Selasa, 12 November 2013

Cerpen - Upsss!

Aku benci banget sama hari ini. Nggak tahu kenapa dari pagi tadi sampai siang ini, aku sial melulu. Kenapa ini?
Pagi tadi bangun kesiangan, nggak sempat sarapan, telat ke kampus, nggak dibolehin masuk kelas plus dimarahin dosen. Dan barusan aja, dimaki-maki sama cewek menor yang nggak tahu dari mana asal usulnya. Katanya aku sudah ngerebut cowok dia.
Heeei, kenal sama cowoknya aja nggak. Gimana bisa ngerebut. Nggak masuk akal banget. Dasar orang aneh, stress kali.
“Kamu kenal sama dia?” Tanyaku pada Mei, temanku. Mei yang masih bengong cuma menggeleng. Emang gila benaran kali tuh cewek. Dan aku yang sial banget hari ini bisa ketemu sama dia.
Satu jam lagi masih ada kuliah. Tambah malas banget mau masuk kuliah kalau ingat dosen yang ngajarnya mantan pacarku. Hmmm…
Aris, mantanku jaman SMA dulu. Dia sudah kuliah waktu pacaran sama aku. Aris itu temannya kakakku. Usiaku sama dia beda enam tahun. Putusnya juga dulu gara-gara dia bilang aku masih kekanak-kanakan. Dasar sok dewasa!
Dan, sebulan terakhir ini dia jadi dosen baru di kampusku. Teman-temanku yang cewek senang banget sama dia, soalnya jarang-jarang ada dosen muda dan single. Mungkin terkecuali aku, aku nggak suka banget diajar sama Aris!
Rasanya pengen bolos aja, tapi ntar Aris pasti ngadu ke mama. Huuuh, tukang cari muka. Apa-apa dilaporin, kaya’ telatnya aku hari ini pasti ntar sudah sampai di telinga mama. Masih pacarnya aja bukan. Nyebelin aja!
“Oiya, aku baru ingat! Kaya’nya aku kenal sama cewek tadi!” Mei tiba-tiba menjerit histeris.
“Siapa, Mei?” Tanyaku setengah kaget.
“Dia kan ceweknya Rano,” Kali ini Mei menekan suaranya.
“Rano mana?’ Aku tambah bingung.
“Kan tadi cewek itu bilang nama cowoknya Tian,” Kataku lagi.
“Iya, Septian Rano!” Kata Mei bersemangat.
“Nggak kenal,” Sahutku.
“Masa? Ketua UKM seni. Ingat nggak?” Paksa Mei.
“Nggak kenal,” Sahutku lagi. Mei nggak nanya lagi, dia cuma berguman nggak jelas.
“Aku bolos ya ntar, sakit perut nih,” Kataku tiba-tiba. Mei melongo, cepat-cepat aku memasang tampang kesakitan.
“Iya, sakit banget. Kaya’nya salah makan deh,” Bohongku lagi. Nggak mungkin kan kalau aku jujur bilang lagi nggak pengen liat tampang Aris waktu ngajar.
Satu kampus ini nggak ada yang tahu kalau Aris, dosen idola mereka itu pernah jadi pacarku. Sampai Mei yang teman dekatku aja nggak tahu. Rasanya malu aja ngaku–ngaku pernah jadi pacarnya. Arrrgggh, tuh kan ingat dia jadi emosi lagi!
“Padahal nanti mata kuliahnya Pak Aris, sayang tahu kalau kamu nggak masuk,” Timpal Mei. Asal tahu aja, justru dia yang aku hindari.
“Nggak apa-apalah. Sakit banget nih perutku, aku mau pulang aja biar besok bisa kuliah lagi,” Sahutku akhirnya. Mei nggak nanya macam-macam lagi. Malah dia ngantarin aku sampai halte depan kampus, dikiranya aku benaran sakit kali.
Aku mengeliatkan tubuhku ketika samar-samar terdengar suara orang bicara. Aku menajamkan pendengaranku. Suara mama, mungkin lagi ada tamu.
Aku melirik jam yang tergantung tepat di depanku. Sudah jam lima sore, lama juga aku tertidur. Aku menguap lebar. Malas-malasan aku keluar dari kamar.
Pintu kamarku baru kebuka setengah saat kembali terdengar suara tamu mama dari ruang tamu. Aku menghentikan langkahku, kaya’nya aku kenal dengan suara orang itu. Aris?!
Aku kembali masuk dan menutup pintu kamarku. Mau apa Aris ke rumahku jam segini. Biasanya juga kalau ke rumah jadwalnya malam hari, itu pun buat ketemu sama mas Ardi, kakakku. Aku menajamkan pendengaranku dari balik pintu.
“Lagi tidur tuh dari siang tadi. Dia nggak ada ngomong apa-apa sama tante sih. Pulang kuliah langsung masuk kamar, nggak ada bilang kalau dia sakit,” Samar-samar terdengar suara mama.
“Masuk aja ke kamarnya, paling juga masih tidur,” Aku tersentak kaget dan buru-buru melompat ke tempat tidur. Pasti Aris mau ngecek kebenaran aku sakit atau nggak. Aku menarik selimutku dan pura-pura tertidur. Gawat!
Terdengar suara pintu kamarku terbuka. Aku menahan nafas sambil tetap memejamkan mataku. Semenit, dua menit, sunyi. Pelan-pelan kuberanikan membuka mataku. Aku mengedarkan pandanganku. Nggak ada Aris.
Buru-buru aku melempar selimut dan beranjak dari tempat tidur. Aku baru bisa bernafas lega saat terdengar suara motor besar Aris meninggalkan rumahku.
Nenek sihir menor itu menghadangku di depan kantin kampus. Apa lagi sih maunya? Nggak sadar apa kalau jelas-jelas dia salah sasaran. Aku membalas tatapan matanya tanpa rasa takut.
“Ada apa lagi? Oke aku jelasin lagi, aku nggak ada ada niat mau ngerebut pacarmu, kenal aja nggak. Jadi sekarang apa yang jadi masalahmu?” Tantangku. Mei yang lagi bersamaku malah sembunyi di belakangku.
“Kamu dan cowokku sama aja. Tukang bohong. Dia bilang nggak kenal sama kamu, tapi aku nggak bisa dibohongin. Dengar ya, jangan berani-berani godain cowokku lagi. Aku nggak main-main. Asal kamu tahu aja, semua fotomu di laptopnya udah aku hapus. Rasain kamu!” Cerocosnya kemudian berlalu. Aku dan Mei saling pandang dengan muka bingung. Aku makin nggak ngerti dengan masalah ini.
“Jangan-jangan Rano emang naksir sama kamu makanya sampai nyimpan fotomu,” Cetus Mei tiba-tiba.
“Kenal aja nggak,” Sahutku.
“Dia diam-diam naksir kamu, terus ketahuan kalau dia nyimpan foto kamu sama ceweknya,”
“Udah ah, malas aku ngomongin masalah ini. Buat moodku jadi jelek aja. Pulang yuk,” Ajakku.
“Tapi aku masih ada kuliah,” Sahut Mei.
“Yaah, kamu sih kebanyakan ngulang,” Kataku sambil tertawa.
Aku pun pulang duluan meninggalkan Mei yang setengah jam lagi ada kuliah. Beberapa hari ini rasanya banyak hal yang selalu buat aku kesal. Nggak di rumah, di kampus, semuanya. Aku menarik nafas panjang. Sampai di rumah aku mau tidur buat nenangin pikiranku.
Jantungku berdetak kencang saat melihat sosok yang lagi duduk di teras rumahku. Mau balik lagi pun sudah nggak bisa, dia sudah terlanjur ngelihat aku.
“Aku kira kamu masih sakit,” Sapanya. Aku tersenyum kaku. Gimana nih, mama kaya’nya lagi nggak ada di rumah, mas Ardi belum pulang kerja. Otomatis aku yang harus nemanin dia.
“Udah sembuh kok. Mas Ardi malam kali baru pulang,”
“Aku mau ketemu kamu kok, bukan sama Ardi,” Katanya. Deg! Lagi-lagi jantungku berdetak makin kencang. Sudah lama banget aku nggak pernah ngobrol sama Aris kaya’ gini. Kalau ketemu pun biasanya cuek-cuekan.
“Kirain kamu masih tidur tadi, makanya aku nunggu disini,” Kata Aris. Mau nggak mau aku pun duduk di samping Aris. Suasana kaya’ gini nggak ngenakin banget, aku bingung mau ngomong apa.
“Gimana kuliahmu?” Tanyanya.
“Baik, nggak ada masalah,” Jawabku. Itu kalau nggak ada kamu, kataku dalam hati.
“Aku buatin minum ya. Mau minum apa?”
“Nggak usah, aku nggak lama kok. Bentar lagi mau balik ke kampus,” Katanya. “Minum sedikit aja ya,” Paksaku.
“Kamu masih tetap aja suka maksa orang ya,” Kata Aris sambil tersenyum. Mendengarnya aku langsung cemberut.
“Hahaha… bukan gitu. Jangan ngambek dong. Ayolah buatin minumnya,” Bujuk Aris.
Bergegas aku masuk ke rumah. Aku tahu minuman kesukaan Aris, lemon tea hangat. Eh, kenapa juga aku jadi semangat kaya’ gini.
“Oiya, itu adikku udah jemput,” Aris menyeruput minumannya yang baru aku buat.
“Adik?” Tanyaku bingung. Pantasan aja dari tadi aku nggak ngeliat motornya Aris parkir di depan rumahku.
“Adik sepupu, tinggal dirumahku. Sekampus sama kamu juga, cuma beda jurusan kaya’nya. Nggak kenal ya?” Aku cuma menggeleng ketika kulihat orang yang dimaksud Aris. Mirip Aris, cuma sedikit lebih putih dan tinggi dari Aris.
Aku mengikuti Aris sampai ke mobil sepupunya. Sepupunya keluar dari mobil kemudian mendekatiku.
“Septian,” Katanya mengenalkan diri sambil tersenyum.
“Rara,” Balasku. Eh tunggu dulu. Kaya’nya namanya nggak asing di telingaku.
“Septian Rano?” Tanyaku ragu. Dia menggangguk. Aku terhenyak. Ternyata dia sepupunya Aris.
“Pasti gara-gara Fani ya, dia salah paham sama kamu,” Jelasnya. Jadi Fani nama pacarnya. Aris yang dari tadi diam memandang aku dan Septian bergantian.
“Baru kenal aja, kalian udah punya masalah,” Kata Aris. Aku cuma tertawa.
“Gara-gara mas Aris juga,” Timpal Septian.
“Eh… kok aku dibawa-bawa,” Kata Aris nggak terima.
“Gara-gara aku pinjam laptopmu tuh,” Kata Septian.
“Oiya… ya, hahaha…! Nanti di rumah aja kita bahas lagi,” Ada raut misterius di muka Aris. Aku memandang mereka berdua dengan bingung.
“Aku ke kampus dulu ya, Ra!” Pamit Aris. Nggak tahu kenapa rasanya ada perasaan sedih yang tiba-tiba datang. Lama aku menatap Aris sampai dia masuk ke mobil.
“Nanti malam aku ke rumah,” Bisik Aris pelan sambil tersenyum. Senyuman yang dulu pernah buat aku naksir dia. Uppss!!!
Cerpen Karangan: Eva Kurniasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar