Jumat, 15 November 2013

Cerpen - Cinta Terdalam

Ketika polisi tiba di tempat itu, mereka hanya menemukan 2 jasad yang telah mati. Dua-duanya dengan luka tusuk tepat di jantung. Darah menggenang di sekitarnya. Keduanya terbaring berdampingan, dengan ujung jari tangan kiri si wanita bersentuhan dengan ujung jari kanan si lelaki. Dan di ujung jari tangan kanan si wanita tergeletak pisau yang penuh dengan sidik jarinya.
Pihak polisi hampir tak memerlukan waktu lama untuk menyimpulkan kejadian itu dengan sang wanita yang menjadi tersangka utama. Ia membunuh si lelaki entah dengan motif apa. Lalu membunuh dirinya sendiri, juga dengan motif yang belum di ketahui. Polisi berkesimpulan demikian karena tak di temukan jejak perkelahian di tempat kejaian perkara. Hanya ada satu cangkir kopi yang tergeletak miring (sepertinya jatuh dari meja di sampingnya) selain itu hampir tak ada barang yang pecah maupun rusak yang di temukan di lokasi kejadian. Juga tak ada bekas-bekas masuk paksa di pintu atau jendela. Begitu pula tak ada satupun barang yang hilang. Sehingga tak ada dugaan perampokan dalam kasus ini.
Namun kejadian itu menyisakan banyak tanya bagi orang-orang yang mengenal pasangan tersebut. Selama ini mereka selalu bersama dan terlihat baik-baik saja. Tak pernah terdengar salah satunya mengeluhkan yang lainnya.
“Tapi itu kan lebih karena mereka saling menjaga” Ucap seorang lelaki di warung kopi.
“Maksudku, itu menunjukkan bahwa mereka mengerti tentang saling menerima kekurangan dan saling melengkapi satu sama lain” Ujar teman duduknya coba menguatkan argumen.
“Justru itu masalahnya. Mereka memendamnya telalu dalam hingga menjadi semacam bom waktu” Kata lelaki itu tak acuh.
Tapi sejauh manapun orang-orang berpendapat. Seliar apapun dugaan mereka. Dan sebaik apapun sangkaan mereka. Satu hal yang tak bisa di ingkari adalah pisau itu telah menembus jantung kedua kekasih itu dan sidik jari yang tertinggal menunjukkan siapa yang melakukannya.
“Kalau ku pikir-pikir, wanita itu sebetulnya memang sedikit agak aneh” Kata seorang ibu yang sedang memilih mentimun di tukang sayur keliling
“Aneh bagaimana?” Sambar ibu lain yang berdaster biru.
“Maksudku… coba saja perhatikan. Sejak mereka bersama, aku tak pernah lagi melihat wanita itu mengobrol cukup lama dengan orang lain” Lanjutnya. Tangannya telah menemukan mentimun besar pilihannya.
“Iya benar, seolah-olah dia menganggap tak bisa bernafas bila mereka tidak berdekatan” Timpal ibu daster biru.
“Hahahaha…” Si mamang tukang sayur tergelak “Ibu-ibu ini kebanyakan nonton sinetron sih ah…!”
Akhirnya si wanita pun menjadi tersangka tanpa pernah bisa membela diri. Karena semua bukti mengarah padanya, dan tak ada satu pun saksi mata yang bisa mengatakan yang sebenarnya. Tak ada satu pun yang melihat kejadian itu. Kecuali aku.
Ya… aku. Hanya aku yang menyaksikannya. Dari awal hingga akhir. Aku melihatnya tepat di depan mataku, dari tempatku berbaring setiap harinya. Aku melihat dan mendengar ketika lelaki itu berkata pada si wanita
“Maaf, tak ada lagi yang dapat ku lakukan. Aku tak bisa lagi menjalani hidup jika ku tahu itu hanya akan menyakitimu” Lelaki itu berkata pelan dengan tatapan tepat ke mata si wanita.
“Jangan…” Si wanita menangis demi mengetahui apa yang akan terjadi.
“Kau pantas bahagia, wajah cantikmu itu terlalu indah untuk di basahi dengan airmata luka” Si lelaki tak melepaskan pandangannya sesenti pun dari mata basah si wanita.
“Jangan…” wanita itu mulai terisak.
“Jika saja ku mampu, aku hanya akan berjalan pergi dan hidup di belahan bumi yang lain. Namun nyatanya, aku tak kan mungkin sanggup membayangkan kau bersama orang lain” Lelaki itu terpejam seolah menahan pedih irisan hati.
“Jangan…” Betapa banyak pun yang ingin diucapkannya, hanya itulah yang keluar dari mulut wanita itu.
“Aku tak kan mungkin hidup tanpa menjadi gila jika ku tahu kau di sentuh lelaki lain. Maka ini adalah satu-satunya jalan…” Lelaki itu mengakhiri kalimatnya dengan menghunjamkan pisau di tangannya tepat ke jantungnya sendiri. Darah membuncah. Ia roboh ke samping dengan raga tak lagi bernyawa.
Wanita itu semakin terisak. Tubuhnya gemetar hebat. Air mata membanjir di parasnya. Namun tanpa suara. Tangisnya sudah melewati ambang suara. Di dekatinya jasad berdarah kekasihnya. Di ambilnya pisau tajam itu dari tangannya. Lalu dengan gaunnya, ia bersihkan seluruh pegangan pisau yang telah penuh dengan cipratan darah. Di tatapnya lekat mata tertutup si lelaki pujaannya. Tangannya membelai halus pipi itu, dan dengan penuh kasih di ciumnya kening sang penakluk hatinya itu. Di telinganya ia bisikkan mutiara cintanya yang terakhir
“Jangan pernah tinggalkan aku, sayang. Aku janji akan selalu mengikutimu kemanapun, dimanapun, dan apapun yang kau lakukan” Lirihnya pelan dengan sisa tenaga dipusatkan pada pegangan tangannya di pisau yang mengayun kencang ke jantungnya sendiri.
Aku melihat dan mendengar semua itu, namun tak ada yang bisa aku lakukan untuk menghentikannya atau apapun. Tak ada. Aku tak berdaya. Sama dengan tak berdayanya aku kini bila harus memberitahu semua orang apa tepatnya yang terjadi saat itu. Aku tak berdaya untuk memberitahu semua orang agar berhenti berprasangka pada si wanita. Aku tak berdaya untuk membersihkan namanya. Tidak di dunia ini. Tak akan ada yang mau mendengarkan penjelasanku. Tak akan ada yang percaya.
“Miaaauuuuw…”
Ah itu dia suara pujaanku menggoda manja. Biar ku kejar dulu dia sebelum ia menaiki atap rumah itu.
“Meeeoong….”
Cerpen Karangan: A Hadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar