Senin, 11 November 2013

Cerpen - I Like You Like I Like a Lake

Namira menghempaskan tubuh mungilnya ke atas tempat tidur dengan kasarnya. Menumpahkan semua air matanya disana. Kesedihannya memuncak sudah. Sesekali Ia berteriak histeris dengan menutupkan bantal ke wajahnya. Tak terbayangkan betapa perih hatinya. Air matanya tak terbendung lagi, hingga ia pun lemas, tak sadarkan diri.
Entah apa yang dipikirkan Namira di alam bawah sadarnya. Yang jelas, disana ia melihat sesosok wanita berbaju putih bersih, melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Sosok itu menghilang di penghujung gerbang penuh bunga-bunga. Seekor merpati putih pun menghampiri Namira yang sedang duduk terheran. Burung itu memberikan Namira sepucuk Surat. “Jangan sedih anakku, Mama akan selau bersamamu. Semoga Allah selelu melindungimu”. Itulah isi surat itu.
Suasana duka menyelimuti rumah besar itu. Datang dan pergi orang-orang berbaju hitam silih berganti untuk menghibur sang pemilik rumah, atau sekedar ingin melihat jenazah untuk yang terakhir kalinya. Di pojok ruangan, Namira duduk ditemani tante-tante, serta sepupu-sepupunya yang mencoba mengibur hatinya. Namun hasilnya nihil. Wajah tanpa ekspresi yang terus saja Namira buat, sejak ia ditemukan pingsan, tak sadarkan diri pagi tadi.
Tadi malam, memang terjadi peristiwa yang sangat mengguncang jiwa Namira. Kanker yang menggerogoti sebagian wajah ibunya, kini telah merenggut nyawanya. Lengkap sudah penderitaan Namira. Di usianya yang belum genap 17 tahun ia harus ditinggalkan kedua orang tuanya. Ayahnya meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kecelakaan. Yang Namira pikirkan saat ini hanyalah, mengapa Tuhan begitu jahat padanya? Mengapa Tuhan mengambil orang-orang yang ia sayangi begitu cepat? Mengapa Tuhan mengujinya seberat ini? Mengapa?
Satu minggu sudah Namira tidak masuk sekolah. Ia hanya berbaring di atas tempat tidurnya dengan mata yang sembab dan bengkak. Di rumah, Namira ditemani tantenya, Tante Sasti dan suaminya, Om Dani. Tante Sasti adalah adik ibu Namira. Entah sampai kapan mereka akan menemani Namira. Namira tahu, tidak akan selamanya. Tapi bagaimana hidup Namira nanti? Dengan siapa ia akan tinggal? Pertanyaan demi pertanyaan itulah yang berkecamuk di pikiran Namira.
HP Namira berdering, memecah lamunannya. Namira melihat layar HPnya, lalu membuat wajah tak acuh, kemudian menekan tombol reject. Sekali lagi ponselnya berdering. Kali ini diangkat oleh Namira, namun ia tidak bicara.
“Nam, kamu baik-baik saja?”, kata suara di seberang telepon.
“Nam, jawab aku, kamu harus kuat Nam. Aku ke sana sekarang ya?”
“Klik”. Telepon terputus.
“Nam, halo?”.
Namira membanting HPnya ke tempat tidur, dan kembali menutup mukanya dengan selimut.
“Tok-tok”.
“Mira, makan dulu. Dari tadi pagi kamu belum makan”, ucap Tante Sasti dari balik pintu.
“Nggak Tan, Mira nggak lapar”.
“Nanti kamu sakit Mir!”.
“Biarin aku sakit. Mati sekalian juga nggak papa”.
“Mira, bicara apa kamu? Cepat keluar!”.
Nada bicara tante sasti melonjak naik. Ia benar-benar tidak suka dengan kata-kata Namira barusan. Selain itu, ia juga tidak rela ditinggal oleh keponakan tersayangnya itu.
Di luar sana, Laras, sahabat Namira sedang berusaha memencet bel, dan menunggu pintu pagar dibuka. 5 menit, 10 menit, tidak ada jawaban. Kemudian Laras menelepon ke HP Namira.
“Halo, Nam? Aku udah dibawah. Cepetan kamu buka nih pagar. Aku udah hampir jamuran disini”.
Akhirnya dengan malasnya, Namira keluar kamarnya dan menghampiri Laras yang berada di bawah.
“Nam, keluar yuk?”, ajak laras sesaat setelah pagar dibuka.
“Ogah, aku belum mandi”, tolak Namira.
“Ayolah Nam, sampai kapan kamu mau kayak gini terus? Kamu harus ikhlasin kepergian mamah kamu, biar tenang disana”.
Namira terdiam dan berpikir kalau kata-kata Laras ada benarnya juga.
“Ya udah, tungguin aku mandi. Kita mau kemana?”
“Nah, gitu dong. Ntar juga kamu tahu”.
“Udah belum Ras?”.
“Tunggu bentar lagi, kalau aku bilang buka, baru kamu buka!”.
Namira menunggu. Ia penasaran. Tempat seperti apa ini? Begitu sepi. Hanya bau segar yang menusuk ke dalam hidungnya.
“3… 2… 1… buka!”.
Namira membuka matanya. Ia berada di sebuah jembatan putih mirip dermaga. Dan di bawahnya adalah danau dengan airnya yang hijau.
“Sumpah, aku suka banget tempat ini!”, sorak Namira.
“Iya? Masa sih?”, terdengar suara seorang laki-laki.
Namira sedang mencoba mencerna suara laki-laki itu. Namun ia tidak berhasil menebaknya. Wajah laki-laki itu masih terbenam di balik kamera SLRnya. Siapa? Pikir Namira di dalam hari. Laki-laki itu menjepretkan kameranya ke arah Namira yang sedang bingung. Spontan, Namira kaget.
Laki-laki itu lantas menurunkan kameranya, kemudian tersenyum melihatkan kedua lesung pipinya. Namira pun terdiam, kaget,dan hampir pingsan karenanya. Rafka? Itu kamu? Begitulah kata-kata Namira di dalam hati yang tak bisa diungkapkannya.
“Kenapa Nam? Kaget?”, ejek Laras.
“Aku udah balik satu minggu yang lalu dari Aussie. Aku kemarin juga melayat ke rumah kamu, tapi waktu itu kamu lagi galak banget. Makanya aku gak berani dekat-dekat”. Ujar Rafka panjang lebar.
Namira tidak sama sekali tertawa. Ia malah sebal pada laras. Mengapa laras tidak bilang kalau Rafka ada disini? Namira jadi tidak punya persiapan. Ia hanya tidak mau terlihat seperti panda di depan Rafka, alias sebagai nona bermata hitam akibat terlalu banyak menangis. Namira hanya bisa membalikkan badannya karena malu. Malu ketahuan kalau pipinya sedang bersemu merah sekarang.
Rafka. Ia adalah kakak dari Aulia Larassati, alias Laras. Rafka adalah orang yang Namira suka. Namun ia harus pergi ke Australia selama 10 bulan karena pertukaran pelajar. Karena mendengar kabar bahwa ibu Namira meninggal, ia meminta untuk dipercepat 2 minggu dari jadwal kepulangan sebenarnya. Dan tebak sekarang! Karena program pertukaran pelajarnya itu, ia harus mengulang setahun di kelas 3. Dan itu berarti, Rafka, Namira, Dan Laras akan sekelas tahun depan.
Setelah melewati ujian panjang, ujian mental sekaligus ujuan sekolahnya, selama 2 bulan ini, rasanya Namira benar-benar bebas. Ia sudah jarang terlihat sedih, dan banar-banar telah mengikhlaskan kepergian ibunya. Dan kini saatnya ia naik ke kelas 3!
Selama 2 bulan ini, Rafka mengangur dan mengisi waktu luangnya dengan bimbel dan memotret. Ia memang harus menunggu tahun ajaran baru untuk mengulagi kelas 3 nya. Dan sekarang tahun ajaran baru dimulai. Ia bersiap-siap kembali ke sekolah lamanya dengan kembali memakai seragam putuh abu-abu yang selama ini ditinggalkannya karena bersekolah di Australia.
Di rumah Namira, masih ada Tante Sasti dan Om Dani. Namira tidak menyangka, tantenya akan sebaik ini menemaninya selama hambir 3 bulan. Laras juga sering menginap, sekedar untuk menemani Namira, apabila Tantenya itu keluar Kota.
Sekarang hidup Namira sudah benar-benar normal. Ia mengawali hari pertamanya sebagai siswi kelas 3 dengan rasa bangga dan tidak sabar. Ia tidak sabar melihat Rafka mamakai sergam putih abu-abunya dengan tidak ada lagi status kakak kelas dan adek kelas.
“Pagi Nam”, sapa Laras ketika sampai di kelas.
“Pagi Ras. Rafka mana?”.
“Jiahh, Rafka dong nih yang ditanyain? Sabar Nam, dia masih di kantor Kepsek, tungguin aja”.
Yang dibicarakan pun datang. Tanpa barkata apa-apa, Rafka langsung duduk di depan Namira dan Laras.
“Eh kak, ngapain disitu?”, tanya Laras.
“Kita ketutupan nih”, tambahnya lagi.
“Oke, kalau disini?” tawar Rafka.
Namira terdiam. Kursi yang dididuki Rafka letaknya tepat di barisan sebelahnya.
“Ha..ha.., disitu lebih baik”, ujar Laras licik.
Sebulan berlalu, Namira dan rafka masih seperti biasa. Siang itu, Namira pulang dari sekolahnya. Sampai di depan pagar, Ia melihat papan besar bertuliskan “RUMAH INI DALAM PROSES PENYITAAN”. Ya ampun, cobaan apa lagi ini? Ia kemudian masuk ke dalam. “Klek”, pintu rumah terbuka. Disana, Namira melihat seluruh perabot rumahnya disegel. Tante Sasti dalam pelukan Om Dani, sedang menangis terisak.
“Om, ada apa ini?”, kata Namira penuh tanya.
“Mira, sini. Om mau bicara. Begini Namira, Almarhum ayahmu menjadi tersangka dalam kasus suap 5 tahun yang lalu. Dan sekarang, masih dalam penyelidikan lebih lanjut oleh pihak kejaksaan. Tapi, harta ayahmu semua ini menjadi jaminannya”.
Namira meneteskan air matanya. Ia benar-benar tidak percaya ayahnya melakukan suap.
“Ini nggak mungkin Om”.
“Om juga berfikir seperti itu, tapi kita tidak bias berbuat apa-apa sebelum kejaksaan memutuskan. Kita hanya bias mencoba mencari bukti-bukti bahwa ayahmu tidak bersalah. Sekarang rencana om adalah pulang dulu ke Bandung karena kita tidak diizinkan untuk tinggal disini. Kamu mau ikut?”.
Namira menyeka air matanya. Dengan tidak menjawab pertanyaan omnya, Namira berlari pergi. Entah kemana perginya. Yang jelas, ia ingin menenangkan diri. Tante Sasti kemudian menelepon Laras, menceritakan semua dan meminta bantuan Laras. Tapi Laras juga tidak tahu dimana Namira. Ia sudah berkeliling bersama Rafka ke tempat biasa mereka pergi, namun Namira tidak ada disana.
“Aku tahu Namira dimana!”, pekik Rafka.
“Dimana? Makam ayahnya?”.
“Bukan”.
Rafka mengambil alih kemudi. Mengarahkan mobil ke suatu tempat. Laras sepertinya tahu kemana mereka akan menuju. Ia menaikkan alis tak percaya, tapi benar adanya. Di ujung dermaga, berdirilah Namira sedang menatap danau.
Laras turun dari mobil terlebih dahulu atas perintah Rfka. Kemudian ia berjalan menghampiri Namira. Namira yang merasa ada suara kaki yang mendekat, kemudian membalikkan tubuhnya. Seketika, ia memeluk sosok yang menghampirinya.
“Ras, aku harus pergi buat sementara. Aku harus ikut Om dan Tanteku ke Bandung. Aku udah nggak punya apa-apa lagi disini Ras”, kata Namira terisak.
“Kamu gak boleh pergi kemanapun. Kamu harus tetap disini Nam”, kata Rafka yang menyusul beberapa saat kemudian.
“Kamu disini bisa tinggal di rumahku. Ayahku mungkin bisa bantu kamu. Kita sama-sama berjuang Nam”, sambung Laras.
Namira kembali memeluk Laras kuat-kuat. Entah apa jadinya dia tanpa sahabatnya ini.
Tante Sasti dan Om Dani mengizinkan Namira untuk tinggal di rumah Laras dan menitipkan Namira pada keluarga Laras. Orang tua Laras menerima Namira dengan senang hati. Ayah Laras yang seorang pengacara bersedia membantu Namira membuktikan bahwa ayahnya tidak bersalah.
6 bulan kemudian…
Namira sedikit bisa bernapas lega. Setelah ayah Laras berhasil menemukan bukti bahwa ayahnya tidak bersalah. Namun bulan-bulan ini adalah detik-detik UN. Itu berarti, Namira, Laras dan Rafka harus benar-benar fokus terhadap ujiannya. Setiap hari Namira dan Laras belajar diajari oleh Rafka. Sesekali Laras meledek, disaat Namira dan Rafka sedang sama-sama serius. Laras hanya bisa tertawa-tawa melihat wajah Namira yang merah.
Hari hari ujian pun dimulai. Hari pertama, kedua, ketiga, lancar. Hari ini adalah hari terakhir. Di hari terakhir ujuan adalah hari dimana putusan terakhir kejaksaan dikeluarkan. Hari itu setelah selesai mengerjakan ujiannya, Namira keluar kelas dengan semangatnya. Di tempat parkir, Rafka dan Laras telah menunggu. Setelah ini, mereka akan pergi ke pengadilan.
Sidang sementara berjalan. Mereka bertiga hanya bisa menunggu di luar. Begitu ayah Laras kaluar, dan ternyata ayah Namira dinyatakan bebas dari tuduhan suap. Bahkan kematian ayah Namira juga merupakan rencana tersangka, rekan karja ayah Namira sendiri. Tersangka di hukum seumur hidup karena kasus suap, pembunuhan berencana, serta pencemaran nama baik.
Namira sekarang benar-benar bisa bernapas lega. Namun, cerita belum berakhir disini.
Sepulang dari pengadilan, Namira dan Rafka pergi ke danau. Kali ini Laras tidak ikut. Tepatnya, tidak diajak. Laras pulang bersama ayahnya.
“Nam”, kata rafka membuka pembicaraan
“Iya”.
“Kamu suka danau?”
“Iya, suka, kenapa?”.
“Aku juga. I like you like I like a lake”.
Namira mengangkat satu alisnya. Tepatnya ia bingung. Bukan karena tidak mengerti artinya. Tapi, apakah ini ungkapan perasaan Rafka?
“Pardon?” kata Namira.
“Aku suka kamu Nam”.
Namira membalikkan badanya. Pipinya selalu bersemu merah di saat-saat seperti ini.
“Kamu kenapa Nam?”.
“Nggak papa, cuma nggak mau”.
“Nggak mau apa?”.
“Nggak mau nolak”.
Seketika itu perasaan Rafka bagai diguguri bunga-bunga sakura. Bahagia tentunya.
Cerpen Karangan: Anisa Fitrah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar