Selasa, 12 November 2013

Cerpen - Dia Datang Kejutkanku

Sore itu awan nampak kelabu pertanda akan hujan, suara gemuruh dari langit mulai terdengar menggelegar. Angin meniupkan desahan-desahan kasar berliuk-liuk bagaikan penari mengiringi orang-orang yang mulai sibuk berteduh untuk menghindari air hujan yang siap mengguyur Jakarta di kala macetnya sore itu.
Seorang gadis bertubuh kurus tinggi dengan mengenakan blus bunga-bunga berlengan pendek longgarnya dengan rok satin panjangnya di padukan dengan sepatu ketsnya berlari-lari kecil menghindari gerimis yang mulai berubah menjadi air bah dari langit yang jatuh menimpa tubuh kurusnya. Dia berlari menuju Halte Bus yang tak jauh dari Kampus dia belajar. Hujan yang lebat itu pun tak mampu menghentikan kemacetan Jakarta yang setiap hari menjadi rutinitas yang paling menjengkelkan bagi warga Jakarta. Karena hampir setiap hari bergelut dengan macet dan waktu yang terus mengejar tiada henti di setiap harinya.
Gadis itu duduk di bangku Halte dan menaruh tasnya di pangkuan sambil sesekali dia menyeka air hujan di wajahnya yang manis itu dengan hidung kecil bangir melengkapi. Namanya Sandi, Mahasiswi fakultas Ekonomi semester 5 di salah satu Universitas Swasta Jakarta. Rambutnya yang hitam sebahu pun tak lepas dari siraman air hujan sore kala itu. Namun air hujan yang membasahi wajahnya tak dapat menghapus pesona wajah manisnya yang nampak alami. Puluhan kendaraan yang berjejal di depan matanya pun menjadi suguhan tontonan yang hampir setiap hari berjibaku di depan matanya yang sayu. Suara klakson bergema di setiap penjuru jalan raya itu, nampaknya setiap orang menjadi tampak terburu-buru di kala macet apalagi di saat hujan turun yang membuat jalanan aspal menjadi licin, yang membuat para pengemudi harus ekstra berhati-hati di tengah guyuran air hujan yang semakin derasnya.
“Wajah mereka terlihat lucu di kala sedang gusar seperti itu.” ucap sosok laki-laki di samping Sandi yang tampak mengenakan jaket putih dengan celana jeans biru donkernya di padukan dengan tas selempang putihnya
Sandi tak memperdulikan ucapan laki-laki itu, dia hanya menatapnya sebentar lalu pandangannya menghambur ke arah atas langit yang menjatuhkan air hujan dengan semangatnya. Tapi sejak kapan laki-laki itu duduk di samping Sandi? Apakah memang Sandi yang tak terlalu memperhatikan sekitar yang memang ramai dengan orang lalu lalang untuk menghindari hujan?
“Terkadang ku di buat heran dengan hujan. Tidakkah itu begitu indah di kala ada air turun dari langit? Membuat tanah yang gersang menjadi tanah yang subur dan membuatnya lembab yang menimbulkan aroma khas sedap dari alam, yang membuat suasana panas menjadi lebih dingin terkadang juga membuat hangat. Namun di saat itu juga terkadang kehadirannya tak di ingini untuk setiap orang, mereka berujar hujan merupakan malapetaka yang membuat bencana bah bagi mereka.” ucap lelaki itu lagi sambil memandang ke arah Sandi yang duduk terdiam di sampingnya, dan seketika Sandi membalas pandangan lelaki itu walaupun hanya sesaat. Karena nampaknya Sandi tak memperdulikan ucapan lelaki itu yang menurutnya dia adalah lelaki yang aneh. Dan untuk apa juga memperdulikan orang yang tak di kenal, pikir Sandi saat itu.
“Aku suka hujan yang tenang, bukan yang penuh dengan gemuruh. Gemuruh, bukankah itu mencengkam? Yang bisa membuat suasana bak neraka nyata di dunia, yang bisa membuat orang menjerit dengan suaranya yang maha keras. Itu sungguh menyeramkan!” lanjut lelaki itu sambil menatap lelaki bertubuh tambun yang mengendarai Truk besar berteriak-teriak sembari membunyikan klakson dengan kerasnya, itulah salah satu contoh kondisi orang jika sedang gusar dalam menghadapi macetnya kota Jakarta yang bak hutan belantara
Sandi hanya mengkerutkan kening sambil menatap lelaki itu dari sudut wajahnya lalu membuang pandangan di sekitarnya yang dirinya baru menyadari ternyata halte itu di sesaki oleh orang banyak. Sambil melirik arloji berwarna perak di tangan kanannya, dalam hatinya bergumam, “Jam keluar Kantor, Bus gue pasti full ini, harus ekstra cepet.”
Jika Ibunya tak meminta Sandi untuk segera pulang untuk membantu pesanan kue kering yang memang sedang over order, dia memilih lebih baik untuk tetap di Kampus sekedar untuk berteduh daripada harus menungu di halte yang sesak ini dan di temani lelaki aneh yang terus menerus berujar tentang hujan.
Bus yang di tunggu-tunggu Sandi pun akhirnya muncul di hadapannya, namun saat dia beranjak dari duduknya tiba-tiba dia tersandung batu dan jatuh tersungkur. “Oouch!” Sontak Bus yang sedari tadi di tunggunya, sudah di sesaki penumpang yang berjubel. Dengan kesalnya dia bangun dan menendang batu yang membuat dirinya jatuh tersungkur.
Lelaki aneh yang berujar tentang hujan itupun hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat tingkah Sandi, dan sontak Sandi langsung memandang lelaki itu dengan ekspresi ketusnya dan beranjak duduk di tempatnya lagi.
“Tunggu bus rute ke 2, pasti ada tempat buat kamu.” ucap lelaki itu lembut sambil menyunggingkan senyuman manis
Entah kenapa seolah ada sihir yang mengenainya, Sandi langsung terpikat dengan senyuman manis lelaki itu. Sandi hanya terus menatapnya dengan pandangan kagum, namun seketika dia tersadar dengan tatapan lelaki itu yang kelihatannya menyadari pandangan kagum Sandi terhadapnya. Dengan menghilangkan rasa malunya, Sandi membuang pandangannya dari lelaki itu lalu menghela nafas panjang.
“Kenalin, aku Tio.” ucap lelaki itu sambil menyodorkan tangan kanannya di hadapan Sandi
“Sandi.” balasnya sambil menjabat tangan Tio lalu dengan terburu-buru segera melepasnya, entah mengapa seakan ada dorongan, Sandi untuk menjabat tangan kanan Tio
“Aku mahasiswa Fakultas Sastra Indonesia semester 6 dan kita satu Universitas” kata Tio pasti
Sandi hanya mengangguk pelan sambil memandang lurus ke depan.
“Aku tahu kamu, gadis yang selalu terburu-buru seolah-olah waktu terus mengejar.” ucap Tio lagi dengan memamerkan senyuman manisnya
“Maksud kamu?” tanya Sandi sambil mengkerutkan keningnya dan seketika memandang Tio
Tio hanya tersenyum pada Sandi, dan tentunya itu senyuman yang manis yang sedari tadi di sunggingkannya
“Kamu itu spy?” tanya Sandi lagi sambil memandang heran ke arah Tio
“Yes, i’m your spy!” jawab Tio sambil tetap tersenyum dengan senyuman manisnya
Sandi melototkan kedua matanya lalu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya dengan erat. Tanpa memperdulikan Tio yang menatapnya dengan pandangan heran.
“Kamu tuh lucu deh! Emangnya aku itu penjahat kelas kakap yang musti di mata-matain?” ujar Sandi dengan ekspresi wajah menahan tawa
Tio hanya mendengus pelan lalu membuang pandangannya ke arah depan dengan senyuman manisnya tanpa menatap Sandi.
“Aku memang mata-mata mu, yang selalu mengintaimu. Yang selalu ingin melihat pesona wajah manismu walaupun di jarak yang jauh.” ucap Tio tanpa melepas senyuman manisnya, dan Sandi hanya menatap Tio dengan pandangan heran melalui sudut wajahnya yang tampan, kali ini Sandi berhenti tertawa dan memasang wajah seriusnya menundukkan wajahnya dan menatap Tio lagi yang Tio terus menatap lurus ke depan tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sandi dan ternyata Sandi baru menyadari, bahwa lelaki yang sedari tadi di sampingnya adalah lelaki bak malaikat dengan senyuman manis menawan.
“Dia sungguh tampan.” batin Sandi kala itu tanpa melepas pandangan kagumnya dari Tio
“Ya, aku selalu memperhatikanmu, kamu adalah inspirasi terbesarku.” ucap Tio tanpa menatap Sandi, pandanganya lurus ke depan, yang hanya Sandi terus menatap Tio dengan pandangan kagumnya, namun seketika Tio balik menatapnya dan Sandi langsung terkaget. Secepat kilat dia membuang pandangannya ke depan.
“Ngghh, kamu kurang kerjaan!” ucap Sandi seketika dengan ekspresi wajah yang di buatnya sok serius dan kali ini dia betul-betul gugup
Tio hanya tersenyum dan tentunya itu adalah senyuman manisnya sambil menatap Sandi dari sudut wajah gadis manis itu.
“Dengan menatap wajah manismu aku berharap kan ada cahaya yang menyinari setiap langkahku yang gelap, kamu gadis yang mempunyai wajah manis yang membuatku terpikat akan pesonamu. Dengan hanya menatap wajah manismu membuatku bahagia seakan hidupku manis tanpa ada kepahitan yang menyertaiku. Maukah kamu selalu menjadi inspirasiku?” ucapan Tio itu membuat Sandi kaku tak dapat berucap, karena dia tak menyangka ada seorang lelaki rupawan yang memiliki senyuman manis, yang membuatnya seakan melambung tinggi dengan ucapannya yang bak pujangga, mengaguminya! Tidakkah ini hanya sebuah lelucon saja? pikir Sandi setelah beberapa saat hanya terdiam.
“Aku menyukaimu, tidak hanya wajah manismu. Namun semua yang ada pada dirimu, aku sungguh suka. Kamu bagaikan bidadari yang selama ini aku tunggu yang Tuhan mengirimkannya di bumi. Bidadari dengan bingkai wajah manisnya, tingkah lakunya yang selalu membuatku berdecak kagum dan jiwa kewanitaanmu yang selalu terpancar. Aku sungguh menyukaimu.” ucap Tio dengan suara lembutnya
Sandi hanya bisa terdiam mendengar ucapan Tio, dia mencoba untuk menatap lelaki itu.
“Aku ingat saat diam-diam mengintaimu, kamu membantu anak kecil yang tersesat untuk menemukan jalan pulangnya. Padahal kamu tak mengenalnya, dan bisa saja hal buruk menimpamu di saat kamu menolongnya. Namun, justru aku melihat malaikat putih yang menolong anak kecil itu, malaikat tanpa sayap yang mempunyai wajah manis dengan tulus menolong tanpa mengharapkan imbalan apapun. Aku sungguh takjub di buatnya, di zaman orang yang seakan tak peduli satu sama lain malah justru aku menemui seseorang seperti kamu yang mempunyai budi pekerti yang baik. Wajah manismu sebanding dengan ketulusan hatimu yang juga manis. Itu serasa sempurna untuk gadis sepertimu.” ujarnya lagi panjang lebar, dan Sandi hanya bisa diam tak berucap. Dirinya tak menyangka ada sesorang yang diam-diam mengamatinya dan ternyata dia adalah penggemarnya. Serasa tak cukup baik dia tuk di kagumi.
“Mungkinkah aku mengenal lelaki ini?” dalam hati Sandi bertanya
Sandi hanya terus menatap Tio dengan pandangan sayunya, yang membuat wajah manisnya seakan terpancar dengan anggunnya.
“Apakah aku mengenalmu?” tanya Sandi tanpa melepas pandangannya kepada Tio
“Tidak, kamu tidak mengenalku. Aku hanyalah penggemarmu yang selalu menanti mu di sudut perpustakaan Kampus, yang hanya sekedar untuk melihat wajah manismu, walaupun aku harus menunggumu lama hingga aku seperti penguntit bagimu.” jawab Tio menatap Sandi lekat-lekat, wajah rupawannya sungguh membuat Sandi seakan tersihir dengan pesonanya
“Aku sungguh tak mengerti, mengapa ada seseorang sepertimu yang mengagumiku, gadis biasa yang tak istimewa.” balas Sandi dengan ekspresi wajah penuh dengan rasa penasaran
Tio menghela nafas pendek dan menundukkan kepalanya, lalu menatap Sandi lagi. Kali ini jarak wajah mereka berdua tak lebih dari tiga jengkal.
“Tidak pernahkah kamu melihat wujudmu di cermin? Kamu adalah makhluk termanis yang pernah aku temui seumur hidup. Kamu membuatku seakan takjub dengan pesona manismu, tidak hanya itu. Selama ini aku menguntitmu, baru ku tahu bahwa kamu menyukai sastra yang justru membuatku terpikat padamu, dan sejak tiga bulan lalu aku telah menganggap diriku sebagai penggemarmu yang akan terus mengagumimu.” ucap Tio panjang lebar dengan menatap dalam kedua mata sayu Sandi
Tanpa mereka berdua sadari, ternyata Halte Bus yang sedari tadi padat telah sepi. Hanya mereka berdua lah yang di situ, di temani dengan pedagang asongan yang sibuk menghitung uang hasil jualannya, duduk di bangku sudut Halte.
Seketika itu juga datang bus yang sedari tadi di tunggu Sandi. Dengan kagetnya karena mendengar klakson bus, Sandi segera melayangkan pandangannya ke depan dan beranjak dari duduknya ketika menyadari hari sudah gelap, hujan pun sudah reda dan Adzan Maghrib telah dikumandangkan.
“Sandi, besok aku akan menunggumu di Halte ini. Jika kamu tidak datang, aku akan berhenti mengagumimu, menjadi penggemarmu dan akan menguburmu di relung hatiku. Aku akan terus menunggumu sampai kamu datang.” ucap Tio beranjak dari duduknya dan Sandi hanya terdiam dan melangkahkan kakinya tanpa mengucap sepatah katapun kepada Tio dan segera menaiki bus yang sedari tadi di tunggunya. Dalam jendela kaca bus, Sandi melihat Tio sedang berdiri menatapnya dari kejauhan, tatapan lelaki yang membuatnya tersihir di Halte Bus itu dan dia membuang pandangannya ke Handphone yang sedari tadi dia taruh di dalam tas. Ternyata banyak sekali misscall dan SMS dari Ibunya, ternyata beliau telah di bantu tante Ani untuk menyelesaikan pesanan kue keringnya yang sedang banyak-banyaknya, dan menyuruh Sandi agar tak usah terburu-buru untuk pulang.
Dalam waktu sekejap saja lelaki bernama Tio itu sungguh membuatnya bingung. Sekali lagi dia tak mempercayai ada seseorang seperti Tio yang mengaguminya bahkan selalu mengamatinya dari jauh. Namun dengan pesona wajahnya yang rupawan dan tutur katanya yang seakan membuat Sandi tersihir, dia pun tak dapat menolak kehadiran Tio yang bak kejutan di hatinya. Sekali lagi Sandi di buatnya begitu bingung. Haruskah dia datang ke Halte Bus itu lagi? Mungkinkah Tio benar-benar menunggunya? Apakah Tio hanya sekedar khayalan Sandi saja? Ataukah dia memang lelaki yang kurang kerjaan saja? Seribu pertanyaan tentang Tio menghantui hati Sandi di kala sepinya bus yang dia tumpangi.
Entah mengapa hari itu begitu cepat berlalu, jam-jam kuliah pun terasa begitu cepat berlalu. Dalam kebimbangan yang mendalam, Sandi duduk di Perpustakaan Kampus untuk sekedar membaca beberapa buku sastra. Namun seketika dia ingat perkataan Tio kemarin sore yang selalu menunggunya di Perpustakaan Kampus, refleks kedua mata sayu Sandi mencari sosok lelaki itu, namun dia tidak menemukan sosok Tio dalam keheningan Perpustakaan. Entah mengapa Tio membuat harinya begitu mendebarkan, seakan Tio telah melayangkan sejuta mantra untuknya. Mantra yang berfungsi membuat Sandi seakan terpesona olehnya, bukan hanya dengan wajahnya yang rupawan, melainkan kata-katanya yang membuat Sandi kaku tuk membalasnya. Dan dalam sekejap saja Tio dapat melumpuhkannya hanya dalam hitungan jam saja. Dan tidak tahu apakah dia akan datang menemui Tio di Halte Bus. Karena menurut Sandi ini seperti mimpi, mimpi yang benar-benar membuatnya seakan mendapatkan kejutan. Membaca beberapa buku sastra di perpustakaan pun tak dapat mengusir pikirannya tentang Tio yang mengejutkan hari-harinya kemarin bahkan efeknya terasa hingga hari ini. Dengan membaca beberapa buku sastra dia berharap dapat membunuh waktu sampai jam menunjukkan pukul lima sore, membuat keputusan akan kedatangannya ke Halte Bus atau tidak.
Semilir angin sore itu begitu manja, meliuk-liukan dedaunan hijau yang rimbun di atas pepohonan di pinggiran jalan raya itu. Suasana sore itu begitu hangat, tidak seperti kemarin yang diguyur dengan air bah hujan dengan petir bergetar di segala penjuru. Sesosok lelaki berpostur kurus tinggi duduk sendiri di Halte Bus, pandangannya lurus tertuju ke Kampus fakultas Ekonomi di seberang jalan. Dengan mengenakan t-shirt hijau polos pendek, celana jeans panjang hitamnya dan tas selempang putihnya yang di taruh di pangkuannnya, dia nampak rupawan dengan pancaran sinar wajahnya yang bak malaikat dengan pesona indahnya. Mata elangnya lurus memandang ke Kampus itu dan sesekali dia melirik jam tangan hitamnya di pergelangan tangan kirinya. Tepat pukul 5, dan dia menunggu Sandi. Gadis yang di kaguminya melebihi apapun dengan milyaran gadis di dunia ini, karena dia telah terpesona dengan keanggunan wajah manis sang gadis Mahasiswi fakultas Ekonomi tersebut.
Gadis dengan bingkai wajah manisnya sedang duduk di bangku Perpustakaan, dia tak menyadari sudah lebih dari 3 jam dia menduduki kursi itu. Mungkin kursi itu sudah panas sebanding dengan panasnya Jakarta. Melamunkan sesuatu, bahkan onggokan buku di depan matanya hanya sekedar pajangan tak dibacanya satu pun. Dia hanya membalik-balikkan halaman demi halaman seolah-olah buku itu hanya mainannya. Dan dia melakukannnya terus hingga dia mendapatkan keputusan yang tepat untuk sosok lelaki yang menunggunya di Halte Bus, ataukah lelaki itu telah lelah menunggunya dan beranjak pulang merenggangkan otot-otot kakinya yang kram karena menunggu sang gadis yang tak kunjung datang?
Tepat pukul 6 sore, sudah satu jam Tio menunggu Sandi di Halte Bus itu. Rasa sesal memuncaki relung hatinya yang kering bagaikan padang pasir tandus. Dia berharap gadis itu datang untuk sekedar menyejukkan hatinya yang kering dengan siraman air nirwana darinya. Ah, khayalannya terlalu tinggi, yang pada kenyataannya sekarang dia hanya sendiri di Halte itu menunggu Sandi yang jelas-jelas tak datang. Mungkin dia sudah berbaring di atas ranjangnya yang empuk dan hangat dan melupakannya untuk selamanya sebagai pengemarnya yang bodoh. Pikiran buruk itu terus menghantui otaknya.
Dan dengan perasaan seperti kalah dalam peperangan, dia beranjak dari duduknya. Dia tak akan mengharapkan gadis yang bernama Sandi itu untuk datang menemui lelaki konyol sepertinya. Bukankah itu hanya membuang-buang waktunya saja? Waktu Sandi yang berharga telah habis untuk mendengarkan ucapan-ucapan tak pentingnya kemarin sore. Kesedihan telah merajamnya hingga menusuki tulang, sumpah demi apapun Sandi tak akan datang!
“Hey!” sebuah suara yang tak asing bagi Tio yang membuatnya kaget saat beranjak dari duduknya
“Mau kemana?”
“Aku buat secret admirerku menunggu lama ya?” tanya Sandi beranjak menghampiri Tio yang kaget dengan kedatangan Sandi yang mengejutkannya
Seketika Tio berjalan pelan menghampiri gadis manis itu dengan bingkai senyum manis yang dia bahkan lupa akan kekesalan hatinya yang menunggu Sandi dari sejam lalu
“Tiada kelelahan bagiku untuk menunggu sang gadis manis yang telah meruntuhkan seluruh bangunan isi hatiku. Aku akan menunggunya hingga dia kan terbangkanku ke atas sana mengapit buih-buih awan putih dan merangkainya menjadi sajak sempurna yang akan ku dengungkan padamu selamanya, seumur hidup. Tak akan ku memuja selain dirimu oh gadis manisku.” ucap Tio panjang lebar dengan senyuman manisnya, yang Sandi hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Tio yang membuatnya tersipu malu. Bahkan dua pipinya memerah seperti Apel merah yang siap di petik.
Keduanya tersenyum bahagia, dan gerimis itu seakan membawa sejumput kebahagiaan bagi gadis manis itu dan penggemarnya yang membuat sang gadis seakan terbang melayang dengan kata-katanya yang menyanjungnya selalu. Dan apakah kedua hati mereka kan bertaut seiring dengan rasa kagum di antara keduanya? Biarlah waktu kan melakukan tugasnya untuk mereka.
The End..
Cerpen Karangan: Ria Febiana Arifin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar