Selasa, 12 November 2013

Cerpen - I’m Not Alone

“Dunia. Satu kata yang membuatku kebingungan. Aku tak pernah mengerti, mengapa Tuhan menciptakan dunia? Apa hikmah yang ada jika Tuhan menciptakan dunia? Apakah Tuhan merasa kesepian sehingga Dia menciptakan Dunia? Atau apa? Entahlah. Sekian lama aku mencari jawabannya, namun tak pernah ku temukan. Mungkin hanya Tuhanlah yang bisa menjawabnya. Bagaimana pun juga, pasti akan ada suatu hikmah di balik penciptaan dunia.”
“Bukk!”
Ku tutup buku diaryku perlahan. Kutatap ekosistem langit yang begitu indah. Cahaya gemerlap bintang malam ini tak seperti biasanya. Angin malam mengalun lembut seirama detak nadiku. Sinar rembulan memancar terang seolah menghangatkan tubuhku. Sejenak, kututup mata ini dan mencoba meresapi keadaan. Mencoba hanyut dengan segala pemandangan saat ini. Mencoba ikut larut dengan angan-anganku.
Sambil merangkul buku diaryku, masihku resapi takdir ini. Takdir yang tak pernah aku mengerti sama sekali. Hmm, mengapa banyak yang tak pernah ku mengerti? Andai aku lebih tahu, mungkin aku bisa sedikit mengerti takdirku. Takdir tentang mengapa aku dilahirkan sendirian? Takdir tentang mengapa aku selalu kesepian? Tapi, ada seseorang yang seolah memberi sinyal padaku bahwa aku hidup tak sendirian. Entah di mana dan siapa orang itu? Setiap kali aku ingin berterima kasih dan bertanya padanya, dia selalu tak ada. Entah dia ke mana. Tapi yang jelas dia sangat baik terhadapku.
“Zahra!” Teriak seorang gadis padaku. Suaranya sangat tak asing di telingaku. Akupun hanya memalingkan pandangan dan menyunggingkan seulas senyum padanya.
“Hai Arin” Ucapku sambil melambaikan tangan kiriku padanya dan merangkul buku dengan tangan kananku.
“Bagaimana, apakah kau sudah menemukan orang itu?”
“Entahlah. Dia sulit untuk kucari.” Jawabku sambil berjalan menuju kelas dengannya. Mulutnya pun hanya membuat huruf o. Aku sekedar mengangguk saja.
“Eh, omong-omong dia menghilang berapa lama?”
“Seingatku enam bulan yang lalu dia datang. Dia memberikanku sebuah tas dan sepasang sepatu untukku. Entah apa maksudnya? Waktu kemarin, dia memberikanku sebuah diary.” Ucapku. Arinpun mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kau tahu tak? Aku sangat iri padamu. Kau punya seorang penggemar.” Ucapnya sedikit menyenggol pundakku. Aku tersenyum simpul padanya.
“Aku sangat penasaran dengan orang itu. Aku rasa, dia adalah seorang lelaki.”
“Kau yakin? Bagaimana kau bisa tahu?” Tanya dia. Akupun sekedar mengangkat pundakku.
“Kembali pada dia. Seseorang yang entah siapa dan di mana dia? Seseorang yang selalu membuatku heran. Aku tak tahu, mengapa dia melakukan ini padaku? Seingatku, tak pernah ada orang sebaik dia padaku. Dia sangat perhatian padaku. Entah ada niat apa di balik semuanya? Entah ada hal apa yang membuatnya selalu memberikan hadiah padaku? Entahlah?”
Ku sandarkan kepalaku di sandaran kursi. Ku pikirkan bagaimana sosok pengirim hadiah itu? Apakah dia benar-benar baik seperti apa yang aku pikirkan? Apakah dia benar-benar tulus memberi hadiah-hadiah itu untukku? Tak adakah niat lain selain itu? Hmm, satu kata untuk semua pertanyaan itu. Entahlah!
“Tok, tok, tok!” Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintuku.
“Siapa malam-malam begini datang ke rumahku?” Batinku.
Segera, ku lajukan kakiku menuju pintu masuk. Perlahan, dernyit ­pintu yang dibuka terdengar pelan. Sampai pintu terbuka sempurna, tak ku lihat seorangpun berdiri di depan pintu. Yang ada, hanya sebuah kotak yang entah berisikan apa.
Segera, ku panggul kotak itu masuk ke dalam rumahku. Sedikit berat. Ku tutup pintu menahan angin malam yang sudah berdesakan masuk ke dalam rumahku. Ku buka isi kotak tersebut. Betapa terkejutnya aku melihat apa yang ada di sana.
“Laptop?” Ucapku tak percaya. Ya, isi kotak itu adalah sebuah laptop. Hal yang selalu aku inginkan.
“Tapi, mengapa dia bisa tahu aku menginginkan ini?” Batinku. Biarlah.
“Wah! Dia pasti orang kaya, Zahra!” Gumam Arin. Aku masih tetap berfokus pada buku fisikaku dan mengabaikan Arin. Hari ini memang ada ulangan.
“Eh, kau tahu sesuatu tak?”
“Apa?” Tanyaku sambil masih berkutat pada buku fisikaku.
“Kau tahu Reza kelas sebelah?” Tanya dia. Aku hanya menggeleng pelan. Reza? Kelas sebelah? Entahlah?
“Dia sering memperhatikanmu. Bisa saja dia yang selalu memberikanmu hadiah-hadiah itu.D ia orang kaya” Ucapnya. Akupun sedikit berfikir. Masuk akalkah apa yang dikatakan Arin?
“Aku tak yakin. Bagaimana kau bisa tahu dia ada di sini?”
“Bila bukan di sini di mana? Pasti pengirim hadiah-hadiah itu ada di dekatmu. Bagaimana mungkin dia jauh?”
“Berfikirlah benar, Arin. Itu tak masuk akal. Dia bukan pengirim itu.” Ucapku sambil menutup buku fisikaku.
Arinpun hanya menarik nafas saja. Ku niatkan untuk pergi ke perpustakaan. Aku memang tak terlalu suka untuk membuang-buang waktu seperti ini. Apalagi untuk membicarakan hal-hal yang tak penting.
“Zahra! Zahra! Kau mau ke mana?”
“Aku akan pergi ke perpus!”
Aku pun berjalan menuju ke perpustakaan. Hanya beberapa langkah lagi aku sampai di sana. Memang tak terlalu jauh dari tempat ku berdiri tadi.
Segera ku masuk ke sana. Suasana perpustakaan hari ini sepi sekali. Mungkin hanya beberapa gelintir orang yang ada di sini. Ya, beberapa gelintir.
“Hay!”
Seseorang tiba-tiba menyapaku. Aku pun menoleh ke arahnya.
“Hay, ” Balasku.
Diapun berdiri di sampingku sambil menatapku.
“Kau baru di sini?” Tanyanya.
“Tidak juga. Kau mungkin baru melihatku.” Ucapku tak menatapnya.
“Namaku Radit.” Dia berucap sambil memilah buku yang akan dia baca.
Aku tersenyum simpul melihatnya.
“Zahra. Namaku Zahra.”
Dia menatapku. Dia tersenyum. Waw, dia manis sekali. Satu sunggingan senyum darinya sungguh menawan.
“Dari kelas mana kau?”
“Aku 1 Ipa 2.” Ucapnya.
“Eh, ditinggal dulu, ya. Aku mau ketemu temen. Ketemu lagi, ya.” Lanjutnya lagi.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Dia memang lucu. Baru kali ini aku melihatnya. Rasanya sangat nyaman melihat dan memandangnya. Entah hal apa ini. Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Ahh… Zahra, ada-ada saja kau. Harus ku tepis jauh-jauh pemikiran itu. Sungguh aneh sekali.
“Plukk..”
Sebuah buku tiba-tiba saja terjatuh dari tempatnya.
Segera ku punguti buku itu dan melihatnya. Ku periksa setiap sudut buku ini. Sederhana.
“Plukk…”
Lagi-lagi kertas dalam buku itu terjatuh lagi. Ahhh, mengapa buku ini begitu rapuh?
Kuambil selembar kertas usang itu. Kulihat dan kuraba. Kertas ini benar-benar sudah usang. Kubaca perlahan untaian huruf yang ada di sana.
“Aku tak tahu mengapa ini bisa terjadi padaku. Sesuatu yang sangat tak aku mengerti sama sekali. Di saat aku bertemu dengannya, aku sangat merasa…”
Ku hentikan bacaanku sampai di sana. Lembaran ini seperti dalam buku harian. Iya. Apakah buku ini buku harian juga, ya? Ku pinjam saja buku ini.
“Apakah buku ini adalah sebuah buku harian, ya? Siapa pemiliknya? Mengapa bisa ada di perpustakaan?”
Aku terus berfikir tentang buku yang kini sedang ku genggam. Rasanya aneh jika ada seseorang yang menyimpan buku hariannya di perpustakaan. Apalagi buku harian ini sudah usang. Ada-ada saja orang yang seperti ini.
Aku pun mulai membuka halaman pertama dari buku tersebut. Terlalu banyak debu.
“Saat dia turun dari bus, saat pertama kali aku melihatnya. Dia sungguh mempesona. Aku baru melihat seseorang seperti dia. Apakah yang menawan dari sosoknya, ya? Entahlah. Dia sungguh membuatku terlena.”
Ternyata buku ini menceritakan seseorang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Hahah, lucu. Sepertinya seru sekali.
“Sudah dua bulan aku menyimpan perasaan ini. Namun tak ada sedikit pun keberanian dari hatiku untuk menghampiri dan menanyainya. Entah mengapa setiap aku melihatnya, aku selalu merasa tak pantas di dekatnya. Dia sungguh terlalu sempurna untukku. Aku selalu bisa melihatnya dari jauh. Memperhatikan setiap gerik gemulainya. Memperhatikan setiap canda dan tingkah anehnya. Dia sungguh lucu. Dia sungguh bisa membuatku tertawa. Ya. Tertawa sendirian. Andai saja kau bisa melihat kehadiranku. Pastia semuanya tak akan ku rasakan sendirian. Biarlah, bersamaan tawa dan senyummu, aku bisa merasa tenang dan merasa senang.”
“Satu tahun aku mencintaimu. Ya. Cinta abadi di dalam hatiku. Entah kapan aku sampai di ujung jalan cinta ini. Aku ingin segera sampai dan menjalin cinta denganmu. Hahah, aku sungguh naif. Bagaimana bisa kita menjalin cinta, sementara kita tak sama sekali mengenal satu sama lain. Hahah, aku sungguh gila. Hey kau yang ada di hatiku, mengertikah kau? Tahukah bahwa ada seseorang yang telah mencintaimu selama setahun ini? Mengapa kau tak menyadarinya? Hahah, tentu saja. Bagaimana bisa kau mengetahuinya, tahu tentangku saja tidak. Aku tak pernah tahu bagaimana caranya memulai pertemuan kita. Padahal, kita sering berpapasan. Ya, hanya aku saja yang tahu kita berpapasan. Tanpa dirimu.”
“Dua tahun aku mencintaimu. Masih cinta dalam hati. Di saat aku tahu kau sungguh istimewa, aku semakin kuat mencintaimu. Saat kau sedang berjalan bersama temanmu, aku melihat sesuatu terjatuh dari tasmu. Itu adalah sebuah benda. Ya, sebuah jam pasir. Tapi ada sebuah keunikan dari jam pasir itu. Pasir dalam jam itu tak dapat turun. Unik sekali. Seperti dirimu. Kau sangat unik.”
“Tiga tahun aku mencintaimu. Tapi, apakah cinta yang tak di ekspresikan itu tak ada salahnya? Mungkin cintaku ini seperti kupu-kupu yang lupa bagaimana caranya terbang. Seperti aku, aku lupa bagaimana caranya aku mencintaimu. Aku lupa bagaimana caranya kau membuat sebuah jerat yang membuatku tertarik. Aku lupa. Aku lupa, sebenarnya kau adalah sesuatu yang sangat berharaga di hatiku. Dan aku lupa, kau tak pernah sadar akan hal itu.”
“Hay tulisanku? Ya, kamu yang selalu aku tulis. Mengapa tadi kau malah pulang bersama temanmu? Tak sadarkah jika aku sedang berdiri di belakangmu dan membawa untuk kita naungi bersama? Mengapa setelah aku membuat permulaan indah kita berkenalan malah gagal total? Tak mengertikah kau tentang hatiku saat itu? Hatiku sakit! Hatiku hancur! Mengapa aku tak mampu sedikit saja untuk mendekatimu? Tak bisakah kau yang mendekatiku terlebih dahulu? Mengapa setelah aku benar-benar yakin untuk mengajakmu malah gagal? Mengapa? Aku tak pernah seperti ini. Aku mencintaimu tulisanku. Tak mengertikah sedikit tentangku?”
“Saat aku menatapmu, hatiku beku. Saat kau lewat di hadapanku, tubuhku kaku. Saat kau melirik ke arahku, lidahku kelu. Aku tak mampu. Entah sudah berapa lama aku memendam sebuah rasa yang sungguh membuatku nafasku tersendat. Cinta ini terus bertambah banyak di dalam hatiku. Sampai ke dalam jantungku pun, cinta ini merasuk. Hingga aku mengerti betapa berharganya memandangmu dari jauh, saat aku sudah tak bisa melakukannya lagi. Saat aku divonis menderita Alzheimer. Aku tak tahu, mengapa umurku yang masih muda ini harus menderita penyakit yang biasanya menyerang lansia? Aku tak tahu, apakah setelah aku kehilangan seluruh ingatanku tentang cinta, aku bisa mengingatmu kembali atau tidak. Mungkin aku akan lupa akan dirimu. Tapi rasanya, betapa sakit aku melupakanmu. Melupakan cinta yang sudah empat tahun aku pendam. Aku tak mau ujung dari cinta ini adalah tetap sama seperti sebelumnya. Aku ingin kau tahu bahwa ada seseorang yang sangat tulus mencintaimu selama empat tahun ini. Aku ingin kau mengetahuinya. Jika aku memang benar-benar akan kehilangan semua ingatanku, aku ingin kembali lagi. Kembali mencintaimu seperti awalnya.”
Tak terasa, aku menangis membaca catatan dari cinta seseorang yang tak pernah bisa dia ekpresikan. Aku sangat merasa kasihan pada orang yang menulis diary ini. Cinta dia sungguh terlihat sangat besar pada orang yang ditujunya.
Hey tunggu, ada catatan terakhir disini. Catatannya cukup panjang. Sepertinya aku harus membacanya.
“Catatan terakhirku.
20 November 2012
Hay sesuatu yang tak pernah kau baca? Ya, diriku. Aku harap dengan melihat catatan ini aku bisa percaya bahwa aku pernah menulisnya. Entah akan seberapa banyak ingatanku yang hilang. Entah separuh, entah semua. Tapi aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah kau. Aku tak ingin nmelupakanmu. Aku sangat ingin menuliskan namamu di sini. Tapi sayang, aku tak pernah tahu walau satu hurufpun. Aku tahu aku sangat payah, tapi melupakanmu adalah lebih dari sekedar pergi.
Mungkin jika aku membaca catatan ini, aku akan menggeleng dan tak percaya akan semuanya. Aku juga tak akan ingat bagaimana sakit bahagianya mencintaimu. Dan aku tak ingin kehilangan hal itu. Aku tak tahu, apakah operasiku akan berhasil atau tidak. Jika berhasil, dan aku dapat kembali hidup dengan ingatanku yang baru, aku akan mencarimu. Aku akan berusaha untuk mencintaimu kembali seperti sedia kala. Aku akan lebih percaya diri untuk menyatakan semuanya padamu. Akan. Tunggulah aku untuk menjemputmu. Walau aku nanti akan merasa aneh, tapi aku percaya, aku pernah mencintaimu selama empat tahun lamanya.”
“Arin!” Aku memanggil dan menyuruhnya duduk di sebelahku.
Arin hanya menatapku aneh. Mungkin dia berfikiran bahwa tak biasanya aku memanggil dia.
“Ada apa, Zahra?”
“Kemarin aku menemukan buku aneh di perpustakaan. Bukunya mirip buku harian. Bukan mirip, tapi benar-benar buku harian. Buku ini mengisahkan seseorang yang mencintai seseorang selama empat tahun. Tapi sayang sekali, si pemilik buku mengalami Alzheimer dan menuliskan banyak kisahnya di buku ini. Dia berharap bisa membaca kembali buku ini. Terakhir catatannya tanggal 20 November 2012. Apakah benar ada murid di SMA ini yang mengalami Alzheimer?”
Arin mengernyitkan dahi ketika mendengar cerita-ceritaku. Diapun mengambil tasku tiba-tiba dan merogoh sebuah buku yang tak lain buku yang aku ceritakan.
“Wah, kau benar. Bagaimana jika kita menyiarkannya di siaran acara makan siang. Kau sepertinya pantas sebagai penyiar baru.” Ucapnya sambil terus membuka lembar-lembar buku.
“Idemu tak terlalu buruk.”
“Cinta. Mungkin kalian semua sudah mengerti apa tema siaran makan siang kali ini. Dengan seorang penyiar baru yang mungkin sebagian dari kalian tak mengetahuinya. Namaku Zahra. Kemarin aku menemukan sebuah buku harian di perpustakaan sekolah. Memang aneh. Mungkin di antara dari kalian tak percaya akan yang ku katakan ini. Tapi aku tak bohong.
Niatku mencoba menjadi penyiar di sini adalah untuk memberitahukan sesuatu yang istimewa menurutku. Kisah yang kubaca sendiri dari buku harian yang kutemukan. Mungkin kalian bertanya-tanya kisah apa yang akan kusiarkan? Apakah menarik? Kalian bisa mendengarkan kisahnya setelah kita mendengar lagu ini. Lagu yang aku persembahkan untuk siapapun yang mengaku sebagai secret admirer. Ungu – Cinta Dalam Hati.”
Akupun menyadarkan kepalaku mencoba meresapi lagu ini. Tiap untaian liriknya persis seperti kisah gadis pemilik buku. Gadis, kata siapa? Tapi kelihatannya dia memang gadis.
“Hey!”
Terdengar suara seseorang menyahut. Akupun mendongak. Ada Radit ternyata. Dialah yang menyahutku.
“Sedang siaran makan siang, ya?”
“… aku tak tahu apakah dia masih ada atau tidak. Aku hanya sekedar menyampaikan dan berniat untuk mencarinya jika kalian tahu. Mungkin kalian pernah mendengar seseorang menderita Alzheimer. Tapi dia anak SMA. Mungkin dia orangnya. Aku memang kurang mengetahuinya. Mungin kisah yang aku sampaikan cukup sampai di sana saja.
Dan sebelum siaran ini berakhir, aku ingin memberitahukan sesuatu kepada kalian yang merasa kesepian dan tak ada orang yang mencintai kalian.
Sebenarnya terlalu banyak cinta yang datang tanpa kalian sadari. Jadi raihlah cinta itu sebelum pergi. Dan bagi para penggemar rahasia, kejarlah cintamu sebelum kau benar-benar telah terlambat. Akan kuputar sebuah lagu untuk dinyanyikan seorang penggemar pada penggemar kalian. Mari kita nyanyikan bersama, para penggemar. Dan sebelum lagu diputar, izinku pamit dari siaran makan siang ini. Semoga kita bertemu lagi. Dan inilah Geisha, Cobalah Mengerti.”
Akupun bangun dari dudukku. Siaran sudah berakhir. Radit masih menungguku selesai siaran. Dia memang lucu. Dia tak peduli satu jam aku berada di sini. Dia terus menungguku. Sebaiknya kuhampiri saja dia.
“Hay, lama nunggu?”
“Oh, nggak tuh. Siaranmu bagus sekali.”
“Hahah, berkat buku harian yang kutemuin di perpus. Kisahnya emang haru, ya. Aku suka banget.”
“Sekarang kita ke mana?” Tanya dia.
“Tenggorokanku udah kering nih. Ke kantin bentar, yuk.”
Diapun mengangguk. Aku berjalan menuju kantin bersamanya. Waktu istirahat memang hampir habis. Tapi kurasa masih bisa untuk sekedar minum di sana.
“Kau mau minum apa?” Tanyaku.
“Aku tak akan minum. Mengantarmu saja.”
“Beneran?”
Dia mengangguk. Akupun tersenyum. Dia ikut tersenyum.
“Bi, teh manis satu, ya. Esnya yang banyak.”
Pesanku setengah berteriak.
Bibi pemilik warung itupun mengangguk. Tak sampai dua menit, tehnya sudah datang.
Akupun menyondorkan dua lembar dua ribuan dan mulai menyedot air di dalam gelas ini. Kuputar sedotan yang sedang kupegang. Radit tersenyum kecil melihatku.
“Kau suka teh?”
“Ya seperti itulah.”
Aku dan Raditpun berbincang-bincang banyak. Ketika kami sedang asyik berbincang, aku melihat seorang pria tengah mengawasi aku dan Radit. Dia terlihat menyelidiki.
“Ada apa, Zahra?”
“Eh, nggak. Ke kelas yuk. Bentar lagi juga masuk.”
“Apakah yang kau bilang Radit itu yang kau bawa kemarin?” Tanya Arin penuh selidik. Aku mengangguk.
“Apakah kau menyukainya?” Dia semakin menyelidik. Aku mengangguk lagi sambil terus menggigit rotiku.
“Ahh, dia tak sama sekali tampan. Karena kau sibuk jatuh cinta, kau jadi lupa pada pengirim hadiah rahasiamu.”
“Ya. Aku jadi lupa. Omong-omong, bagaimana keadaannya, ya? Aku sangat mengakhawatirkannya.”
“Ahh aku punya ide. Sekalian siarkan saja kisahmu di siaran makan siang.”
“Aku tak mau.” Ucapku dengan mulut penuh.
“Kau mau menunggunya lewat di sini? Sudah setengah jam kita menunggu.” Keluh Arin.
Akupun menelan bulat-bulat roti yang tadi kumakan. Kulemparkan roti itu pada Arin ketika aku melihat Radit sedang berjalan menuju ke arahku. Mataku langsung melotot dan menghampirinya.
“Kita ke taman, yuk.” Ajakku langsung.
Diapun mengangguk. Aku tersenyum lalu mengalihkan pandanganku pada Arin yang tengah terduduk sendirian.
“Arin! Aku ke taman. Jaga dirimu baik-baik!” Teriakku.
Arinpun mengangguk malas. Aku langsung menggandeng tangan Radit menuju taman.
“Pertama kali kita bertemu di mana, ya?” Tanyanya memulai percakapan.
Akupun sedikit melayangkan pikiranku ke sekitar beberapa minggu ke belakang.
“Di perpustakaan.”
“Sekarang aku akan mengubah awal pertemuan kita di sini.” Ucapnya.
Akupun mengeryitkan dahi. Apa maksudnya?
Dia segera berjalan menuju tangkai mawar. Dia memetik satu mawar di sana. Diapun menyondorkannya padaku.
“Mari kita buat awal pertemuan kita indah. Di sebuah taman dengan mawar. Di perpustakaan bukanlah pertemuan kita. Di sinilah.” Ucapnya.
Aku hanya tersipu melihat tingkahnya. Dia sungguh romantis.
Dari jauh, seorang pria tengah mengawasiku sama seperti waktu di kantin itu. Aku dapat menangkap bayangannya di ujung taman.
“Ada apa, Zahra?” Tanya dia sambil menengok ke ujung taman.
Akupun sedikit mencibir sambil berjalan cepat menuju ujung taman. Siapa sebenarnya orang yang sedang memperhatikan kami tadi? Apakah dia pengirim hadiah itu?
“Hey! Kau siapa!?” Ucapku.
Pria itupun membelakangiku ketika aku menghampirinya.
“Aku harus pergi.” Ucapnya.
Akupun mengikuti langkah kakinya dari belakang. Dia terus melangkah.
“Berhenti mengikutiku!”
“Kau siapa?”
“Aku.. Reza.”
Aku berlari secepat mungkin. Aku takut SPPku telat bayar lagi. Sudah tiga bulan aku belum membayarnya. Semoga saja belum terlambat. Ketika aku menaiki tangga, ada seorang murid lelaki berjalan turun. Dia terus menundukan kepalanya. Aneh sekali.
Dengan cepat, kubuka pintu ruangan itu.
“Bu, ini aku Zahra. Aku belum telatkan bayar SPP?” Tanyaku.
Ibu tersebut pun sedikit mengernyitkan dahinya.
“Baru saja seorang murid pria melunasinya. Dia bahkan melunasi uang bangunan dan sumbangannya.”
“Siapa dia?” Tanyaku cepat.
“Saya juga tak tahu.” Ucapnya.
Akupun langsung berlari ke bawah. Aku yakin sekali pasti lelaki tadi. Tak ada satupun orang di sekitarku selain dia tadi. Bahkan sekarang pun hanya aku.
Aku masih terus berlari sambil berlinang air mata. Ayolah, siapa pengirim hadiah itu? Ayolah, aku sudah ingin mengetahuinya. Aku mencintaimu pengirim hadiahku.
Ketika aku sudah mencari ke seluruh ruangan, akupun tertunduk. Air mataku terus berlinang dan turun di pipiku. Aku sedikit terisak. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku tak dapat menemukan orang itu. Orang yang selama ini telah memberikan sinyal-sinyal padaku, bahwa aku tak tinggal sendirian. Dia selalu menemaniku dengan segala hadiah yang dia berikan.
Dia memang baik hati. Aku Ayolah kirimi aku hadiah lagi. Aku rindu akan hal itu. Kau tahu, bintang jatuh itu tak mengabulkan permohonanku. Jika kau sudah tahu apa permohonanku, mungkin aku tak akan mengatakannya. Tapi jujur saja, aku memohon agar aku bisa duduk di taman sekolah bersamamu lagi. Dan kita akan memetik mawar. Namun hal itu sudah jadi kenangan. Kenangan yang akan membekas lekat di hatiku. Kenangan manis, yang terlalu pahit diingat, namun terlalu manis dilupakan.
- SEKIAN -
Cerpen Karangan: Selmi Fiqhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar