Aku memandang mukanya sekilas. Sedikitpun nggak ada kesan ramah, beda jauh dengan pak Geri, mantan bosku yang baru resign. Memang sih pak Geri agak pelit, tapi mendingan daripada harus berurusan dengan si muka jutek ini.
Aku menghela nafas panjang. Di hari pertamanya kerja aja sudah buat aku dongkol setengah mati. Bayangin coba, cuma urusan minta dibuatin kopi aja mesti aku. Memang sih, aku ini sekretarisnya, tapi kan bukan sekretaris pribadinya. Dia punya hak apa buat semena-mena ke aku.
Dulu kalau pak Geri pasti minta OB yang buatin kopi atau ini itu yang menyangkut kebutuhan pribadinya. Lain kalau urusan kantor, aku juga nggak berani nolak kalau dia minta.
Kalau yang satu ini, apa-apa mesti aku yang kerjain. Mirip bayi aja. Tapi di sisi lain, aku nggak punya keberanian buat nolak ataupun protes. Mukanya aja udah jutek setengah mati, kalau aku protes, bisa-bisa besok aku diberhentiin dengan tidak hormat. Haduuuh, dilema banget.
Suara telepon berdering nyaring. Setengah kaget kuraih ganggang telepon perlahan.
“Ke ruangan saya sebentar,” Belum sempat aku menjawab, teleponnya sudah ditutup. Mendadak rasanya badanku jadi lemas.
Takut-takut kuketuk pintu ruangannya. Aku agak terkejut saat melihat ruangannya. Semua posisi perabot sudah berubah. Posisi sofa, rak buku, meja, komputer, semuanya. Moga aja dia manggil aku bukan buat bantu ngebenahin ruangannya.
“Fotokopiin ini, dua rangkap ya,” sebelum aku sampai ke mejanya, dia sudah mengangkat setumpuk file tinggi-tinggi. O ya lupa, namanya Sebastian Nugraha, panggilannya nggak tahu. Mungkin pak Bastian, atau pak Nugraha, suka-suka yang manggil aja kali ya.
Aku mengambil setumpuk file dari tangannya. Tanpa berani memandangnya, aku bergegas keluar.
Nafasku rasanya sesak. Bos macam apa ini. Mentang-mentang dia anak pemilik saham terbesar perusahaan ini.
—
“Siapa tuh namamu?” Kenapa sih makhluk satu ini ngejengkelin terus. Sudah berapa minggu aku jadi bawahannya, sudah berapa ratus kali dia merintahin ini itu. Masa namaku aja nggak tahu.
“Fara, pak” Jawabku pendek
“Iya, Fara kamu ikut saya buat ketemu klien jam satu nanti,” Katanya.
“Fara, pak” Jawabku pendek
“Iya, Fara kamu ikut saya buat ketemu klien jam satu nanti,” Katanya.
Tumben aku diikutsertakan, biasanya kan kerjaanku cuma ngurusin hal-hal nggak pentingnya. Aku menggangguk dan nggak berani mandangin matanya. Dia pun berlalu dan masuk ke ruangannya.
“Kamu diajak pak Bastian? Enak dong,” Cerocos Ami.
“Enak apanya,”
“Kemarin pas lagi makan, aku dibayarin loh. Baik banget kan pak Bastian tuh,” Celotehnya.
“Kalau aku sih, masih lebih baik pak Geri,”
“Itu gara-gara pak Geri naksir kamu,”
“Hush, sembarangan! Kalau didengar istrinya, bisa digantung aku,”
“Enak apanya,”
“Kemarin pas lagi makan, aku dibayarin loh. Baik banget kan pak Bastian tuh,” Celotehnya.
“Kalau aku sih, masih lebih baik pak Geri,”
“Itu gara-gara pak Geri naksir kamu,”
“Hush, sembarangan! Kalau didengar istrinya, bisa digantung aku,”
“Udah siap kamu?” Tiba-tiba aja pak Bastian muncul dari ruangannya. Alamaaak!
“Katanya jam satu, pak,” Balasku bingung. Ini aja masih jam sebelas.
“Harus kita yang nunggu klien,” Sahutnya singkat. Emang dikiranya ini Jakarta apa? Yang butuh berjam-jam buat jarak yang cuma sejengkal. Buru-buru aku mengikuti langkahnya menuju parkiran. Mampus deh aku hari ini!
“Katanya jam satu, pak,” Balasku bingung. Ini aja masih jam sebelas.
“Harus kita yang nunggu klien,” Sahutnya singkat. Emang dikiranya ini Jakarta apa? Yang butuh berjam-jam buat jarak yang cuma sejengkal. Buru-buru aku mengikuti langkahnya menuju parkiran. Mampus deh aku hari ini!
“Nggak sama driver, pak?” Tanyaku memberanikan diri.
“Nggak usah, kelamaan nunggu mereka,” Sahutnya.
“Nggak usah, kelamaan nunggu mereka,” Sahutnya.
Bego banget kan bosku yang satu ini. Dia bosnya, dia juga yang nyupirin. Terus bawa aku lagi. Masih untung kalau orang ngira aku bosnya, gimana kalau orang ngira aku lagi kencan sama om-om. Omaigat…!!!
“Saya panggil mereka sekarang ya, pak,” Kataku sambil sibuk mencari nama driver kantorku di handphone. Bukannya ngedengarin, dia malah langsung memacu mobilnya.
“Saya mau makan dulu,” Apa?! Saya katanya? Emang dikiranya dia aja yang lapar. Aku juga sudah mau pingsan saking laparnya. Dia memberhentikan mobilnya di sebuah rumah makan siap saji. Pantas aja pengen cepat-cepat perginya.
“Kamu mau makan dimana aja terserah. Tapi setengah jam lagi harus udah ada disini,” Katanya. Dia keluar dari mobil, buru-buru aku juga keluar.
Dongkolnya sudah sampai di ubun-ubun. Nggak pernah sekalipun aku diperlakuin kaya’ gini. Apa sih salahnya ngajakin aku makan bareng juga. Kalau dia nggak mau bayar, aku punya uang kok.
Aku menekan-nekan kepalaku, stres ngadapin bos kaya’ gitu. Kuputusin nggak makan dan nungguin dia di parkiran. Mau makan di mana juga, di kanan kiri mana ada tempat makan lain. Gengsi aku ikutan makan bareng dia juga. Kaya’ nya aku harus mikir buat resign nih.
Lima belas menit dia sudah muncul. Kakiku sudah pegel berdiri nungguin dari tadi. Tanpa basa-basi dia langsung masuk ke mobilnya.
Sumpah, lemes banget badanku. Pasrah aja hari ini, moga nggak ada yang aneh-aneh lagi.
Ini pertemuan dengan klien terlama yang pernah aku alami. Untung aja kliennya baik dan tahu diri, dari tadi aku disuguhi snack yang lumayan bisa mengganjal perutku. Pulangnya ditawari makan malam lagi, katanya sih sebagai tanda awal kerjasama perusahaan kami.
Nah, sekarang yang harus aku khawatirkan gimana aku pulang ke rumah. Ini sudah malam banget dan aku nggak yakin dengan tabiatnya yang kaya’ gitu pak Bastian mau ngantarin aku pulang ke rumah.
“Kamu dijemput pacarmu kan?” Tanyanya setelah lama saling diam.
“Eh, nggak pak. Saya pakai taxi aja pulangnya,” Jawabku. Dia cuma ber-oh. Gitu aja.
“Eh, nggak pak. Saya pakai taxi aja pulangnya,” Jawabku. Dia cuma ber-oh. Gitu aja.
Aku minta diberhentikan di tengah jalan. Dan hebatnya, dia mau-mau aja. Arrrggghhh… Besok kaya’nya aku harus mulai cari kerjaan baru.
—
Semenjak pak Bastian jadi bosku, aku harus datang setengah jam lebih cepat dari biasanya. Dia itu orangnya disiplin banget, cerewet kalau ngadapin anak buahnya yang kerjanya nggak becus. Eh tapi nggak juga, aku aja yang kerjanya bagus (menurutku sih), nurut banget sama dia tetap aja diomelinnya.
Kantorku masih sepi waktu aku datang. Pak Bastian aja kaya’nya belum datang. Biasanya dia yang paling awal datang. Fufufu… kalah deh dia sama aku hari ini.
Aku menyalakan komputerku dan meletakkan tasku di meja. Setangkai mawar merah lagi. Iya, lagi! Setangkai mawar merah dengan manisnya ada di dalam laci mejaku. Sudah seminggu terakhir ini setiap pagi, di laci mejaku pasti ada mawar merah segar.
Nggak ada tulisan apa-apa, cuma setangkai mawar. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Suasana masih sepi, belum ada siapa-siapa. Dan aku yakin, aku karyawan yang paling pertama datang. Ini sudah keterlaluan, masa ngirimin mawar seminggu berturut-turut.
“Pa… pagi, pak,” Setengah tergagap aku mengucapkan salam waktu tiba-tiba pak Bastian melewatiku. Dia cuma berguman nggak jelas dan kemudian masuk ke ruangannya.
Aku membuka laci mejaku lagi dan memperhatikan mawar itu. Masa ini kerjaan teman kantorku sih. Siapa juga yang kurang kerjaan kaya’ gini. Di lantai dua ini, kebanyakan cewek, kalau ada cowok pun nggak masuk kriteria orang yang bakal ngirimin mawar diam-diam kaya’ gini. Ahhh.. bodo ah! Mendingan sekarang aku buru-buru buatin kopinya pak Bastian dulu. Sebentar lagi pasti dia minta dibuatin ini itu.
“Tunggu sebentar,” Pak Bastian menahanku ketika aku mengantarkan kopi ke ruangannya.
“Ada apa, pak?”
“Kamu bantuin saya cari data perusahaan Karya Jaya yang mau sponsorin kita buat pameran bulan depan,” Dia berhenti bicara, menatapku sebentar kemudian pandangannya kembali ke komputer lagi.
“Ada apa, pak?”
“Kamu bantuin saya cari data perusahaan Karya Jaya yang mau sponsorin kita buat pameran bulan depan,” Dia berhenti bicara, menatapku sebentar kemudian pandangannya kembali ke komputer lagi.
“Coba kamu cari di rak buku yang itu. Kalau nggak salah kemarin saya simpan disitu,” Katanya lagi. Aku cuma menggangguk mengiyakan.
Huh, tadi katanya ‘bantu saya’. Mana ada dia ngebantuin, malah sok sibuk di depan komputer. Perlahan aku membuka tumpukan map-map di rak bukunya. Memang dikiranya mudah nyari dokumen yang dia sendiri aja nggak ingat simpan dimana. Arggghhh…
Setengah jam membongkar rak bukunya dengan mengunakan high heels memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Dan yang tambah buat sebel si bos enak-enakan ngopi sambil dengarin mp3.
“Udah ketemu, pak,” Kataku sambil menyerahkan map tebal yang dia cari.
“Ya udah, kamu kerja lagi sana!” Usirnya. Arrrggh pengen kucakar aja mukanya.
“Ya udah, kamu kerja lagi sana!” Usirnya. Arrrggh pengen kucakar aja mukanya.
—
Hari ini agak berbeda. Kupikir, bakal ada setangkai mawar merah lagi di laci mejaku. Ternyata hari ini puluhan mawar merah berhamburan keluar dari laciku. Eh nggak semuanya merah, ada satu mawar putih yang nampak mencolok, diikat pita putih dan ditempelin secarik kertas.
~ I choose white between red.
Because the white is you… ~
Because the white is you… ~
Aku melongo. Kejutan apa lagi ini. Buru-buru kumasukan puluhan mawar merah tadi ke kotak kosong, sebelum pak Bastian datang dan melihat betapa ‘romantis’nya sekretarisnya hari ini. Mawar putih yang tersisa kumasukan dalam tasku.
Sepanjang hari aku nggak konsen, kepikiran siapa dibalik mawar tadi. Apa mungkin Reldi ya? Dengar-dengar sih dulu dia pernah naksir aku. Tapi nggak mungkin, si culun itu papasan sama aku aja langsung kabur. Atau kali aja Wiro, anak marketing itu. Sebenarnya aku sih yang naksir dia. Lebih nggak mungkin lagi, kan kali ini aku yang naksir, bukan dia.
“Fara, ikut saya keluar sebentar,” Tiba- tiba aja pak Bastian sudah di depan mejaku. Kaget, semua lamunanku buyar.
“Ada meeting ya, pak?” Tanyaku basa-basi. Dia nggak menjawab, tapi langsung beranjak dari mejaku. Bergegas aku mengikutinya dari belakang. Bosku yang satu ini nggak pernah kompromi, selalu aja keburu-buru.
“Kita makan dulu aja ya,” Katanya waktu di mobil. Aku mencerna kata per kata yang diucapkannya. Kita, artinya aku dan dia. Aku menatapnya nggak percaya. Masa sih dia mau ngajak aku makan bareng.
“Buruan,” Katanya waktu dilihatnya aku cuma berdiri mematung di depan pintu rumah makan.
“Saya ikut juga ya, pak?” Tanyaku ragu.
“Iya lah, bodoh banget sih kamu,” Sahutnya. Lagi, aku dikatain dia bodoh.
“Saya ikut juga ya, pak?” Tanyaku ragu.
“Iya lah, bodoh banget sih kamu,” Sahutnya. Lagi, aku dikatain dia bodoh.
Aku makan perlahan sambil diam-diam memperhatikan pak Bastian yang ada di hadapanku. Dia sama sekali nggak perduli sama sekeliling dan terus makan dengan lahapnya.
Baru kali ini aku berani lama-lama mandangin mukanya. Bosku yang ini sih keren, semua orang yang kenal pasti setuju. Kalau ganteng, nggak juga sih. Cuma apa ya, berwibawa mungkin ya. Itulah yang buat orang-orang segan sama dia.
Kalau kutaksir mungkin umurnya dibawah 40. Nggak ada yang tahu pasti kehidupan pribadinya, pak Bastian ini misterius banget. Ada yang bilang pak Bastian ini duda, ada juga yang bilang lagi pisah sama istrinya tapi belum cerai. Uppss kenapa juga aku jadi usil gini.
Kalau boleh jujur, yang buat pak Bastian minus banget di mataku ya itu hobinya yang merintah sesuka hatinya. Selebihnya dia keren, berwibawa, pintar, disiplin, walaupun nyebelin.
“Udah makannya?” Tanyanya.
“Udah, pak,” Jawabku kaget. Yee, buyar deh semua lamunanku.
“Udah, pak,” Jawabku kaget. Yee, buyar deh semua lamunanku.
Nggak ada yang kami bicarakan ketika di mobil. Seperti biasa, pak Bastian sibuk dengan telepon dari kliennya. Lumayan hari ini, sudah diajak makan bareng.
Pak Bastian membelokan mobilnya di sebuah komplek perumahan. Dalam hatiku bingung juga, sebenarnya klien seperti apa yang mau di temui ya?
Suasana nampak ramai. Anak-anak kecil kejar-kejaran dan saling teriak. Ini sih kaya’ lagi ada pesta kebun. Aku menoleh ke pak Bastian, tapi dia cuma diam, nggak ngejelasin apa-apa soal klien yang mau kami temui ini.
“Ayo turun,” Ajaknya. Sekali lagi aku memandangnya, tapi ekspresinya nggak berubah.
Halaman rumah ini besar banget. Disekelilingnya banyak pohon-pohon rindang. Anak-anak kecil tadi ribut banget. Beberapa menghampiri dan menarik-narik tangan pak Bastian. Ternyata muka cool kaya’ gitu disukai anak kecil juga.
“Wuaaaah, Tian datang juga,” Seorang ibu ber-make up menor menghampiri kami. Apa ini kliennya?
“Sama siapa nih?” Tanya si ibu.
“Saya Fara, sekre…,”
“Kami ke dalam dulu ya, tante,” Pak Bastian memotong omonganku dan menarik tanganku mengikutinya. Aku melongo melihat tanganku digenggamnya.
“Sama siapa nih?” Tanya si ibu.
“Saya Fara, sekre…,”
“Kami ke dalam dulu ya, tante,” Pak Bastian memotong omonganku dan menarik tanganku mengikutinya. Aku melongo melihat tanganku digenggamnya.
Akhirnya pak Bastian melepas genggaman tangannya dan menghampiri seorang ibu berwajah ayu.
“Selamat ulang tahun, ma,” Katanya sambil memeluk ibu itu.
Ma?! Apa mamanya? Jadi maksudnya ini pesta ulang tahun mamanya gitu? Terus apa urusanku disini?!
“Kemari, nak,” Panggil si ibu. Aku menoleh ke kiri kananku. Nggak ada siapa-siapa selain aku.
“Ini yang mau aku kenalin ke mama,” Belum juga aku memperkenalkan diri, pak Bastian sok-sokan ngenalin aku ke mamanya.
“Fara, tante,” Kataku sambil menyalami tangannya. Si ibu mengenggam tanganku erat sambil tersenyum ramah.
“Calonnya Tian ya? Kok baru dibawa sekarang sih,” Beberapa ibu-ibu mengerumuniku. Aku kalang kabut.
Aku terhenyak. Apa? Calon? Aku memandang pak Bastian minta kejelasan, tapi dia malah memalingkan wajahnya.
Ini benar-benar keterlaluan. Jadi aku dibawanya cuma buat dipamerin kalau dia sudah punya pacar di depan keluarganya. Ini benar-benar ngerendahin aku.
“Tante, maaf ya, saya permisi dulu. Mau ke belakang,” Pamitku. Bergegas aku meninggalkan mereka dengan rasa marah yang nggak bisa aku ungkapin.
“Fara…!!!” Samar terdengar teriakan pak Bastian. Aku terus berjalan keluar dari rumah ini.
“Fara, tunggu dulu!” Pak Bastian mencekal lenganku.
“Saya mau pulang, pak,” Kataku sambil menahan emosi.
“Dengarin penjelasan saya dulu,”
“Ngejelasin apa, pak? Nggak ada yang harus dijelaskan kok,” Pak Bastian terdiam, lama dia menatapku dengan muka resah. Aku risih dan serba salah jadinya.
“Fara, tunggu dulu!” Pak Bastian mencekal lenganku.
“Saya mau pulang, pak,” Kataku sambil menahan emosi.
“Dengarin penjelasan saya dulu,”
“Ngejelasin apa, pak? Nggak ada yang harus dijelaskan kok,” Pak Bastian terdiam, lama dia menatapku dengan muka resah. Aku risih dan serba salah jadinya.
“Ya udah, ayo kita pulang,” Katanya akhirnya.
Sepanjang jalan kami cuma diam. Biasanya juga kaya’ gitu sih. Tapi kali ini rasanya beda, ada hawa nggak enak yang aku rasain. Kenapa aku ngerasa bersalah ya?
Pak Bastian menurunkan aku di kantor, kemudian dia pergi lagi. Aku jadi ngerasa nggak enak, seolah-olah aku sudah ngerusak acara ulang tahun mamanya. Mungkin nanti aku harus minta maaf.
Handphone-ku berbunyi pelan, ada sms masuk. Dari pak Bastian?!
Forgive me, please…
PS : I think i fall in love with the ‘white’…
PS : I think i fall in love with the ‘white’…
Cerpen Karangan: Eva Kurniasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar