop” teriak Nisa.
Setelah membayar uang, Nisa langsung melompat keluar dan berlari menuju ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum” salam Nisa. “Mama… mama…” Nisa melihat sekeliling ruangan sambil memanggil mamanya. Namun hasilnya nihil, ternyata mamanya belum pulang. Dilihatnya jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya, sudah jam 05.00. sudah sangat sore sekali, namun mamanya belum juga pulang.
`Mama kemana ya? Sudah sore begini, namun belum pulang juga` guman Nisa sendiri.
Akhirnya Nisa memilih menuju kamarnya, sambil meletakkan tas dan biola kecilnya. Nisa mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Tubuhnya sudah sangat gatal karena keringat yang bercucuran. Selesai mandi, Nisa menggunakan baju piyaminya.
`Allahuakbar allahuakbar` kumandang azan menggema ke telinga Nisa. Langsung Nisa mengambil air wudhu. Terasa sejuk dan segar ketika air wudhu menyentuh pori-pori wajahnya. Nisa mendirikan shalat magrib, setelah selesai dia menengadahkan tangan kecilnya menghadap sang ilahi rabbi.
`Ya Allah, ampunilah dosa kedua orang tuaku dan sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku. Ya Allah, aku yakin papa pasti sudah sangat bahagia di alam sana. Aku mohon kepadamu ya Allah, jagalah mamaku dimanapun dia sekarang berada. Perlancarkanlah segala urusannya. Moga mama baik-baik saja.
Ya Allah, aku mohon agar mama cepat pulang. Karena aku sangat mengkhawatirkannya. Amin ya rabbal’alamin.“
Nisa menutup do’anya. Terdengar samar-samar suara pintu terbuka. Nisa langsung berlari menuju mamanya yang sudah pulang. Langsung dipeluknya mama tercintanya. Namun ketika melihat wajah mama yang begitu pucat, senyum kegirangannya tiba-tiba pudar. Dipegangnya kepala mama tercintanya.
“Mama sakit ya? Kepala mama panas banget.”
“Mama baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan. Nisa sudah makan?” tanya bu Lina – mama Nisa – dengan suara lirih.
“Sudah ma. Mama sendiri?”
“Sudah juga. Ya sudah, mama mau masuk kamar dulu. Capek..” ucap bu Lina sambil beranjak pergi meninggalkan putrinya yang masih terbengong-bengong melihat sikap dirinya.
Nisa memandangi mamanya sampai pintu kamar mamanya tertutup. Dia masih heran, ada apa dengan mamanya. Wajah mamanya tidak seperti biasa, pucat seperti orang sakit. `apa mama sakit?` namun segera di hapus fikiran negatifnya. Dia yakin mamanya baik-baik saja.
Sedangkan di kamar, bu Lina sedang memandangi dirinya di kaca. Merenungi dirinya, tiba-tiba saja air matanya jatuh. Mengingat umurnya yang tidak panjang lagi.
“Apa dok, luekimia?” tanya bu Lina saat menemui Dr. Lukman.
“Iya bu Lina. Menurut hasil tes yang telah kita uji, bu Lina positif terkena Luekimia. Namun kami akan berusaha menyembuhkan ibu, jika ibu Lina bersedia di rawat inap di rumah sakit ini.” terang Dr. Lukman.
Bu Lina tidak sanggup berkata apa-apa, semuanya gelap. Yang dia fikirkan sekarang adalah nasib putri semata wayangnya. Putrinya masih sangat kecil untuk menanggung semua beban ini.
`Nisa sudah kehilangan papanya, sekarang apa dia juga harus kehilanganku? Tidak! Aku harus bisa sembuh demi putriku. Namun bagaimana caranya aku menjelaskan ini semua pada Nisa. Ya Allah mengapa kau berikan cobaan yang begitu berat ini.` ujar bu Lina dalam hati.
“Bagaimana bu Lina?” tanya Dr. Lukman.
“Ya, saya bersedia.”
“Oke, besok anda bisa langsung di rawat disini.”
Bu Lina terkejut, `Besok?! Terlalu cepat.`
“Bagaimana kalau 2 hari lagi dok. Saya mau memberi tahu pada keluarga saya.”
“Baiklah.”
Tiba-tiba sesuatu yang hangat keluar dari hidungnya. Darah?!, segera bu Lina mengambil tisu. Bu Lina telah merencanakan bahwa selama dia di rumah sakit, Nisa akan dititipkan kepada adiknya dan mungkin untuk selamanya.
Bu Lina keluar dari kamarnya menuju kamar putri semata wayangnya. Dibukanya dengan perlahan terlihat putri kecilnya sedang tertidur pulas. Diusapnya rambut putri tercintanya, tanpa terasa air matanya mengalir membasahi pipinya. Hatinya begitu sakit karena melihat putri semata wayangnya akan kehilangan mamanya. Diciumnya kening Nisa dengan lembut penuh kasih sayang.
`Mas anakmu sekarang sudah besar. Dia cantik, pintar. Andaikan dirimu ada disini pasti Nisa akan sangat bahagia` guman bu Lina dalam hati.
Bu Lina beranjak dari tempat tidur anaknya. Tanpa sengaja tangannya menyenggol sebuah buku. Di ambilnya buku itu, sepertinya buku diary Nisa. Dibawanya keluar menuju kamarnya.
Diary Nisa..
Hari ini Nisa khawatir dengan mama. Mama terlihat sangat pucat sekali. Ketika Nisa tanya, mama mengatakan hanya kelelahan. Namun Nisa yakin mama pasti berbohong. Nisa merasa mama sedang sakit, namun Nisa segera menghapus fikiran yang negatif itu.
Ya Allah, Nisa mohon jaga mama Nisa. Berikan kesehatan pada mama. Kalau dia sakit sembuhkanlah. Nisa sayang banget sama mama.
`Mama juga sayang sama kamu, Nisa` dipeluknya buku diary Nisa.
“Selamat pagi sayang” sapa mama sambil mencium kening Nisa yang sedang menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
“Pagi juga mama.” Jawab Nisa singkat. Mereka lalu sarapan pagi dengan nikmat.
Pagi ini Nisa kembali diantarkan oleh mamanya. Betapa gembira hatinya, maklum semejak papa Nisa meninggal mamanya lah yang selalu mengantar jemput Nisa.
“Belajar yang rajin ya sayang. Jangan bandel.” Ujar bu Lina kepada Nisa.
“Siip dech ma.”
Nisa langsung mencium tangan mamanya. Namun ketika dia menegakkan kepalanya, betapa terkejutnya melihat hidung mamanya mimisan.
“Mama, hidung mama kok mimisan? Kenapa?” tanya Nisa dengan nada yang sangat khawatir.
Bu Lina pun terkejut `ya Allah kenapa harus keluar sekarang? Di depan putriku lagi.` guman bu Lina dalam hati.
“Mama tidak apa-apa. Mungkin karena terlalu capek, sudah kamu masuk sekolah sana nanti telat lagi.”
Dengan berat hati Nisa melangkahkan kaki masuk ke dalam sekolahan. Sepanjang pembelajaran, Nisa banyak melamun. Memikirkan kejadian tadi pagi yang menimpa mamanya. Hatinya sangat khawatir, sepertinya ada yang tidak beres dengan mamanya.
Bel pulang pun berbunyi, Nisa langsung menuju gerbang sekolah menunggu mamanya menjemput. Namun sudah lama Nisa menunggu, mamanya tidak kunjung datang. Diliriknya jam tangannya, sudah jam 02.00 namun mobil mama belum juga kelihatan.
`Mama kemana sih?` tanyanya dalam hati. Tidak lama terlihat mobil mamanya menuju kearahnya. Nisa langsung masuk ke dalam mobil.
“Mama kenapa lama sekali? Nisa sudah hampir gosong berdiri disana kelamaan.” Cerocos Nisa.
“Maaf sayang, mama tadi ada urusan penting.”
Malam ini, terlihat bu Lina dan Nisa sedang asyik nonton tv. Namun fikiran bu Lina tidak terfokus disitu, dia berfikir bagaimana cara menjelaskan penyakitnya kepada Nisa. Dia tidak bisa melihat Nisa menangis. Apakah dia harus berbohong?
“Nisa, jika mama meminta untuk kamu tinggal dengan tante Sofy untuk sementara waktu mau tidak?” tanya bu Lina dengan hati-hati.
Nisa terkejut dengan pertanyaan mamanya, kenapa tiba-tiba mama bilang seperti itu? Gumannya.
“Tidak tahu ma. Memangnya kenapa Nisa harus tinggal disana? Mama memangnya mau kemana?” tanya Nisa dengan polos.
“Mama ada urusan penting di luar kota. Masalah bisnis butik mama.” Jawab bu Lina berbohong.
“Nisa ikut saja ya ma?” pintanya.
“Tidak usah, Nisa kan harus sekolah.”
“Hmmmzzz… ya sudah dech. Nisa mau.” Jawab Nisa dengan nada lemes.
Pagi itu, tante Sofy telah standby di rumah Nisa. Baju-baju Nisa sudah dimasukan ke koper dan di dimasukan ke dalam mobil tante Sofy. Setelah selesai semua, bu Lina mencium kening Nisa.
“Jangan bandel-bandel disana. Ikuti apa kata tante Sofy.”
“Iya ma. Kalau mama sudah selesai urusannya langsung jemput Nisa ya?”
Bu Lina hanya tersenyum, lalu dia langsung menyuruh Nisa masuk mobil. “Sofy aku titip anakku ya. Tolong jaga dia baik-baik, mana tau aku tidak bisa sembuh. Jadi aku titipkan Nisa kepadamu.”
“Mbak Lina, kamu tidak boleh bicara begitu. Sofy yakin mbak akan sembuh. Sofy janji akan jaga Nisa baik-baik. Sore nanti Sofy akan langsung ke rumah sakit. Sofy pergi dulu ya mbak..”
“Iya.” Hanya itu jawaban dari bu Lina.
Terlihat di balik kaca Nisa melambaikan tangannya. Tiba-tiba darah keluar lagi dari hidung bu Lina. Dengan segera langsung di bersihkan dengan tisu. Siang ini juga bu Lina langsung masuk ke dalam rumah sakit. Kini hari demi hari yang dilewati bu Lina adalah menjalani kemotrapi. Namun kondisinya tidak membaik. Makin memburuk, bu Lina hanya bisa berbaring kaku tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Gimana kondisimu mbak?” tanya sofy ketika mengunjungi bu Lina.
“Ya begini lah hari demi hari makin memburuk” jawab bu Lina lemes.
“Mbak, Nisa selalu menanyakan kabarmu? Dia kangen banget dengan mu mbak. Setiap sore dia selalu memainkan biolanya. Aku jadi tidak tega melihatnya. Apa aku kasih tahu saja ya?” tanya Nisa.
Bu Lina memegang pergelangan tangan Sofy sambil menggelengkan kepala. “Di… dia masih terlalu kecil untuk mengetahui semua ini.” Tante Sofy hanya bisa diam tanpa berkata apa-apa.
Sedangkan di rumah, Nisa seperti biasa sedang memainkan biolanya. Lagu yang dibawanya sangat menyentuh hati bagi yang mendengarkannya. Tanpa terasa butiran Kristal membasahi pipinya yang tembem. `Nisa kangen mama` guman Nisa.
Malamnya ketika Nisa tidur, dia bermimpi berjumpa dengan mamanya di tepi pantai. Mamanya tersenyum melihatnya yang sedang asyik menggambar di pasir.
“Mama… Nisa kangen banget sama mama. Mama baik-baik saja kan?” ucap Nisa sambil memeluk mama tercintanya.
“Mama baik-baik saja kok. Nisa mama mau kamu janji suatu hal.”
“Apa itu ma?” tanya Nisa penasaran.
“Kamu harus jadi anak yang baik dan solehah. Jangan lupa shalat 5 waktu. Kalau mama tidak ada, kamu harus patuh sama tante Sofy. Mama sayang Nisa”
“Iya ma, Nisa janji.” Ujar Nisa.
Tidak lama, setelah Nisa berjanji, mamanya langsung pergi ke arah lautan bersama dengan seorang pria dan pria itu adalah ayahnya yang telah meninggal.
“Mama…” teriak Nisa hingga membuatnya terbangun dari tidurnya.
“Nisa kamu kenapa?” tanya tante Sofy yang mendengar teriakan Nisa.
“Nisa tadi bermimpi kalau mama ninggalin Nisa. Nisa takut tante… Nisa pengen ketemu mama.”
“Udah… udah… itu cuma mimpi saja. Mama Nisa tidak akan meninggalkan Nisa kok. Sudah ya…”
Didekapnya Nisa dengan penuh kasih sayang. hatinya sangat sedih melihat penderitaan Nisa. Masih kecil sudah menanggun beban yang sangat berat.
Keadaan bu Lina semakin parah. saat tante Sofy mengunjunginya, air matanya tidak dapat di tahan. Kakak yang dia sayangi terbujur lemah tak berdaya.
“So… Sofy, Nisa bagaimana ka.. kabarnya?”
“Baik-baik saja. Dia sangat merindukanmu mbak. Sepertinya kita harus mengatakan yang sebenarnya.”
“Ti.. tidak Sofy. Aku tidak mau dia sedih. Aku tidak sanggup melihat dia meneteskan air mata.”
“Mama…” Panggil seseorang masuk ke dalam ruangan bu Lina. Dan itu membuat bu Lina terkejut. Suara putri tercintanya. Nisa membawakan serangkaian bunga mawar dan sebuah biola kecil.
“Maafkan aku mbak. Aku tidak bisa berbohong lagi.” Tante Sofy langsung pergi meninggalkan kedua ibu dan anaknya itu. Memberikan kesempatan untuk yang terakhir kalinya.
“Mama sakit apa? Kenapa mama bohong sama Nisa?” tanya Nisa dengan air mata yang membendung.
“Mama hanya sakit biasa, mama tidak mau Nisa sedih. Nisa boleh mama minta sesuatu?” tanya bu Lina pada Nisa.
“Apa itu ma?”
“Mainkan biola itu?”
Nisa mengganggukkan kepala. Lalu Nisa mulai memainkannya dengan sepenuh hati. Tanpa sadar, ternyata bu Lina telah menghembuskan nafas terakhirnya tanpa Nisa ketahui.
“Mama… mama bangun. Mama…” teriak Nisa sambil menggoyang badan mamanya. Tante Sofy yang dari tadi di luar segera masuk dan ketika melihat bu Lina sudah tiada lagi. Tante Sofy langsung memeluk Nisa dan membiatkan Nisa menangis di pundaknya. Hari ini juga bu Lina langsung dimakamkan. Nisa tidak berhenti-henti menangis. Tante Sofy mengajak pulang namun Nisa masih saja memeluk batu nisan mamanya dengan tangan kirinya masih memegang biola.
“Nisa ayo pulang sayang… kalau Nisa begini terus mama jadi tidak tenang di alam sana. Mama jadi sedih. Sudah ya Nisa, pulang ya…” bujuk tante Sofy. Akhirnya Nisa dengan berat hati menerima ajakan tante Sofy. Selama di mobil Nisa hanya diam. tante Sofy mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya dan diberikannya kepada Nisa. Nisa menerimanya tertera dari mama Nisa.
Buat Putri mama tercinta,
Nisa, mama sayang banget sama Nisa. Nisa harus ingat pesan mama, jadilah anak yang sholehah. Patuh dengan tante Sofy, jangan bandel-bandel. Walaupun mama sekarang jauh, namun Nisa perlu ingat mama selalu ada di hati Nisa. Jangan lupa sholatnya ya sayang. Nisa harus menjadi gadis yang kuat. Mama disini selalu mendo’akan yang terbaik buat Nisa.
Jangan lupa juga, asah kemampuan biolanya. Mama sayang Nisa.
Mama
Airmatanya jatuh tepat di atas tulisan “Mama”. Namun segera dihapusnya air mata itu. Dia harus kuat, `Nisa harus bisa membuktikan pada mama kalau Nisa kuat, Nisa bukan gadis cengeng` ucap Nisa dalam hati. Dilihatnya biola yang berada dipangkuannya, biola hadiah dari mamanya. Kini biola itu telah berubah menjadi biola hitam yang hanya meninggalkan sejuta kenangan bersama mamanya. Selamat jalan mama, Nisa yakin mama sudah tidur tenang di alam sana.
~. The End .~
Cerpen Karangan: Aliya Zahraa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar