Selasa, 12 November 2013

Cerpen - Winter In Blitar

Pagi yang cerah di kota Blitar, namun udara dingin begitu terasa menusuk tulang. Mungkin bisa dibilang ini adalah “Winter” nya Blitar. Meski udara tak begitu bersahabat, hal itu tak sedikitpun menghambat masyarakat Blitar untuk tetap beraktivitas seperti biasanya. Lalu lalang kendaraan bermotor tetap menjadi penghias suasana dingin pagi ini.
Aktivitas di Pasar Legi nampak begitu sibuk. Tak jauh berbeda seperti yang rutin dilakukan gadis berjilbab, Nayla namanya. Meski pagi ini udara sedikit lebih dingin dari biasanya, tak menyurutkan niat Nayla untuk berangkat ke pasar. Setiap jam 7 pagi dia selalu membantu orang tuanya untuk membuka kios di pasar. Nayla adalah putri sulung dari ustadz sekaligus pedagang, Bapak Arif dan Ibu Dewi. Statusnya sekarang adalah sebagai mahasiswi di Universitas Negeri Malang, karena saat ini sedang liburan semester, Nayla menghabiskan waktunya untuk membantu orang tuanya. “Nduk, tokonya kamu buka dulu ya!! Ayah sama Bunda nanti menyusul”. Perintah Pak Arif pada Nayla. “enggeh Yah, Nayla bidal rumiyen, Assalamu’alaikum” jawab Nayla sembari beranjak menuju motor kesayangannya menuju pasar. Sesampainya disana dengan sigap Nayla membuka tokonya dan melayani pembeli yang mulai berdatangan. Tak lama kemudian Ayah dan Bundanya datang dan membantunya melayani pembeli.
Hari ini Nayla berencana untuk pergi ke PBK bersama Sari sahabatnya. Setelah toko terlihat sepi, Nayla meminta izin pada Ayah dan Bundanya. “Yah, Bun, Nay pamit ten PBK kaleh Sari nggeh?” ucap Nayla lembut. “iyo Nduk, tapi wangsulo disek, Bunda mau wes siapne sarapan”, ucap Bundanya. “enggeh, Assalamu’alaikum” balas Nayla sambil mencium tangan orang tuanya dan pergi.
Sementara itu, di belahan bumi lain Dafa putra tunggal dari keluarga pengusaha terkenal di Jakarta sedang siap-siap untuk berlibur. Cowok tampan yang satu ini adalah seorang Mahasiswa jurusan manajemen di Universitas Indonesia. Liburan semester kali ini Dafa ingin mencari suasana yang berbeda dari sebelumnya. Biasanya Dafa menghabiskan waktu liburannya ke luar negeri, namun kali ini dia tertarik untuk mengunjungi Blitar salah satu kota kecil di Jawa Timur, yang menjadi kota kelahiran tokoh idolanya Bapak Ir. Soekarno. Dafa berangkat dari Jakarta sekitar jam 6 pagi, sampai di Bandara Abdurrachman Saleh Malang pukul 9 dan tiba di Blitar sekitar pukul 11. Tanpa istirahat dulu dia langsung menuju Makam Bapak Ir. Soekarno. Dafa sangat antusias dengan kunjungan pertamanya kali ini, tak henti-hentinya Dafa memotret setiap sudut dan suasana baru yang dijumpainya disana. Dia pun tertarik melihat gedung di sebelah tempat pemakaman Bapak Soekarno, yang di jadikan sebagai Perpustakaan. Atau lebih di kenal PBK (Perpustakaan Bung Karno).
Sementara itu Nayla sudah tiba di perpustakaan sejak jam 10 tadi, namun dia sedang menunggu Sari, namun tak kunjung datang juga. Sudah satu jam lebih Nayla menunggu Sari di PBK. Nayla pun memutuskan untuk menelpon Sari. Saking terfokus pada ponselnya Nayla tidak sengaja menabrak seseorang. Gubraaakkk,
“Astaghfirullah hal ‘adzim, maaf, maaf, gak sengojo”. Ucap Nayla spontan dan tanpa sengaja ponselnya terjatuh. Dafa yang juga terlalu serius mengambil gambar, tanpa sengaja dia menabrak seorang gadis, dan gadis itu menggumam dengan bahasa yang asing baginya. Ponselnya pun juga terjatuh. “oh, iya gak apa-apa mbak, saya juga yang salah. Tadi saya terlalu asyik memotret dan tidak memperhatikan jalan”, ucap Dafa pada gadis itu. Mereka pun saling meminta maaf, dan tanpa kenalan mereka langsung mengambil ponsel mereka yang sama-sama terjatuh. Tanpa mereka sadari ternyata ponsel mereka telah tertukar. Dan mereka pergi begitu saja tanpa beban.
Tiba-tiba ponsel yang dibawa Dafa berdering. “Sari? lho, nomor siapa ini? siapa Sari, perasaan teman-temanku gak da yang namanya Sari deh”, gumam Dafa setelah membaca nama yang tertera di ponselnya. Sedikit ragu Dafa mengangkatnya. “halo Nay, sorry Nay aku gak iso ke PBK, Bapak sama Ibu ku lungo nang Malang, trus aku nemeni adek” ucap suara gadis di ujung sana. Dafa bingung gadis itu berbicara dengan bahasa yang tidak terlalu dimengertinya. “maaf, ini siapa ya? ini Dafa, tolong bicara dengan Bahasa Indonesia ya?” ucap Dafa. “lho, ini bukan Nayla? tapi perasaan ini benar nomornya Nayla deh? Naylanya mana?” ucap Sari panjang kali lebar. Pertanyaan gadis itu semakin membuat Dafa bingung, tanpa pikir-pikir lagi dia langsung menutup ponselnya. Dia masih bingung, apa maksud gadis di telpon tadi. Setelah dia perhatikan benar-benar ternyata ponsel yang dibawanya bukan miliknya. “Nayla, pasti ini milik gadis yang tadi, pasti ponselku tertukar dengan ini”, gumam Dafa. Dan tiba-tiba ponsel yang dibawanya berbunyi lagi, masih dari nomor yang sama. “heh, kok kamu tutup telponku tadi? dimana Nayla? jangan-jangan kamu penculik ya?” cerocos Sari yang mulai khawatir dengan Nayla. “bukan, bukan, ini Dafa, sepertinya tadi ponselku tertukar dengan ponsel temanmu, ini ponsel temanmu aku bawa, dan ponselku juga dia bawa”, jelas Dafa. “beneran? jangan bohong ya? awas kalau bahong aku laporin polisi nanti?” ancam Sari. “iya benar, aku akan coba menelpon temanmu itu, tenang saja aku cowok baik-baik kok”, ucap Dafa meyakinkan Sari. Kemudian dia menutup telpon Sari, dan berusaha menghubungi ponselnya yang dibawa Nayla.
“oh, iya ternyata ini bukan ponselku, ponsel kita tertukar, baiklah aku tunggu di parkiran ujung pasar cinderamata ya?” ucap Nayla pada Dafa, setelah dia menyadari kalau ponselnya tertukar. Dafa dan Nayla pun bertemu di parkiran ujung pasar. “maaf ya, tadi aku buru-buru, akibatnya ponsel kita tertukar”, ucap Nayla meminta maaf. “iya, gak apa-apa, tadi aku juga gak teliti dulu”, jawab Dafa. Nalya tersenyum manis “oy, perkenalkan aku,”. “Nayla kan?” Dafa memotong ucapan Nayla. “kok kamu tahu?”, tanya Nayla. “Tadi temanmu kalau gak salah Sari namanya, telpon di ponsel itu, dan menyebut-nyebut nama Nayla, yah aku simpulkan aja pasti namamu Nayla, aku Dafa”, ucap Dafa memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Namun Nayla tidak membalas uluran tangan Dafa dia hanya mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil tersenyum “salam kenal” ucap Nayla. Dafa sedikit terkejut dengan sikap Nayla, namun dia menghormati itu, dia langsung menarik tuluran tangannya “oy, kamu asli dari daerah sini kan?” ucap Dafa. “iya, kayaknya kamu bukan orang sini ya?” jawab Nayla. “iya, aku dari Jakarta, aku lagi liburan disini. Oya, kamu kan asli Blitar, pasti tahu seluk beluk kota ini, karena aku baru dan sama sekali belum mengenal kota ini, kamu mau menjadi tour guide ku selama di sini? tapi itu jika kamu tidak keberatan”, ucap Dafa sedikit ragu-ragu. “hemm, bisa aja, tapi kamu mau pake motor, gimana?” ucap Nayla. “oke, siapa takut, ya sudah besok aku tunggu kamu di sini jam 8 pagi ya?” ucap Dafa yakin. “siip, ya sudah aku pergi dulu ya? Assalamu’alaikum,”, ucap Nayla sembari pergi. “Wa’alaikum salam”, jawab Dafa. Dafa sedikit kagok menjawab salam Nayla, karena di Jakarta jarang sekali ada orang yang pergi mengucapkan salam. Bahkan dirumahnya pun orang tuanya tidak mendidiknya seperti itu. Tiba-tiba Dafa teringat, semenjak dia sampai dia belum menghubungi Papa dan Mamanya, segera dia memencet beberapa nomor dari ponselnya dan langsung tersambung dengan Mamanya. Dafa menjelaskan berbagai alasan kenapa dia telat menelpon sambil beranjak pergi menuju hotel tempat dia menginap.
Keesokan harinya Dafa tampak begitu antusias, karena dia bisa keliling kota Blitar, dan bisa lebih mengenal Blitar. Jam 7 dia sudah selesai mandi dan siap-siap sarapan. Tiba-tiba dia ingin sekali menelpon gadis yang kemarin, hanya ingin mengingatkan saja. Dia mencoba mencari nomor gadis itu di Daftar panggilan terakhir di ponselnya. Untungnya masih ada, “hai, kamu gak lupa kan?” ucap Dafa pada Nayla di ujung sana. “oh, iya gak apa-apa, kamu selesaikan dulu aktivitasmu, nanti kalau sudah langsung ke tempat kemarin ya?” ucap Dafa lagi. “iya, wa’alaikum salam”, lagi-lagi Dafa di buat kagok Nayla, selama ini Dafa belum pernah mengakhiri telpon dengan salam, namun Nayla kini telah mengajarkannya. Tanpa dia sadari, dia mulai tertarik untuk mengetahui kesehariam Nayla. Tanpa basa-basi lagi dia segera menyelesaikan sarapannya dan segera berangkat ke PBK.
“tentu tidak lupa, tapi aku bantu Ayah sama Bunda buka kios dulu ya?” ucap Nayla pada Dafa yang ada di ujung sana. Nayla sedikit kaget Dafa, cowok yang kemarin akan menghubunginya hanya untuk mengingatkan janjinya kemarin. “sopo nduk?”, tegur Bundanya. “oh, niku Bun, teman baru saking Jakarta, nyuwun Nayla ngerencangi keliling Blitar, jadi mengke Nay pamit ten PBK maleh?”, jawab Nayla sekaligus meminta izin. “oh, iyo nduk gak opo-opo mengko seng ati-ati lho yo?”, pesan Bunda Nayla padanya. “enggeh bun,”, Nayla tersenyum, dan kembali melanjutkan pekerjaannya supaya cepat selesai dan segera menepati janjinya pada Dafa.
Jam 7.30 Nayla dan Dafa sama-sama berangkat ke PBK, hanya saja Nayla berangkat dari rumah sedangkan Dafa dari hotelnya. Setelah mereka sampai, mereka langsung menuju tempat kemarin saat mereka pertama kali bertemu. “hai, sudah menunggu lama?” sapa Dafa pada Nayla. “oh, belum kok baru aja sampai”, ucap Nayla. “jadi? kita mulai dari mana?” tanya Dafa tidak sabar. “hemm, terserah kamu, kamu sudah tahu semua tentang PBK ini?” ucap Nayla lembut. “PBK?” kata Dafa penasaran. “ini gedung ini, namanya Perpustakaan Bung Karno”, jelas Nayla. “oh, belum semua, kemarin aku hanya memotret eksteriornya saja”, tegas Dafa. “oke, kalau gitu kita mulai dari museum yang itu ya?” ucap Nayla sembari menunjuk sebuah gedung. “siap,” balas Dafa antusias.
Nayla menjelaskan semua yang dia ketahui tentang museum itu, semua benda-benda peninggalan Bapak Soekarno. Dafa terlihat sangat tertarik pada semua yang dibicarakan Nayla, apalagi menyangkut tokoh idolanya. Tak henti dia memperhatikan Nayla, dan sesekali melihat benda yang ditunjuk Nayla. Dan penasarannya memuncak saat Nayla menunjuk salah satu lukisan Bapak Soekarno, yang mitosnya terlihat ada detak jantungnya. Dafa memerhatikan lukisan itu lekang-lekang. “hai, serius amat lihatnya, detak jantung itu kan cuma mitos Daf?” tegur Nayla pada Dafa yang masih serius memandang lukisan. “eh, kamu ngagetin saja Nay, tapi kayaknya beneran deh, tuh di bagaian dadanya berdetak”, ucap Dafa sambil menunjuk lukisan itu. “hemm iya sih aku juga pernah lihat, tapi mungkin itu hanya sugesti saja Daf”, tegas Nayla. “oh, gitu ya? tapi memang bener-bener hebat yah Bapak Soekarno ini, tak salah aku mengidolakannya, ya sudah ayo kita lanjutkan”, ucap Dafa sambil beranjak pergi. Nayla mengangguk pelan dan mengikuti langkah Dafa.
Kemudian menjelang dhuhur mereka pun melanjutkan perjalanan ke Candi Penataran yang ada di Desa Nglegok. Dengan dibonceng Dafa menggunakan motor Nayla, mereka berdua beranjak ke komplek candi penataran. Di tengah perjalanan, Nayla meminta untuk singgah sebentar di sebuah masjid untuk sholat dhuhur. Dafa menurut saja apa yang Nayla minta, karena dia juga tidak tahu kemana arah menuju Candi Penataran. Dan Nayla mengajak Dafa untuk sholat dhuhur dulu. Dafa sedikit kagok, karena sudah lama sekali dia tidak menginjakkan kaki ke masjid, bahkan sholat pun jarang sekali dilakukannya. Dengan sedikit canggung Dafa menuruti permintaan Nayla. Mereka pun menunaikan sholat dhuhur bersama-sama meski tidak berjama’ah, karena Dafa menolak untuk menjadi imam. Semenjak itu Dafa mulai semakin tertarik pada kepribadian gadis ini, yang menurutnya sangat jauh berbeda dengan gadis yang dia kenal di Jakarta.
Selesai sholat mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan diantara mereka tak ada yang berbicara, semua membisu. Karena merasa tidak enak Dafa mulai mencairkan suasana dengan memulai suatu perbincangan. “Nay, kamu belum makan kan? gimana kalau kita makan dulu?” ucap Dafa sedikit malu. “terserah kamu Daf”, jawab Nayla. “kamu mau makan apa? bakso, atau apa? kita berhenti sebentar?” tanya Dafa lagi. “terserah kamu aja Daf, aku ikut”, ucap Nayla santai. “hemm dari tadi terserah mulu, ya udah, kita berhenti di warung depan situ ya, makan mie ayam”, ucap Dafa. “hemm,” tegas Nayla, sambil mengangguk. Mereka berhenti di sebuah warung dan membeli mie ayam.
Setelah selesai makan mereka melanjutkan perjalanan ke Candi Penataran. Disana Dafa terlihat sangat menikmati, meski udara kali ini terasa panas. “Nay, ini minum, mungkin kamu haus”, ucapa Dafa menawarkan air mineral. “oh, iya Daf, makasih ya,” balas Nayla ramah. Di tengah-tengan perbincangan mereka tiba-tiba ponsel Nayla berbunyi. “Oh, enggeh Bun, Nay wangsul sakniki”, ucap Nayla pada seseorang di ujung sana. Dengan kata-kata yang tidak di mengerti Dafa. “Dafa, maaf banget, kayaknya kita harus pulang sekarang deh, tadi Bundaku telpon katanya ada sesuatu kepentingan mendadak, dan aku harus pulang sekarang”, ucap Nayla dengan nada sedikit menyesal. “hemm, gitu ya, ya udah kita pulang sekarang, tapi besok anterin aku keliling Blitar lagi ya?”, ucap Dafa. “oke, tenang saja, ketemu di PBK lagi ya?”, balas Nayla. “siip, ya udah ayo pulang”, tegas Dafa sambil beranjak pergi disusul Nayla.
Keesokan harinya mereka kembali bertemu di PBK, kali ini mereka menuju Istana Gebang, rumah kediaman Bung Karno. Tetap seperti kemarin Dafa masih sangat antusias dengan perjalanan kali ini. Hal itu terus berjalan selama 4 hari terakhir ini. Sudah banyak tempat yang dikunjungi Dafa dan Nayla.
Hari ke 5 liburan Dafa di Blitar, masih tetap ingin keliling-keliling. Namun hari ini ada sedikit hal yang beda. Hari ini Nayla tidak bisa menemani Dafa, karena di suruh orang tuanya menjaga kios. “maaf Daf, hari ini aku gak bisa menemani kamu, aku disuruh orang tuaku menunggu kios, mereka sedang pergi ke Malang, gimana dong?” ucap Nayla pada Dafa yang ada di ujung telepon dengan nada sangat menyesal. “beneran Daf, gak apa-apa kamu kesini? ya sudah nanti aku sms – in alamat Pasar Legi dan kiosnya”, ucap Nayla. Nayla menutup telponnya dan mulai mengetik alamat kiosnya.
“oh, begitu ya Nay, gak apa-apa tapi kalau boleh, aku ke kios kamu ya? aku temenin sekaligus bantuin, itu sih kalau kamu gak keberatan Nay?” ucap Dafa pada Nayla. “siip Nay, aku siap-siap”, ucap Dafa riang. Entah kenapa tiba-tiba Dafa mau menawarkan diri untuk membantu Nayla, padahal sebelumnya dia sama sekali belum pernah masuk ke pasar tradisional, tapi kali ini dia sangat tertarik untuk bisa lebih mengenal Nayla lebih jauh, dan menurutnya ini salah satu caranya. Setelah menerima sms dari Nayla Dafa segera menuju alamat tersebut.
Sesampainya di pasar, Dafa merasa sedikit kaget, butuh waktu baginya untuk beradaptasi dengan wilayah baru. Namun karena malu dengan Nayla, Dafa berusaha untuk tetap bisa menahan semua rasa tidak nyaman yang dirasakannya. “Nayla aja bisa tahan kenapa aku tidak?”, gumamnya dalam hati. Semua rasa tidak nyaman itu hilang ketika Dafa harus membantu Nayla melayani pembeli, yang lumayan banyak. Ini pengalaman baru baginya, berjualan di pasar. Tapi tiba-tiba langkah Nayla sedikit gontai, Nayla merasa pusing dan hampir saja terjatuh. Untung saja Dafa dengan sigap menangkapnya. “eh, Nay, kamu kenapa?” ucap Dafa kaget. “Astaghfirullah hal’adzim, maaf Daf, sudah merepotkanmu”, Ucap Nayla begitu dia tersadar sudah berada dipelukan Dafa dan langsung mencoba menghindar. “Nay, pasti kamu kecapekan, kamu istirahat dulu gih, biar aku yang melayani pembeli”, ucap Dafa lembut. Nayla mengangguk pelan. Setelah toko mulai sepi Dafa menghampiri Nayla, “Nay, gimana udah mendingan kan?” ucapnya penuh perhatian. “sudah Daf, makasih banyak ya, kamu sudah bantu aku menjaga toko”, ucap Nayla. “iya, itung-itung kan ini balas budi, karena kamu sudah menemaniku beberapa hari ini”, jelas Dafa.
Tiba-tiba Ayah dan Bunda Nayla tiba. “Assalamu’alaikum,” ucap Ayah Nayla sedikit mengagetkan Dafa dan Nayla yang sedang asyik berbincang. “Wa’alaikumsalam,” jawab mereka berdua kompak. “Ayah, Bunda, mpun wangsul to?” ucap Nayla. “huh, lagi-lagi bicara yang tak ku mengerti” gumam Dafa dalam hati. “iki sopo nduk?” tanya Ayah Nayla sambil menunjuk Dafa. Dafa sedikit salah tingkah. “oh, ini teman Nay Yah, dari Jakarta Dafa namanya, dia mboten saget bahasa jawa?” ucap Nayla mencoba menjelaskan. Dafa meraih tangan Ayah dan Bunda Nayla dan bersalaman sambil memperkenalkan diri, “Dafa Om, Tante, maaf saya tidak bisa bahasa jawa”. Ayah dan Bunda menyambut baik Dafa, dan memaklumi keadaannya yang tidak bisa berbahasa jawa, “iya nak, gak apa-apa”, tegas Bunda Nayla ramah. Dafa merasa lega dapat diterima dengan baik oleh keluarga Nayla. “oy Bun, ini tadi Nayla di bantu sama Dafa buat jaga kios, tadi Nayla hampir pingsan mungkin karena kecapekan”, ucap Nayla menceritakan semua yang terjadi tadi. “terima kasih sekali ya Le, oy, ‘Le’ itu panggilan buat anak laki-laki, gak apa-apakan Om panggil kamu seperti itu”, jelas Ayah Nayla, senang karena Dafa sudah membantu putrinya. “oh, tentu tidak apa-apa Om, Dafa senang”, tegas Dafa. Mereka semua larut dalam perbincangan yang penuh dengan kehangatan. Dafa merasakan rasa kekeluargaam yang besar dari keluarga Nayla ini, karena selama dia di rumah, Mama dan Papanya jarang sekali mengobrol hangat seperti yang dirasakan saat ini. Dafa jadi merasa rindu dengan Mama dan Papanya. Menjelang dhuhur, Dafa meminta izin berpamitan pulang, namun di cegah oleh Ayah Nayla. “Sebentar to Le, kita sholat jama’ah dulu”, ajaknya. Karena Dafa tidak enak untuk menolak ajakan Ayah Nayla Dafa memutuskan untuk sholat dhuhur dulu lalu pulang. Ini satu hal lagi yang tak pernah dirasakan Dafa di rumah, keagamaan yang kental. Dafa merasa iri sekali dengan keluarga Nayla, dia berharap keluarganya bisa seperti keluarga Nayla di sini.
Selama hampir seminggu di Blitar, Dafa merasakan banyak hal positif yang dia dapat, apalagi setelah berteman dengan Nayla dan bisa mengenal Nayla beserta keluarganya lebih dekat. Malam minggu ini Dafa berencana mengajak Nayla untuk melihat Blitar waktu malam dan mentraktirnya makan buat tanda terimakasih atas selama ini. Ingin membuat kejutan buat Nayla Dafa tak memberitahu Nayla, kalau dia akan datang ke rumahnya. Dafa pun meminta alamat rumah Nayla melalui Sari teman Nayla. Dafa datang kerumah Nayla, “Assalamu’alaikum,” ucapnya sedikit ragu. “Wa’alaikum salam” jawab Ayah Nayla di balik pintu. Dafa merasa semakin grogi, ketika pintu dibuka, groginya bertambah, karena yang membukakan pintu Ayah Nayla. Sebelumnya dia tak pernah melakukan ini, karena belum pernah dia mengajak cewek, tapi malah dia yang sering diajak cewek. “Oh, Dafa, silahkan masuk Le, Nayla masih ngaji di kamar, sebentar ya Om panggilkan dulu”, ucap Ayah Nayla ramah, sambil mempersilahkan Dafa masuk rumah. “oh, iya Om, terimakasih”, ucap Dafa sedikit lega. Samar-samar Dafa bisa mendengar suara orang yang sedang mengaji. “pasti itu Nayla yang sedang mengaji, suaranya indah banget” gumam Dafa pada diri sendiri. Hati Dafa serasa damai mendengar Nayla mengaji, suaranya merdu sekali dan sangat menenangkan. Dafa semakin mengagumi Nayla, “waw, benar-benar gadis yang cantik, lahir dan batinnya, ingin ku punya yang seperti itu” gumam Dafa. “kenapa Le? ingin yang seperti itu apa?sebentar ya, Nduk tadi ngaji, terus sekarang sekalian sholat”, tegur Ayah Nayla sedikit membuat Dafa kaget sekaligus menyadarkannya. “Om, mengagetkan saja, iya Om, gak apa-apa, oy Om sekalian Dafa mau minta izin, mau mengajak Nayla jalan-jalan malam ini, mau lihat alun-alun”, ucap Dafa sekaligus minta izin pada Ayah Nayla. Ada sedikit keraguan di hatinya, takut tidak diizinkan, namun kekhawatirannya tidak terbukti. Ternyata Ayah Nayla mengizinkan mereka berdua pergi. Ayah Nayla percaya pada Dafa kalau dia memang anak yang baik, yang akan menjaga putrinya, namun ada syaratnya. Mereka berdua harus mengajak Haikal adik Nayla, supaya tidak menimbulkan fitnah. Syarat itu tak membuat Dafa mengurungkan niatnya. Dia malah menyambut persyaratan itu dengan senang hati. “Dafa? tahu rumahku darimana?” ucap Nayla mengalihkan pembicaran dua laki-laki itu. “hehe Nayla, tadi aku minta ke Sari, oy kamu sekarang ada waktu kan? aku traktir?” ucap Dafa yakin. “ha? traktir? sekarang?” jawab Nayla ragu, sambil melirik ke Ayahnya. “gak apa-apa Nduk, kamu ganti baju sana, tapi adikmu ikut ya?” ucap Ayah Nayla, seakan tahu yang dimaksudkan anaknya. “mengajak Haikal Yah? kamu bagaimana Daf?” ucap Nayla takut Dafa tidak nyaman dengan permintaan Ayahnya. “gak apa-apa Nay, tadi Om sudah bilang kok”, ucap Dafa tenang. “oh, ya sudah bentar, aku ganti baju dulu”, ucap Nayla. Dafa mengangguk. Beberapa menit kemudian mereka berdua dengan Haikal berangkat menuju alun-alun. Kali ini mengendarai mobil yang disewa Dafa khusus untuk malam ini. “Daf, kamu dapat mobil dari mana?” tanya Nayla membuka pembicaraan. “oh, ini tadi aku pinjam ke rental, gak apa-apa kan sekali-kali naik mobil. Lagian ini kan malam, dingin kan?”, jawab Dafa santai. “bener juga, sekarang kan udara Blitar lagi dingin-dinginnya, ya ini ‘winternya Blitar’”, ucap Nayla lebih kepada dirinya sendiri. “iya, sayangnya saljunya gak mampir kesini ya?”, ucap Dafa. “hemm iya, mungkin malam ini akan lebih indah jika salju turun”, jawab Nayla. Dafa mengangguk, sambil mengemudikan mobil sesekali dia memandang wajah Nayla, tenang dan seakan tak mau berhenti memandang wajah itu meski sedetikpun. “kak, kita mau kemana?” tanya Haikal polos, menyadarkan Dafa yang asyik memandang Nayla. “oh, kita ke alun-alun Dik, nanti kakak traktir semua yang kamu mau”, jawab Dafa. “beneran kak? hore, nanti aku mau es krim, siomay,” ucap Haikal girang. “Ikal, gak boleh seperti itu, kasihan kak Dafanya harus membayar semuanya, jajan kamu kan banyak?” tegur Nayla pada Haikal yang sedikit mengurangi kegirangannya. “udah Nay, gak apa-apa, tadi aku kan bilang mau mentraktir”, ucap Dafa tenang. “tuh, kak Dafanya aja gak keberatan kakak kok malah yang repot sih? kakak gak mau perhatian kak Dafa teralihkan padaku ya?” goda Haikal. “husss, apa-apaan kamu ini,” ucap Nayla malu-malu. Dafa tersenyum melihat tingkah kakak beradik ini.
Setibanya di Alun-alun, Haikal langsung pergi ke penjual siomay dan memasan siomay kesukaannya. Dafa dan Nayla hanya tersenyum melihat tingkah Haikal. “maafkan adikku ya Daf, morotin kamu nih jadinya?” ucap Nayla. “morotin apa? gak lah, sudah lah anggap aja aku kali ini lagi banyak duit dapat dari undian”, ucap Dafa santai. Nayla tertawa ringan. Mereka menghampiri Haikal yang sedang menunggu pesanannya, dan mereka juga memutuskan untuk ikut memesan siomay yang sama. Sejenak terjadi kebekuan diantara mereka. Mungkin sama-sama grogi, karena ini pertama kalinya Nayla jalan sama cowok di malam minggu. Begitu juga Dafa, ini pertama kalinya dia mengajak cewek jalan. “Nay,” ucap Dafa mencairkan suasana. “iya, kenapa Daf?”, ucap Nayla. “kehidupan kamu itu seperti ini ya?” tanya Dafa. “maksudnya?” balas Nayla. “gini, sehari-hari yang kamu lakukan itu seperti ini, maksudnya? kamu bantu Ayah sama Bundamu, mengaji dan selalu taat beribadah”, jelas Dafa. “oh, iya memang inilah kegiatanku Daf jadi pedagang kasarnya, kalau tidak liburan aku ya jadi mahasiswi, kalau masalah ibadah, itu sih sudah kebutuhan Daf, kebutuhan untuk menjalin hubungan sama Allah”, ucap Nayla santai. “hemm, aku iri Nay, kamu punya keluarga yang sempurna, penuh dengan kebahagiaan, dan sangat religius, beda dengan keluargaku. Mereka lengkap, tapi aku jarang sekali merasakan kehadiran mereka, mereka sibuk dengan bisnis, ibadahpun jarang. Jadi tidak salah kalau aku pun juga jarang Sholat”, jelas Dafa. “hemm, masih belum ada kata terlambat untuk memperbaikinya Daf, kamu harus bisa jadi contoh buat mereka, kamu harus lebih meningkatkan ibadahmu”, tegas Nayla. “iya Nay, akan aku coba, tapi jujur aja, kamu yang sudah mengajariku banyak hal, terimakasih ya?” ucap Dafa.
“terimakasih buat?” tanya Nayla. “buat semuanya, udah menjadi teman selama di Blitar, mengajari banyak hal tentang Islam, yang sebelumnya asing bagiku”, tegas Dafa. “sama-sama Dafa, kamu kan sudah membayarnya dengan ini semua?”, ucap Nayla santai sambil menelangkupkan tangan ke badan. Nampaknya Nayla sudah mulai merasa kedinginan. Dafa menangkap suasana yang dirasakan Nayla “kamu kedinginan Nay, ini pakai jaketku” ucapnya sambil melepas jaket dan mengulurkannya pada Nayla. Nayla sedikit kaget dengan uluran jaket dari Dafa. Tak menyangka cowok disampingnya ini ternyata sweet juga, dengan sedikit ragu Nayla menerimanya. “makasih Daf,” ucap Nayla pelan. Dafa tersenyum “oy, ayo foto-foto dulu buat kenang-kenangan kita di Blitar, Haikal ayo sini kita foto dulu” teriak Dafa pada Haikal yang sedang asyik menikmati siomay. Meraka bertiga larut dalam kegembiraan, dan Dafa mengabadikan semua momen itu di kamera kesayangannya. “Nay,” ucap Dafa pelan. “iya Daf, kenapa?” jawab Nayla santai. “malam ini sekalian aku mau pamit, besok aku mau pulang ke Jakarta, Mamaku kemarin telpon dan menyuruhku cepat pulang. Padahal masih sangat banyak yang ingin aku tahu tentang Blitar, tapi mau bagaimana lagi. Sekali lagi terimakasih Nayla, dengan senang hati kamu mau menemaniku mencari tahu sebagian kecil dari Blitar ini. Aku senang bisa kenal kamu, kamu itu gadis yang berbeda dari kebanyakan gadis yang ku kenal”, ucap Dafa dengan sedikit berat hati. “oh, iya Daf, sama-sama, jadi kamu besok mau pulang? jam berapa?” ucap Nayla. “besok jam 8 aku berangkat ke Bandara Abdurrachman Saleh”, jawab Dafa. “hemm gitu, tapi maaf ya Daf, aku besok gak bisa mengantarkan kamu”, ucap Nayla menyesal. “alah, gak usah gak apa-apa Nay, merepotkan kamu nantinya. Tapi tenang saja Nay, Insya Allah aku akan kembali kesini”, ucap Dafa ceria. “oke Daf, aku tunggu kedatanganmu lagi ya, don’t forget me!!” ucap Nayla sedikit berat. Entah kenapa, tapi baru kali ini dia berat ditinggalkan seorang cowok, sebelumnya belum pernah memang. “pasti itu Nay, oy udah malam kayaknya, kamu juga udah kedinginan, kita pulang ya?” ajak Dafa. Mereka pun mengajak Haikal dan beranjak pergi meninggalkan Alun-alun Kota Blitar. Dan malam itu adalah malam yang sangat mengesankan bagi mereka berdua. Malam minggu yang manis.
Keesokan harinya Dafa pulang ke Jakarta dan Nayla menjalani hari seperti biasanya. Namun hari ini ada rasa kehilangan yang sama di hati mereka. Selama perjalanan, Dafa tak berhenti mengingat momen indahnya di Blitar bersama Nayla melalui kamera kesayangannya. Begitu pun Nayla, kenangan manis dan singkatnya bersama Dafa selalu terbayang di benaknya. Mereka sendiri tidak mengerti arti semua ini.
Hari ini tepat seminggu semenjak kepulangan Dafa. Akhir-akhir ini Nayla memang lebih sering pusing dan tiba-tiba mimisan. Ayah dan Bundanya khawatir dengan kondisi putrinya, mereka mengajak Nayla untuk periksa kedokter. Nayla tidak tahu sakit apa sebenarnya yang dia alami sekarang, dan dokter menganjurkan dia untuk tes darah. Dan tes labaratorium telah selesai dan bisa dilihat hasilnya. Bunda Nayla tiba-tiba menangis setelah membaca hasil tes tersebut. Semakin membuata Nayla penasaran. Setelah Nayla membaca tanpa sadar surat hasil tes tersebut terjatuh dari tangan Nayla.
Sementara di jauh sana di hari yang sama, tiba-tiba Dafa merasakan hatinya terasa sakit. Entah karena apa, namun tiba-tiba terlintas Nayla dalam benaknya. Prasangka buruk pun muncul di pikiran Dafa, “Nayla? ada apa dengan dia? semoga dia baik-baik saja. Ya Allah lindungilah Nayla”, gumamnya dalam hati. Setelah kepulangannya dari Blitar, banyak perubahan pada diri Dafa, kini dia rajin sholat dan tidak pernah bolong lagi, lebih sopan terhadap orang tua, lebih dewasa dan semakin menghargai kehidupan. Dan kini pun dia dipilih oleh Papanya untuk menjadi direktur di kantor cabang. Keluarganya pun kini menjadi lebih hangat dan harmonis. Namun masih ada satu masalah yang belum dapat diselesaikan Dafa. Nayla, ya ini masalah Nayla, seminggu terakhir dia selalu memikirkan Nayla, mungkin dia sedang merasakan rindu. “berada jauh darimu mengajariku arti sebuah kerinduan Nayla” tanpa sadar terlontar guMaman seperti itu dari mulutnya. “kenapa aku ini? apa mungkin ini rasanya jatuh cinta?” tanya Dafa pada diri sendiri. Tiba-tiba ada bisikan halus, sontak membuat Dafa bangkit dari kursinya. “ya, benar aku telah jatuh cinta pada gadis itu”, ucapnya yakin. Tanpa pikir panjang lagi Dafa langsung meninggalkan kantornya dan langsung berangkat ke Blitar. Tak sempat memberitahu Papa dan Mamanya yang masih di kantor, Dafa hanya pamit dengan mereka lewat telpon.
“Nayla, I’m back”, gumam Dafa setelah dia menginjakkan kakinya di Blitar. Tanpa rasa lelah setelah perjalanan yang lumayan menguras tenaga, Dafa langsung pergi kerumah Nayla. Tapi kekecewaan yang dia dapatkan, rumahnya kosong. “kemana Nayla ya?” tanyanya pada diri sendiri. “Mungkin mereka pergi, besok aja aku kesini lagi”, pikirnya. Dafa langsung pergi meninggalkan rumah itu dan pergi mencari penginapan. Tak lama setelah Dafa pergi, Nayla dan keluarga tiba dirumah. Tampak jelas kesedihan di raut wajah keluarga ini. Mereka turun dengan memapah Nayla yang terlihat sangat lemah. Tak ada yang berbicara di antara mereka selama perjalanan menuju kamar Nayla. setelah sekian menit sunyi, tiba-tiba ponsel Nayla berbunyi sedikit mengejutkan semua yang ada di kamar itu. “Assalamu’alaikum Nay, bagaimana keadaan kamu? tadi aku ke rumah kamu tapi kayaknya rumah kamu kosong, besok aku ke rumah kamu ya? ada yang ingin aku sampaikan” ucap suara di ujung sana dengan ceria. Nayla yakin ini suara yang tak asing baginya, raut wajahnya berubah sedikit ceria, meski tak bisa dipungkiri bahwa dia sekarang sedang lemah. “Wa’alaiku salam, Alhamdulillah sehat Daf, kamu sendiri bagaimana?” ucap Nayla dengan suara pelan. “gak kok Daf, ini cuma sedikit flu aja, jadi sedikit serak suaranya. Tapi maaf sebelumnya Daf, kamu besok jangan kemari ya? gak apa-apa, pokoknya jangan kemari aja, lain kali kita ketemu ya nanti aku sms kapannya. Udah ya, Wassalamu’alaikum” ucap Nayla sedikit terburu-turu tidak mau sampai Dafa mengetahui keadaannya yang sebenarnya. “Yah, Bun, Ikal, Nay minta tolong jangan sampai Dafa mengetahui semuanya ini”, ucap Nayla pada seluruh keluarganya. Semua mengangguk dan peluk hangat mengiringi setelahnya.
“hah? kenapa tidak boleh Nay?” tanya Dafa penuh tanya dan sedikit nada kecewa. “wa’alaikumsalam”, ucap Dafa lemas sambil menutup ponselnya. “Kenapa? apa yang terjadi pada Nayla, kenapa aku tidak boleh kerumahnya besok? aneh? lalu tadi suara dia kok berbeda, seperti sedang sakit. Atau jangan-jangan dia sakit?” gumam Dafa bertanya-tanya pada diri sendiri. “kalau gak boleh kerumahnya besok aku ke kiosnya aja” ucapnya dengan ceria. Seperti sedang mendapatkan jalan keluar dari labirin.
Keesokan harinya Dafa datang ke kios milik Ayah Nayla, namun disana dia tidak menjumpai Nayla, dia hanya bertemu dengan Ayahnya. Mereka sempat berbincang-bincang sedikit. Kata Ayah Nayla, saat ini Nayla sedang pergi ke rumah bibinya berlibur, dan tidak bisa diganggu. Dafa sedikit kecewa, namun dia memahami itu. Selama 5 hari dia tidak menghubungi Nayla, memberikan Nayla watku untuk berlibur. Dia mengisi waktunya untuk berkeliling Blitar, sekaligus mengenang kenangan bersama Nayla. Tiba-tiba sebuah pesan memenuhi layar ponselnya. Raut wajahnya yang semula sedikit buram, kini berubah ceria. Sms dari Nayla, dia mengajak Dafa bertemu di PBK, tempat mereka pertama kali bertemu dulu. Tanpa menunggu lama Dafa langsung bangkit dan pergi ke PBK. Menurutnya ini waktu yang tepat dia harus mengungkapkan perasaannya pada Nayla sekarang.
Selama 5 hari perasaan bersalah menghantui Nayla, dan hari dia beranikan diri untuk bertemu dengan Dafa. Dia tidak boleh berbohong terus seperti ini. Dia harus menjelaskan semuanya. Setelah bertemu, mereka berbincang-bincang melepas kangen. Nayla berusaha bersikap seperti biasa, meski sebenarnya dia sedang menahan rasa sakit. “Nay kamu kok pucat, sakit ya?” tanya Dafa. “enggak kok Daf, sehat kok” ucap Nayla pelan. “oy, ada,” ucap Dafa dan Nayla tanpa sengaja bersama-sama. Mereka tersenyum tersipu malu. “kamu aja dulu Daf”, ucap Nayla. “gak apa-apa nih aku dulu? gini Nay, selama aku di Jakarta, aku kok merasakan rindu yang amat berat padamu, sebelumnya aku belum pernah merasakan seperti ini, kamu itu punya sesuatu yang bisa membuatku tertarik, tapi aku tidak tahu sesuatu apa itu. Aku kira aku kena virus cinta kamu Nay, jadi izinkan aku mencintaimu Nayla?” ucap Dafa tegas. Perkataan Dafa sontak membuat Nayla kaget, kenapa perasaan yang dia rasakan sama dengan Dafa. Tapi menurutnya semua itu tidak mungkin terjadi, waktunya sudah sempit. Dia tidak bisa menerima Dafa, dia tidak mau mengecewakan Dafa. Dia tidak mau Dafa bersedih karenanya. Nayla bingun apa yang harus dia lakukan. “Nayla,” panggil Dafa menyadarkan Nayla dari kemelut yang ada dalam pikirannya. Nayla tahu apa yang harus dia katakan sekarang “Dafa, aku hargai sekali perasaan kamu, aku berterima kasih kamu mau mencintai gadis kampung seperti aku yang jelas-jelas jauh berbeda dengan cewek-cewek di kota. Memang perasaan cinta itu tidak dapat disalahkan. Tapi maaf sekali Daf, aku tidak bisa mengizinkan kamu mencintaiku, karena besok aku akan di Khitbah seseorang, jadi aku tidak bisa. Maafkan aku Daf, mungkin hari ini pertemuan terakhir kita disini di tempat pertama kita bertemu. Aku senang bisa mengenalmu. Selamat tinggal Dafa,”, ucap Nayla dengan berat dan terisak sambil beranjak pergi meninggalkan Dafa yang masih duduk terpaku sendiri.
Hari ini Dafa merasakan seperti apa petir yang menyambar dirinya. “Nayla besok di Khitbah? aku terlambat? bodohnya aku, kenapa gak dari dulu aku menyadari perasaanku?” gumamnya mulai menyalahkan diri. Tubuhnya mulai merasakan lemas, terlebih lagi jantungnya seperti tak bisa berdetak lagi. Dafa baru mulai melangkah meninggalkan tempatnya setelah langit kota Blitar ikut menangis bersamanya. Dengan tubuh yang lesu Dafa kembali ke penginapan, dan dia langsung mengambil wudhu. Dia yakin sholat adalah cara ampuh untuk mengobati rasa sakitnya. Diatas sajadahnya Dafa menangis mengadu kepada pemilik kehidupan. Setelah selesai acara curhat langsungnya bersama Allah, Dafa mulai membaca Al-Qur’an. Dan benar hatinya terasa jauh lebih tenang. Kini dia mulai punya roh lagi untuk hidup, meski hatinya masih terkoyak, tapi dia percaya rencana Allah akan jauh lebih indah di balik ini semua.
Keesokan harinya Dafa berencana untuk pulang ke Jakarta, karena keberadaannya di Blitar sudah tak penting lagi, dia juga tidak sanggup melihat pujaan hatinya di Khitbah lelaki lain, bukan dirinya. Namun dia memutuskan untuk pergi ke PBK dulu untuk mengucapkan selamat tinggal pada tempat penuh kenangan baginya yang sudah menjadi saksi pertemuannya dengan Nayla. Mungkin setelah ini Dafa tak akan lagi menginjakkan kaki di Blitar, karena terlalu banyak kenangan di sini dan akan sulit baginya untuk melupakan Nayla. Blitar selamanya akan jadi kota termanis baginya. Namun di tengah perjalanannya, karena Dafa mengendarai mobil sewaannya dengan sedikit tidak konsentrasi, akhirnya Dafa menabrak seorang bapak-bapak yang sedang menyebrang. Bapak-bapak itu pingsan dan terluka ringan. Dafa dengan sigap membawa bapak itu ke RS.
Ternyata dihari dan RS yang sama Nayla juga sedang menjalani kemotherapy. Tanpa sengaja Dafa bertemu dengan Ayah dan Bunda Nayla yang sedang menunggu Nayla yang tengah menjalani therapy. “Assalamu’alaikum, Om, Tante, disini juga?” tegur Dafa. “wa’alaikumsalam, lho kamu Le, kamu kok juga ada disini? kamu sakit?” jawab Ayah Nayla. “oh, tidak Om, tadi ada sedikit musibah, Dafa menabrak orang, tapi Alhamdulillah lukanya hanya ringan dan sudah boleh pulang. Lalu Om, sama Tante disini, siapa yang sakit Om? Nayla ya Om?”, jelas Dafa sekaligus bertanya penasaran. Ayah dan Bunda Nayla bingun harus berbicara apa pada Dafa, karena mereka sudah diminta Nayla untuk merahasiakan sakitnya, tapi mereka tidak tega melihat Dafa yang terlihat khawatir dengan keadaan Nayla. “Om, Tante?” tegur Dafa menyadarkan Ayah dan Bunda Nayla dari pikiran mereka masing-masing. “eh, iya Le, Nayla sakit”, jawab Bunda Nayla. “Astaghfirullah hal ‘adzim, sakit apa Tante? bukankan hari ini Nayla mau di Khitbah seseorang?” ucap Dafa semakin khawatir. “di Khitbah Le?” tanya Ayah Nayla. “iya Om, kemarin Nayla bilang sama Dafa begitu, dia tidak bisa bertemu dengan Dafa lagi. Padahal kalau boleh jujur Om, Tante, Dafa juga mencintai Nayla, tapi sudah di dahului orang lain, Dafa kalah cepat”, Ucap Dafa sambil sedikit tersenyum. “Astaghfirullah hal ‘adzim, Nduk,” ucap Bunda Nayla dan mulai meneteskan air mata. Mereka semakin tidak tega harus membohongi Dafa lagi, dan mereka memutuskan untuk menceritakan semua pada Dafa. Semua penderitaan yang dialami Nayla, Leukimia yang dideritanya sekarang dan sakit yang harus jalani Nayla saat kemotherapy. Tanpa sadar air mata menetes di pipi mereka bertiga, semua larut dalam kesedihan. “Astaghfirullah hal ‘adzim, Nayla, kenapa harus bohong sih? Ya Allah, dia benar-benar gadis yang tegar, lindungilah dia”, ucap Dafa menyesali kebohongan Nayla. Karena semua itu semakin membuat Dafa yakin akan cintanya pada Nayla. “Om, izinkan Dafa menemani sisa waktu Nayla ya?” ucap Dafa pada Ayah Nayla. Dengan sedikit terisak Ayah Nayla mengangguk dan mengizinkan permintaan Dafa, karena dia tahu perasaan Dafa pada Nayla sangat tulus. Akhirnya kepulangan Dafa yang rencananya hari ini harus diundur.
Setelah Nayla selesai menjalani kemotherapy, dia kemudian dirawat sementara di kamar inap. Saat pertama kali Nayla membuka mata, dia terkejut melihat sosok Dafa di sampingnya. “Astaghfirullah hal ‘adzim, kenapa ada bayangan Dafa disini? aku terlalu memikirkan dia ini” gumam Nayla lebih kepada diri sendiri. Dafa, Ayah dan Bunda Nayla hanya tersenyum mendengar ucapan Nayla. “Nayla, ini bukan bayangan, ini beneran”, ucap Dafa menjelaskan pada Nayla. “Gak mungkin, pasti aku cuma ngigo”, ucap Nayla. “enggak, kalau gak percaya cubit aja pipi kamu?” ucap Dafa. Nayla menurut ucapannya. Dan akhirnya percaya kalau ini nyata. “kamu, kok disini Dafa? tahu dari mana?” tanya Nayla lemah. “kemarin katanya kamu mau di Khitbah, nih sekarang aku mau Khitbah kamu?” ucap Dafa santai. Nayla terkejut mendengar ucapan Dafa. Dan dia mulai menitihkan air mata. “kok malah nangis Nayla, asal kamu tahu Nay, meski nanti kamu bakal jelek karena kemotherapy, atau separah apapun sakitmu, semuanya itu gak akan mengurangi cintaku ke kamu”, ucap Dafa. “tapi Dafa, semuanya ini gak akan lama, aku gak mau membuat kamu sedih karena kepergianku”, elak Nayla. “kamu salah Nayla, aku bakal lebih sedih jika aku tidak bisa menemani kamu menjalani semua ini”, tegas Dafa dengan air mata yang mulai mengalir. “terimakasih Daf, kamu sudah mencintaiku, dan kamu mau merelakan waktumu di sisa hidupku”, ucap Nayla. “gak akan pernah aku meninggalakan kamu sendiri lagi Nay. Jadi? aku resmi nih meminang kamu, yah meski tempatnya gak romantis”, ucap Dafa mulai mencairkan suasana penuh haru itu. “hemm, Ayah , Bunda pripun?” ucap Nayla pada Ayah dan Bundanya. Ayah dan Bundanya mengangguk dan tersenyum bahagia. “ye, Akhirnya aku gak jadi patah hati”, ucap Dafa girang. Membuat Nayla dan orang tuanya tersenyum menyaksikan tingkahnya.
Semenjak hari itu, tak pernah seharipun tak Dafa lewatkan untuk menemani Nayla. Nayla tampak begitu bahagia, begitupun Dafa. Namun kondisi Nayla tak bersahabat, semakin hari semakin memburuk. Namun Nayla tetap tegar karena ada banyak orang yang menyayanginya. Suatu hari dalam sebuah perbincangan Dafa dan Nayla, “Dafa,” ucap Nayla pelan. “iya, kenapa Nayla,” balas Dafa. “aku pengen banget deh bisa menghafal Al- Qur’an, tapi sempat gak ya waktunya?” ucap Nayla. “tenang saja Nayla, masih ada banyak waktu, kamu pasti sembuh, dan yang perlu kamu tahu aku tetap mencintaimu”, ucap Dafa menenangkan Nayla. “aku juga mencintaimu Daf”, ucap Nayla pelan. Mereka saling pandang penuh arti. “eghm, masih belum mukhrim lho kak,” suara Haikal mengejutkan mereka dan segera menyadarkan mereka, dan membuat mereka tersipu malu. “eh, kamu Dik, udah selesai sekolahnya”, tanya Dafa ramah mencoba menutupi saltingnya, terlihat akrab seperti adek sendiri. “sudah kak, tadi gak ada tambahan pelajaran”, ucap Haikal santai. Mereka bertigapun asyik berbincang dan bersenda gurau. Namun tadi yang semula Nayla tersenyum tiba-tiba dia merasa pusing dan mulai mimisan. Dafa tak bisa berbuat apa-apa karena dia tidak boleh memgang Nayla yang belum jadi mukhrimnya. Padahal dia sangat khawatir pada Nayla. Dafa akhirnya meminta Haikal untuk memanggilkan Ayah dan Bunda Nayla. Dan Nayla di bawa ke RS. Kali ini Nayla benar-benar kritis, semua khawatir dengan keadaannya. Hingga akhirnya dokter keluar dan memberitahukan sudah tidak ada harapan lagi untuk Nayla, semua menangis, dan mulai memasuki ruangan. Nayla tampak begitu lemah dengan berbagai alat masih berada di tubuhnya. Dafa tidak tega melihat keadaan Nayla seperti ini. “Nay, kalau kamu mau, bagi sakitmu untukku Nay, biar kita bisa merasakan hal yang sama”, ucap Dafa. Nayla begitu lemah suaranya terdengar sangat pelan. “terimakasih Dafa, Ayah, Bunda, Ikal, untuk semuanya, maafkan Nayla, ini sudah waktunya, Nayla pamit, Lailahaillallah”, dengan terbata-bata Nayla mengucapkan kata terakhirnya, dan dia pergi untuk selama-lamanya dengan senyum manis mengembang di bibirnya. Semua berteriak, tangis pecah dalam rungan itu. Selamat tinggal Nayla. Semenjak saat itu Dafa menjadi seorang yang taat beribadah dan dia berencana mewujudkan cita-cita Nayla untuk bisa menghafal Al-Qur’an. Mama dan Papanya pun mendukung sepenuhnya keputusan Dafa. Dan bagi Dafa mengenal Nayla adalah anugrah terindah yang pernah dia terima, Blitar akan jadi kota kesayangannya, dan kota kenangannya bersama Nayla. Kenangan terindah saat ‘Winter in Blitar’.
Selesai
Cerpen Karangan: Fitria Choirunnisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar