Rabu, 13 November 2013

Cerpen - Bunga Untuk Bunda

Matanya tak kuasa menahan air mata setiap kali ia mengingat kejadian itu. kejadian yang hingga saat ini masih membuatnya menyesal. Rasa kehilangan itu baru terasa jika orang yang kita cintai sudah tiada, mungkin itulah yang ia rasakan saat ini. Ibu yang sangat mencintainya selama ini sudah pergi meninggalkan dia untuk selamanya. Mungkin Tuhan lebih menyayanginya dan tidak ingin orang sebaik ibunya tersakiti oleh perilaku anaknya sendiri. Rena biasa gadis itu di panggil sangat menyesal akan hal itu dan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri atas segala yang telah terjadi.
Kamu kenapa Ren? Tanya Hani teman sekantornya.
Rena yang terus meneteskan air mata tidak menyadari bahwa Hani telah memperhatikannya dari tadi. gak apa-apa Mba” jawab Rena sambil mengusap air matanya.
Rena menghela nafasnya panjang dan kembali teringat kejadian yang membuatnya menyesal hingga saat ini. Lamunannya kembali ke masa saat ibunya masih ada.
Rena memiliki seorang ibu yang sangat mencintainya, dari kecil ia hidup berdua dengannya tanpa seorang ayah karena ayahnya telah meninggal sewaktu ia masih dalam kandungan. Ibunya adalah seorang pekerja keras yang rela melakukan apa pun demi memenuhi keinginan anaknya. Dari kecil ibunya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Rena meskipun harus dengan keringat dan air mata. Namun Rena tidak pernah menyadari akan hal itu, justru ia malah membencinya karena ibunya hanyalah seorang buruh cuci di matanya. Ia selalu bertindak kasar kepada ibunya bukan hanya kata-kata tapi perilaku juga yang tidak sepantasnya di lakukan.
Di sekolah Rena termasuk murid yang pintar, ia selalu mendapatkan juara di kelas bahkan juara umum di sekolah. Dari SD sampai SMA ia tak pernah absen menjadi juara umum. Pernah suatu kali ketika Rena SMP wali kelasnya mengundang secara khusus orang tuanya untuk datang ke sekolah untuk memberikan sambutan sebagai orang tua dari murid berprestasi. Namun Rena malah membuang surat itu dan tidak memberitahukan kepada ibunya. Ia berbohong pada gurunya dan mengatakan ibunya tidak bisa hadir karena sakit. Padahal alasannya adalah karena ia malu jika semua orang tahu bahwa ibunya hanyalah seorang janda buruh cuci.
Selama sekolah Rena selalu melarang ibunya datang ke sekolah dengan alasan “tidak penting ibu datang ataupun tidak ke sekolah” ujarnya. Saat ia mengatakan itu ibunya hanya tersenyum dan berkata “tidak apa-apa jika itu maumu”. Rena juga bisa melanjutkan kuliah karena mendapatkan beasiswa dari pemerintah dan ia merasa bahwa ia bisa hidup sendiri tanpa ibunya karena dengan kepintaran yang dia miliki ia bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Setelah memutuskan untuk kuliah ia pun pergi meninggalkan ibunya sendiri.
Selama 4 tahun menuntut ilmu ia hanya pulang dua tahun sekali itupun jarang di lakukan karena kesibukannya selain kuliah juga bekerja sampingan. Bahkan Rena pun juga melarang ibunya datang untuk menengok karena ia tidak mau sampai teman-temannya tahu ibunya hanyalah seorang buruh cuci. Setiap bulan sang ibu selalu mengirimkan surat hanya untuk menanyakan kabar nya di sini bahkan ia selalu menyelipkan uang di setiap akhir suratnya. Rena tidak pernah membalasnya bahkan membukanya sekalipun. Pernah satu kali ia membalas surat ibunya dan hanya mengatakan “IBU TIDAK USAH MENGIRIMKANKU SURAT LAGI, AKU BOSAN MEMBACANYA” Namun ibunya tetap mengirimkan Rena surat meskipun ia tahu bahwa anaknya tidak pernah membacanya.
Setiap kali Rena pulang ibunya selalu menyiapkan makanan kesukaannya di meja makan. Ibunya bahkan rela menunggunya di depan pintu untuk melihatnya pulang sambil memeluknya. Namun Rena tidak pernah menghiraukannya, setiap ia pulang ia langsung masuk ke kamar tanpa memeluknya bahkan mengucapkan apapun. Namun ibunya terus membujuk Rena untuk keluar agar mau makan bersama-sama. Tapi Rena malah memakinya “aku capek bu baru pulang kalau ibu mau makan, makan saja sendiri toh ibu juga selama ini bisa melakukannya sendiri kan” ucapnya dengan nada marah. Ibunya hanya mengelus dadan seraya berkata “sesekali ibu ingin makan bersamamu” sambil meneteskan air mata. Dan Rena sama sekali tidak memperdulikannya. Dan setiap kali pulang selalu seperti itu perlakuannya pada ibunya.
Suatu ketika saat Rena pulang ke rumah, ibunya mencuci pakaiannya yang kotor tanpa sepengetahuan Rena. Dan ternyata baju itu sobek kena paku saat menjemurnya. Rena langsung memakinya dengan membabi buta. Ia memarahinya dengan mengatakan kata-kata kasar yang tidak sepantasnya. “Itu adalah baju yang aku beli pakai uangku sendiri dengan susah payah, karena baju itu adalah baju termahal yang pernah aku beli” ujarnya dengan penuh kemarahan, bahkan mungkin ibunya tidak akan mampu membelikannya selama ini. Mendengar makian anaknya itu sang ibu langsung membentaknya, Rena tidak pernah melihat ibunya semarah itu. “apa yang kamu katakan barusan nak, selama ini ibu tidak pernah mengajarimu seperti itu. Kamu sudah cukup keterlaluan selama ini, ibu tidak pernah menyangka kamu akan tumbuh menjadi anak yang kurang ajar seperti ini”. ucapan itu selalu terngiang di telinganya selama ini. Setelah kejadian itu ia langsung pergi dari rumah tanpa pamit dan tanpa menghiraukan ibunya yang menangis saat itu.
Setelah kejadian itu Rena sangat jarang pulang ke rumah bahkan di hari lebaran sekalipun. Saat itu ibunya masih terus mengirimku surat setiap bulan, namun justru ia tidak menghiraukannya sama sekali. Sampai Rena lulus kuliah dan bekerja di salah perusahaan terbesar di Jakarta sebelum ia pindah bekerja di sini Rena tidak pernah menengok ibunya bahkan membalas suratnya sekalipun. Di sana ia mempunyai teman bernama Yola. Yola adalah teman baiknya semenjak pertama ia bekerja disana. Suatu ketika saat Yola main ke kosannya, Yola tak sengaja melihat surat-surat yang ibunya kirim selama ini. Rena memang tidak pernah membacanya sama sekali tapi ia juga tidak sampai hati membuangnya, ia simpan rapi di sebuah kotak. Yola lalu membuka dan membaca surat-surat itu. Setelah ia membaca surat-surat itu ia kemudian bertanya “ibu kamu masih hidup Ren?” Rena begitu kaget mendengar pertanyaan Yola yang tiba-tiba menanyakan itu padanya. “Entahlah aku belum sempat menengoknya lagi karena kerjaanku kan banyak, jadi belum ada waktu” jawabnya santai. Kenapa kamu bertanya itu? tanya nya penasaran.
Yola langsung melihat ke arah jendela sambil mengatakan “aku iri sama kamu Ren, kamu memiliki seorang ibu yang sangat menyayangimu bahkan lebih dari nyawanya sendiri. Ibumu yang begitu baik, sabar, tabah dan teramat menyayangimu sampai rela mengorbankan dirinya demi kamu”. Rena semakin bingung dengan apa yang di katakan Yola tentang ibunya, Rena tidak pernah menceritakan apapun tentang ibunya kepada Yola. Kenapa kamu bisa seyakin itu tentang ibuku? Tanyanya aneh. “Dengan membaca surat-surat dari ibumu saja aku bisa merasakannya, apalagi kamu anaknya mungkin akan lebih memahaminya” ucapnya lagi. “tapi asal kamu tahu aku tidak bisa memaafkannya sampai saat ini karena kesalahannya” jawabnya lirih. “kamu harusnya beruntung memiliki ibu seperti dia, yang selalu menyayangi dan tetap mencintaimu tanpa alasan” Yola melanjutkan perkataanya. “dari kecil aku tidak pernah merasakan apa yang seperti ibu kamu lakukan selama ini, karena sampai detik ini pun aku tidak pernah melihat ibuku seperti apa tapi aku yakin ia juga pasti akan menyayangiku dan menjagaku seperti apa yang di lakukan ibumu, tapi sayang aku tidak sempat melihat bahkan mendengar nasihat dari ibuku sampai saat ini. “Aku tidak tahu seperti apa dia dan bagaimana dia, karena aku telah kehilangan ia sejak aku dilahirkan” ucap Yola sambil meneteskan air mata.
Mendengar ucapan Yola ia merasa ada sesuatu hal yang tidak ia ketahui tentang ibunya selama ini. Rena bertanya-tanya dalam hati sebenarnya apa yang terjadi pada ibunya. Setelah Yola pulang Rena hanya diam dan selalu terngiang apa yang diucapkan Yola tadi. Ia semakin penasaran tentang keadaan ibunya. Kemudian Rena langsung membuka surat-surat dari ibunya selama ini yang hanya ia simpan dan tak pernah ia hiraukan. Dan Rena pun mulai membaca satu persatu surat itu. Disana tertulis
15 Mei 2002
Anakku terkasih… bagaimana kabarmu nak? Apa kamu baik-baik saja. Ibu sangat rindu sama kamu, padahal baru satu minggu ibu tidak melihatmu berada di rumah. Tapi rasanya sudah setahun ibu tidak berjumpa denganmu. Kapan kamu pulang ke rumah? Nanti ibu siapin makanan kesukaan kamu. Ibu akan selalu menunggumu nak.
Dari ibu yang merindukanmu
Rena tak kuasa menahan air mata saat membaca surat itu.
Kemudian ia terus melanjutkan membaca surat-surat yang lainnya. Matanya tertuju pada surat yang ibunya kirim setelah ia memutuskan pergi dari rumah untuk selamanya karena kejadian waktu itu. Ia membuka surat itu dengan gemetar dan di dalam surat itu tertulis kata-kata yang membuat dadanya sakit, sakit sekali. Di surat itu bertuliskan
20 Juli 2004
Anakku terkasih… maafkan ibu nak atas kejadian tempo itu. ibu sungguh tidak bermaksud untuk merusak baju kesayanganmu. Ibu melihat kamu sangat lelah saat itu, untuk itu ibu bermaksud mencuci pakaianmu tapi ibu tidak sengaja merusaknya. Ibu sungguh minta maaf nak. Ibu janji ibu akan mengganti bajumu kembali, mungkin tidak akan sama persis tapi ibu akan berusaha mencari uang agar bisa membeli baju kesayanganmu yang sama seperti itu, ibu janji nak. Kamu segera pulang nak, ibu sangat merindukanmu. Ibu tidak pernah marah atas ucapanmu nak, ibu tidak akan bisa membencimu karena buat ibu kamu adalah satu-satunya harta paling berharga di dunia ini. maafkan ibu nak, maafkan ibu.
Ibumu yang selalu menantimu pulang
Air matanya tak berhenti menetes membaca surat itu. Sungguh ia merasa sangat berdosa pada ibunya. Ibunya yang sangat menyayanginya bahkan teramat menyayangi hingga ia tidak bisa marah meskipun Rena telah berbuat kejam padanya.
Dan ia pun membaca surat terakhir yang ibuku kirim sebelum ia pindah ke sini, karena ibunya tidak tahu alamatnya yang sekarang. Surat itu di kirim sekitar satu bulan yang lalu.
5 April 2005
Anakku terkasih… yang paling ibu sayangi. Saat ini kamu pasti sudah meyelesaikan kuliahmu. Ibu yakin pasti nilai-nilaimu membanggakan, ibu tidak pernah meragukan itu. Sebenarnya ibu ingin sekali melihatmu memakai toga dan pakaian wisuda, pasti kamu sangat cantik sekali. Tapi sayang ibu tidak bisa melihatmu, namun ibu akan selalu berdoa yang terbaik untukmu nak. Ibu yakin kamu akan menjadi orang sukses seperti cita-citamu dulu, ibu ingat kamu pernah mengatakan bahwa kamu tidak ingin seperti ibu yang hidup sengsara dan penuh dengan kesusahan. Tuhan pasti mengabulkan do’a mu nak karena dalam hati ibu selalu mengamininya. Anakku yang cantik ibu sangat merindukanmu pulang, sudah dua tahun ibu tidak pernah berjumpa denganmu. Ibu hanya takut ibu tidak bisa melihatmu lagi. Ibu tidak akan meminta apapun kepadamu nak, ibu hanya ingin kamu segera pulang. Kalau boleh ibu meminta sesuatu kepadamu, satu yang ibu pinta ibu ingin sekali kamu kirim bunga untuk ibu, itupun jika kamu tidak keberatan nak. Rena anakku ibu hanya ingin mengatakan bahwa ibu sangat menyayangimu melebihi apapun. Ibu minta maaf jika selama ini kamu menanggung malu karena memiliki orang tua seperti ibu. Ibu minta maaf nak selama ini telah membebanimu dengan rasa itu. ibu yakin nanti anakmu akan lebih bahagia memiliki ibu sepertimu.
Ibu
Rena semakin tak kuasa membendung air matanya membaca surat yang terakhir ini. Surat yang membuatnya semakin sadar bahwa ia adalah orang bodoh yang selama ini menyia-nyiakan wanita selembut ibunya. Sungguh ia ingin sekali meminta maaf kepada ibunya atas selama ini yang telah ia lakukan. Rena ingin segera memeluknya dan ia ingin mencium kakinya.
Keesokan harinya tanpa berfikir panjang ia putuskan untuk menengok ibunya dan ingin sekali bersujud di kakinya. Rena pun tidak lupa dengan permintaan ibunya untuk membelikannya bunga. Ia pulang dengan hati yang penuh harap semoga ibunya mau memaafkannya.
Sesampainya di rumah Rena melihat sekeliling ruangan masih sama seperti sebelum ia pergi saat itu, tidak ada yang berubah sama sekali. Hanya saja ia tidak melihat ibunya di sana, biasanya ketika Rena pulang ibunya selalu berada di depan pintu untuk menunggu. Tapi sekarang tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Rena pun langsung menuju kamarnya tapi tetap ibunya tidak ada di sana, hanya saja ia melihat satu baju yang menggantung di dinding dekat kamarnya. Baju yang sama seperti baju kesayangannya yang robek waktu itu. Ibunya benar-benar menepati janjinya di surat itu, ia membeli baju yang sama untuk Rena, persis sama. Ibunya rela berkorban membeli baju itu, dan ia yakin ibunya berusaha setengah mati mengumpulkan uang untuk membeli baju itu.
Tak sadar air matanya sudah membasahi pipi. Tapi kemana ibu, ia ingin sekali meminta maaf padanya, ia ingin segera mencium kakinya. Rena beranjak keluar memanggil-manggil ibunya tapi tidak ada jawaban sama sekali. Lalu ia pergi kerumah Mba Sita tetangga dekatnya. Rena langsung menanyakan keberadaan ibunya pada Mba Sita, namun hari itu seakan ada petir yang menyambar setelah ia mendengar bahwa ibunya telah meninggal satu minggu yang lalu. Air matanya terus membanjiri pipinya yang tak kuasa mendengar kabar itu. Tubuhnya terasa lemas dan dadanya terasa sakit sekali, ia terlambat untuk mengucapkan maaf pada ibunya.
Kemudian Mba Sita mengantar Rena ke makam dengan membawa bunga yang ibunya pinta pada Rena waktu itu. Dan tanpa sadar ia langsung menangis menjerit-jerit di pusaran sang ibu. Ternyata surat terakhir yang ibunya kirim adalah surat terakhir untuknya dan bunga yang ibunya pinta ialah bunga untuk taburan tempat istirahat terakhirnya. Rena sungguh menyesal baru sadar saat ini, saat ibunya sudah tiada. Ia menyesal telah melewatkan ratusan detik bersamanya ketika ibunya masih ada. Rena sangat meyesal sekali.
Jika ia bisa memutar waktu kembali ia hanya ingin sebentar saja bisa memeluk ibunya dan meminta maaf padanya. Ia hanya ingin ibunya tahu bahwa ia sangat bahagia memiliki ibu seperti dirinya. Tapi itu tidak akan pernah mungkin terjadi, kini ibunya telah tiada dan tidak ada orang yang pernah bisa menggantikannya”. Air mata Rena terus mengalir tiada henti mengingat kejadian satu tahun yang lalu itu. Kejadian itu masih membekas jelas di ingatannya hingga kini.
Dalam hatinya ia berkata “ya Allah andai kau pinjamkan hati ibuku sebentar untukku mungkin aku akan paham betapa beratnya beban yang ia tanggung selama ini demi aku. Ibu… maafkan aku yang membencimu ketika kau memarahiku, kini aku merindukan marahmu itu ibu”.
Cerpen Karangan: Kastia Ratnasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar