“Laaaan! Gue dapet formulir panitia mahasiswa baru nih!”, teriak Kenari sambil berlari ke arahku yang sedang sibuk di depan barang berhargaku: laptop.
“Aih… kenapa sih lu demen banget buat jantung gue copot!”, kataku kesal.
“Yaaa, maaf hehehe, yaaah Nona Bulan begitu aja kok ngambek sih, sensi amat, hihi”, goda Kenari sambil mencolek daguku.
“Udah tahu gue lagi serius dan sibuk begini huh”, kataku dengan ekspreksi wajah ditekuk.
“Hahahaha, mau ga nih formulirnya?”, goda Kenari sambil melayang-layangkan di udara kertas formulirnya.
Aku melirik dan hendak mengambil kertas formulir dari tangan Kenari lantas Kenari menahannya seraya berkata “Etsss, main ambil aja, senyum dulu dong!” goda Kenari lagi.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Memang dari dulu aku tidak pernah bisa berlama-lama marah dengan Kenari, karena Ken sahabatku itu selalu mempunyai taktik untuk membuatku tersenyum.
“Aih… kenapa sih lu demen banget buat jantung gue copot!”, kataku kesal.
“Yaaa, maaf hehehe, yaaah Nona Bulan begitu aja kok ngambek sih, sensi amat, hihi”, goda Kenari sambil mencolek daguku.
“Udah tahu gue lagi serius dan sibuk begini huh”, kataku dengan ekspreksi wajah ditekuk.
“Hahahaha, mau ga nih formulirnya?”, goda Kenari sambil melayang-layangkan di udara kertas formulirnya.
Aku melirik dan hendak mengambil kertas formulir dari tangan Kenari lantas Kenari menahannya seraya berkata “Etsss, main ambil aja, senyum dulu dong!” goda Kenari lagi.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Memang dari dulu aku tidak pernah bisa berlama-lama marah dengan Kenari, karena Ken sahabatku itu selalu mempunyai taktik untuk membuatku tersenyum.
Malam sudah larut, namun aku masih saja berkutat dengan diktat kuliahku karena esok hari aku harus bergelut dengan soal-soal Ekonomi Umum. Kurasa cukup belajar untuk malam ini, sekarang waktunya mempersiapkan syarat-syarat apa saja yang harus dipersiapkan untuk melamar menjadi panitia mahasiswa di kampus, pikirku.
Waktu menunjukkan pukul 22.30. Kantuk pun menyerangku, segera aku bergegas pergi ke tempat tidur, karena aku pun sudah merasa lelah.
Waktu menunjukkan pukul 22.30. Kantuk pun menyerangku, segera aku bergegas pergi ke tempat tidur, karena aku pun sudah merasa lelah.
Siang hari di kampus.
“Ken, gue udah lengkap nih semua persyaratannya, lo gimana?” tanyaku antusias.
“Sopasti udah juga dong hehehe,” jawab Ken sambil cengar-cengir.
“Oke bagus deh kalau gitu, wawancaranya malam ini kan? Lo ambil divisi apa Ken?” tanyaku lagi.
“Iya neng malam ini. Gue divisi acara sama PJPK, elo?” tanya Ken
(FYI aja, divisi PJPK itu singkatan dari Penanggung Jawab Program Keahlian ya semacam mentor untuk mahasiswa baru)
“Ya ampun kita sehati banget Ken, padahal kan kita ga janjian dulu semalam, so sweet hahaha” kataku tertawa.
“Hahaha, lupa ya kan kita punya telepati,” kata Ken tertawa.
“Ken, gue udah lengkap nih semua persyaratannya, lo gimana?” tanyaku antusias.
“Sopasti udah juga dong hehehe,” jawab Ken sambil cengar-cengir.
“Oke bagus deh kalau gitu, wawancaranya malam ini kan? Lo ambil divisi apa Ken?” tanyaku lagi.
“Iya neng malam ini. Gue divisi acara sama PJPK, elo?” tanya Ken
(FYI aja, divisi PJPK itu singkatan dari Penanggung Jawab Program Keahlian ya semacam mentor untuk mahasiswa baru)
“Ya ampun kita sehati banget Ken, padahal kan kita ga janjian dulu semalam, so sweet hahaha” kataku tertawa.
“Hahaha, lupa ya kan kita punya telepati,” kata Ken tertawa.
Aku dan Ken sudah berkawan sejak lama sehingga terkadang hal-hal tidak terduga bisa terjadi secara bersamaan hihi.
Malam hari saat test wawancara aku dan Ken hampir saja datang terlambat, untungnya dewi fortuna sedang berpihak pada kami hihi. Aku dan Ken segera menuju lantai dua kampus dan melakukan registrasi. Kami memasuki ruang tunggu dan mencari tempat duduk yang nyaman. Hm.. banyak juga yang daftar ingin jadi panitia, pikirku.
Malam hari saat test wawancara aku dan Ken hampir saja datang terlambat, untungnya dewi fortuna sedang berpihak pada kami hihi. Aku dan Ken segera menuju lantai dua kampus dan melakukan registrasi. Kami memasuki ruang tunggu dan mencari tempat duduk yang nyaman. Hm.. banyak juga yang daftar ingin jadi panitia, pikirku.
Lama menunggu akhirnya Ken dipanggil untuk masuk ke ruangan divisi acara, semakin bergetar saja tubuhku, gugup dan panik menggelayuti jiwaku.
“Lan! Gue masuk duluan ya, doain gue” kata Ken mengejutkanku.
“Oh iya-ya Ken, good luck yaaa!”,kataku gugup.
“Heh, kenapa lo? Hahaha kok panik gitu kan belum dipanggil”, ledek Kenari.
“Ah diem lu, gue deg-degan nih, udah buruan sana masuk, malah diem disini, hush hush”, usirku.
“Hahahaha iyaaa nona manis”, Ken tertawa dan berjalan menuju sumber suara yang memanggilnya.
“Lan! Gue masuk duluan ya, doain gue” kata Ken mengejutkanku.
“Oh iya-ya Ken, good luck yaaa!”,kataku gugup.
“Heh, kenapa lo? Hahaha kok panik gitu kan belum dipanggil”, ledek Kenari.
“Ah diem lu, gue deg-degan nih, udah buruan sana masuk, malah diem disini, hush hush”, usirku.
“Hahahaha iyaaa nona manis”, Ken tertawa dan berjalan menuju sumber suara yang memanggilnya.
Kini, tinggal aku sendiri berdiam diri dengan segala kegundahan yang kumiliki. Kuakui, aku memang seorang yang tidak pernah percaya diri dalam situasi apapun, meski aku sudah menjadi mahasiswa, aku tetap saja merasa kesulitan untuk menjadi seorang yang percaya diri. Sehingga kuputuskan untuk selalu aktif di kampusku untuk membangun kepercayaan diriku. Tak hentinya aku menarik nafas untuk mengusir kegelisahan dan kegugupan dalam diri ini.
“Ratu Bulan Purnama”, panggil salah seorang panitia.
Ah… Tuhan… dia memanggil namaku, apa yang harus aku lakukan di dalam sana. Tolong Bulan Tuhan…
“Ratu Bulan Purnama”, sekali lagi panitia itu melayangkan suaranya ke udara memanggil namaku.
“Oh, iya, iya, saya Ratu Bulan Purnama”, kataku setengah berlari.
“Oke Bulan, sudah siap? Silahkan masuk ke pintu di sebelah kanan saya”, kata panitia itu sambil tersenyum.
“Oke, insya Allah saya siap, terima kasih”, jawabku membalas senyumannya.
Ku atur kembali irama nafasku, seraya berdoa di dalam hati. Dengan mengucapkan bismillah dengan mantap aku mengetuk pintu itu.
“Ya, silahkan masuk”, sapa seorang laki-laki.
“Terimakasih”, jawabku sambil tersenyum.
“Ratu Bulan Purnama”, panggil salah seorang panitia.
Ah… Tuhan… dia memanggil namaku, apa yang harus aku lakukan di dalam sana. Tolong Bulan Tuhan…
“Ratu Bulan Purnama”, sekali lagi panitia itu melayangkan suaranya ke udara memanggil namaku.
“Oh, iya, iya, saya Ratu Bulan Purnama”, kataku setengah berlari.
“Oke Bulan, sudah siap? Silahkan masuk ke pintu di sebelah kanan saya”, kata panitia itu sambil tersenyum.
“Oke, insya Allah saya siap, terima kasih”, jawabku membalas senyumannya.
Ku atur kembali irama nafasku, seraya berdoa di dalam hati. Dengan mengucapkan bismillah dengan mantap aku mengetuk pintu itu.
“Ya, silahkan masuk”, sapa seorang laki-laki.
“Terimakasih”, jawabku sambil tersenyum.
Di ruangan itu terdapat dua meja pewawancara yang kosong, yang satu ditempati seorang pria dan yang satu lagi ditempati seorang wanita berjilbab. Lantas aku otomatis memilih mendatangi meja pewawancara berjilbab karena akan semakin guguplah diri ini jika menghadapi lawan bicara seorang pria tidak dikenal hoho.
“Hai Ratu Bulan Purnama, silahkan duduk” sapa wanita itu dengan senyuman yang tersungging dibibirnya.
“Ya, terimakasih” kataku singkat tak lupa membalas senyumannya.
“Well, disini saya akan mewawancarai anda untuk divisi PJPK, nama saya Anisa panggil saja Ica, silahkan perkenalkan dirimu” perintah Ica.
“Oke, nama saya Ratu Bulan Purnama, nama panggilan saya Bulan, saya dari PK Akuntansi 49”, jawabku.
“Hai Ratu Bulan Purnama, silahkan duduk” sapa wanita itu dengan senyuman yang tersungging dibibirnya.
“Ya, terimakasih” kataku singkat tak lupa membalas senyumannya.
“Well, disini saya akan mewawancarai anda untuk divisi PJPK, nama saya Anisa panggil saja Ica, silahkan perkenalkan dirimu” perintah Ica.
“Oke, nama saya Ratu Bulan Purnama, nama panggilan saya Bulan, saya dari PK Akuntansi 49”, jawabku.
Lima menit berlalu setelah perkenalan itu, rasanya waktu berjalan sangat lambat sekali, aku masih saja belum bisa menguasai diriku untuk percaya diri. Ada apa dengan diriku ini. Setelah pergelutan batin yang tak kunjung berakhir, finally Ica menutup wawancara dan mengucapkan terimakasih.
Aku mengusap peluh didahiku dan segera menuju pintu keluar ruangan tersebut. Ada rasa lega menyelimutiku ketika aku sudah berada di ruang tunggu. Ku lemaskan otot-otot badan ku agar lebih rileks. Ku rasa aku pesimis untuk menjadi anggota divisi PJPK, ah masih ada divisi acara, aku harus berikan jawaban yang terbaik! tekadku.
Baru lima menit aku duduk me-rileks-kan diri sudah terdengar kembali namaku yang anggun dan menawan dilayangkan jelas ke udara. Ah, tadi lima menit di dalam ruangan saja rasanya seperti sudah satu abad, giliran duduk-duduk istirahat, lima menit berasa satu detik huh.
Mau tidak mau aku segera beranjak dari tempat dudukku menghampiri sumber suara. Kali ini tidak sampai dua kali loh aku dipanggil baru menghampiri, cukup satu kali saja hehehe. Kepercayaan diriku meningkat karena aku sudah bertekad memberikan yang terbaik untuk kesempatan kedua ini.
Mau tidak mau aku segera beranjak dari tempat dudukku menghampiri sumber suara. Kali ini tidak sampai dua kali loh aku dipanggil baru menghampiri, cukup satu kali saja hehehe. Kepercayaan diriku meningkat karena aku sudah bertekad memberikan yang terbaik untuk kesempatan kedua ini.
Ketika sudah sampai di ruangan divisi acara, nyaliku tiba-tiba menciut. Alamaaak… ini mau test wawancara apa berkelahi, keroyokan bener yang mau mewawancaraiku, gumamku dalam hati. Semangat percaya diri yang sudah kubangun selama lima menit tadi mulai berkurang kadarnya. Aku melihat tiga orang manusia yang akan mewawancaraiku. Dua orang pria dan satu orang wanita. Aku kembali mengatur irama nafasku agar tidak terlihat gugup.
“Selamat malam, boleh saya duduk?” tanyaku mencoba memberanikan diri mengawali pembicaraan kami malam itu.
“Oh ya, tentu saja silahkan duduk”, jawab seorang wanita berjilbab.
“Terimakasih” kataku sambil tersenyum manis.
“Selamat malam, boleh saya duduk?” tanyaku mencoba memberanikan diri mengawali pembicaraan kami malam itu.
“Oh ya, tentu saja silahkan duduk”, jawab seorang wanita berjilbab.
“Terimakasih” kataku sambil tersenyum manis.
Akhirnya mereka mulai memperkenalkan satu persatu. Mereka adalah Gita, Hanif, dan Bintang. Oalaaah pria mungil berwajah manis, berhidung mancung, dan bibirnya yang merah menggoda itu bernama kak Bintang toh. Ada Bulan dan Bintang dong disini hihihi. Dan mataku yang liar ini mulai memperhatikan gerak-gerik tubuh kak Bintang. Sungguh pria itu sangat menarik perhatianku. Dan aku mulai memperkenalkan diriku.
“Nama saya Ratu Bulan Purnama, saya biasa dipanggil Bulan”…
“Hah? Bulan?”, kak Bintang memotong pembicaraanku.
“Iya kak, nama saya Bulan, ada apa kak?” tanyaku kebingungan.
“Wah kita diterangi Bulan dan Bintang git disini hehehehe” goda Hanif. Gita hanya tersenyum kecil.
“Eh maaf, maaf, ga ada apa-apa, silahkan dilanjutkan Bu-lan” jawab kak Bintang salah tingkah.
Aneh pikirku, dia seperti menekankan kata Bulan ketika berbicara, ada apa? Naluri stalkerku menguasai pikiranku. Aku sih senang saja dia memotong pembicaraanku, jadinya kan bisa berbicara dan saling menatap hihi, apalagi aku dan kak Bintang digoda seperti itu oleh Hanif, ah senangnya, pikirku.
“Nama saya Ratu Bulan Purnama, saya biasa dipanggil Bulan”…
“Hah? Bulan?”, kak Bintang memotong pembicaraanku.
“Iya kak, nama saya Bulan, ada apa kak?” tanyaku kebingungan.
“Wah kita diterangi Bulan dan Bintang git disini hehehehe” goda Hanif. Gita hanya tersenyum kecil.
“Eh maaf, maaf, ga ada apa-apa, silahkan dilanjutkan Bu-lan” jawab kak Bintang salah tingkah.
Aneh pikirku, dia seperti menekankan kata Bulan ketika berbicara, ada apa? Naluri stalkerku menguasai pikiranku. Aku sih senang saja dia memotong pembicaraanku, jadinya kan bisa berbicara dan saling menatap hihi, apalagi aku dan kak Bintang digoda seperti itu oleh Hanif, ah senangnya, pikirku.
Kembali ku fokuskan diri dan melanjutkan perkenalanku yang tertunda. Gitapun mulai melontarkan beberapa pertanyaan dan aku menjawab dengan penuh percaya diri.
“Kak Bintang, ada pertanyaan tambahan?”, tanya Gita
“Oh iya Git, ada,” jawab kak Bintang.
Well Bulan, ada satu pertanyaan dan kamu harus mempersiapkan beberapa jawaban, ok?” kata kak Bintang kepadaku sambil tersenyum.
Tuhan… Senyumannya… Aku menatapnya lekat dan melempar senyuman sembari menganggukan kepala.
“Oke, dalam suatu acara pernikahan kamu mempunyai 5 anak buah, yang pertama orangnya banyak bicara dan bekerja, kedua banyak bicara, ketiga banyak bekerja, keempat suka mengatur, dan terakhir pendiam. Bulan mau menempatkan ke lima anak buah itu untuk menjadi apa?” tanya kak Bintang.
Aku baru menjawab empat dari kelima tugas itu, entahlah aku tiba-tiba kehilangan ide untuk satu jawaban terakhir, mungkin karena sedang terbawa suasana bunga-bunga yang sedang bermekaran hehehe
“Em… untuk yang banyak bicara ditempatin di… em… ditempatin di… dimana ya.. em…”, jawabku kebingungan seraya menatap mata kak Bintang.
Aku terlalu lama menatap kak Bintang, sehingga yang ditatapnya kembali salah tingkah.
“Yak! Bulan, apa jawabannya”, kata kak Bintang membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya kak iya itu jadi MC acaranya aja hehehehe”, jawabku spontan.
“Oke Bulan sangat bagus pemikirannya”, kata kak Bintang tersenyum.
“Terimakasih kak”, kataku membalas senyumannya.
Dengan berakhirnya pertanyaan yang dilontarkan kak Bintang kepadaku, berakhir pulalah wawancara pada malam itu. Tuhan… terima kasih Engkau telah mempertemukanku dengan makhluk terindah-Mu.
“Kak Bintang, ada pertanyaan tambahan?”, tanya Gita
“Oh iya Git, ada,” jawab kak Bintang.
Well Bulan, ada satu pertanyaan dan kamu harus mempersiapkan beberapa jawaban, ok?” kata kak Bintang kepadaku sambil tersenyum.
Tuhan… Senyumannya… Aku menatapnya lekat dan melempar senyuman sembari menganggukan kepala.
“Oke, dalam suatu acara pernikahan kamu mempunyai 5 anak buah, yang pertama orangnya banyak bicara dan bekerja, kedua banyak bicara, ketiga banyak bekerja, keempat suka mengatur, dan terakhir pendiam. Bulan mau menempatkan ke lima anak buah itu untuk menjadi apa?” tanya kak Bintang.
Aku baru menjawab empat dari kelima tugas itu, entahlah aku tiba-tiba kehilangan ide untuk satu jawaban terakhir, mungkin karena sedang terbawa suasana bunga-bunga yang sedang bermekaran hehehe
“Em… untuk yang banyak bicara ditempatin di… em… ditempatin di… dimana ya.. em…”, jawabku kebingungan seraya menatap mata kak Bintang.
Aku terlalu lama menatap kak Bintang, sehingga yang ditatapnya kembali salah tingkah.
“Yak! Bulan, apa jawabannya”, kata kak Bintang membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya kak iya itu jadi MC acaranya aja hehehehe”, jawabku spontan.
“Oke Bulan sangat bagus pemikirannya”, kata kak Bintang tersenyum.
“Terimakasih kak”, kataku membalas senyumannya.
Dengan berakhirnya pertanyaan yang dilontarkan kak Bintang kepadaku, berakhir pulalah wawancara pada malam itu. Tuhan… terima kasih Engkau telah mempertemukanku dengan makhluk terindah-Mu.
Sejak pertemuanku dengan kak Bintang malam itu, kami seperti dua sejoli yang tak pernah terpisahkan. Dimana ada kak Bintang, disitu ada Bulan, begitu teman-teman mengejek kami. Oh ya, aku dan Ken sudah sah menjadi anggota divisi acara, dan ternyata kak Bintang adalah koordinator dari divisi acara. Jadi ya gimana aku dan kak Bintang ga pernah terpisahkan, wong setiap rapat divisi dan rapat general kak Bintang selalu ikut hadir?
Aku bahagia ketika Tuhan mendengar dan menjawab apa yang menjadi harapanku. Bulan sayang Tuhan.
Aku bahagia ketika Tuhan mendengar dan menjawab apa yang menjadi harapanku. Bulan sayang Tuhan.
Kebersamaan aku dengan kak Bintang yang sudah terjalin hampir satu bulan memang belum diikat dengan suatu hubungan. Begini saja sudah lebih dari cukup membuatku bahagia. Meski setelah kedekatan kami terjalin, aku mulai melupakan suatu hal yang aku dapatkan pasca menjadi seorang stalker. Kak Bintang mempunyai masa lalu dengan seorang wanita bernama Shilvia, mereka pernah menjalin hubungan selama dua tahun namun berakhir karena jarak yang memisahkan mereka berdua, dan hal yang membuatku sedih adalah Shilvi mempunyai panggilan kesayangan “Bulan” dari kak Bintang. Hem pantas saja kak Bintang menekankan kata Bulan ketika pertama kali mengetahui namaku. Ah tapi sudahlah itu kan hanya masa lalu kak Bintang.
Hingga tiba saatnya dimana kebahagiaanku terenggut…
Hingga tiba saatnya dimana kebahagiaanku terenggut…
—
“Nih ya gue deket sama Bulan itu karena dia mengingatkan gue dengan masa lalu gue, seengganya gue bisa mengobati kerinduan untuk kembali ke masa lalu gue, meski itu ga mungkin banget”, suara seorang pria terdengar bergema.
Sebuah suara pria yang hampir setiap hari ku dengar di telepon dalam suatu ruangan sepi terdengar sangat jelas di kedua telingaku: membunuhku secara perlahan. Hujan turun dengan derasnya seolah mewakili perasaanku pada sore hari itu.
“Kak, lo jahat banget, ya ga boleh gitulah, kasihan Bulan kak”, suara seorang wanita menimpali.
“Iya gue memang egois iya, tapi ga bisa dipungkiri lagi hadirnya Bulan membantu gue mengobati kerinduan gue dengan dia Git, ya meskipun Bulan gue tahu dia anaknya baik dan menyenangkan. Gue nyaman dekat Bulan, tapi gue merasa Bulan itu dia Git”, kata pria itu.
Sebuah pengakuan.
Dia? Dia Shilvia? Oh jadi selama ini… Tuhan.. Air mata turun deras membanjiri kedua pipiku.
“Aku bukan Shilvia kak, aku Bulan, Ra-tu Bu-lan Pur-na-ma. Aku dan Shilvia berbeda. Shilvia memang mempunyai panggilan kesayangan “Bulan” dari kak Bintang, sedangkan aku, nama asliku Bulan kak! Jadi jangan samakan kami hanya karena kami “Bulan”!,teriakku histeris.
Sebuah suara pria yang hampir setiap hari ku dengar di telepon dalam suatu ruangan sepi terdengar sangat jelas di kedua telingaku: membunuhku secara perlahan. Hujan turun dengan derasnya seolah mewakili perasaanku pada sore hari itu.
“Kak, lo jahat banget, ya ga boleh gitulah, kasihan Bulan kak”, suara seorang wanita menimpali.
“Iya gue memang egois iya, tapi ga bisa dipungkiri lagi hadirnya Bulan membantu gue mengobati kerinduan gue dengan dia Git, ya meskipun Bulan gue tahu dia anaknya baik dan menyenangkan. Gue nyaman dekat Bulan, tapi gue merasa Bulan itu dia Git”, kata pria itu.
Sebuah pengakuan.
Dia? Dia Shilvia? Oh jadi selama ini… Tuhan.. Air mata turun deras membanjiri kedua pipiku.
“Aku bukan Shilvia kak, aku Bulan, Ra-tu Bu-lan Pur-na-ma. Aku dan Shilvia berbeda. Shilvia memang mempunyai panggilan kesayangan “Bulan” dari kak Bintang, sedangkan aku, nama asliku Bulan kak! Jadi jangan samakan kami hanya karena kami “Bulan”!,teriakku histeris.
Aku berlari, berlari melawan derasnya air yang turun membasahi bumi. Aku seorang gadis yang hidup dengan penuh pengharapan yang kadang harapan itu tidak pernah mendapatkan jawaban, namun aku selalu setia dengan penantianku akan sebuah harapan. Harapan yang kutaruh tinggi-tinggi pada kak Bintang runtuh seketika. Kudengar sayup-sayup suara pria itu memanggil namaku, pria yang telah membombardir hatiku: kak Bintang.
Setelah kejadian itu, aku enggan sekali bertemu dengan kak Bintang, aku menghindari untuk berpapasan dengannya ketika bertemu dalam rapat. Meski sudah berkali-kali kak Bintang mencegatku untuk meminta waktu berbicara denganku namun aku selalu menolaknya dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Terkadang ketika sedang rapat aku mulai mencuri-curi pandang ke arah kak Bintang. Tak kupungkiri aku sangat merindukan saat-saat bersama kak Bintang. Tapi apa boleh buat hati ini terlanjur retak, hati ini terlanjur terbelah menjadi dua.
Dua bulan berlalu aku masih saja terbelenggu. Ku dengar kak Bintang akan pulang ke Palembang. Ah makin jauh saja aku dengannya. Aku sendiri seperti kehilangan arah. Sudah berpuluh-puluh status aku tulis di sosial media untuk kak Bintang, tapi tentu saja tidak menunjukkan itu untuknya. Bahkan yang disindirnya pun terlihat cuek, kak Bintang seperti sedang menikmati kebahagiaan bertemu keluarganya. Status yang kak Bintang buat dan share pun sudah tidak terlihat galau seperti saat perang dingin tempo dulu.
“On my way to bandara soe-ta, bismillah”
Status pertama kak Bintang yang menghiasi beranda facebook-ku. Ku buka halaman twitterku dan menuliskan status untuk kak Bintang “Bcrful:’)”
“Lets take off”
Tulisnya lagi di akun facebook.
“On my way to bandara soe-ta, bismillah”
Status pertama kak Bintang yang menghiasi beranda facebook-ku. Ku buka halaman twitterku dan menuliskan status untuk kak Bintang “Bcrful:’)”
“Lets take off”
Tulisnya lagi di akun facebook.
Tuhan semoga kak Bintang selamat sampai tujuan. Jadwal antara take off dan landing satu jam. Hatiku belum bisa tenang karena kak Bintang belum sampai di tempat tujuan: Palembang. Aku putuskan untuk menunggunya. Mondar-mandir aku dibuatnya. Satu jam kemudian aku kembali mengecek akun facebook-ku untuk memastikan kak Bintang menuliskan status: landing. Tapi ternyata kak Bintang belum online. Kecemasanku meningkat, kemana kak Bintang? Apakah sudah sampai? Berbagai pertanyaan kecemasan muncul ke permukaan. Akupun mencurahkan isi kecemasanku pada akun twitterku. Setengah jam kemudian ponselku berdering dari sebuah nomor baru, aku mengangkatnya malas-malasan.
“Hallo, Assalamualaikum siapa?” tanyaku pada si penelepon
“Hallo Bulan waalaikumsalam, kak Bintang sudah sampai setengah jam yang lalu, ini sedang dalam perjalanan menuju rumah kak Bintang, sebentar lagi sampai kok”, kata kak Bintang.
“Kak Bintang?” jawabku antusias, kakak baik-baik aja kan? Aku kuat… eh mmmh… emm.. Oh sudah sampai? Syukur deh”, jawabku ketus.
Hampir saja aku terbawa suasana. Aku lupa kalau aku dan kak Bintang sedang perang. Harus tetap ja-im dong ya hahaha. Sebenarnya dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku sudah memaafkan kak Bintang, sisi kedewasaan dan nuraniku melelehkan rasa sakit hatiku. Mungkin karena dalamnya perasaan ku buat kak Bintang. :’)
Hahaha, iya Bulan kakak baik-baik aja, Kuat? Kuat apa? Kok ga dilanjutin sih? Kuatir maksudnya? Ini kan udah kakak telfon kamu, jadi jangan kuatir lagi ya Ratu Bulan Purnama hihi”, ledek kak Bintang.
“Ih GR banget”, jawabku jutek.
Aku tersenyum-senyum di seberang telepon. Tuhan.. aku benar-benar merindukan pria ini…
“Cieee, Bulan masih marah aja nih sama kakak? Ga kangen apa sama kakak? Sudah dua bulan loh kita perang es kaya gini, kak Bintang kangen kamu Lan, kangen banget. Maafin kakak, kakak sekarang tahu kalau kakak emang ga bisa tanpa Bulan, kakak butuh Bulan, kakak pingin kita kaya dulu lagi. Kak Bintang cuma butuh masa depan, bukan masa lalu, dan masa depan kak Bintang itu ada di kamu Lan. Oke kata-kata kakak emang terdengar gombal tapi itu jujur banget dari dalam hati kakak. Kakak gamau kehilangan kamu. Kakak sayang kamu Lan…”, jelas kak Bintang.
Aku ternganga dibuatnya, diam tanpa kata. Tangan dan kakiku membeku. Rasanya seperti mimpi… aaaa…
“Em.. cuma sayang doang nih?” tanyaku bercanda.
Aku mencoba mengontrol suaraku agar tidak terdengar bergetar, kan malu-maluin hihi.
“I love you Ratu Bulan Purnama”, kata kak Bintang.
Pipiku merah merona. Untung saja kak Bintang tidak ada di depanku sekarang. Hihi.
“Emm… aku juga”, jawabku malu-malu.
“Aku apa coba?”, tanya kak Bintang.
“Yaaaa… itu emmmh… i love you too kak”, jawabku.
“Hehehehe, gitu aja susah banget kayaknya, jaga diri disana ya jangan lirik-lirik cowo lain hihi” canda kak Bintang.
“Ih aku malu kak hehe, iyaaa kakak juga awas loh. Ya udah istirahat gih, mandi, makan, terus tidur. Miss you” kataku
“Siap komandan! Laksanakan! Hehehe, miss you too Bulanku, Assalamualaikum”, tutup kak Bintang.
“Hallo, Assalamualaikum siapa?” tanyaku pada si penelepon
“Hallo Bulan waalaikumsalam, kak Bintang sudah sampai setengah jam yang lalu, ini sedang dalam perjalanan menuju rumah kak Bintang, sebentar lagi sampai kok”, kata kak Bintang.
“Kak Bintang?” jawabku antusias, kakak baik-baik aja kan? Aku kuat… eh mmmh… emm.. Oh sudah sampai? Syukur deh”, jawabku ketus.
Hampir saja aku terbawa suasana. Aku lupa kalau aku dan kak Bintang sedang perang. Harus tetap ja-im dong ya hahaha. Sebenarnya dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku sudah memaafkan kak Bintang, sisi kedewasaan dan nuraniku melelehkan rasa sakit hatiku. Mungkin karena dalamnya perasaan ku buat kak Bintang. :’)
Hahaha, iya Bulan kakak baik-baik aja, Kuat? Kuat apa? Kok ga dilanjutin sih? Kuatir maksudnya? Ini kan udah kakak telfon kamu, jadi jangan kuatir lagi ya Ratu Bulan Purnama hihi”, ledek kak Bintang.
“Ih GR banget”, jawabku jutek.
Aku tersenyum-senyum di seberang telepon. Tuhan.. aku benar-benar merindukan pria ini…
“Cieee, Bulan masih marah aja nih sama kakak? Ga kangen apa sama kakak? Sudah dua bulan loh kita perang es kaya gini, kak Bintang kangen kamu Lan, kangen banget. Maafin kakak, kakak sekarang tahu kalau kakak emang ga bisa tanpa Bulan, kakak butuh Bulan, kakak pingin kita kaya dulu lagi. Kak Bintang cuma butuh masa depan, bukan masa lalu, dan masa depan kak Bintang itu ada di kamu Lan. Oke kata-kata kakak emang terdengar gombal tapi itu jujur banget dari dalam hati kakak. Kakak gamau kehilangan kamu. Kakak sayang kamu Lan…”, jelas kak Bintang.
Aku ternganga dibuatnya, diam tanpa kata. Tangan dan kakiku membeku. Rasanya seperti mimpi… aaaa…
“Em.. cuma sayang doang nih?” tanyaku bercanda.
Aku mencoba mengontrol suaraku agar tidak terdengar bergetar, kan malu-maluin hihi.
“I love you Ratu Bulan Purnama”, kata kak Bintang.
Pipiku merah merona. Untung saja kak Bintang tidak ada di depanku sekarang. Hihi.
“Emm… aku juga”, jawabku malu-malu.
“Aku apa coba?”, tanya kak Bintang.
“Yaaaa… itu emmmh… i love you too kak”, jawabku.
“Hehehehe, gitu aja susah banget kayaknya, jaga diri disana ya jangan lirik-lirik cowo lain hihi” canda kak Bintang.
“Ih aku malu kak hehe, iyaaa kakak juga awas loh. Ya udah istirahat gih, mandi, makan, terus tidur. Miss you” kataku
“Siap komandan! Laksanakan! Hehehe, miss you too Bulanku, Assalamualaikum”, tutup kak Bintang.
Penantianku berbuah manis. Penantian akan sebuah harapan yang sebelumnya tidak mungkin ku dapatkan, terjawab sudah. Pria mungil berwajah manis, berhidung mancung, dan bibirnya yang merah menggoda itu kini sedang bersama-sama denganku berjalan menuju masa depan. Aku dan kak Bintang resmi menjadi sepasang kekasih. Kak Bintang memberikan kejutan untukku saat acara mahasiswa baru berlangsung, ia naik ke atas panggung dan menyanyikan sebuah lagu dan memberikan bunga mawar kepadaku. Aku tersipu dibuatnya, ada saja tingkah laku pria mungil itu. Semoga kelak ikatan kami ini terjaga sampai ke pintu pelaminan. Bahkan bintang pun membutuhkan gelap agar bisa terlihat terang, dan bulan yang akan meneranginya dikala gelap gulita. Aku mencintaimu Bintang Dwi Putra.
dari seorang gadis
yang akan memberikan sinarnya
hingga ia tak mampu bersinar kembali
yang akan memberikan sinarnya
hingga ia tak mampu bersinar kembali
Cerpen Karangan: Ken Apriela
Tidak ada komentar:
Posting Komentar